"Tujuan kita ternyata sama, aku juga berniat ke tempat itu," kata Wisaka.
Faruq kaget sekaligus merasa gembira, ada teman seperjalanan nantinya.
Wittwiww ....
Wisaka bersuit keras, Onet yang masih di atas pohon, cepat-cepat turun, lalu menyerahkan buntalan ke arah Wisaka. Wisaka menerimanya lalu menyerahkan kepada Faruq.
Faruq memandang heran kepada Onet, Onet menyeringai ke arahnya. Faruq mundur takut disergap, Wisaka hanya tertawa.
"Ini Onet, teman yang menyertai perjalananku," Wisaka memperkenalkan Onet kepada Faruq.
Faruq tertawa melihat Onet yang memandangnya, mungkin Onet heran melihat badannya yang gendut.
"Sini, Onet, bersalaman dengannya," Faruq berkata sambil melambaikan tangannya ke arah Onet.
Onet beranjak, menjabat tangan Faruq, lalu ... jleng, ia meloncat ke bahu Faruq, membuat Faruq kaget dan terjengkang, terduduk di tanah. Wisaka tertawa melihat kelakuan Onet. Dengan susah payah Faruq bangun.
"Si
"Kang!" "Kang Wisaka, woii!" Faruq berteriak-teriak. Setelah jauh dari gua, dia berhenti sejenak, berjongkok, tangan di atas lutut. Mengatur nafas yang tersengal-sengal. "Kamu seperti dikejar setan, ada apa?" suara Wisaka mengagetkan Faruq. "Ampun ... ampun ... ampun," katanya sambil menutup muka. Wisaka tertawa melihat reaksi Faruq yang kocak. Faruq menutup muka dan posisi kaki seperti jalan di tempat, persis anak kecil yang lagi ngambek minta permen. Muka bulatnya sangat ketakutan. "Hey, ini aku ... Wisaka, setan apa yang mengejarmu sampai kau begitu ketakutan, semalem kau bertarung dengan gagah, sekarang lari seperti diudag (dikejar) kuntilanak?" tanya Wisaka. Faruq membuka matanya pelan-pelan. Onet mengelilinginya sambil menengadahkan mukanya, kemudian ia menyeringai ke arah Faruq seperti mengejek. Meloncat ke atas pohon, duduk sambil makan buah yang baru saja mereka dapatkan. "Aku seperti mendenga
Wisaka berlari dengan cepat, sementara Faruq turut berlari sesaat setelah bengong melihat perampok itu kabur, tongkatnya terjatuh. "Eeeh, tunggu ... jangan kabur ya!" Faruq ikut berteriak. Faruq tidak melihat kalau tongkatnya menghalangi jalan, dia jatuh tertelungkup. Cepat-cepat bangun kembali. "Sialan tongkat ini, jadinya terlambat aku mengejar perampok," kata Faruq sambil memungutnya. Faruq berhasil mengejar Wisaka, tapi rupanya Wisaka tidak mampu mengejar para perampok itu. Mereka yang sudah terbiasa dengan hutan ini, begitu mudah menerobos jalur yang tidak diketahui Wisaka. "Bagaimana?" tanya Faruq sambil ngos-ngosan, peluh membasahi perutnya yang bulat, sehingga tampak licin dan mengkilap. "Lolos," jawab Wisaka penuh penyesalan. Pemuda itu merasa gagal menyelamatkan barang amanah yang sangat berharga untuk calon gurunya. Hendak menyusul ke mana sekarang, Wisaka tidak tahu jalan. Disaat semua terdiam mencari akal, bagaiman
"Ya, apakah Nenekmu tidak bercerita tentang Eyang Buyutmu?" tanya Kakek yang berjuluk kuncen atau juru kunci itu. "Tidak, tapi sepertinya dulu ketika masih kecil, aku pernah diceritakan dongeng tentang harimau yang menikahi manusia," jawab Wisaka. "Itu bukan dongeng, cerita itu adalah kenyataan yang terjadi kepada eyang buyutmu, panggil saja aku Aki," ujar Kakek. "Benarkah itu, Aki?" "Ya, seperti itulah kenyataannya. Eyang ini Buyutmu, kemarilah." Aki melambaikan tangannya ke arah rimbunan pohon. Jleng. Seekor harimau besar melompat, lalu terdiam di bawah tangga gubuk. Wisaka dan Faruq mengkeret. Aki menyuruh mereka untuk turun menemuinya. Wisaka kemudian turun. Harimau itu menjilati tangannya. Wisaka mengusap-usap leher harimau tersebut. Faruq mengambil tangan harimau seolah-olah bersalaman. "Aku, Faruq, teman Wisaka," katanya sok dekat, padahal hatinya takut bukan kepalang. Baru kali ini dia bertemu dengan harimau.
Sepasang mata itu tiba-tiba menjauh ketakutan, lari terbirit-birit. Ia melihat sinar lebih terang datang hendak mendekatinya. Daripada bermasalah lebih baik lari, begitu pikirnya. Sinar lebih terang itu tidak lain adalah sepasang mata milik Eyang Wisaka. Binatang itu berlari menyebrangi sungai, lalu mendaki dan duduk di batu datar. Sepasang mata yang satunya lagi, yang mengawasi Wisaka tidur, ia juga ternyata seekor harimau betina muda. Berlari ke arah yang sama, kemudian bersembunyi di balik semak-semak. Wisaka terjaga tepat tengah malam, dia pergi dengan Aki ke tempat Batu Belah. Di sana sudah duduk bersila seorang kakek-kakek. Wisaka heran dengan kehadiran kakek-kakek tersebut. "Siapakah dia, Aki?" tanya Wisaka. "Eyangmu," jawab Aki. Wisaka sudah tidak kaget lagi melihat kejadian-kejadian yang mencengangkan terjadi di depan matanya. Pemuda itu sudah mulai terbiasa. Tanpa banyak bicara Wisaka mendekat. "Eyang," sapanya.
Cempaka memperhatikan bayangan itu. Sosoknya seperti Wisaka. Lama dia perhatikan, tapi sosok itu tidak bergeming. Cempaka penasaran, dia pun memanggilnya. "Kang!" serunya. Wisaka kemudian menoleh, melihat ke arah Cempaka, terlihat oleh Cempaka pemuda itu tersenyum. Cempaka ingin sekali keluar dan menemuinya. Mimpi buruknya menahannya sejenak. "Apa arti mimpiku?" tanyanya dalam hati. Karena mimpi itu pula dan kerinduan yang mendalam, membuat Cempaka meloncati jendela untuk menemui Wisaka. Dia mengabaikan kata hatinya yang menyuarakan tanda bahaya di kepalanya. Berhasil meloncati jendela lantas menghambur ke pelukan Wisaka. "Kang, aku rindu," ujar Cempaka. Wisaka memeluk erat tubuh Cempaka. Lama tak melepaskan, Cempaka berusaha melepaskan diri dari pelukan Wisaka. Dia heran mengapa tidak seperti biasanya Wisaka bertingkah. Cempaka menyimpan keheranannya dalam hati. Wisaka mengajak Cempaka duduk, mereka mengobrol melepaskan
Pak Amir berusaha menghindari serangan orang yang mirip Wisaka itu. Cempaka mengkeret tak berdaya dan jatuh terduduk di tanah. Mulutnya seperti terkunci tapi gadis itu masih bisa mengingat apa yang terjadi. Cempaka gemetar karena takut dan trauma. Hatinya merasa bersyukur Pak Amir datang. Apa jadinya kalau dia tidak ditolong oleh Pak Amir. "Mungkin aku akan berakhir seperti Sulastri," bisiknya dalam hati. Bergidik ngeri dia membayangkan semuanya. Sementara itu seorang penduduk ada yang mendengar kegaduhan karena pertarungan Pak Amir dan orang misterius tersebut. Penduduk itu dengan cepat bereaksi, dia memukul kentongan. Suara kentongan yang dipukul dengan cepat menyentak warga. Dengan segera warga siaga dan keluar rumah. "Ada apa ... ada apa?" Semua warga sibuk bertanya. "Aya nu gelut, aya nu gelut (ada yang berkelahi)!" Orang yang memukul kentongan berseru. "Di mana?" "Itu di sana, ayo kita ke sana, nyalakan obor!" Ramai
"Aku gak tahu, Ceu," kata Ceu Entin. Mereka berbisik-bisik dengan sangat lirih, takut orang lain mendengar. Mereka menduga-duga dan berandai-andai. Dengan pikiran yang ketar-ketir saat menuju kampung, dengan kecemasan masing-masing dalam lubuk hati mereka. Cempaka dibaringkan di amben, ibunya membersihkan rambut Cempaka dari sampah dedaunan yang menempel. Perempuan itu menangis melihat keadaan anaknya. "Neng, kunaon atuh maneh teh (Neng, kamu kenapa)?" ujarnya sambil menyisir rambut anaknya yang panjang dengan jari. Dibetulkannya baju Cempaka yang robek-robek. Ketika siuman Cempaka menangis keras, ibunya memeluknya. Ketika sudah reda ibunya lalu bertanya,"Ada apa sebenarnya ini, Neng?" Cempaka ingin menjawab, tetapi yang keluar seperti tadi, hanya uuuhh ... aahh. Cempaka bisu. Ibunya yang sudah menghentikan tangisannya, menangis lagi dengan sedih. Anaknya tidak bisa berbicara sungguh pukulan berat untuk batinnya. Orang-orang yang melihat ramai
Habis maghrib Kang Saep berniat mendatangi rumah Pak Amir. Dia ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi kemarin malam. Sebagai orang tua yang seumuran dengan Pak Amir, Kang Saep maklum dengan perasaan Pak Amir yang dituduh oleh warga. Makanya dia bermaksud untuk menyambanginya malam ini. Menyusuri jalan setapak yang redup karena bulan belum muncul. Kang Saep berjalan sambil menyesap rokok dari daun kawung. Daun aren muda yang dijemur, kemudian dipotong-potong pendek buat pembungkus tembakau. "Mau ke mana, Kang?" Seorang warga yang kebetulan bertemu menyapa. "Mau ka payun (ke depan), Jang ," jawab Pak Amir. Kebiasaan orang Sunda apabila ditanya orang, mereka akan sebut ke depan, tanpa merinci ke mana tujuan. Kang Saep mengetuk rumah Pak Amir yang tampak sepi, tapi pelita yang menyala menandakan pemilik rumah ada. Kang Saep memasuki rumah setelah Pak Amir membukakan pintu. "Tumben nih, ada angin apa, Kang?" tanya Pak Amir basa basi sambil mempersi