Jaka dan Anggara tengah terpesona, mereka melihat kehebatan makhluk yang bernama Suminar. Namun Jaka sudah mendapat peringatan dari bapaknya, itu hanyalah tipuan.
"Anggara, usap matamu … usap matamu!" Jaka berteriak.
"Baiklah, Jaka!"
Mereka berkali-kali mengusap mata masing-masing, kemudian mundur karena kaget. Perempuan itu tampak sangat menyeramkan kini. Kedua matanya pecah, meleleh darah kental di mukanya.
"Wow!" Jaka berteriak.
Anehnya, Suminar masih bisa tahu posisi Anggara dan Jaka. Dia mempersiapkan sebuah serangan.
"Kang, hati-hati!" Anggara berteriak memperingatkan Jaka.
"Siap!" Jaka mempersiapkan sebuah pukulan jarak jauh.
Setelah yakin dengan perkiraannya, Suminar mendorong sebuah kekuatan dahsyat ke arah mereka berdua. Tentu saja Anggara dan Jaka secepat kilat berganti posisi. Angin yang dihasilkan dari serangan Suminar melabrak sebuah pohon.
Draaak … bruuuk.
Pohon bes
Anggini tidak menyangka Eyang Gayatri sampai turun untuk membasmi para iblis ini. "Anggini, lama tidak berjumpa." Eyang Gayatri mengusap rambut gadis itu. Dia sudah menganggapnya sebagai cucu. Setelah Cempaka --muridnya menikah dengan Wisaka. Makanya Eyang Gayatri menganjurkan Cempaka untuk mengajari jurus Bunga Persik. Sementara itu, Iblis Tengkorak tengah berjuang mengenyahkan suara dari telinganya. Darah kental semakin banyak mengucur dari telinganya. Jurus Kijang Mengorek Telinga ini memang begitu dahsyat. Apalagi yang melemparkan jurus Eyang Astamaya. Iblis Tengkorak tidak bisa berkutik. Benang ajaib yang membelitnya semakin membuatnya tidak berdaya. Sejurus kemudian Eyang Gayatri menunduk malu. Sebelumnya kedua orang tua itu saling bertatapan mata. Eyang Astamaya tersenyum kepada Gayatri. Eyang Gayatri tersenyum juga dari balik cadarnya. Eyang Gayatri memberikan kantung hitam kepada Eyang Astamaya. Tempat arwah iblis yang menyamar menjadi Sumina
Tak lama setelah bunyi lolongan serigala dan suara burung hantu bergantian, terjadilah hal di luar dugaan. Malam yang tadinya benderang terlihat suram karena bulan bersembunyi di balik awan. Sesosok laki-laki nampak berjalan tergesa-gesa menuju satu rumah, kemudian mengetuk jendela sebuah kamar. Mendengar ketukan di jendela kamar, Sulastri yang sedang berbaring di ranjangnya menoleh cepat. Dia berdiri dan menghampiri jendela, mencoba mencari tahu apa atau siapa yang menghasilkan suara ketukan tadi. Sulastri membuka jendela kamarnya yang penuh dengan hiasan pengantin. Tak ada siapapun di luar, hanya kegelapan malam yang menyambut. Cahaya bulan yang temaram belum sepenuhnya menampakkan diri. Pohon pisang terlihat seperti hantu yang melambaikan tangan, Sulastri bergidik ngeri, cepat-cepat dia menutup kembali daun jendela kamar. Melanjutkan aktifitas sebagai calon pengantin esok hari, hatinya penuh dengan debaran-debaran aneh yang baru sekali ini dirasakan.
Mulut mereka menganga tak percaya. Kejadian ini tak pernah ada di desa ini. Lalu, sebenarnya apa yang tengah terjadi? Wisaka berdiri mematung, sementara semua kejadian berputar terus di otaknya seperti sebuah film. Wisaka masih berharap, hari kemarin bukanlah kali terakhir perjumpaannya dengan sahabatnya. Terkenang kembali saat delman yang dia tumpangi bergerak di jalan berbatu. Kala seekor kuda jantan coklat dengan gagahnya berlari menembus kabut pagi. Wisaka pemuda berperawakan tinggi dengan rambut gondrong, badannya ikut terguncang - guncang di dalamnya. Desa Keris nampak tenang dan damai. Kabut pagi menyelimuti kampung tersebut, meninggalkan hawa yang sangat dingin. Desa yang nyaman karena tergolong aman dari para perampok yang masih suka mengganggu di daerah lain. Rumah-rumah panggung beratap daun rumbia berjauhan satu dengan yang lainnya, terhalang oleh kebun ataupun sawah. Satu dua orang penduduk nampak berjalan melintasi pematang s
Teriakan dari arah kamar Sulastri membuat orang-orang bangun, begitu pula dengan Kang Saep yang berada di luar segera masuk, ingin segera tahu apa yang terjadi. "Sulastri hilang, dia tidak berada di kamarnya!" Orang-orang sibuk mencari Sulastri ke sana-sini. Menyisir semak-semak sekitar rumah. Nihil, karena malam yang masih gelap. "Bawa obor ke sini!" Salah seorang warga berteriak. Terlihat samar-samar ada sosok putih di kejauhan, semua warga menuju ke sana. Dengan penuh kewaspadaan mereka mendekati sosok tersebut. "Ya Allah Gusti, Sulastri!" Hampir berbarengan para perempuan yang ikut mencari berteriak. Ternyata sosok putih itu itu adalah Sulastri yang duduk dengan baju acak-acakan dan keadaan jiwa yang memilukan. Sulastri memandang kosong ke depan mukanya tanpa ekspresi, seperti orang yang shock berat. Bagaikan baru melihat makhluk mengerikan. Keadaan Sulastri yang memakai baju acak-acakan, menjadikan ibu-ibu berbisik-bisik.
Dayat tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan hatinya saat semua orang yang hadir menggodanya. Begitu pun saat Pak Amir tetangganya yang berdandan nyentrik bagai dukun ilmu hitam menggodanya. "Kamu tahu kan, seramnya malam pertama?" tanyanya kepada Dayat. Dayat hanya menggeleng disambut gelak tawa teman-temannya. "Apanya yang seram, ceritakan dong," kata Umar. "Saking seramnya, kamu bisa mati berdiri," katanya serius. Keseriusannya disambut olok-olok oleh semua laki-laki yang sedang sibuk ngopi sambil bercanda itu, tak seorang pun menganggapnya serius, apalagi bagi yang sudah berpengalaman menikah, malam pengantin tak seseram itu. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, saat tengah malam Pak Amir pamit hendak pulang. Dayat mengantarkan sampai pelataran depan rumahnya yang rimbun karena pohon mangga. Saat memalingkan muka dari tatapannya pada punggung Pak Amir yang kian menjauh, tanpa sengaja ekor matanya melihat sesosok tubuh perempuan be
Pertanyaan itu mulai merayapi kepala warga kampung. Sikap waspada takut terjadi sesuatu, otomatis ada dalam diri masing-masing. Melindungi diri sendiri cari aman. Sadar menjadi pusat perhatian, Awang dan Barshi, cepat-cepat berpamitan kepada orang-orang di sekitarnya. Apalagi hari hampir siang, matahari sudah menampakkan sinarnya. "Sialan, mata penduduk seperti menelanjangiku." Barshi bersungut-sungut sesampainya di rumah. "Mereka gak pernah lihat perempuan cantik apa?" "Dasar katrok, sebel!" teriaknya. "Sudahlah sabar," kata suaminya menghibur. Sudah bukan rahasia lagi, kalau Awang dan Barshi mempunyai alergi terhadap sinar matahari. Mereka akan betah mengurung diri di dalam rumah tanpa keluar, karena takut dengan sinar matahari. Dulu, mereka mempunyai penyakit aneh, seluruh tubuh akan penuh dengan bilur-bilur merah. Seolah-olah terbakar, rasanya panas, jikalau terkena sinar matahari. Mak Ijah ibunya Barshi, merasa her
Wisaka memasuki rumah dengan ragu, hatinya sesungguhnya kebat-kebit, takut kalau ternyata Pak Amir mahluk jadi-jadian yang dilihatnya tadi. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. "Duduklah, kita ngopi sambil ngobrol," kata Pak Amir. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Wisaka menurut, duduk menunggu Pak Amir yang sedang membuat kopi. "Apa kamu juga mencurigai aku, heh?" tanya orang tua itu. Wisaka menunduk, dia tak menjawab, tangannya sibuk memilin taplak meja. "Wajar, disaat seperti ini, semua berhak curiga," sambung Pak Amir sambil menaruh gelas yang berisi kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Wanginya memenuhi ruangan, mengaburkan bau kemenyan dan dupa. "Ayo diminum!" suruhnya. "Masih panas," jawab Wisaka. "Kamu tahu kan Awang dan Barshi, yang tadi pagi datang ngelayat?" tanya Pak Amir. "Ya, Pak, memang kenapa?" Wisaka balik bertanya. "Beberapa tahun yang lalu, tidak lama setelah pernikahan me
Wisaka mempelajari makhluk itu dari raganya yang menyerupai binatang, mencoba mencari kelemahan binatang tersebut. Tapi benarkah itu binatang asli bukan binatang jadi-jadian? Semakin banyak pertanyaan membuat kepalanya mumet, akhirnya dia tertidur. Pagi hari yang cerah, Wisaka pergi ke rumah Pak Amir. Berniat diskusi tentang rencananya untuk belajar ilmu kanuragan kepada guru Pak Amir. Pemuda itu mengutarakan semua niatnya dan Pak Amir begitu antusias mendengarnya. Wisaka juga bertanya dengan detil. Memastikan apakah ilmu yang dimiliki guru Pak Amir itu bukanlah ilmu hitam. "Sebelumnya aku ingin bertanya, Pak," kata Wisaka. "Tanya saja," jawab Pak Amir. Dia mengguncang-guncang kakinya yang bertumpu pada kaki lainnya dengan tangan mendekap lutut. "Itu termasuk ilmu hitam bukan, Pak?" tanya Wisaka hati-hati, karena takut menyinggung perasaan Pak Amir. "Bukan, itu ilmu buat membasmi ilmu hitam, tapi bukankah di atas langit masih ada langit. Tentu