Wisaka heran dengan persyaratan lomba seperti begitu. Untuk sesaat ia tak bisa menjawab.
"Pertandingan macam apa ini? Mengapa syaratnya harus perjaka, aku baru dengar seumur hidup?" tanya Wisaka geram.
"Peraturannya memang begitu, Kisanak?" jelas petugas.
"Siapa yang membuat peraturan?!" tanya Wisaka lagi.
"Wanita Bercadar Hitam, ia yang menginginkan seluruh pendekar yang bertarung adalah seorang perjaka tulen," kata petugas kembali, menjelaskan.
"Peraturan yang aneh," desis Wisaka. Ia tidak mengerti mengapa semua yang bertarung harus seorang perjaka tulen. 'Bukankah ini mengundang kecurigaan?' tanya Wisaka dalam hati.
"Bagaimana, Kisanak, apakah kau seorang perjaka?" tanya petugas pencatat lagi tak sabar.
"Iya, dia masih perjaka, Paman," jawab Cantaka.
Wisaka kaget sekali mendengar pernyataan Cantaka. Lelaki itu memandang Cantaka yang mengedipkan sebelah matanya dengan cengengesan.
"Ya sudah, dua minggu l
Selamat malam semuanya, Teteh menyapa reader's semua, terima kasih sudah setia kepada IPRIT, boleh beri vote, agar novel kesayangan kalian ini berada di rak paling bergengsi. Love love dari Teteh ❤️❤️
"Wahai, kau rupanya," kata Anjani alias Wanita Bercadar Kuning. "Ya, aku menyelamatmu karena suatu urusan, di mana Mayang?" Wisaka langsung menodong perempuan itu dengan pertanyaan. "Aku ... aku--" "Jawab!" bentak Wisaka memotong perkataan Anjani. "Wahai, dia ada bersamaku, sudahlah biarkan aku mengurusnya," jawab Anjani. "Tidak bisa, kau harus mengembalikannya!" seru Wisaka. "Wahai, biarkan aku ikut menyayangi keponakanku, eh," kata Anjani keceplosan, ia menutup mulutnya. "Maksudmu apa?" tanya Wisaka. Wisaka merasa penasaran dengan kata-kata Anjani. Maksudnya apa ia bilang keponakan? Pria itu melihat wanita bercadar itu salah tingkah. Anjani kebingungan harus menjelaskan apa kepada Wisaka. Ia menggaruk kepalanya yang terasa gatal tiba-tiba, memandang Wisaka dan Cantaka bergantian. Hiaaat.Anjani menyerang Wisaka, kemudian melesat pergi. Namun, Wisaka tidak tinggal diam ia cepat mengejarnya. Dil
"Siapa, wahai?" tanya Anjani. Tetap saja kata wahai belum bisa dihilangkan. "Gayatri," jawab Wisaka singkat. "Gayatri siapa?" tanya wanita bercadar itu cerewet. "Nanti aku ceritakan," jawab Wisaka lagi. Mereka bertiga melesat meninggalkan tempat tersebut menuju goa tempat tinggal Wisaka. Meskipun Cantaka masih bocah, ia bisa mengimbangi lari manusia dewasa di sampingnya itu, apalagi Onet sambil duduk di bahunya. Wisaka mengambil sebuah buntelan yang sudah usang, pertanda benda itu sudah berusia puluhan atau mungkin ratusan tahun. Laki-laki itu menyerahkannya kepada Anjani. Anjani yang merasa penasaran dengan cepat membuka isi buntelan tersebut. Ia terbelalak melihatnya. "Baju ini bagus sekali, walau sudah berusia lama," ujar Anjani sambil memeriksa baju tersebut. Sebuah baju yang bermodel kerah Shanghai, berkain halus ringan melayang. Selain baju tersebut, ada tusuk konde yang berhiaskan untaian manik-manik pula.
Cempaka yang dibawa panitia penyelenggara sayembara, cepat-cepat diserahkan kepada Iblis Tengkorak sesuai permintaan. Tentu saja membuat hati gadis itu ketar-ketir."Bagaimana bisa, aku tidak punya kemampuan untuk melawan mereka kalau mereka bermaksud jahat," kata Cempaka. Ia kaget mendengar rencana Anjani. "Kau pun tahu, aku tidak bisa terkena sinar matahari," sambungnya."Nanti kita ke sana kalau sudah lewat tengah hari, jadi matahari sudah agak teduh," ujar Anjani."Aku pikir-pikir lagi, ini terlalu berbahaya, apalagi diriku belum bertukar jasad lagi dengan Iblis betina itu," kata Cempaka geram.Anjani yang terdiam, masih diingat Cempaka, mungkin lagi berpikir, tak mungkin juga ia memaksa Cempaka. Idenya ini memang agak sedikit gila. Namun, bukan berarti Anjani juga akan melepaskan Cempaka begitu saja."Ya, sudah, aku setuju, dengan syarat aku tak boleh lepas dari pantauan, Kakak." akhirnya Cempaka mengambil keputusan setelah lama terdiam.
Wisaka memperhatikan pintu yang bergetar tersebut, pintu itu terbuat dari batu. "Cempaka ... Cempaka!" teriak Wisaka. Tak terdengar jawaban, hanya pintu batu itu yang bergetar. Padahal di dalam sana para gadis tumbal tersebut sedang berteriak-teriak minta tolong. Wisaka mengamati lagi lebih teliti barangkali ada tombol rahasia untuk menggeser pintu yang beratnya lebih dari seribu kati tersebut. Mata Wisaka liar memandang ke segala arah. Ia tertarik dengan sebuah lubang kecil tersembunyi di balik sebuah batu. Wisaka menggeser batu itu, kemudian merogoh lubang tersebut dan menarik tuas di dalamnya. Terdengar bunyi berderak dari pintu yang bergeser. "Horeee ... horeee!" Gadis-gadis itu berteriak kegirangan. "Cempaka mana?" tanya Wisaka. Para gadis itu saling berpandangan, tidak ada yang bernama Cempaka di antara mereka. Bahkan mereka tak pernah mendengar nama itu di sebutkan. "Tidak ada orang bernama Cempaka di s
Wanita dengan pakaian ala pendekar China dan bercadar ungu itu berjalan biasa seolah-olah tidak dalam pelarian. 'Siapakah dia?' pikir Iblis Tengkorak. Ia mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar wanita tersebut. Aneh, wanita itu tetap berjarak seperti tadi. Iblis Tengkorak kian bernafsu untuk mendapatkannya, apalagi ia harus secepatnya mendapatkan tumbal malam ini. "Rima, tunggu! Apakah level hantumu sudah naik, sehingga kesaktianmu bertambah?" tanya Iblis Tengkorak. Sosok di depannya diam saja, Iblis Tengkorak semakin penasaran. Mengapa dirinya bisa dikalahkan oleh Rima yang tidak punya kemampuan apa-apa? "Buka topengmu, Iblis Tengkorak? Siapakah dirimu sebenarnya?!" Satu teriakan memecah keheningan malam. Sesosok laki-laki berbaju putih berambut gondrong tiba-tiba menghadang langkah Iblis Tengkorak. Rima hilang dari pandangan. 'Sialan, pemuda itu lagi,' kata hati Iblis Tengkorak. "Pedulimu apa, wahai anak
Rima, alias Kuntilanak Merah marah kepada gadis tumbal. Dirinya sudah merasa baik tetapi masih diragukan. "Aku minta maaf, Kakak," kata gadis itu sambil menunduk. "Sudahlah, wahai, aku dan Cempaka akan kembali sebelum matahari terbit, aku titipkan mereka kepadamu, wahai Rima," kata Anjani. "Baiklah, Kakak, aku jaga mereka," kata Kuntilanak Merah. Ia melesat ke atas pohon, duduk sambil uncang kaki, mencari mangsa, siapa tahu ada orang lewat. Gadis tumbal tadi, duduk dekat Cantaka. Mereka menunggu pagi hari tiba. Gadis itu tidak dapat memejamkan matanya sedikit pun, karena masih merasa shock dengan kejadian-kejadian hari ini. Anjani dan Cempaka melesat berlari ke arah bulan terbenam. Harus sampai secepatnya sebelum matahari bersinar, kalau tidak Cempaka bisa kena masalah. Wangi bunga tiba-tiba tercium santer. Anjani dan Cempaka menghentikan larinya sejenak. Ingin tahu dari mana datangnya sumber wewangian tersebut. Di depan mata sesosok b
"Bagus sekali namamu, Nak," kata Wisaka."Terima kasih, Paman," ujar Anggini."Perkenalkan ini, Cantaka, anak Paman," Wisaka melirik Cantaka, anak muda itu menyalaminya Anggini.Anggini sepertinya tersipu, terlihat dari matanya yang tidak tertutup cadar. Begitu pula Cantaka merasa senang terhadap gadis itu. Gadis mungil mungkin berumur tujuh belas tahun.Wisaka meninggalkan mereka berdua. Memberikan kesempatan untuk saling mengenal. Sepertinya Wisaka akan cepat mendapatkan mantu. Gadis itu telah berhasil mencuri hati Wisaka. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa begitu suka dengan Anggini."Kamu tinggal di mana, Adik?" tanya Cantaka. Pemuda tanggung itu begitu gugup saat bertanya kepada Anggini. Ia memilin jari-jarinya yang terasa dingin."Di balik gunung itu," jawab Anggini sambil menunjuk gunung jauh di depan mereka. Cantaka mengikuti arah telunjuk Anggini, kemudian menunduk salah tingkah.Anggini juga tertunduk malu, se
"Siapakah, kau?" Sebuah suara membentak Cantaka. Tentu saja pemuda itu sangat kaget, tak mungkin Mayang punya suara seperti itu, seperti suara wanita berumur. Cantaka tidak mau lagi berkata-kata, ia berkesimpulan bahwa kalung giok itu sudah dicuri orang. Ia pun pergi tidur setelah berpamitan kepada Ibunya. Sementara Anjani yang sedang mengusap-usap liontin giok tersebut, kaget saat mendengar suara. Otomatis ia pun membentaknya karena disangka hantu. "Wahai, suara apakah tadi itu?" katanya. Ia masih melihat-lihat liontin tersebut. "Benar kata Anggini, liontin ini berhantu." Anjani membungkus kembali kalung tersebut dan menyimpannya di bawah tumpukan baju. Tadinya dengan memakai kalung itu, ia berharap Cantaka akan mengerti siapa gadis yang disukainya itu. "Wahai, aku harus bagaimana?" Jauh di sebuah tempat yang banyak sekali pohon bunga persik yang sedang berbunga. Duduk seorang gadis merenung. Ia murung, sepertinya mempunyai beban yang