Dayat tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan hatinya saat semua orang yang hadir menggodanya. Begitu pun saat Pak Amir tetangganya yang berdandan nyentrik bagai dukun ilmu hitam menggodanya.
"Kamu tahu kan, seramnya malam pertama?" tanyanya kepada Dayat.
Dayat hanya menggeleng disambut gelak tawa teman-temannya.
"Apanya yang seram, ceritakan dong," kata Umar.
"Saking seramnya, kamu bisa mati berdiri," katanya serius.
Keseriusannya disambut olok-olok oleh semua laki-laki yang sedang sibuk ngopi sambil bercanda itu, tak seorang pun menganggapnya serius, apalagi bagi yang sudah berpengalaman menikah, malam pengantin tak seseram itu.
Setelah ngobrol ngalor-ngidul, saat tengah malam Pak Amir pamit hendak pulang. Dayat mengantarkan sampai pelataran depan rumahnya yang rimbun karena pohon mangga.
Saat memalingkan muka dari tatapannya pada punggung Pak Amir yang kian menjauh, tanpa sengaja ekor matanya melihat sesosok tubuh perempuan berpakaian gelap.
"Kang."
Satu suara lembut menyapa telinganya. Tanda bahaya sesungguhnya berdering di benaknya,, dia teringat dengan kejadian yang menimpa Firman. Tapi rasa penasaran membuatnya malah melangkah mendekati perempuan tersebut.
Sudah mau menjadi pengantin, jiwa petualang laki-laki masih saja menggoda. Dasar laki-laki, sama saja di mana-mana, susah menjaga pandangan.
"Kang!"
Wanita itu memanggilnya semakin keras. Sekilas pandangan Dayat seolah menangkap bayangan Enok pada diri wanita tersebut. Ia tajamkan lagi pandanganya. Berusaha memupus keheranannya. Mengapa Enok berkeliaran di malam hari?
Dayat semakin dekat dengan wanita yang sudah tersenyum manis sejak tadi. Menebar pesona menjala asmara. Dayat menjadi panas dingin dibuatnya. Dengan hati yang semakin berdebar ia terus berjalan mendekat.
"Akang, mengapa lama sekali?"
Dia merajuk. Wanita itu meraih tangan Dayat, harum tubuhnya menyapu lembut hidung Dayat. Tak mampu lagi menolak saat wanita itu menuntunnya semakin menjauh dari rumah. Sesaat kemudian Dayat sadar itu bukan Enok, kekasihnya.
Tapi Dayat merasa penasaran, mengapa ada wanita cantik di tengah keremangan malam. Rasa penasaran yang akan berakhir petaka. Wanita yang penuh bisa berbekal rayuan maut, bertemu dengan pemuda lugu yang penuh rasa ingin tahu.
"Kamu tak sabar ya, Sayang?" tanya Dayat sambil tersenyum.
Dayat tak lagi ingat akan pengantinnya, melambung perasaannya terkena gendam wanita cantik di hadapannya. Terbius oleh pesona dan cumbuan liar.
"Ih, Akang, begitu aja gak ngerti," wanita itu mengerling genit.
Rembulan yang bersinar penuh menjadi saksi kebejatan mereka. Angin seolah turut andil mengipasi badan-badan bugil mereka. Kesejukan perlahan melenakan dua insan yang sedang meniti tangga asmara.
Sepasang mata merah nan sipit , mengawasi dari kejauhan. Kilatan cemburu sesaat berkelebat. Secepat kilat pula ia berlalu tanpa bersuara. Badannya meliuk membelah kabut yang mulai turun.
"Sabarlah," kata Dayat sambil memeluk.
Tangannya seolah memegangi sesuatu yang licin. Tersentak setelah menyadari, tetapi terlambat. Belitan wanita itu semakin keras seperti mau merontokkan tulang-belulang. Lidahnya menjilat leher Dayat sebelum giginya akhirnya tertancap dan membuat Dayat melolong kesakitan.
"Arrrgh ... tolong!!"
********
Pak Amir yang baru saja sampai ke rumahnya, begitu mendengar teriakan histeris, langsung melompat kembali keluar dari rumahnya. Bergegas lari mencari arah suara.
“Makhluk najis, lepaskan Dayat!” teriak pria paruh baya itu seraya menuding ke arah makhluk berkepala ular dan bertubuh orang utan itu.
‘Itu Iprit!’batin pria itu seraya mengerutkan keningnya.
Makhluk yang dipanggil Iprit itu menarik diri dari mangsanya, seorang pria muda yang tidak berbusana di atas tanah. Kemudian, dengan tatapan menyala, Iprit itu melesat ke arah pria paruh baya itu.
Walau kecepatan makhluk itu luar biasa cepat, Pak Amir masih mampu mengimbanginya. Kentara jelas bahwa pria paruh baya itu adalah seorang ahli bela diri.
Pergulatan terjadi antara Iprit dan Pak Amir. Di saat sang pria paruh baya terjengkal ke belakang dengan punggung menabrak tanah, makhluk itu melompat ke atas tubuh pria tersebut dan berusaha membenamkan taringnya ke dalam leher lawannya. Beruntung, tangan pria itu masih sempat menahan kepala Iprit itu dari mendekat.
"Sial, apa aku akan kalah di sini!?" teriak Pak Amir dalam hati dengan keringat mengalir menuruni pelipisnya.
Mendadak, terdengar suara-suara teriakan dari kejauhan.
“Dayat! Dayat!”
Teriakan tersebut semakin lama semakin besar, menandakan sejumlah orang sedang menghampiri tempat itu.
Mendengar hal itu, Iprit tersebut mendesis, kemungkinan kesal dengan gangguan mendadak tersebut. Dengan cepat dia bangkit menjauhi tubuh sang pria paruh baya, lalu menghilang di balik kegelapan.
Tepat pada saat itu, sejumlah orang melihat sosok pria paruh baya yang terbaring di tanah dengan pakaiannya yang kotor.
“Pak Amir?” ujar seorang pemuda dengan nada bertanya-tanya.
Pak Amir yang terbaring di tanah menoleh, menatap sosok pemuda yang memimpin pencarian malam itu.
“Wisaka ....”
Wisaka mengerutkan kening, lalu pandangannya beralih kepada satu sosok lain yang terbaring tak berdaya di bawah pohon rindang. Mata pemuda itu terbelalak, lalu dia berteriak, “Dayat!” Dengan tangan menopang kepala sahabatnya yang wajahnya pucat pasi, pemuda itu menampar pelan wajah temannya, berusaha menyadarkannya.
“Dayat! Sadar!”
Melihat pemandangan di hadapan mereka, para penduduk yang berada di sana segera menatap Pak Amir dengan wajah curiga.
“Pak Amir, apa yang sebenarnya terjadi di sini?!”
Penduduk geger kembali. Wajah-wajah pucat mengelilingi sesosok tubuh dengan kondisi mengenaskan, hitam, gosong. Bisik-bisik penuh kecurigaan tertuju kepada Pak Amir yang berada dekat Dayat.
"Sttt, mengapa Pak Amir ada di sini?" tanya seseorang hampir tidak kedengaran.
"Entahlah," jawab yang lain sambil menggeleng.
"Dayat masih hidup, ayo, angkat!" suruh tetua kampung.
Dayat yang sedang sakratul maut, diangkat warga. Tetapi karena mahluk itu sudah mengisap banyak sekali darahnya, ia meninggal di perjalanan. Penduduk shock dengan kejadian yang ternyata masih terulang dengan kejadian yang hampir mereka lupakan.
Baru saja mereka makan dan ngopi bareng, sekarang maut sudah memisahkan. Tersadar akan satu kenyataan, malaikat maut itu ternyata begitu dekat, berbaur dengan kehidupan mereka sehari-hari.
Tatapan curiga penuh tuduhan di tujukan kepada Pak Amir, yang terakhir bersama dengan Dayat seolah menjadi terdakwa.
"Ia meminta jiwa lagi," hampir tak terdengar, Pak Amir bergumam. Wajahnya mendongak ke atas, seolah-olah mencari sesuatu di antara noda-noda hitam pada lingkaran bulan yang sedang bersinar sempurna.
Orang-orang yang tidak mendengar gumaman Pak Amir, memandang curiga. Hati menduga-duga penuh prasangka.
"Pak Amir, bukankah tadi Dayat bersama dengan Pak Amir?" tanya salah seorang warga memberanikan diri.
"Iya, Dayat Pak Amir apakan sampai seperti ini?" tanya yang lain menimpali.
Pak Amir kaget mendengar tuduhan warga, sejenak ia terdiam. Setelah menghela napas ia maju ke dekat mayat Dayat. Mengambil sesuatu dengan jarinya.
"Lihatlah! Apa yang ada di jariku?" tanyanya. "Ini adalah cairan sperma, apakah aku sebagai laki-laki, memperkosa laki-laki?"
Warga tertunduk tanpa ada yang berani menjawab.
"Ayo, semuanya kita lakukan, apa yang harus dilakukan, jangan pikiran kalian dikotori oleh prasangka buruk, aku berada di sini bermaksud menolong dia," kata Pak Amir.
Akhirnya warga beranjak dan menggotong kembali mayat Dayat untuk dibawa pulang. Menyimpan kecurigaan mereka dalam hati terhadap Pak Amir.
Kegegeran yang sama terulang kembali seperti saat dulu menemukan mayat Firman. Desas-desus berkembang, ditambah bumbu di sana-sini.
Hari hampir subuh. Masyarakat sibuk menyiapkan pemakaman. Pelayat sudah mulai berdatangan. Wajah mereka diliputi kecemasan. Kematian yang sangat mengenaskan dan kontroversi. Mereka takut korban berikutnya tidak hanya menimpa pengantin saja.
Wisaka datang melayat. Mukanya pucat pasi. pemuda itu kelihatan shock dengan kejadian tadi malam.
"Hati-hati, kamu bukannya calon pengantin juga?" kata Umar setengah bertanya.
"Iya, hatiku juga takut sebenarnya, tapi masalah ini tidak boleh dibiarkan, harus kita selidiki," kata Wisaka.
"Aku mana berani berurusan dengan yang beginian," kata Umar sambil bergidik.
"Kalau bukan kita, siapa lagi?" tanya Wisaka.
"Yang jelas bukan aku, ilmuku gak mumpuni untuk melawan mahluk tersebut," jawab Umar.
"Jadi, kita harus bagaimana?" Wisaka bertanya lagi.
"Entahlah," jawab Umar sambil menerawang.
Wisaka dan Umar terdiam, pandangan mereka tertuju kepada pelayat yang baru datang. Sepasang suami istri yang tampak selalu awet muda. Perempuannya cantik dan laki-lakinya ganteng.
Walau jarang keluar rumah, tapi kehadirannya mampu menjadi pusat perhatian seluruh warga yang hadir. Sejak kepergian mereka setahun silam, wajah mereka semakin hari semakin berubah. Bukannya lebih tua atau lebih jelek, tetapi semakin cantik berseri bagi si wanita dan ganteng berwibawa bagi yang laki.
Awang dan Barshi, demikian nama mereka. Tanpa bicara apapun, mereka menyalami warga yang hadir. Mereka memang tidak banyak bicara, cuma tersenyum tipis.
Wajah cantik dan kulit bening Barshi mampu membuat para pria, menelan ludah.
Kehadiran mereka juga memancing perhatian Pak Amir. Ia menatap tajam pasangan tersebut. Warga yang menyadari pandangan Pak Amir, ada yang diam-diam berbisik.
"Lihatlah, orang tua saja tertarik dengan kemolekan Barshi," bisik pria salah satu warga.
"Iya, apalagi dia sudah lama menduda, pikirannya udah kemana-mana itu." Sambil senyum ditahan yang lain menimpali sambil tetap berbisik.
Pak Amir yang merasa kalau dia sedang menjadi perhatian orang, cepat mengalihkan pandangannya. Dirinya yang sudah dicurigai menjadi pembunuh Dayat, tak mau kalau kepergok berbuat tak senonoh dengan memperhatikan istri orang lain.
Apakah Pak Amir memang seperti dugaan orang? Mempunyai ilmu hitam? Mengapa tidak bercerita kepada penduduk, kalau dia sudah melihat mahluk aneh?
Pertanyaan itu mulai merayapi kepala warga kampung. Sikap waspada takut terjadi sesuatu, otomatis ada dalam diri masing-masing. Melindungi diri sendiri cari aman. Sadar menjadi pusat perhatian, Awang dan Barshi, cepat-cepat berpamitan kepada orang-orang di sekitarnya. Apalagi hari hampir siang, matahari sudah menampakkan sinarnya. "Sialan, mata penduduk seperti menelanjangiku." Barshi bersungut-sungut sesampainya di rumah. "Mereka gak pernah lihat perempuan cantik apa?" "Dasar katrok, sebel!" teriaknya. "Sudahlah sabar," kata suaminya menghibur. Sudah bukan rahasia lagi, kalau Awang dan Barshi mempunyai alergi terhadap sinar matahari. Mereka akan betah mengurung diri di dalam rumah tanpa keluar, karena takut dengan sinar matahari. Dulu, mereka mempunyai penyakit aneh, seluruh tubuh akan penuh dengan bilur-bilur merah. Seolah-olah terbakar, rasanya panas, jikalau terkena sinar matahari. Mak Ijah ibunya Barshi, merasa her
Wisaka memasuki rumah dengan ragu, hatinya sesungguhnya kebat-kebit, takut kalau ternyata Pak Amir mahluk jadi-jadian yang dilihatnya tadi. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. "Duduklah, kita ngopi sambil ngobrol," kata Pak Amir. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Wisaka menurut, duduk menunggu Pak Amir yang sedang membuat kopi. "Apa kamu juga mencurigai aku, heh?" tanya orang tua itu. Wisaka menunduk, dia tak menjawab, tangannya sibuk memilin taplak meja. "Wajar, disaat seperti ini, semua berhak curiga," sambung Pak Amir sambil menaruh gelas yang berisi kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Wanginya memenuhi ruangan, mengaburkan bau kemenyan dan dupa. "Ayo diminum!" suruhnya. "Masih panas," jawab Wisaka. "Kamu tahu kan Awang dan Barshi, yang tadi pagi datang ngelayat?" tanya Pak Amir. "Ya, Pak, memang kenapa?" Wisaka balik bertanya. "Beberapa tahun yang lalu, tidak lama setelah pernikahan me
Wisaka mempelajari makhluk itu dari raganya yang menyerupai binatang, mencoba mencari kelemahan binatang tersebut. Tapi benarkah itu binatang asli bukan binatang jadi-jadian? Semakin banyak pertanyaan membuat kepalanya mumet, akhirnya dia tertidur. Pagi hari yang cerah, Wisaka pergi ke rumah Pak Amir. Berniat diskusi tentang rencananya untuk belajar ilmu kanuragan kepada guru Pak Amir. Pemuda itu mengutarakan semua niatnya dan Pak Amir begitu antusias mendengarnya. Wisaka juga bertanya dengan detil. Memastikan apakah ilmu yang dimiliki guru Pak Amir itu bukanlah ilmu hitam. "Sebelumnya aku ingin bertanya, Pak," kata Wisaka. "Tanya saja," jawab Pak Amir. Dia mengguncang-guncang kakinya yang bertumpu pada kaki lainnya dengan tangan mendekap lutut. "Itu termasuk ilmu hitam bukan, Pak?" tanya Wisaka hati-hati, karena takut menyinggung perasaan Pak Amir. "Bukan, itu ilmu buat membasmi ilmu hitam, tapi bukankah di atas langit masih ada langit. Tentu
Mata yang begitu tajam dan bersinar di kegelapan. Seperti bernafsu sekali ingin memangsa Wisaka. Perlahan-lahan kuku-kukunya memanjang dan meruncing. Ia menggeliat seperti cacing kepanasan. "Gerrrh." Onet yang sedang merem-merem ayam, mendengar bunyi geraman halus dari balik bilik gubuk, ia terbangun. Matanya menatap tajam ke arah ruang dalam yang terhalang bilik. Mencoba mengintip tapi tak membuat gerakan. Tiba-tiba Onet meloncat ke arah Wisaka sambil berisik. Tentu saja Wisaka kaget dan terbangun. Ia menyeringai ke arah Wisaka sambil dagunya mengarah ke dalam gubuk. Pemuda itu mengikuti dengan pandangan. Suasana hening, hanya suara binatang malam yang terdengar. "Tidak ada apa-apa, Onet, ayo tidur lagi," kata Wisaka. Onet memandang bilik di depannya, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di sana. Wisaka yang masih mengantuk mengusap kepala Onet menenangkan. Onet meloncat ke tiang gubuk. Wisaka kembali tertidur dengan pulas. Pemuda i
"Apakah Bapak melihat Onet, monyet yang menyertaiku?" tanya Wisaka. "Panggil aku Pak Ali. Aku tidak melihat siapa pun menyertaimu, aku menemukanmu hampir tenggelam terseret arus sungai," jawab Pak Ali. "Aku harus mencarinya, maaf aku harus pergi," kata Wisaka sambil bangkit dari tempat tidur. Wisaka mengaduh dengan keras saat mendapati sakit di kakinya. Dia baru sadar kalau kakinya terbalut kain. "Kakimu terkilir, Anak Muda, jangan banyak bergerak dulu," kata Pak Ali. "Namaku Wisaka, Pak," ujar Wisaka memperkenalkan diri, sambil meringis menahan sakit. Wisaka sangat menghawatirkan Onet, Apakah ia terhanyut juga bersamanya tadi? Selamatkah ia? Wisaka bertanya-tanya dalam hatinya. Pemuda itu menunduk sedih membayangkan Onet berjuang sendirian di tengah derasnya arus sungai. Sementara di luar kamar, nampak sesosok perempuan muda yang cantik dengan mata beningnya yang jernih. Ia bernama Leli putri dari pemilik rumah. Se
"Leli, tidakkah kamu merasakan keanehan? Mengapa kita selalu kembali ke tempat yang sama, kau tahu apa sebabnya?" tanya Wisaka. Leli menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawabnya singkat. Wisaka putus asa, dia mengajak Leli duduk di sebuah batu besar. Pandangannya lurus ke depan. "Leli, aku tak habis pikir mengapa kampung ini seperti bola," kata Wisaka. Leli tersenyum kecil mendengar kata-kata Wisaka yang membandingkan kampungnya seperti bola tanpa ujung. Gadis itu diam saja sambil terpekur. Mereka akhirnya kembali berjalan dan berakhir di rumah. Selama hampir seminggu Wisaka berusaha mencari jalan. Hatinya cemas, "Bagaimana aku mencapai padepokan Kyai Abdullah kalau tertahan di sini?" pikirnya. Karena penasaran dia pun bertanya kepada Pak Ali. "Pak Ali, bagaimana aku bisa menemukan jalan keluar? coba kasih tahu caranya, Pak," tanya Wisaka. "Caranya, kamu harus menikahi anakku, Leli," kata Pak Ali. "Hubungannya apa
"Mengapa aku bisa sebodoh ini, mengapa semua bisa terjadi?" Hati Wisaka bertanya-tanya. Sementara Leli hanya memandangi suaminya tersebut, tersenyum penuh arti, penuh rasa kemenangan dalam hatinya. "Kakang tak usahlah seperti itu, bukannya aku sudah menjadi istrimu?" tanya Leli. Wisaka hanya diam, dia tidak habis pikir, mengapa semua bisa terjadi? Bukankah tadi dirinya tertidur pulas, lalu mimpi itu? Mengapa seolah-olah bermimpi tapi nyata? Apakah ada ilmu seperti itu? Wisaka terlonjak dari tidurnya, kemudian duduk sambil memandang istrinya. "Apakah kamu mempunyai ilmu meraga sukma?" tanya Wisaka. "Tidak, Kakang, aku tidak tahu tentang ilmu itu," jawab Leli sambil menunduk. "Katakan dengan jujur!" Wisaka berkata tegas. "Tidak, Kakang," kata Leli ketakutan, dia mulai terisak. Wisaka tak tega kalau melihat perempuan menangis, diraihnya kepala istrinya mengusapnya sekilas. "Ya sudahlah, ayo tidur lagi," kata
Wisaka menguatkan hatinya untuk pergi malam ini juga. Leli memandangi suaminya dengan pilu. Air matanya berderai di pipinya yang putih mulus. Wisaka mengusapnya air mata Leli, sesungguhnya hatinya juga tak tega meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil. "Leli, aku takut kalau korban akan semakin banyak, kalau aku tidak cepat-cepat pergi dari sini, aku minta maaf harus meninggalkanmu," kata Wisaka sambil mengusap rambut Leli. "Apa Kakang akan kembali lagi ke sini, kalau nanti tugas Kakang sudah selesai?" tanya Leli. "Pasti, kalau Kakang selamat melawan mahluk jadi-jadian itu, tentu Kakang akan menengok anak kita," jawab Wisaka sambil menganggukkan kepalanya. Leli mengusap air matanya, dia berdiri bersiap mengantarkan Wisaka ke dapur, karena di situlah gerbang antara kehidupan siluman dan manusia. Leli mengerti, tugas yang diemban Wisaka sangat mulia. Mereka berjalan beriringan. "Sampaikan salamku kepada bapak dan ibu, sengaja Kakang tidak berpa