Sepasang mata itu tiba-tiba menjauh ketakutan, lari terbirit-birit. Ia melihat sinar lebih terang datang hendak mendekatinya. Daripada bermasalah lebih baik lari, begitu pikirnya.
Sinar lebih terang itu tidak lain adalah sepasang mata milik Eyang Wisaka. Binatang itu berlari menyebrangi sungai, lalu mendaki dan duduk di batu datar.
Sepasang mata yang satunya lagi, yang mengawasi Wisaka tidur, ia juga ternyata seekor harimau betina muda. Berlari ke arah yang sama, kemudian bersembunyi di balik semak-semak.
Wisaka terjaga tepat tengah malam, dia pergi dengan Aki ke tempat Batu Belah. Di sana sudah duduk bersila seorang kakek-kakek. Wisaka heran dengan kehadiran kakek-kakek tersebut.
"Siapakah dia, Aki?" tanya Wisaka.
"Eyangmu," jawab Aki.
Wisaka sudah tidak kaget lagi melihat kejadian-kejadian yang mencengangkan terjadi di depan matanya. Pemuda itu sudah mulai terbiasa. Tanpa banyak bicara Wisaka mendekat.
"Eyang," sapanya.
Cempaka memperhatikan bayangan itu. Sosoknya seperti Wisaka. Lama dia perhatikan, tapi sosok itu tidak bergeming. Cempaka penasaran, dia pun memanggilnya. "Kang!" serunya. Wisaka kemudian menoleh, melihat ke arah Cempaka, terlihat oleh Cempaka pemuda itu tersenyum. Cempaka ingin sekali keluar dan menemuinya. Mimpi buruknya menahannya sejenak. "Apa arti mimpiku?" tanyanya dalam hati. Karena mimpi itu pula dan kerinduan yang mendalam, membuat Cempaka meloncati jendela untuk menemui Wisaka. Dia mengabaikan kata hatinya yang menyuarakan tanda bahaya di kepalanya. Berhasil meloncati jendela lantas menghambur ke pelukan Wisaka. "Kang, aku rindu," ujar Cempaka. Wisaka memeluk erat tubuh Cempaka. Lama tak melepaskan, Cempaka berusaha melepaskan diri dari pelukan Wisaka. Dia heran mengapa tidak seperti biasanya Wisaka bertingkah. Cempaka menyimpan keheranannya dalam hati. Wisaka mengajak Cempaka duduk, mereka mengobrol melepaskan
Pak Amir berusaha menghindari serangan orang yang mirip Wisaka itu. Cempaka mengkeret tak berdaya dan jatuh terduduk di tanah. Mulutnya seperti terkunci tapi gadis itu masih bisa mengingat apa yang terjadi. Cempaka gemetar karena takut dan trauma. Hatinya merasa bersyukur Pak Amir datang. Apa jadinya kalau dia tidak ditolong oleh Pak Amir. "Mungkin aku akan berakhir seperti Sulastri," bisiknya dalam hati. Bergidik ngeri dia membayangkan semuanya. Sementara itu seorang penduduk ada yang mendengar kegaduhan karena pertarungan Pak Amir dan orang misterius tersebut. Penduduk itu dengan cepat bereaksi, dia memukul kentongan. Suara kentongan yang dipukul dengan cepat menyentak warga. Dengan segera warga siaga dan keluar rumah. "Ada apa ... ada apa?" Semua warga sibuk bertanya. "Aya nu gelut, aya nu gelut (ada yang berkelahi)!" Orang yang memukul kentongan berseru. "Di mana?" "Itu di sana, ayo kita ke sana, nyalakan obor!" Ramai
"Aku gak tahu, Ceu," kata Ceu Entin. Mereka berbisik-bisik dengan sangat lirih, takut orang lain mendengar. Mereka menduga-duga dan berandai-andai. Dengan pikiran yang ketar-ketir saat menuju kampung, dengan kecemasan masing-masing dalam lubuk hati mereka. Cempaka dibaringkan di amben, ibunya membersihkan rambut Cempaka dari sampah dedaunan yang menempel. Perempuan itu menangis melihat keadaan anaknya. "Neng, kunaon atuh maneh teh (Neng, kamu kenapa)?" ujarnya sambil menyisir rambut anaknya yang panjang dengan jari. Dibetulkannya baju Cempaka yang robek-robek. Ketika siuman Cempaka menangis keras, ibunya memeluknya. Ketika sudah reda ibunya lalu bertanya,"Ada apa sebenarnya ini, Neng?" Cempaka ingin menjawab, tetapi yang keluar seperti tadi, hanya uuuhh ... aahh. Cempaka bisu. Ibunya yang sudah menghentikan tangisannya, menangis lagi dengan sedih. Anaknya tidak bisa berbicara sungguh pukulan berat untuk batinnya. Orang-orang yang melihat ramai
Habis maghrib Kang Saep berniat mendatangi rumah Pak Amir. Dia ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi kemarin malam. Sebagai orang tua yang seumuran dengan Pak Amir, Kang Saep maklum dengan perasaan Pak Amir yang dituduh oleh warga. Makanya dia bermaksud untuk menyambanginya malam ini. Menyusuri jalan setapak yang redup karena bulan belum muncul. Kang Saep berjalan sambil menyesap rokok dari daun kawung. Daun aren muda yang dijemur, kemudian dipotong-potong pendek buat pembungkus tembakau. "Mau ke mana, Kang?" Seorang warga yang kebetulan bertemu menyapa. "Mau ka payun (ke depan), Jang ," jawab Pak Amir. Kebiasaan orang Sunda apabila ditanya orang, mereka akan sebut ke depan, tanpa merinci ke mana tujuan. Kang Saep mengetuk rumah Pak Amir yang tampak sepi, tapi pelita yang menyala menandakan pemilik rumah ada. Kang Saep memasuki rumah setelah Pak Amir membukakan pintu. "Tumben nih, ada angin apa, Kang?" tanya Pak Amir basa basi sambil mempersi
Dalam perjalanannya, Wisaka menyusuri jalan kecil yang berbatu-batu besar. Kadangkala terlihat seperti ada gua di baliknya. Panas terik memaksa Wisaka untuk berteduh. Beristirahat sejenak di bawah rindangnya pohon. Tiba-tiba dia melihat satu pergerakan di kejauhan. Wisaka menegakkan punggungnya, kemudian mengucek matanya. "Makhluk itu ada di sini?" kata Wisaka. Wisaka sekali lagi menajamkan pandangannya. Dia juga menyuruh Faruq untuk ikut memperhatikan. "Lihatlah Faruq, apa yang bergerak itu?" Wisaka bertanya kepada Faruq, matanya tak lepas dari sosok nun jauh di sana. "Mana?" Faruq balik bertanya. Kemudian pemuda itu mengikuti pandangan Wisaka, sama kagetnya dengan Wisaka. "Binatang apa itu?" tanya Faruq sambil menghentikan kunyahannya. Tadi dia bersama Onet mencari jambu biji dan dapat beberapa buah. "Ek ek ek ek." Onet ikut-ikutan bersuara. Wisaka tidak bisa menjawab karena pandangannya juga tidak begitu jela
Mata merah itu mengawasi dari kejauhan. Rambut panjangnya tergerai awut-awutan. Dengan kelopak matanya yang hitam, tatapannya tajam kepada Wisaka dan Faruq, lalu beralih ke Onet. Ia ambil selendang yang melilit lehernya. "Hihihi hihihi ...." Ia tertawa cekikikan sambil melemparkan selendang ke arah Onet, lalu cepat-cepat menariknya lagi. Tawanya menggema di malam sunyi. "Hihihihi ... hihihihi ... hihihihi." Onet terbangun, ia membuka matanya. Perempuan mata merah itu melayang mendekati Onet. Onet melompat menjauhinya, tetapi terlambat. Selendang itu menyambarnya, kemudian menggulungnya. Ajaib, Onet menghilang dari pandangan. Terdengar kembali perempuan itu tertawa cekikikan, kesenangan seperti mendapat mainan. "Hihihihi ... hihihihi ... hihihihi ... hihihihi." Tawanya semakin panjang. Kembali perempuan itu menarik selendangnya. Tampak Onet ketakutan. Sesaat kemudian Onet melompat menghampiri Faruq, tetapi belum me
"Sialan, kau!" seru Wisaka kepada Faruq. "Ahahaha ... hahaha." Faruq tertawa sambil menunjuk kuntilanak. Mahluk itu rupanya terganggu dengan kentut Faruq yang bau busuk. Ia melesat jauh terbang ke pohon lainnya. "Rupanya kamu takut dengan bom dari bokongku, ya, hahaha ... hahaha," kata Faruq sambil tertawa-tawa. Hep. Tawa Faruq terhenti saat sesuatu memasuki mulutnya. "Puah, apa ini?!" seru Faruq sambil melepehkan sesuatu dari mulutnya. "Uk uk uk uk uk." Onet tertawa melihat tingkah Faruq. "Sialan, buah apa ini, pahit sekali ... oh ternyata buah mahoni," kata Faruq. Tangannya menangkap benda yang beterbangan di sekitarnya. Rupanya kuntilanak itu memecahkan buah mahoni dan menghambur-hamburkan isinya yang seperti baling-baling. "Hahaha ... rasain, Faruq!" seru Wisaka. Wisaka mengebutkan selendang mengusir baling-baling pahit tersebut. Sosok putih itu cukup kerepotan dengan serangan balik dari Wisaka. Bali
Kuntilanak itu memandang Wisaka. Sorot matanya menyiratkan kebingungan. Ia nampak gelisah. Mungkin karena sebentar lagi matahari akan terbit di ufuk timur. "Dengarkan baik-baik, jangan karena kau bisa menghilang dengan selendang ini. Kau bisa seenaknya mempermainkan manusia, kalau mempermainkan sesama demit aku tidak peduli. aku tahu selendang ini sangatlah penting untuk menjagamu dari kejaran demit-demit yang lain. Jadi jaga! Jangan sampai kau bermasalah dan selendangmu berpindah tangan, mengerti?" Kuntilanak itu manggut-manggut, lantas menunduk. Rambutnya bergerak menutupi wajahnya yang pucat pasi. Ia berdiri tanpa menjejak tanah. "Ini ambillah!" perintah Wisaka. Kuntilanak itu berkelebat cepat menyambar selendangnya, kemudian melayang pergi. Menyisakan tawa cekikikan yang semakin menjauh. "Mengganggu tidur saja," kata Wisaka sambil merebahkan badannya di batu datar. ********** Faruq dan Wisaka menggeliat saat me