Wisaka memasuki rumah dengan ragu, hatinya sesungguhnya kebat-kebit, takut kalau ternyata Pak Amir mahluk jadi-jadian yang dilihatnya tadi. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya.
"Duduklah, kita ngopi sambil ngobrol," kata Pak Amir.
Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Wisaka menurut, duduk menunggu Pak Amir yang sedang membuat kopi.
"Apa kamu juga mencurigai aku, heh?" tanya orang tua itu.
Wisaka menunduk, dia tak menjawab, tangannya sibuk memilin taplak meja.
"Wajar, disaat seperti ini, semua berhak curiga," sambung Pak Amir sambil menaruh gelas yang berisi kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Wanginya memenuhi ruangan, mengaburkan bau kemenyan dan dupa.
"Ayo diminum!" suruhnya.
"Masih panas," jawab Wisaka.
"Kamu tahu kan Awang dan Barshi, yang tadi pagi datang ngelayat?" tanya Pak Amir.
"Ya, Pak, memang kenapa?" Wisaka balik bertanya.
"Beberapa tahun yang lalu, tidak lama setelah pernikahan me
Wisaka mempelajari makhluk itu dari raganya yang menyerupai binatang, mencoba mencari kelemahan binatang tersebut. Tapi benarkah itu binatang asli bukan binatang jadi-jadian? Semakin banyak pertanyaan membuat kepalanya mumet, akhirnya dia tertidur. Pagi hari yang cerah, Wisaka pergi ke rumah Pak Amir. Berniat diskusi tentang rencananya untuk belajar ilmu kanuragan kepada guru Pak Amir. Pemuda itu mengutarakan semua niatnya dan Pak Amir begitu antusias mendengarnya. Wisaka juga bertanya dengan detil. Memastikan apakah ilmu yang dimiliki guru Pak Amir itu bukanlah ilmu hitam. "Sebelumnya aku ingin bertanya, Pak," kata Wisaka. "Tanya saja," jawab Pak Amir. Dia mengguncang-guncang kakinya yang bertumpu pada kaki lainnya dengan tangan mendekap lutut. "Itu termasuk ilmu hitam bukan, Pak?" tanya Wisaka hati-hati, karena takut menyinggung perasaan Pak Amir. "Bukan, itu ilmu buat membasmi ilmu hitam, tapi bukankah di atas langit masih ada langit. Tentu
Mata yang begitu tajam dan bersinar di kegelapan. Seperti bernafsu sekali ingin memangsa Wisaka. Perlahan-lahan kuku-kukunya memanjang dan meruncing. Ia menggeliat seperti cacing kepanasan. "Gerrrh." Onet yang sedang merem-merem ayam, mendengar bunyi geraman halus dari balik bilik gubuk, ia terbangun. Matanya menatap tajam ke arah ruang dalam yang terhalang bilik. Mencoba mengintip tapi tak membuat gerakan. Tiba-tiba Onet meloncat ke arah Wisaka sambil berisik. Tentu saja Wisaka kaget dan terbangun. Ia menyeringai ke arah Wisaka sambil dagunya mengarah ke dalam gubuk. Pemuda itu mengikuti dengan pandangan. Suasana hening, hanya suara binatang malam yang terdengar. "Tidak ada apa-apa, Onet, ayo tidur lagi," kata Wisaka. Onet memandang bilik di depannya, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di sana. Wisaka yang masih mengantuk mengusap kepala Onet menenangkan. Onet meloncat ke tiang gubuk. Wisaka kembali tertidur dengan pulas. Pemuda i
"Apakah Bapak melihat Onet, monyet yang menyertaiku?" tanya Wisaka. "Panggil aku Pak Ali. Aku tidak melihat siapa pun menyertaimu, aku menemukanmu hampir tenggelam terseret arus sungai," jawab Pak Ali. "Aku harus mencarinya, maaf aku harus pergi," kata Wisaka sambil bangkit dari tempat tidur. Wisaka mengaduh dengan keras saat mendapati sakit di kakinya. Dia baru sadar kalau kakinya terbalut kain. "Kakimu terkilir, Anak Muda, jangan banyak bergerak dulu," kata Pak Ali. "Namaku Wisaka, Pak," ujar Wisaka memperkenalkan diri, sambil meringis menahan sakit. Wisaka sangat menghawatirkan Onet, Apakah ia terhanyut juga bersamanya tadi? Selamatkah ia? Wisaka bertanya-tanya dalam hatinya. Pemuda itu menunduk sedih membayangkan Onet berjuang sendirian di tengah derasnya arus sungai. Sementara di luar kamar, nampak sesosok perempuan muda yang cantik dengan mata beningnya yang jernih. Ia bernama Leli putri dari pemilik rumah. Se
"Leli, tidakkah kamu merasakan keanehan? Mengapa kita selalu kembali ke tempat yang sama, kau tahu apa sebabnya?" tanya Wisaka. Leli menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawabnya singkat. Wisaka putus asa, dia mengajak Leli duduk di sebuah batu besar. Pandangannya lurus ke depan. "Leli, aku tak habis pikir mengapa kampung ini seperti bola," kata Wisaka. Leli tersenyum kecil mendengar kata-kata Wisaka yang membandingkan kampungnya seperti bola tanpa ujung. Gadis itu diam saja sambil terpekur. Mereka akhirnya kembali berjalan dan berakhir di rumah. Selama hampir seminggu Wisaka berusaha mencari jalan. Hatinya cemas, "Bagaimana aku mencapai padepokan Kyai Abdullah kalau tertahan di sini?" pikirnya. Karena penasaran dia pun bertanya kepada Pak Ali. "Pak Ali, bagaimana aku bisa menemukan jalan keluar? coba kasih tahu caranya, Pak," tanya Wisaka. "Caranya, kamu harus menikahi anakku, Leli," kata Pak Ali. "Hubungannya apa
"Mengapa aku bisa sebodoh ini, mengapa semua bisa terjadi?" Hati Wisaka bertanya-tanya. Sementara Leli hanya memandangi suaminya tersebut, tersenyum penuh arti, penuh rasa kemenangan dalam hatinya. "Kakang tak usahlah seperti itu, bukannya aku sudah menjadi istrimu?" tanya Leli. Wisaka hanya diam, dia tidak habis pikir, mengapa semua bisa terjadi? Bukankah tadi dirinya tertidur pulas, lalu mimpi itu? Mengapa seolah-olah bermimpi tapi nyata? Apakah ada ilmu seperti itu? Wisaka terlonjak dari tidurnya, kemudian duduk sambil memandang istrinya. "Apakah kamu mempunyai ilmu meraga sukma?" tanya Wisaka. "Tidak, Kakang, aku tidak tahu tentang ilmu itu," jawab Leli sambil menunduk. "Katakan dengan jujur!" Wisaka berkata tegas. "Tidak, Kakang," kata Leli ketakutan, dia mulai terisak. Wisaka tak tega kalau melihat perempuan menangis, diraihnya kepala istrinya mengusapnya sekilas. "Ya sudahlah, ayo tidur lagi," kata
Wisaka menguatkan hatinya untuk pergi malam ini juga. Leli memandangi suaminya dengan pilu. Air matanya berderai di pipinya yang putih mulus. Wisaka mengusapnya air mata Leli, sesungguhnya hatinya juga tak tega meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil. "Leli, aku takut kalau korban akan semakin banyak, kalau aku tidak cepat-cepat pergi dari sini, aku minta maaf harus meninggalkanmu," kata Wisaka sambil mengusap rambut Leli. "Apa Kakang akan kembali lagi ke sini, kalau nanti tugas Kakang sudah selesai?" tanya Leli. "Pasti, kalau Kakang selamat melawan mahluk jadi-jadian itu, tentu Kakang akan menengok anak kita," jawab Wisaka sambil menganggukkan kepalanya. Leli mengusap air matanya, dia berdiri bersiap mengantarkan Wisaka ke dapur, karena di situlah gerbang antara kehidupan siluman dan manusia. Leli mengerti, tugas yang diemban Wisaka sangat mulia. Mereka berjalan beriringan. "Sampaikan salamku kepada bapak dan ibu, sengaja Kakang tidak berpa
"Tujuan kita ternyata sama, aku juga berniat ke tempat itu," kata Wisaka. Faruq kaget sekaligus merasa gembira, ada teman seperjalanan nantinya. Wittwiww .... Wisaka bersuit keras, Onet yang masih di atas pohon, cepat-cepat turun, lalu menyerahkan buntalan ke arah Wisaka. Wisaka menerimanya lalu menyerahkan kepada Faruq. Faruq memandang heran kepada Onet, Onet menyeringai ke arahnya. Faruq mundur takut disergap, Wisaka hanya tertawa. "Ini Onet, teman yang menyertai perjalananku," Wisaka memperkenalkan Onet kepada Faruq. Faruq tertawa melihat Onet yang memandangnya, mungkin Onet heran melihat badannya yang gendut. "Sini, Onet, bersalaman dengannya," Faruq berkata sambil melambaikan tangannya ke arah Onet. Onet beranjak, menjabat tangan Faruq, lalu ... jleng, ia meloncat ke bahu Faruq, membuat Faruq kaget dan terjengkang, terduduk di tanah. Wisaka tertawa melihat kelakuan Onet. Dengan susah payah Faruq bangun. "Si
"Kang!" "Kang Wisaka, woii!" Faruq berteriak-teriak. Setelah jauh dari gua, dia berhenti sejenak, berjongkok, tangan di atas lutut. Mengatur nafas yang tersengal-sengal. "Kamu seperti dikejar setan, ada apa?" suara Wisaka mengagetkan Faruq. "Ampun ... ampun ... ampun," katanya sambil menutup muka. Wisaka tertawa melihat reaksi Faruq yang kocak. Faruq menutup muka dan posisi kaki seperti jalan di tempat, persis anak kecil yang lagi ngambek minta permen. Muka bulatnya sangat ketakutan. "Hey, ini aku ... Wisaka, setan apa yang mengejarmu sampai kau begitu ketakutan, semalem kau bertarung dengan gagah, sekarang lari seperti diudag (dikejar) kuntilanak?" tanya Wisaka. Faruq membuka matanya pelan-pelan. Onet mengelilinginya sambil menengadahkan mukanya, kemudian ia menyeringai ke arah Faruq seperti mengejek. Meloncat ke atas pohon, duduk sambil makan buah yang baru saja mereka dapatkan. "Aku seperti mendenga