"Aku gak tahu, Ceu," kata Ceu Entin.
Mereka berbisik-bisik dengan sangat lirih, takut orang lain mendengar. Mereka menduga-duga dan berandai-andai. Dengan pikiran yang ketar-ketir saat menuju kampung, dengan kecemasan masing-masing dalam lubuk hati mereka.
Cempaka dibaringkan di amben, ibunya membersihkan rambut Cempaka dari sampah dedaunan yang menempel. Perempuan itu menangis melihat keadaan anaknya.
"Neng, kunaon atuh maneh teh (Neng, kamu kenapa)?" ujarnya sambil menyisir rambut anaknya yang panjang dengan jari. Dibetulkannya baju Cempaka yang robek-robek.
Ketika siuman Cempaka menangis keras, ibunya memeluknya. Ketika sudah reda ibunya lalu bertanya,"Ada apa sebenarnya ini, Neng?"
Cempaka ingin menjawab, tetapi yang keluar seperti tadi, hanya uuuhh ... aahh. Cempaka bisu. Ibunya yang sudah menghentikan tangisannya, menangis lagi dengan sedih. Anaknya tidak bisa berbicara sungguh pukulan berat untuk batinnya. Orang-orang yang melihat ramai
Habis maghrib Kang Saep berniat mendatangi rumah Pak Amir. Dia ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi kemarin malam. Sebagai orang tua yang seumuran dengan Pak Amir, Kang Saep maklum dengan perasaan Pak Amir yang dituduh oleh warga. Makanya dia bermaksud untuk menyambanginya malam ini. Menyusuri jalan setapak yang redup karena bulan belum muncul. Kang Saep berjalan sambil menyesap rokok dari daun kawung. Daun aren muda yang dijemur, kemudian dipotong-potong pendek buat pembungkus tembakau. "Mau ke mana, Kang?" Seorang warga yang kebetulan bertemu menyapa. "Mau ka payun (ke depan), Jang ," jawab Pak Amir. Kebiasaan orang Sunda apabila ditanya orang, mereka akan sebut ke depan, tanpa merinci ke mana tujuan. Kang Saep mengetuk rumah Pak Amir yang tampak sepi, tapi pelita yang menyala menandakan pemilik rumah ada. Kang Saep memasuki rumah setelah Pak Amir membukakan pintu. "Tumben nih, ada angin apa, Kang?" tanya Pak Amir basa basi sambil mempersi
Dalam perjalanannya, Wisaka menyusuri jalan kecil yang berbatu-batu besar. Kadangkala terlihat seperti ada gua di baliknya. Panas terik memaksa Wisaka untuk berteduh. Beristirahat sejenak di bawah rindangnya pohon. Tiba-tiba dia melihat satu pergerakan di kejauhan. Wisaka menegakkan punggungnya, kemudian mengucek matanya. "Makhluk itu ada di sini?" kata Wisaka. Wisaka sekali lagi menajamkan pandangannya. Dia juga menyuruh Faruq untuk ikut memperhatikan. "Lihatlah Faruq, apa yang bergerak itu?" Wisaka bertanya kepada Faruq, matanya tak lepas dari sosok nun jauh di sana. "Mana?" Faruq balik bertanya. Kemudian pemuda itu mengikuti pandangan Wisaka, sama kagetnya dengan Wisaka. "Binatang apa itu?" tanya Faruq sambil menghentikan kunyahannya. Tadi dia bersama Onet mencari jambu biji dan dapat beberapa buah. "Ek ek ek ek." Onet ikut-ikutan bersuara. Wisaka tidak bisa menjawab karena pandangannya juga tidak begitu jela
Mata merah itu mengawasi dari kejauhan. Rambut panjangnya tergerai awut-awutan. Dengan kelopak matanya yang hitam, tatapannya tajam kepada Wisaka dan Faruq, lalu beralih ke Onet. Ia ambil selendang yang melilit lehernya. "Hihihi hihihi ...." Ia tertawa cekikikan sambil melemparkan selendang ke arah Onet, lalu cepat-cepat menariknya lagi. Tawanya menggema di malam sunyi. "Hihihihi ... hihihihi ... hihihihi." Onet terbangun, ia membuka matanya. Perempuan mata merah itu melayang mendekati Onet. Onet melompat menjauhinya, tetapi terlambat. Selendang itu menyambarnya, kemudian menggulungnya. Ajaib, Onet menghilang dari pandangan. Terdengar kembali perempuan itu tertawa cekikikan, kesenangan seperti mendapat mainan. "Hihihihi ... hihihihi ... hihihihi ... hihihihi." Tawanya semakin panjang. Kembali perempuan itu menarik selendangnya. Tampak Onet ketakutan. Sesaat kemudian Onet melompat menghampiri Faruq, tetapi belum me
"Sialan, kau!" seru Wisaka kepada Faruq. "Ahahaha ... hahaha." Faruq tertawa sambil menunjuk kuntilanak. Mahluk itu rupanya terganggu dengan kentut Faruq yang bau busuk. Ia melesat jauh terbang ke pohon lainnya. "Rupanya kamu takut dengan bom dari bokongku, ya, hahaha ... hahaha," kata Faruq sambil tertawa-tawa. Hep. Tawa Faruq terhenti saat sesuatu memasuki mulutnya. "Puah, apa ini?!" seru Faruq sambil melepehkan sesuatu dari mulutnya. "Uk uk uk uk uk." Onet tertawa melihat tingkah Faruq. "Sialan, buah apa ini, pahit sekali ... oh ternyata buah mahoni," kata Faruq. Tangannya menangkap benda yang beterbangan di sekitarnya. Rupanya kuntilanak itu memecahkan buah mahoni dan menghambur-hamburkan isinya yang seperti baling-baling. "Hahaha ... rasain, Faruq!" seru Wisaka. Wisaka mengebutkan selendang mengusir baling-baling pahit tersebut. Sosok putih itu cukup kerepotan dengan serangan balik dari Wisaka. Bali
Kuntilanak itu memandang Wisaka. Sorot matanya menyiratkan kebingungan. Ia nampak gelisah. Mungkin karena sebentar lagi matahari akan terbit di ufuk timur. "Dengarkan baik-baik, jangan karena kau bisa menghilang dengan selendang ini. Kau bisa seenaknya mempermainkan manusia, kalau mempermainkan sesama demit aku tidak peduli. aku tahu selendang ini sangatlah penting untuk menjagamu dari kejaran demit-demit yang lain. Jadi jaga! Jangan sampai kau bermasalah dan selendangmu berpindah tangan, mengerti?" Kuntilanak itu manggut-manggut, lantas menunduk. Rambutnya bergerak menutupi wajahnya yang pucat pasi. Ia berdiri tanpa menjejak tanah. "Ini ambillah!" perintah Wisaka. Kuntilanak itu berkelebat cepat menyambar selendangnya, kemudian melayang pergi. Menyisakan tawa cekikikan yang semakin menjauh. "Mengganggu tidur saja," kata Wisaka sambil merebahkan badannya di batu datar. ********** Faruq dan Wisaka menggeliat saat me
"Ini ukiran huruf sunda kuno," jawab Wisaka. "Coba lihat ini, Kang! Banyak gambar," seru Faruq. Wisaka mendekati Faruq yang sedang membersihkan dinding, terlihat olehnya ukiran-ukiran indah. "Uk uk uk uk." Onet bersuara sambil menunjuk satu gambar. Terlihat oleh Wisaka gambar rusa dengan permata di kening. Wisata mengernyitkan kening tanda berfikir keras. Dia mencoba mengeja huruf demi huruf yang ada di dinding. "Ga-lu-h ...." Wisaka berhasil membaca tulisan di atas gambar kepala rusa. "Oh, rusa itu bernama Galuh, Onet," kata Wisaka. Wisaka dan Faruq sibuk membersihkan dinding-dinding yang lainnya. Banyak terdapat gambar jurus-jurus silat. Ada satu gambar yang menarik perhatian Wisaka. Gambar seorang kakek yang nampak memancarkan aura magis. Dengan garis-garis wajah yang tercetak jelas sebagai sosok berwibawa. Di belakang gambarnya nampak pemandangan matahari terbenam. Wisaka kembali mengeja kata demi kata di bawah gambar. "As-ta-ma-ya
Wisaka kaget mendengarnya, dia segera bangun dan duduk sambil menoleh ke kiri-kanan. Pemuda itu melihat seorang kakek sedang duduk bersila di pojok goa. Wisaka mengamati caranya duduk, kakek itu duduk dengan alas kulit macan tetapi melayang di atas batu. 'Ilmu meringankan tubuh yang sudah sempurna,' pikir Wisaka. Dia segera menjawab salam sang kakek. "Waalaikumsalam, Kek, bukankah Kakek Eyang Astamaya?" tanya Wisaka. "Benar sekali, anak muda, siapa namamu?" "Wisaka, Kek," jawab Wisaka. Wisaka kemudian menceritakan mengapa dirinya sampai ke goa Eyang Astamaya ini. Dia menceritakan misteri kematian-kematian sahabatnya itu menjelang pernikahan mereka. Eyang Astamaya diam mendengarkan. Wisaka juga menceritakan tentang perjumpaannya dengan binatang aneh yang belum pernah dilihat sebelumnya. "Kalau benar itu yang kau lihat, binatang itu adalah Iprit yang sedang menyamar. Makhluk itu sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dan selalu bere
"Tampakkan wujudmu!" seru Wisaka. Suara tawa itu semakin nyaring. Wisaka kembali melihat Eyang Astamaya dalam mimpinya. Datang dengan suara tawanya yang menyakitkan telinga, tiba-tiba saja sudah duduk di hadapan Wisaka. "Ilmu apalagi ini, Eyang?" tanya Wisaka sambil menutup telinganya. "Hentikan!" teriak Wisaka. Wisaka merasa telinganya pekak dan berdengung demi mendengar suara tawa yang aneh itu. Eyang Astamaya menghentikan suara tawanya. "Tutup pendengaranmu, pakai jurus Kabut Tameng Matahari, fokuskan pikiran ke hal lain, dengan begitu suara itu tidak akan merusak gendang telingamu!" suruh Eyang Astamaya. "Aku tidak punya jurus itu, Eyang, jurus apakah itu? Apa yang akan terjadi kalau kita terkena jurus itu?" tanya Wisaka. "Anak bodoh, mengapa masih bertanya? Gendang telingamu bisa pecah dan mengalirkan darah, merambat ke pembuluh darah di otakmu, itu namanya jurus Tanduk Kijang Mengorek Telinga," kata Eyang Astamaya. "Mengapa tak kau