Teriakan dari arah kamar Sulastri membuat orang-orang bangun, begitu pula dengan Kang Saep yang berada di luar segera masuk, ingin segera tahu apa yang terjadi.
"Sulastri hilang, dia tidak berada di kamarnya!"
Orang-orang sibuk mencari Sulastri ke sana-sini. Menyisir semak-semak sekitar rumah. Nihil, karena malam yang masih gelap.
"Bawa obor ke sini!" Salah seorang warga berteriak.
Terlihat samar-samar ada sosok putih di kejauhan, semua warga menuju ke sana. Dengan penuh kewaspadaan mereka mendekati sosok tersebut.
"Ya Allah Gusti, Sulastri!"
Hampir berbarengan para perempuan yang ikut mencari berteriak. Ternyata sosok putih itu itu adalah Sulastri yang duduk dengan baju acak-acakan dan keadaan jiwa yang memilukan.
Sulastri memandang kosong ke depan mukanya tanpa ekspresi, seperti orang yang shock berat. Bagaikan baru melihat makhluk mengerikan. Keadaan Sulastri yang memakai baju acak-acakan, menjadikan ibu-ibu berbisik-bisik. Apalagi setelah melihat bercak darah di kain yang seharusnya dipakai Sulastri besok pagi buat akad nikah.
Mereka menduga-duga kalau Sulastri ada yang memperkosanya. Tapi siapa? Seumur-umur hidup di desa yang tentram ini, tidak pernah ada kejahatan apa pun, apalagi sekelas perkosaan seperti ini.
Krossakk ....
Tiba-tiba terdengar bunyi daun kering yang terinjak sesuatu. Cepat-cepat salah satu penduduk mengarahkan obor, ternyata seekor ular yang merasa terganggu, melarikan diri karena merasa terancam.
"Ahh ... hanya ular, biarkan ia pergi, kita harus secepatnya membawa Sulastri ke rumahnya, biar Pak Ustadz kasih air adem," kata salah satu penduduk. Mereka memang sudah biasa minta air kepada ustadz atau Kyai kalau ada yang sakit atau kemasukan roh jahat. Mereka percaya doa mereka masih manjur mengobati penyakit.
Sulastri dibawa ke rumah. Dia tidak bisa ditanya, membisu dan hanya memandang kosong. Begitu juga setelah dikasih air doa, Sulastri seperti kehilangan jiwanya.
Sementara di rumah Firman, keramaian semula hajat pernikahan, sekarang berubah menjadi keramaian karena kematian. Orang tua Firman menangis, apalagi ibunya Firman. Saat pemakaman wanita tua itu menjerit histeris lalu pingsan.
Mayat Firman yang telanjang memunculkan spekulasi tersendiri di antara penduduk, apalagi di kalangan para bujangan teman Firman.
"Betulkah ada cairan sperma di mayat almarhum?" tanya Dayat kepada Wisaka, suaranya berbisik hampir tak terdengar.
"Sstttt ... diamlah," jawab Wisaka sembari meletakkan telunjuk di bibirnya.
"Itu berarti sebelum kematiannya, dia berhubungan badan dengan mahluk tersebut," kata Dayat lagi masih saja ngeyel.
"Diam ... diam!" Wisaka berkata tegas.
"Sungguh tak etis membicarakan keburukan almarhum saat liang lahatnya tengah digali. Memang banyak kejanggalan atas kematiannya, tapi untuk tidak menyakiti perasaan keluarga yang ditinggalkannya, lebih baik jangan bertanya apa pun di sini, paham kan," lanjut Wisaka pelan.
Dayat menganggukkan kepalanya, walau rasa penasaran masih menggelayuti hatinya. Penasaran apakah benar ada cairan sperma di jenazah Firman? Berarti dia sempat berhubungan badan dengan pembunuh sadis itu. Apakah dia seorang perempuan?
Pertanyaan-pertanyaan yang sama sebenarnya juga memenuhi benak masyarakat. Tapi demi menghormati keluarga mereka diam dan membantu persiapan penguburan. Sore hari barulah semua proses pemakaman selesai.
Namun, desas-desus di masyarakat tidak selesai dengan terpendamnya jasad Firman ke dalam tanah. Berbagai rekaan cerita bermunculan. Semua tidak ada yang yakin dengan ceritanya sendiri, hanya menduga-duga serta merunut kejadian dan menyambungkannya.
Sulastri juga sejak mengalami kejadian tersebut, tak dapat lagi berbicara seperti biasanya. Duduk diam termangu dengan tatapan mata yang kosong. Keluarganya begitu terpukul dengan keadaan Sulastri, mereka memantau perkembangan Sulastri, takutnya Sulastri hamil karena perbuatan mahluk tersebut.
"Sulastri, sadar ... Emak gak ada teman ngobrol kalau kamu diem saja." Emak Lastri meratap sambil mengusap rambut anaknya.
Air matanya jatuh berderai, hatinya hancur. Wanita itu begitu dendamnya kepada orang yang telah menodai anaknya.
"Akan kucari kamu, Iblis laknat! Akan kucari!" teriaknya seraya menangis sambil memukul-mukul betisnya sendiri.
"Sabar, Ceu ... sabar."
Tak urung para tamu berlinang air mata juga. Walaupun berusaha untuk menyabarkan.
*******
Seiring perjalanan waktu, kejadian tersebut mulai dilupakan warga, apalagi sudah ada lagi pernikahan-pernikahan selanjut yang dilaksanakan di kampung tersebut. Ternyata tidak terjadi apa-apa.
Walau pernikahan mereka penuh kegelapan di malam harinya karena cahaya bulan belum nampak di tanggal-tanggal awal. Masyarakat begitu waspada menjaga kedua pengantin takut kejadian seperti Firman dan Sulastri terulang kembali.
Pertengahan bulan ke-satu penanggalan Jawa, pesta pernikahan Dayat dan Enok akan dilangsungkan. Berbagai persiapan sudah nampak. Hiasan janur yang dirangkai sudah menghiasi rumah Enok sebagai tempat dilaksanakannya akad nikah esok hari.
Bau masakan sudah menguar dari dapur saat tetangga yang datang membantu memasak daging yang sudah dipotong para lelaki tadi.
Rasanya tak sabar bagi Enok menunggu hari esok. Ia gelisah di kamarnya. Susah sekali memejamkan mata agar terlelap, menghadap kanan masih melek, menghadap kiri masih juga melotot. Akhirnya ia merasa ingin buang air kecil.
Dengan berjingkat-jingkat takut mengganggu orang-orang, Enok pergi menuju kamar mandi yang terletak di luar ruangan.
"Mau kemana?" suara Diah temannya mengagetkannya.
"Ish ngagetin aja, kebelet nih, mau pipis," jawab Enok.
"Mau diantar?" tanya Diah lagi.
"Gak usah, terang bulan ini," kata Enok sambil berlalu.
"Jangan lupa, cuci yang bersih!" kata Diah sambil cekikikan.
Enok bergegas pergi ke jamban, setelah menuntaskan hajatnya dia cepat-cepat masuk rumah kembali.
"Enok ...."
Satu suara berhasil memalingkan wajahnya. Dia kaget mengapa Dayat ada di samping rumahnya. Enok beranjak menemuinya.
"Kang ... ," kata Enok pelan.
"Sssst ... sini!" ajak Dayat sambil melambaikan tangan.
"Ada apa?" tanya Enok.
Dayat tidak menjawab malah menuntun Enok menjauhi rumah.
"Mau ke mana, Kang?" Enok bertanya lagi.
"Kita duduk di sana," kata Dayat menunjuk hamparan batu tak jauh dari rumah Enok, tampak redup karena terlindungi pohon.
Mereka pun duduk bersebelahan, Dayat melingkarkan tangannya di pundak Enok, sementara tangan yang lain menggenggam tangannya. Enok merasakan debaran-debaran yang memabukkan. Rembulan yang bersinar sempurna menambah indah suasana.
Dayat semakin berani melakukan aksi yang lain, yang membuat mereka lupa diri. Dayat merebahkan Enok di batu, tapi wanita calon pengantin itu segera tersadar dengan apa yang mereka lakukan.
"Kang, sabar besok kan kita menikah," kata Enok bermaksud meredam nafsu Dayat.
Laki-laki itu tidak menjawab, dia malah mendekatkan wajahnya ke wajah calon istrinya itu, seketika Enok tersadar, laki-laki itu bukanlah calon suaminya, ingin menjerit tapi satu tiupan dari mulut laki-laki itu membuatnya kehilangan suara dan kekuatannya.
Dengan hati-hati, dibaringkan tubuh wanita malang tersebut. Dibukanya kancing-kancing baju Enok, sehingga pemandangan di depan laki-laki itu semakin membuat nafsunya naik ke ubun-ubun. Lelaki itu mulai menjamah wanita yang kini sudah menjadi miliknya, tanpa menghiraukan air mata yang berderai.
"Sayang, kau akan menjadi pengantinku malam ini," bisiknya. Lidahnya yang sekilas terkena cahaya bulan, ternyata bercabang, mulai menjilati leher wanita yang disebut pengantinnya.
Dayat samaran itu melampiaskan hasratnya kepada wanita yang sudah tidak berdaya. Dia sangat menikmati setiap inci tubuh perawan desa itu. Seperti seorang pengembara, yang kehausan dan menemukan mata air.
Enok yang tidak dapat berbicara lagi, sekilas tercium olehnya bau tak sedap dari badan Dayat palsu, seperti bau amis. Dalam ketidak-berdayaan tersebut, Enok masih bisa merasakan sensasi yang ditimbulkan oleh mahluk tersebut.
Mahluk itu terlalu pintar mempermainkan tubuh Enok, sehingga Enok melupakan sejenak dengan keadaan dirinya. Lupa orang tersebut bukanlah pacarnya. Di antara rasa yang belum pernah dialaminya, Enok ingin menjerit tapi tak berdaya.
Sesaat semua terjadi dan merenggut apa yang selama ini dipertahankan Enok. Semuanya terenggut beserta jiwanya yang ikut terguncang. Walaupun berusaha mengumpulkan seluruh ingatannya, tetap saja seperti ada kabut di dalam memori otaknya.
Manusia bejat itu menyeringai penuh kepuasan, kemudian mulai menjilati lagi leher Enok yang pingsan.
"Aku beri engkau pengalaman tak terlupakan, Sayang," desisnya.
Dayat tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan hatinya saat semua orang yang hadir menggodanya. Begitu pun saat Pak Amir tetangganya yang berdandan nyentrik bagai dukun ilmu hitam menggodanya. "Kamu tahu kan, seramnya malam pertama?" tanyanya kepada Dayat. Dayat hanya menggeleng disambut gelak tawa teman-temannya. "Apanya yang seram, ceritakan dong," kata Umar. "Saking seramnya, kamu bisa mati berdiri," katanya serius. Keseriusannya disambut olok-olok oleh semua laki-laki yang sedang sibuk ngopi sambil bercanda itu, tak seorang pun menganggapnya serius, apalagi bagi yang sudah berpengalaman menikah, malam pengantin tak seseram itu. Setelah ngobrol ngalor-ngidul, saat tengah malam Pak Amir pamit hendak pulang. Dayat mengantarkan sampai pelataran depan rumahnya yang rimbun karena pohon mangga. Saat memalingkan muka dari tatapannya pada punggung Pak Amir yang kian menjauh, tanpa sengaja ekor matanya melihat sesosok tubuh perempuan be
Pertanyaan itu mulai merayapi kepala warga kampung. Sikap waspada takut terjadi sesuatu, otomatis ada dalam diri masing-masing. Melindungi diri sendiri cari aman. Sadar menjadi pusat perhatian, Awang dan Barshi, cepat-cepat berpamitan kepada orang-orang di sekitarnya. Apalagi hari hampir siang, matahari sudah menampakkan sinarnya. "Sialan, mata penduduk seperti menelanjangiku." Barshi bersungut-sungut sesampainya di rumah. "Mereka gak pernah lihat perempuan cantik apa?" "Dasar katrok, sebel!" teriaknya. "Sudahlah sabar," kata suaminya menghibur. Sudah bukan rahasia lagi, kalau Awang dan Barshi mempunyai alergi terhadap sinar matahari. Mereka akan betah mengurung diri di dalam rumah tanpa keluar, karena takut dengan sinar matahari. Dulu, mereka mempunyai penyakit aneh, seluruh tubuh akan penuh dengan bilur-bilur merah. Seolah-olah terbakar, rasanya panas, jikalau terkena sinar matahari. Mak Ijah ibunya Barshi, merasa her
Wisaka memasuki rumah dengan ragu, hatinya sesungguhnya kebat-kebit, takut kalau ternyata Pak Amir mahluk jadi-jadian yang dilihatnya tadi. Namun, rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. "Duduklah, kita ngopi sambil ngobrol," kata Pak Amir. Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Wisaka menurut, duduk menunggu Pak Amir yang sedang membuat kopi. "Apa kamu juga mencurigai aku, heh?" tanya orang tua itu. Wisaka menunduk, dia tak menjawab, tangannya sibuk memilin taplak meja. "Wajar, disaat seperti ini, semua berhak curiga," sambung Pak Amir sambil menaruh gelas yang berisi kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Wanginya memenuhi ruangan, mengaburkan bau kemenyan dan dupa. "Ayo diminum!" suruhnya. "Masih panas," jawab Wisaka. "Kamu tahu kan Awang dan Barshi, yang tadi pagi datang ngelayat?" tanya Pak Amir. "Ya, Pak, memang kenapa?" Wisaka balik bertanya. "Beberapa tahun yang lalu, tidak lama setelah pernikahan me
Wisaka mempelajari makhluk itu dari raganya yang menyerupai binatang, mencoba mencari kelemahan binatang tersebut. Tapi benarkah itu binatang asli bukan binatang jadi-jadian? Semakin banyak pertanyaan membuat kepalanya mumet, akhirnya dia tertidur. Pagi hari yang cerah, Wisaka pergi ke rumah Pak Amir. Berniat diskusi tentang rencananya untuk belajar ilmu kanuragan kepada guru Pak Amir. Pemuda itu mengutarakan semua niatnya dan Pak Amir begitu antusias mendengarnya. Wisaka juga bertanya dengan detil. Memastikan apakah ilmu yang dimiliki guru Pak Amir itu bukanlah ilmu hitam. "Sebelumnya aku ingin bertanya, Pak," kata Wisaka. "Tanya saja," jawab Pak Amir. Dia mengguncang-guncang kakinya yang bertumpu pada kaki lainnya dengan tangan mendekap lutut. "Itu termasuk ilmu hitam bukan, Pak?" tanya Wisaka hati-hati, karena takut menyinggung perasaan Pak Amir. "Bukan, itu ilmu buat membasmi ilmu hitam, tapi bukankah di atas langit masih ada langit. Tentu
Mata yang begitu tajam dan bersinar di kegelapan. Seperti bernafsu sekali ingin memangsa Wisaka. Perlahan-lahan kuku-kukunya memanjang dan meruncing. Ia menggeliat seperti cacing kepanasan. "Gerrrh." Onet yang sedang merem-merem ayam, mendengar bunyi geraman halus dari balik bilik gubuk, ia terbangun. Matanya menatap tajam ke arah ruang dalam yang terhalang bilik. Mencoba mengintip tapi tak membuat gerakan. Tiba-tiba Onet meloncat ke arah Wisaka sambil berisik. Tentu saja Wisaka kaget dan terbangun. Ia menyeringai ke arah Wisaka sambil dagunya mengarah ke dalam gubuk. Pemuda itu mengikuti dengan pandangan. Suasana hening, hanya suara binatang malam yang terdengar. "Tidak ada apa-apa, Onet, ayo tidur lagi," kata Wisaka. Onet memandang bilik di depannya, seolah-olah ada sesuatu yang mengintai di sana. Wisaka yang masih mengantuk mengusap kepala Onet menenangkan. Onet meloncat ke tiang gubuk. Wisaka kembali tertidur dengan pulas. Pemuda i
"Apakah Bapak melihat Onet, monyet yang menyertaiku?" tanya Wisaka. "Panggil aku Pak Ali. Aku tidak melihat siapa pun menyertaimu, aku menemukanmu hampir tenggelam terseret arus sungai," jawab Pak Ali. "Aku harus mencarinya, maaf aku harus pergi," kata Wisaka sambil bangkit dari tempat tidur. Wisaka mengaduh dengan keras saat mendapati sakit di kakinya. Dia baru sadar kalau kakinya terbalut kain. "Kakimu terkilir, Anak Muda, jangan banyak bergerak dulu," kata Pak Ali. "Namaku Wisaka, Pak," ujar Wisaka memperkenalkan diri, sambil meringis menahan sakit. Wisaka sangat menghawatirkan Onet, Apakah ia terhanyut juga bersamanya tadi? Selamatkah ia? Wisaka bertanya-tanya dalam hatinya. Pemuda itu menunduk sedih membayangkan Onet berjuang sendirian di tengah derasnya arus sungai. Sementara di luar kamar, nampak sesosok perempuan muda yang cantik dengan mata beningnya yang jernih. Ia bernama Leli putri dari pemilik rumah. Se
"Leli, tidakkah kamu merasakan keanehan? Mengapa kita selalu kembali ke tempat yang sama, kau tahu apa sebabnya?" tanya Wisaka. Leli menggelengkan kepalanya. "Tidak," jawabnya singkat. Wisaka putus asa, dia mengajak Leli duduk di sebuah batu besar. Pandangannya lurus ke depan. "Leli, aku tak habis pikir mengapa kampung ini seperti bola," kata Wisaka. Leli tersenyum kecil mendengar kata-kata Wisaka yang membandingkan kampungnya seperti bola tanpa ujung. Gadis itu diam saja sambil terpekur. Mereka akhirnya kembali berjalan dan berakhir di rumah. Selama hampir seminggu Wisaka berusaha mencari jalan. Hatinya cemas, "Bagaimana aku mencapai padepokan Kyai Abdullah kalau tertahan di sini?" pikirnya. Karena penasaran dia pun bertanya kepada Pak Ali. "Pak Ali, bagaimana aku bisa menemukan jalan keluar? coba kasih tahu caranya, Pak," tanya Wisaka. "Caranya, kamu harus menikahi anakku, Leli," kata Pak Ali. "Hubungannya apa
"Mengapa aku bisa sebodoh ini, mengapa semua bisa terjadi?" Hati Wisaka bertanya-tanya. Sementara Leli hanya memandangi suaminya tersebut, tersenyum penuh arti, penuh rasa kemenangan dalam hatinya. "Kakang tak usahlah seperti itu, bukannya aku sudah menjadi istrimu?" tanya Leli. Wisaka hanya diam, dia tidak habis pikir, mengapa semua bisa terjadi? Bukankah tadi dirinya tertidur pulas, lalu mimpi itu? Mengapa seolah-olah bermimpi tapi nyata? Apakah ada ilmu seperti itu? Wisaka terlonjak dari tidurnya, kemudian duduk sambil memandang istrinya. "Apakah kamu mempunyai ilmu meraga sukma?" tanya Wisaka. "Tidak, Kakang, aku tidak tahu tentang ilmu itu," jawab Leli sambil menunduk. "Katakan dengan jujur!" Wisaka berkata tegas. "Tidak, Kakang," kata Leli ketakutan, dia mulai terisak. Wisaka tak tega kalau melihat perempuan menangis, diraihnya kepala istrinya mengusapnya sekilas. "Ya sudahlah, ayo tidur lagi," kata