Cempaka yang dibawa panitia penyelenggara sayembara, cepat-cepat diserahkan kepada Iblis Tengkorak sesuai permintaan. Tentu saja membuat hati gadis itu ketar-ketir.
"Bagaimana bisa, aku tidak punya kemampuan untuk melawan mereka kalau mereka bermaksud jahat," kata Cempaka. Ia kaget mendengar rencana Anjani. "Kau pun tahu, aku tidak bisa terkena sinar matahari," sambungnya.
"Nanti kita ke sana kalau sudah lewat tengah hari, jadi matahari sudah agak teduh," ujar Anjani.
"Aku pikir-pikir lagi, ini terlalu berbahaya, apalagi diriku belum bertukar jasad lagi dengan Iblis betina itu," kata Cempaka geram.
Anjani yang terdiam, masih diingat Cempaka, mungkin lagi berpikir, tak mungkin juga ia memaksa Cempaka. Idenya ini memang agak sedikit gila. Namun, bukan berarti Anjani juga akan melepaskan Cempaka begitu saja.
"Ya, sudah, aku setuju, dengan syarat aku tak boleh lepas dari pantauan, Kakak." akhirnya Cempaka mengambil keputusan setelah lama terdiam.
<Wisaka memperhatikan pintu yang bergetar tersebut, pintu itu terbuat dari batu. "Cempaka ... Cempaka!" teriak Wisaka. Tak terdengar jawaban, hanya pintu batu itu yang bergetar. Padahal di dalam sana para gadis tumbal tersebut sedang berteriak-teriak minta tolong. Wisaka mengamati lagi lebih teliti barangkali ada tombol rahasia untuk menggeser pintu yang beratnya lebih dari seribu kati tersebut. Mata Wisaka liar memandang ke segala arah. Ia tertarik dengan sebuah lubang kecil tersembunyi di balik sebuah batu. Wisaka menggeser batu itu, kemudian merogoh lubang tersebut dan menarik tuas di dalamnya. Terdengar bunyi berderak dari pintu yang bergeser. "Horeee ... horeee!" Gadis-gadis itu berteriak kegirangan. "Cempaka mana?" tanya Wisaka. Para gadis itu saling berpandangan, tidak ada yang bernama Cempaka di antara mereka. Bahkan mereka tak pernah mendengar nama itu di sebutkan. "Tidak ada orang bernama Cempaka di s
Wanita dengan pakaian ala pendekar China dan bercadar ungu itu berjalan biasa seolah-olah tidak dalam pelarian. 'Siapakah dia?' pikir Iblis Tengkorak. Ia mengerahkan seluruh ilmu meringankan tubuhnya untuk mengejar wanita tersebut. Aneh, wanita itu tetap berjarak seperti tadi. Iblis Tengkorak kian bernafsu untuk mendapatkannya, apalagi ia harus secepatnya mendapatkan tumbal malam ini. "Rima, tunggu! Apakah level hantumu sudah naik, sehingga kesaktianmu bertambah?" tanya Iblis Tengkorak. Sosok di depannya diam saja, Iblis Tengkorak semakin penasaran. Mengapa dirinya bisa dikalahkan oleh Rima yang tidak punya kemampuan apa-apa? "Buka topengmu, Iblis Tengkorak? Siapakah dirimu sebenarnya?!" Satu teriakan memecah keheningan malam. Sesosok laki-laki berbaju putih berambut gondrong tiba-tiba menghadang langkah Iblis Tengkorak. Rima hilang dari pandangan. 'Sialan, pemuda itu lagi,' kata hati Iblis Tengkorak. "Pedulimu apa, wahai anak
Rima, alias Kuntilanak Merah marah kepada gadis tumbal. Dirinya sudah merasa baik tetapi masih diragukan. "Aku minta maaf, Kakak," kata gadis itu sambil menunduk. "Sudahlah, wahai, aku dan Cempaka akan kembali sebelum matahari terbit, aku titipkan mereka kepadamu, wahai Rima," kata Anjani. "Baiklah, Kakak, aku jaga mereka," kata Kuntilanak Merah. Ia melesat ke atas pohon, duduk sambil uncang kaki, mencari mangsa, siapa tahu ada orang lewat. Gadis tumbal tadi, duduk dekat Cantaka. Mereka menunggu pagi hari tiba. Gadis itu tidak dapat memejamkan matanya sedikit pun, karena masih merasa shock dengan kejadian-kejadian hari ini. Anjani dan Cempaka melesat berlari ke arah bulan terbenam. Harus sampai secepatnya sebelum matahari bersinar, kalau tidak Cempaka bisa kena masalah. Wangi bunga tiba-tiba tercium santer. Anjani dan Cempaka menghentikan larinya sejenak. Ingin tahu dari mana datangnya sumber wewangian tersebut. Di depan mata sesosok b
"Bagus sekali namamu, Nak," kata Wisaka."Terima kasih, Paman," ujar Anggini."Perkenalkan ini, Cantaka, anak Paman," Wisaka melirik Cantaka, anak muda itu menyalaminya Anggini.Anggini sepertinya tersipu, terlihat dari matanya yang tidak tertutup cadar. Begitu pula Cantaka merasa senang terhadap gadis itu. Gadis mungil mungkin berumur tujuh belas tahun.Wisaka meninggalkan mereka berdua. Memberikan kesempatan untuk saling mengenal. Sepertinya Wisaka akan cepat mendapatkan mantu. Gadis itu telah berhasil mencuri hati Wisaka. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa begitu suka dengan Anggini."Kamu tinggal di mana, Adik?" tanya Cantaka. Pemuda tanggung itu begitu gugup saat bertanya kepada Anggini. Ia memilin jari-jarinya yang terasa dingin."Di balik gunung itu," jawab Anggini sambil menunjuk gunung jauh di depan mereka. Cantaka mengikuti arah telunjuk Anggini, kemudian menunduk salah tingkah.Anggini juga tertunduk malu, se
"Siapakah, kau?" Sebuah suara membentak Cantaka. Tentu saja pemuda itu sangat kaget, tak mungkin Mayang punya suara seperti itu, seperti suara wanita berumur. Cantaka tidak mau lagi berkata-kata, ia berkesimpulan bahwa kalung giok itu sudah dicuri orang. Ia pun pergi tidur setelah berpamitan kepada Ibunya. Sementara Anjani yang sedang mengusap-usap liontin giok tersebut, kaget saat mendengar suara. Otomatis ia pun membentaknya karena disangka hantu. "Wahai, suara apakah tadi itu?" katanya. Ia masih melihat-lihat liontin tersebut. "Benar kata Anggini, liontin ini berhantu." Anjani membungkus kembali kalung tersebut dan menyimpannya di bawah tumpukan baju. Tadinya dengan memakai kalung itu, ia berharap Cantaka akan mengerti siapa gadis yang disukainya itu. "Wahai, aku harus bagaimana?" Jauh di sebuah tempat yang banyak sekali pohon bunga persik yang sedang berbunga. Duduk seorang gadis merenung. Ia murung, sepertinya mempunyai beban yang
Eyang Gayatri menceritakan kisah pilunya dulu bersama Eyang Astamaya yang tidak mencintainya. Tentu saja sakit kalau cinta tidak terbalas. Cempaka turut prihatin dengan kejadian itu, tetapi ia bisa apa?Wisaka bingung harus berbuat apa? Ia hanya berdiri saja memandangi kedua wanita di depannya. Ia sungkan untuk berbicara tentang Eyang Astamaya yang dikenal sebagai gurunya. Sesungguhnya Eyang Astamaya pernah bercerita dulu, Wisaka pun pernah melihat, seperti sebuah film kisah mereka, saat melakukan perjalanan lorong waktu."Eyang," sapa Wisaka hati-hati.Eyang Gayatri hanya melihat ke arah Wisaka, pertanda dirinya mengizinkan lelaki itu berbicara. Wisaka garuk-garuk kepala bingung harus mulai dari mana."Sesungguhnya aku tahu kisah itu, Eyang," kata Wisaka."Apa? Kau tahu dari mana?" tanya Eyang Gayatri kaget. Ia memandang ke arah lelaki itu, melihat dari atas sampai bawah."Guruku yang menceritakan," kata Wisaka."Apa yang dia katakan
Sekar Ayu tetap tidak bergerak. Wisaka mengambil sebutir pil kecil berwarna hitam dari ikat pinggangnya, kemudian memasukkannya ke dalam mulut Sekar. Perlu sedikit usaha agar pil itu bisa tertelan oleh gadis itu. Wisaka juga menyalurkan tenaga murni lewat kaki Sekar."Uhukkk uhuk." Sekar Ayu bergerak sambil terbatuk, rupanya ia sudah sadar kembali. Ada darah meleleh di sudut bibirnya.Wisaka mundur demi melihat Sekar tersadar. Sekar menyeka darah dan meludah, ludahnya merah bercampur darah. Wisaka memperhatikan sambil duduk di batu besar, tangannya mempermainkan sebatang ranting kering."Kau kalah, Sekar Ayu," kata Wisaka.Sekar Ayu memandang ke arah Wisaka, sepertinya ia berpikir keras, terlihat dari dahinya yang berkerut. Dirinya juga merasa kalau Wisaka sudah menolongnya, karena tidak mungkin secepat ini ia pulih."Ikut aku!" perintah Sekar.Sekar Ayu berkelebat diikuti oleh Wisaka. Mereka pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Ibu." Anggini menghambur ke arah ibunya. Wisaka terpana dengan pemandangan di depannya itu. Apalagi Cantaka, mukanya memucat melihat kenyataan di depan matanya. "Kau ... kau," kata Cantaka. Dia menunjuk ke arah Anggini. Anggini juga bingung, dia melihat ke arah Anjani. Anjani terlihat kikuk, bagaimana harus menjelaskan ini semua. Wanita itu menghela nafas panjang. "Dia adalah ... Mayang," jelas Anjani. "Kau adikku?" "Apa? Aku adikmu? Ibu jelaskan!" pinta Anggini. Mata gadis itu memandang ke arah Cantaka, begitu pula dengan pemuda tersebut. Berbagai perasaan bergejolak dalam hati mereka. Cinta yang baru saja mekar haruskah berakhir? "Wahai, mereka adalah bapakmu serta kakakmu," kata Anjani akhirnya. "Oh."Anggini menutup mulutnya, matanya terbelalak tak percaya. "Bagaimana kisahnya aku bisa bersaudara dengan Kakang Cantaka?" tanya gadis itu. Anjani mengisahkan semua kejadian dahulu, dimana