Pertanyaan itu mulai merayapi kepala warga kampung. Sikap waspada takut terjadi sesuatu, otomatis ada dalam diri masing-masing. Melindungi diri sendiri cari aman.
Sadar menjadi pusat perhatian, Awang dan Barshi, cepat-cepat berpamitan kepada orang-orang di sekitarnya. Apalagi hari hampir siang, matahari sudah menampakkan sinarnya.
"Sialan, mata penduduk seperti menelanjangiku." Barshi bersungut-sungut sesampainya di rumah.
"Mereka gak pernah lihat perempuan cantik apa?"
"Dasar katrok, sebel!" teriaknya.
"Sudahlah sabar," kata suaminya menghibur.
Sudah bukan rahasia lagi, kalau Awang dan Barshi mempunyai alergi terhadap sinar matahari. Mereka akan betah mengurung diri di dalam rumah tanpa keluar, karena takut dengan sinar matahari.
Dulu, mereka mempunyai penyakit aneh, seluruh tubuh akan penuh dengan bilur-bilur merah. Seolah-olah terbakar, rasanya panas, jikalau terkena sinar matahari.
Mak Ijah ibunya Barshi, merasa heran dengan penyakit anak dan menantunya tersebut. Dulu Barshi tidak punya penyakit tersebut. Kehidupannya normal seperti orang-orang pada umumnya. Entah apa sebabnya, penyakit itu datang tiba-tiba.
*****
Menjelang sore, pemakaman yang disertai isak tangis selesai juga akhirnya. Keluarga sudah kembali ke rumah.
Enok yang ditemukan dengan baju acak-acakan dan keadaan jiwa terguncang, mengundang belas kasih penduduk. Tak habis pikir, mengapa harus ada lagi kejadian seperti ini? Sebenarnya apa kesalahan penduduk yang seperti menerima hukuman dengan cara seperti ini.
Enok tak dapat bicara, terkadang dia menggigil dengan mata penuh ketakutan, seolah-olah makhluk mengerikan ada di depannya. Ibunya menangis sedih melihat bunga hiasan pengantin yang masih segar, masih terpasang.
"Enok, mengapa nasibmu begini, Nak? Lihatlah bunga pengantinmu, wangi," ujarnya sambil mencium roncean kembang melati.
"Ini, coba cium, harum kan?" tanyanya lagi kepada Enok sambil mengangsurkan bunga ke hidung Enok.
Matanya tak berhenti menangis, hatinya sakit sekali. Enok tak bereaksi. Pandangan ibunya menatap lesu ke arah anaknya yang terbaring tak berdaya. Ranjang itu seharusnya menjadi ranjang pengantin malam ini.
****
Wisaka duduk selonjor di tempat tidur. Memikirkan semua yang terjadi di kampungnya. Dirinya tak habis pikir.
'Pengantin perempuan tidak mati, tapi diambil jiwanya. Pengantin laki-laki mesti mati, dengan darah yang tidak tersisa?'
"Apakah mahluk yang datang kepada pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidaklah sama?" pikirnya. "Mungkinkah mahluk yang datang kepada pengantin laki-laki adalah seorang perempuan? Lalu yang datang kepada pengantin perempuan seorang laki-laki? Ataukah satu mahluk bisa menjadi keduanya di saat yang bersamaan?" Wisaka bergumam sendiri.
"Pengantin laki-laki ... pengantin perempuan, mati ... kehilangan jiwa, yang perempuan kehilangan kegadisannya, yang laki-laki ada bercak sperma." Berulang-ulang kata-kata itu dia ucapkan.
Otaknya diperas untuk mendapatkan suatu kesimpulan. Pemuda itu mondar-mandir di kamarnya, sebelah tangan di dada sebelah lagi mengacungkan telunjuk, kadang mengetuk-ngetuk keningnya.
Untuk mengusir hawa panas, pemuda tampan itu membuka jendela. Udara dingin menyerbu memasuki kamar, menciptakan hawa sejuk. Sejenak Wisaka menikmati kesegarannya.
Namun, hidungnya seperti mencium sesuatu. Ada bau yang menyeruak ikut masuk ke dalam kamarnya. Sepertinya dia pernah mencium bau tersebut, tapi lupa di mana? Wisaka menatap kegelapan malam di depan matanya.
Sesosok bergerak menarik perhatiannya. Dia perhatikan sosok di balik rimbun pepohonan itu. Mata semerah saga menatapnya. Mata kecil tapi menyala dalam gelap. Tak jelas bentuk mukanya, tapi seolah-olah memandang penuh ancaman kepada Wisaka.
"Hey, siapa itu?!" teriak Wisaka.
Wisaka yang pada dasarnya pemberani, bukannya takut, malah balik memperhatikan. Wisaka melihat sosok berbulu seperti beruang, tetapi berdiri seperti manusia. Diperhatikan begitu rupa oleh Wisaka, dengan cepat mahluk itu berbalik dan menghilang di balik rimbun dedaunan.
"Tunggu!"
Wisaka meloncati jendela, bermaksud mengejar mahluk tersebut. Mahluk itu begitu cepatnya menghilang, sehingga Wisaka kehilangan jejak. Gambaran mahluk itu sudah terekam oleh otaknya walaupun tidak begitu jelas.
Saat Wisaka sampai ke tempat bekas berdiri mahluk tadi, bau yang tadi menyeruak samar ke dalam kamarnya seolah-olah tercium kembali. Wisaka ingat-ingat bau yang pernah diciumnya itu.
"Bau aneh ini ... aku seperti mengenalnya," Wisaka bergumam. Dia celingukan melihat kiri-kanan.
Tiba-tiba Wisaka tersentak, saat teringat bau tersebut. Bau itu adalah bau yang sama saat Wisaka datang ke tempat mayat Dayat. Bau aneh yang sangat samar, tapi Wisaka bisa menciumnya.
Wisaka secepatnya berlari menyusul mahluk tersebut. Merasa yakin kalau itu adalah pembunuh Dayat. Hanya dedaunan yang bergerak baru tersentuh sesuatu yang didapatkan, mahluk itu sudah pergi. Wisaka terlambat.
Wisaka, pemuda pendiam yang sebentar lagi akan menyunting kekasihnya, Cempaka, memperhatikan daun yang bergerak. Sesuatu berkilat tersentuh cahaya bulan yang mulai muncul. Dipetiknya daun tersebut, semacam olesan lendir menempel di daun tersebut. Saat Wisaka menciumnya, bau seperti tadi tercium lagi, bau amis yang membuatnya hampir muntah.
Krosaak ....
Bunyi ranting kering seolah-olah terinjak sesuatu. Dengan penuh kewaspadaan Wisaka berbalik dan mencari arah suara. Siapa tahu mahluk itu masih mengincarnya. Hening ... tak ada pergerakan.
Tiba-tiba Wisaka melihat seekor ular merayap tanpa suara, melesat dengan cepat, mungkin karena merasa terganggu dengan kehadirannya.
"Ah, hanya seekor ular," gumamnya.
Wisaka melihat sekeliling, menunggu pergerakan atau serangan yang mungkin terjadi. Nihil, akhirnya Wisaka memutuskan untuk kembali ke kamarnya.
Wisaka mengambil kertas dan pensil, membuat sketsa wajah dari mahluk yang baru saja dilihatnya. Keningnya berkerut, memeras ingatan, menuangkan ke dalam coretan-coretan membentuk satu lukisan yang cukup menyeramkan.
Mata semerah saga, sipit, badan berbulu seperti beruang atau orang utan, tapi dengan wajah mengerucut seperti ... ular.
"Bukankah tadi ada ular?" Wisaka berkata sendiri.
Wisaka terlonjak, tadi ada ular saat sedang sibuk mencari makhluk itu. Apakah itu ular siluman? Hatinya sibuk bertanya-tanya. Wisaka teringat ke arah mana ular itu pergi. Arah rumah Pak Amir ya, Wisaka ingat.
Wisaka bangkit, dalam gelap yang temaram, diterangi cahaya bulan dia berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah Pak Amir. Dirinya bermaksud bertamu, sambil menyelidiki tentang kejadian kemarin malam yang menimpa Dayat.
Rumah Pak Amir terletak di ujung desa, dengan rumpun bambu di belakang dan pinggir rumahnya. Bunyi batang dan daunnya menciptakan nada seram di malam dingin seperti ini. Apalagi habis terjadi tragedi yang begitu memilukan. Membuat suasana kampung begitu mencekam.
Wisaka melihat pelita kecil bergoyang-goyang tertiup angin yang masuk dari celah-celah bilik rumah Pak Amir. Wisaka berjingkat, melongokan kepala melihat ke dalam.
"Ehmm ...."
Terdengar suara dari belakang badan Wisaka. Wisaka kaget dan refleks berbalik. Terlihat Pak Amir sedang berdiri dengan tangan bersedekap di dada.
"Pak Amir, sampai kaget," kata Wisaka mencoba menetralkan suasana. Hatinya berdegup kencang melihat kehadiran Pak Amir yang tiba-tiba.
"Ada apa kamu ke sini?" tanya Pak Amir.
"Eh --aku--aa--ku sedang lewat sini, lalu ingin mampir ke rumah, Bapak," kata Wisaka gugup.
"Gak usah basa-basi, aku tahu kamu berniat menyambangiku, ayo masuk," ajak Pak Amir.
Pak Amir membukakan pintu, bau klenik menguar dari dalam rumah. Bau kemenyan dan hio dupa. Pak Tua itu memang penganutnya ilmu kejawen. Dalam hati Wisaka semakin besar kecurigaan, lelaki tua inilah pelaku pembunuhan itu.
Wisaka memasuki rumah dengan ragu, hatinya sesungguhnya kebat-kebit, takut kalau ternyata Pak Amir mahluk jadi-jadian yang dilihatnya tadi. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. "Duduklah, kita ngopi sambil ngobrol," kata Pak Amir. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Wisaka menurut, duduk menunggu Pak Amir yang sedang membuat kopi. "Apa kamu juga mencurigai aku, heh?" tanya orang tua itu. Wisaka menunduk, dia tak menjawab, tangannya sibuk memilin taplak meja. "Wajar, disaat seperti ini, semua berhak curiga," sambung Pak Amir sambil menaruh gelas yang berisi kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Wanginya memenuhi ruangan, mengaburkan bau kemenyan dan dupa. "Ayo diminum!" suruhnya. "Masih panas," jawab Wisaka. "Kamu tahu kan Awang dan Barshi, yang tadi pagi datang ngelayat?" tanya Pak Amir. "Ya, Pak, memang kenapa?" Wisaka balik bertanya. "Beberapa tahun yang lalu, tidak lama setelah pernikahan me
Wisaka mempelajari makhluk itu dari raganya yang menyerupai binatang, mencoba mencari kelemahan binatang tersebut. Tapi benarkah itu binatang asli bukan binatang jadi-jadian? Semakin banyak pertanyaan membuat kepalanya mumet, akhirnya dia tertidur. Pagi hari yang cerah, Wisaka pergi ke rumah Pak Amir. Berniat diskusi tentang rencananya untuk belajar ilmu kanuragan kepada guru Pak Amir. Pemuda itu mengutarakan semua niatnya dan Pak Amir begitu antusias mendengarnya. Wisaka juga bertanya dengan detil. Memastikan apakah ilmu yang dimiliki guru Pak Amir itu bukanlah ilmu hitam. "Sebelumnya aku ingin bertanya, Pak," kata Wisaka. "Tanya saja," jawab Pak Amir. Dia mengguncang-guncang kakinya yang bertumpu pada kaki lainnya dengan tangan mendekap lutut. "Itu termasuk ilmu hitam bukan, Pak?" tanya Wisaka hati-hati, karena takut menyinggung perasaan Pak Amir. "Bukan, itu ilmu buat membasmi ilmu hitam, tapi bukankah di atas langit masih ada langit. Tentu
Mata yang begitu tajam dan bersinar di kegelapan. Seperti bernafsu sekali ingin memangsa Wisaka. Perlahan-lahan kuku-kukunya memanjang dan meruncing. Ia menggeliat seperti cacing kepanasan. "Gerrrh." Onet yang sedang merem-merem ayam, mendengar bunyi geraman halus dari balik bilik gubuk, ia terbangun. Matanya menatap tajam ke arah ruang dalam yang terhalang bilik. Mencoba mengintip tapi tak membuat gerakan. Tiba-tiba Onet meloncat ke arah Wisaka sambil berisik. Tentu saja Wisaka kaget dan terbangun. Ia menyeringai ke arah Wisaka sambil dagunya mengarah ke dalam gubuk. Pemuda itu mengikuti dengan pandangan. Suasana hening, hanya suara binatang malam yang terdengar. "Tidak ada apa-apa, Onet, ayo tidur lagi," kata Wisaka. Onet memandang bilik di depannya, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di sana. Wisaka yang masih mengantuk mengusap kepala Onet menenangkan. Onet meloncat ke tiang gubuk. Wisaka kembali tertidur dengan pulas. Pemuda i
"Apakah Bapak melihat Onet, monyet yang menyertaiku?" tanya Wisaka. "Panggil aku Pak Ali. Aku tidak melihat siapa pun menyertaimu, aku menemukanmu hampir tenggelam terseret arus sungai," jawab Pak Ali. "Aku harus mencarinya, maaf aku harus pergi," kata Wisaka sambil bangkit dari tempat tidur. Wisaka mengaduh dengan keras saat mendapati sakit di kakinya. Dia baru sadar kalau kakinya terbalut kain. "Kakimu terkilir, Anak Muda, jangan banyak bergerak dulu," kata Pak Ali. "Namaku Wisaka, Pak," ujar Wisaka memperkenalkan diri, sambil meringis menahan sakit. Wisaka sangat menghawatirkan Onet, Apakah ia terhanyut juga bersamanya tadi? Selamatkah ia? Wisaka bertanya-tanya dalam hatinya. Pemuda itu menunduk sedih membayangkan Onet berjuang sendirian di tengah derasnya arus sungai. Sementara di luar kamar, nampak sesosok perempuan muda yang cantik dengan mata beningnya yang jernih. Ia bernama Leli putri dari pemilik rumah. Se
"Leli, tidakkah kamu merasakan keanehan? Mengapa kita selalu kembali ke tempat yang sama, kau tahu apa sebabnya?" tanya Wisaka. Leli menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawabnya singkat. Wisaka putus asa, dia mengajak Leli duduk di sebuah batu besar. Pandangannya lurus ke depan. "Leli, aku tak habis pikir mengapa kampung ini seperti bola," kata Wisaka. Leli tersenyum kecil mendengar kata-kata Wisaka yang membandingkan kampungnya seperti bola tanpa ujung. Gadis itu diam saja sambil terpekur. Mereka akhirnya kembali berjalan dan berakhir di rumah. Selama hampir seminggu Wisaka berusaha mencari jalan. Hatinya cemas, "Bagaimana aku mencapai padepokan Kyai Abdullah kalau tertahan di sini?" pikirnya. Karena penasaran dia pun bertanya kepada Pak Ali. "Pak Ali, bagaimana aku bisa menemukan jalan keluar? coba kasih tahu caranya, Pak," tanya Wisaka. "Caranya, kamu harus menikahi anakku, Leli," kata Pak Ali. "Hubungannya apa
"Mengapa aku bisa sebodoh ini, mengapa semua bisa terjadi?" Hati Wisaka bertanya-tanya. Sementara Leli hanya memandangi suaminya tersebut, tersenyum penuh arti, penuh rasa kemenangan dalam hatinya. "Kakang tak usahlah seperti itu, bukannya aku sudah menjadi istrimu?" tanya Leli. Wisaka hanya diam, dia tidak habis pikir, mengapa semua bisa terjadi? Bukankah tadi dirinya tertidur pulas, lalu mimpi itu? Mengapa seolah-olah bermimpi tapi nyata? Apakah ada ilmu seperti itu? Wisaka terlonjak dari tidurnya, kemudian duduk sambil memandang istrinya. "Apakah kamu mempunyai ilmu meraga sukma?" tanya Wisaka. "Tidak, Kakang, aku tidak tahu tentang ilmu itu," jawab Leli sambil menunduk. "Katakan dengan jujur!" Wisaka berkata tegas. "Tidak, Kakang," kata Leli ketakutan, dia mulai terisak. Wisaka tak tega kalau melihat perempuan menangis, diraihnya kepala istrinya mengusapnya sekilas. "Ya sudahlah, ayo tidur lagi," kata
Wisaka menguatkan hatinya untuk pergi malam ini juga. Leli memandangi suaminya dengan pilu. Air matanya berderai di pipinya yang putih mulus. Wisaka mengusapnya air mata Leli, sesungguhnya hatinya juga tak tega meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil. "Leli, aku takut kalau korban akan semakin banyak, kalau aku tidak cepat-cepat pergi dari sini, aku minta maaf harus meninggalkanmu," kata Wisaka sambil mengusap rambut Leli. "Apa Kakang akan kembali lagi ke sini, kalau nanti tugas Kakang sudah selesai?" tanya Leli. "Pasti, kalau Kakang selamat melawan mahluk jadi-jadian itu, tentu Kakang akan menengok anak kita," jawab Wisaka sambil menganggukkan kepalanya. Leli mengusap air matanya, dia berdiri bersiap mengantarkan Wisaka ke dapur, karena di situlah gerbang antara kehidupan siluman dan manusia. Leli mengerti, tugas yang diemban Wisaka sangat mulia. Mereka berjalan beriringan. "Sampaikan salamku kepada bapak dan ibu, sengaja Kakang tidak berpa
"Tujuan kita ternyata sama, aku juga berniat ke tempat itu," kata Wisaka. Faruq kaget sekaligus merasa gembira, ada teman seperjalanan nantinya. Wittwiww .... Wisaka bersuit keras, Onet yang masih di atas pohon, cepat-cepat turun, lalu menyerahkan buntalan ke arah Wisaka. Wisaka menerimanya lalu menyerahkan kepada Faruq. Faruq memandang heran kepada Onet, Onet menyeringai ke arahnya. Faruq mundur takut disergap, Wisaka hanya tertawa. "Ini Onet, teman yang menyertai perjalananku," Wisaka memperkenalkan Onet kepada Faruq. Faruq tertawa melihat Onet yang memandangnya, mungkin Onet heran melihat badannya yang gendut. "Sini, Onet, bersalaman dengannya," Faruq berkata sambil melambaikan tangannya ke arah Onet. Onet beranjak, menjabat tangan Faruq, lalu ... jleng, ia meloncat ke bahu Faruq, membuat Faruq kaget dan terjengkang, terduduk di tanah. Wisaka tertawa melihat kelakuan Onet. Dengan susah payah Faruq bangun. "Si