Bab 7: Ketertarikan yang Berbalut Hormat Malam semakin larut, tetapi aula besar Istana Landbird tetap dipenuhi dengan cahaya dan suara musik. Para tamu terus bercakap-cakap, tetapi sebagian besar perhatian mereka sudah mulai beralih dari Beatrice yang baru saja diangkat menjadi *Selir Tingkat Satu* ke percakapan pribadi mereka masing-masing. Elea duduk di sudut ruangan, menikmati anggur di cawan kristal sembari memperhatikan jalannya pesta. Ia merasa sedikit lega karena sorotan sudah mulai menjauh darinya. Namun, kelegaan itu tidak berlangsung lama ketika ia menyadari Raja Alaric mendekatinya sekali lagi, membawa dua cawan anggur. “Yang Mulia,” katanya dengan senyum hangat, menyerahkan satu cawan padanya. “Saya harap Anda tidak keberatan jika saya bergabung untuk sementara waktu.” Elea mengangguk sopan. “Tentu, Yang Mulia. Kehadiran Anda selalu diterima.” Alaric duduk di kursi di sampingnya, menyesap anggurnya dengan perlahan. Untuk beberapa saat, keduanya hanya diam, menikma
Bab 8: Bara Cemburu di Balik IstanaKeesokan harinya, suasana Istana Landbird terasa sedikit tegang. Raja Flynn duduk di ruang kerjanya dengan tatapan yang gelap. Pikirannya dipenuhi gambaran dari pesta semalam—Elea yang terlihat berbincang akrab dengan Raja Alaric. Flynn tidak bisa mengabaikan caranya tertawa kecil atau cara Alaric memandang Elea dengan penuh perhatian. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. Beatrice masuk dengan senyuman manis, membawa nampan berisi secangkir teh dan beberapa kue kecil. "Yang Mulia," katanya lembut. "Anda tampak gelisah. Apa yang mengganggu pikiran Anda?" Flynn mendesah panjang. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, Beatrice." Namun, Beatrice tetap meletakkan nampan itu di meja dan mendekati Flynn, duduk di kursi di sampingnya. "Maaf jika saya lancang, tetapi saya tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana Anda memandangi Ratu Elea dan Raja Alaric tadi malam." Flynn menatap Beatrice dengan tajam, seolah menantangnya untuk melanjutkan. "
Bab 9: Cerahnya Sang Raja TetanggaPagi itu, suasana di taman istana terasa lebih hangat dari biasanya, bukan karena matahari yang bersinar cerah, melainkan karena kehadiran Raja Alaric. Ia sedang duduk di bangku taman bersama Elea, yang menatapnya dengan pandangan datar, meskipun hatinya sedikit terusik oleh pembawaan pria itu. Alaric, dengan wajah penuh senyum dan tangan yang bergerak dramatis, sedang bercerita tentang salah satu perjalanan diplomatiknya yang berujung kacau karena salah memahami adat setempat. “Bayangkan, Yang Mulia,” kata Alaric dengan nada tawa yang ringan. “Saya mencoba menyapa kepala suku di sana dengan berjabat tangan, seperti kebiasaan kita. Ternyata, mereka menganggap itu penghinaan besar! Saya malah diminta menari di depan mereka sebagai permintaan maaf. Dan, oh, Anda pasti tidak ingin tahu seperti apa tarian saya.” Elea tidak bisa menahan tawa kecil yang akhirnya lolos dari bibirnya. Ia buru-buru menutup mulut, tetapi Alaric sudah melihatnya. “Aha!
Bab 10: Pengumuman dan Janji yang Menggetarkan Pagi itu, istana Landbird dipenuhi kegembiraan yang luar biasa. Beatrice, dengan senyuman lebar dan wajah yang tampak berseri-seri, mengumumkan sesuatu yang telah lama dinanti oleh Raja Flynn dan seluruh kerajaan. "Yang Mulia Raja," katanya dengan nada yang hampir bergetar oleh antusiasme, "dokter istana baru saja mengonfirmasi bahwa saya sedang mengandung." Flynn yang sedang duduk di ruang makan utama bangkit dari kursinya dengan mata yang membelalak lebar. "Apa yang kau katakan, Beatrice?" tanyanya, suaranya penuh harap. "Saya akan memberikan Anda seorang pewaris, Yang Mulia," kata Beatrice sambil membungkuk dengan anggun, meskipun dalam hatinya ia merasa puas melihat kegembiraan Flynn. Kabar itu segera menyebar ke seluruh penjuru istana, disambut dengan sorak-sorai para pelayan dan pejabat. Para musisi dipanggil untuk memainkan melodi-melodi bahagia, dan suasana menjadi penuh perayaan. Namun, di sudut lain istana, Elea
Bab 11: Retaknya Ikatan yang Pernah KokohHari-hari di istana Landbird berubah menjadi mimpi buruk bagi Ratu Elea. Hubungannya dengan Flynn, yang dulu harmonis dan penuh saling pengertian, kini berubah menjadi jurang yang semakin lebar. Sementara itu, Beatrice tampak menikmati perannya sebagai pusat perhatian, terutama perhatian Flynn yang sepenuhnya tertuju padanya. Pagi itu, Elea duduk di ruang kerjanya, mencoba fokus pada dokumen-dokumen kerajaan yang membutuhkan tanda tangannya. Namun, pikirannya terganggu ketika Flynn masuk dengan wajah masam. "Elea, apa maksudmu berbicara kasar pada Beatrice tadi pagi?" tanyanya tanpa basa-basi. Elea mengangkat alis, terkejut dengan tuduhan itu. "Berbicara kasar? Apa yang kau bicarakan, Flynn? Aku bahkan belum bertemu dengannya hari ini." "Dia mengatakan kau mengkritik cara pelayanannya terhadap tamu di ruang makan," lanjut Flynn dengan nada menuduh.
Bab 12: Ketertarikan yang TersembunyiDi Istana Veridion yang megah, Raja Alaric duduk di ruang kerjanya, ditemani oleh sekretaris pribadinya, Lennox. Dinding ruangan dipenuhi rak-rak buku, sementara aroma kayu cendana mengisi udara. Alaric, dengan gaya santainya, memandang ke luar jendela besar yang memperlihatkan taman kerajaan. Namun, pikirannya jauh dari keindahan taman itu. Lennox, pria muda dengan rambut cokelat acak-acakan dan kacamata yang selalu tergelincir dari hidungnya, berdiri di dekat meja dengan tumpukan dokumen di tangan. Ia tampak sibuk mengatur dokumen itu, namun matanya sesekali melirik ke arah Alaric yang tampak termenung. “Yang Mulia,” Lennox membuka percakapan, suaranya ceria seperti biasa. “Dokumen ini memerlukan tanda tangan Anda. Dan, kalau boleh tahu, kenapa Anda terus melamun sejak kembali dari Kerajaan Landbird? Ada sesuatu yang terjadi?” Alaric mengalihkan pandangannya dari jendela dan menatap
Bab 13: Ketetapan Hati Sang Ratu Istana Landbird pagi itu dipenuhi dengan kesibukan. Para pelayan mondar-mandir, menyiapkan berbagai keperluan istana. Namun, suasana di kamar Elea terasa berbeda. Di dalam, sang ratu duduk di kursi kayu berlapis emas, wajahnya yang biasanya anggun kini tampak memancarkan ketegangan. Flynn berdiri di hadapannya, tatapannya penuh harap meskipun Elea tampak tidak tergerak. “Elea,” kata Flynn dengan suara lembut namun mendesak, “ini hanya sebuah pesta kecil. Untuk menghormati tiga bulan kehamilan Beatrice. Bagaimanapun, anak itu akan menjadi pewaris kerajaan ini.” Elea mengangkat pandangannya, menatap Flynn dengan mata birunya yang dingin namun tegas. “Flynn, aku adalah ratu kerajaan ini, bukan seorang pengurus perayaan pribadi. Aku sudah cukup sabar menjalankan tugasku, bahkan menyiapkan segala sesuatu untuk Beatrice tanpa protes. Namun, meminta aku mengadakan pesta untuknya? Itu terlalu ja
Bab 14: Bayang-Bayang Masa Lalu Malam itu pesta berlanjut dengan gemerlap yang membuai para tamu. Musik terus mengalun, mengiringi percakapan ringan para bangsawan dan langkah kaki mereka yang menari di lantai dansa. Namun, di balik kemewahan itu, ketegangan semakin meresap, terutama di antara tiga sosok yang menjadi pusat perhatian: Raja Flynn, Ratu Elea, dan Selir Beatrice. Elea memilih untuk tetap berada di sudut ruangan, menjaga martabatnya sebagai ratu. Ia tahu banyak yang memperhatikannya, mencari celah untuk mengomentari reaksinya terhadap kedekatan Flynn dan Beatrice. Dengan kepala tegak dan senyum anggun yang dipasang rapi, Elea terlihat tak terpengaruh. Tetapi di dalam, hatinya bergejolak hebat. Di sisi lain, Beatrice masih berada di lantai dansa bersama Flynn. Tatapan Flynn yang penuh kasih sayang membuat Beatrice merasa canggung, bukan karena perhatian itu, tetapi karena pria berambut merah yang berdiri di tepi ruangan. Ia m
Elea menatap suaminya dengan penuh selidik. Ia mengenal Alaric dengan baik, terlalu baik. Dan ekspresi yang baru saja melintas di wajah pria itu bukanlah sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja. "Alaric," ucap Elea pelan, suaranya lembut, tetapi penuh tekanan. "Apa yang dikatakan Grand Duke kepadamu sebelum pergi?" Alaric tetap diam sejenak, lalu beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. Ia menatap ke luar, seolah mencari jawaban di balik langit Veridion yang mulai meredup. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," jawabnya akhirnya. Elea menyipitkan mata. "Jangan meremehkanku." Alaric menghela napas, lalu berbalik menghadapi istrinya. "Grand Duke hanya mengingatkanku tentang beberapa hal di masa lalu. Tidak ada yang penting." "Jika tidak penting, kau tidak akan bereaksi seperti tadi," sahut Elea cepat. Raja Veridion itu menatap Elea beberapa saat sebelum akhirnya mengusap wajahnya dengan lelah. "Grand Duke mengungkit sesuatu yang seharusnya tetap terkubur."
Bab 84 – Api yang BerkobarDi mansion Grand Duke Elvenhart, Aveline duduk di ruang pribadinya, jemarinya mencengkeram surat dari Baron Reynard dengan kuat. Matanya membara penuh kemarahan saat membaca isi laporan yang ia terima. Putra Mahkota Kaelen membela Edith. Dan yang lebih buruk lagi, ia mengaku bahwa Edith adalah kekasihnya. Aveline tidak bisa menerima ini. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Dengan langkah cepat, ia keluar dari kamarnya dan langsung menuju ruang kerja ayahnya. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu keras sebelum masuk. Grand Duke Elvenhart, yang tengah membaca dokumen di mejanya, menoleh dengan alis berkerut. Melihat ekspresi putrinya yang tegang, ia meletakkan penanya dan menatapnya dengan tajam. "Aveline," katanya dengan nada dalam. "Ada apa?" Aveline menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap terkendali. "Ayah, saya baru saja menerima kabar dari Baron Reynard," katanya dengan tenang, meskipun ada ketegangan dalam suaranya. "Putra Mahkota Ka
Edith tahu keputusan Grand Duke Elvenhart akan membawa dampak besar, tetapi ia tidak menduga seberapa cepat situasi akan berubah. Dua hari setelah pengumuman bahwa Kota Velfenne menjadi tanggung jawabnya, Edith menerima surat dari salah satu pejabat di kota tersebut. Isinya bukanlah ucapan selamat, melainkan peringatan. "Ada gerakan yang mencurigakan di antara beberapa bangsawan lokal. Mereka tidak secara terang-terangan menentang keputusan ini, tetapi banyak yang meragukan legitimasi Anda. Saya khawatir ada sesuatu yang direncanakan di balik layar."Edith membaca surat itu dengan dahi berkerut. Ia sudah menduga bahwa tidak semua orang akan menerima posisinya, tetapi jika ada sesuatu yang direncanakan di balik layar, itu berarti masalah lebih besar akan datang. Sementara itu, di sisi lain mansion, Aveline duduk di ruang pribadinya dengan tenang. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan wajah kaku dan pakaian bangsawan sederhana. Ia adalah Baron Reynard, salah satu pemilik tanah
Bab 82 – Hadiah yang Membakar DendamDi dalam mansion Grand Duke Elvenhart, ketegangan terasa semakin pekat. Edith berusaha untuk tetap tenang, tetapi rumor yang terus berkembang membuatnya semakin sulit bernapas. Malam itu, ia berjalan melewati koridor yang diterangi cahaya lilin, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Saat ia sampai di depan pintu kamarnya, langkahnya terhenti. Di ujung lorong, seseorang berdiri menunggunya. Gaun ungu lembut yang membalut tubuh wanita itu tampak begitu anggun di bawah cahaya lilin, tetapi sorot matanya yang tajam mengisyaratkan sesuatu yang lain. "Akhirnya kau pulang juga," suara Aveline terdengar lembut, tetapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Edith meremang. Edith menghela napas. "Apa yang kau inginkan, Lady Aveline?" Aveline tersenyum kecil, melangkah mendekat. "Kau terdengar begitu kaku, Edith. Aku hanya ingin berbicara." Edith menegang, tetapi tetap berdiri tegak. "Jika kau ingin membicarakan rumor itu, aku tidak tertarik." Av
Hari-hari setelah perburuan itu tidak berjalan seperti yang diharapkan Edith. Sejak kepulangannya dari hutan bersama Roderic, namanya tiba-tiba memenuhi setiap bisikan dan percakapan para bangsawan. Di setiap perjamuan teh, di lorong-lorong istana, di antara tawa para lady yang mengenakan gaun-gaun indah, hanya ada satu topik yang mereka bahas. "Lady Edith sudah tidak suci lagi."Rumor itu menyebar seperti api yang melahap hutan kering. Tidak ada yang tahu pasti dari mana asalnya, tetapi bisikan-bisikan itu menjadi semakin liar setiap harinya. Di Ruang Teh Para LadyDi sebuah taman indah di dalam istana, para lady tengah menikmati perjamuan sore. Teh harum memenuhi udara, diiringi suara-suara lembut yang penuh kepalsuan. "Benar-benar mengejutkan," kata Lady Vivienne dengan nada dramatis. "Aku mendengar bahwa Lady Edith menghabiskan malam di hutan bersama Lord Roderic. Berdua saja!" Lady Marielle, yang duduk di sampingnya, menutup mulutnya seolah terkejut. "Astaga, kalau itu
Di dalam hutan yang gelap, cahaya bulan mengintip di antara celah dedaunan, memberikan sedikit penerangan bagi Edith dan Roderic yang masih terjebak. Suara jangkrik dan hembusan angin menjadi latar belakang keheningan di antara mereka. Edith menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan rasa dingin meskipun mantel Roderic sudah membalut tubuhnya. Ia melirik pria di sebelahnya, yang tampak santai bersandar pada batang pohon, seolah-olah keadaan ini bukan masalah besar. "Kau terlihat tenang," kata Edith akhirnya, suaranya lirih namun cukup jelas. Roderic menoleh dengan senyum kecil. "Harus ada yang tetap tenang, kan?" Edith menghela napas, lalu menatap langit yang terbuka di antara pepohonan. "Aku tidak menyangka perburuan akan berakhir seperti ini." Roderic terkekeh. "Sama. Biasanya aku hanya berburu sebentar, lalu kembali dengan kemenangan kecil. Kali ini... kurasa kita tidak bisa mengandalkan keberuntungan." Keheningan menyelimuti mereka lagi, hingga akhirnya Edith berbicara le
Langit cerah membentang luas di atas tanah perburuan kerajaan, udara dipenuhi dengan semangat dan obrolan para bangsawan yang berkumpul dalam festival tahunan ini. Bendera-bendera kerajaan berkibar di sepanjang jalur masuk, sementara para pelayan berlalu-lalang, menyiapkan segala keperluan untuk berburu. Di singgasana yang telah disediakan di tengah area utama, Raja Alaric duduk dengan penuh wibawa, didampingi oleh Ratu Elea yang tampak anggun dalam gaun biru langit. Putra Mahkota Kaelen berdiri di sisi mereka, mengenakan jubah ringan yang menunjukkan statusnya, matanya tajam mengamati kerumunan. Di antara para peserta, Grand Duke Elvenhart tiba bersama Lady Aveline, Edith, dan asistennya, Alex. Aveline mengenakan pakaian berkuda yang mewah, sementara Edith berdiri sedikit di belakangnya dengan pakaian sederhana yang tetap rapi. “Festival perburuan ini selalu ramai, ya?” gumam Alex sambil menatap sekeliling. “Memang. Ini bukan hanya soal berburu, tetapi juga ajang politik,” ja
Di dalam kediaman keluarga Marquis Laurent, Lord Roderic duduk di ruang kerjanya, menatap surat yang baru saja ia tulis untuk Edith. Ia menggulirkan pena di antara jarinya, berpikir apakah ia harus mengirimnya atau tidak. "Roderic," sebuah suara berat terdengar dari ambang pintu. Roderic menoleh dan mendapati kakak laki-lakinya, Lord Gilbert Laurent, berdiri dengan tangan bersedekap. Wajahnya seperti biasa, penuh dengan sikap superior seorang pewaris utama. "Kau masih sibuk dengan surat-surat itu?" tanya Gilbert, nada suaranya terdengar meremehkan. Roderic tersenyum tipis. "Hanya sekadar korespondensi pribadi." Gilbert mendekat, mengambil surat di atas meja tanpa meminta izin, dan membaca sekilas. Senyum miring muncul di wajahnya. "Edith Manesse? Gadis yang bekerja di bawah Grand Duke Elvenhart?" Roderic mengulurkan tangannya untuk mengambil kembali surat itu, tapi Gilbert menahannya lebih lama sebelum akhirnya menyerahkannya. "Kau benar-benar tidak tahu bagaimana memili
Di Kediaman Grand Duke ElvenhartEdith duduk di ruang baca dengan setumpuk dokumen di depannya, tetapi perhatiannya tidak sepenuhnya tertuju pada pekerjaannya. Di sampingnya, terdapat beberapa surat yang baru saja dikirim oleh seorang pelayan, semuanya dari Lord Roderic. Ia menghela napas sebelum mengambil salah satu surat dan membukanya. Tulisan tangan yang rapi dan sedikit miring menyambutnya. "Lady Edith, Aku harap hari ini menyapamu dengan baik. Aku tidak bisa berhenti memikirkan percakapan terakhir kita di kafe itu. Rasanya begitu menyenangkan bisa berbicara dengan seseorang yang tidak hanya berbasa-basi dalam sopan santun. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa mengajakmu berjalan-jalan suatu hari nanti? Dengan hormat, Roderic Laurent"Edith menggeleng pelan. Sudah hampir seminggu sejak mereka pertama kali bertemu di kafe, dan sejak itu, surat-surat Roderic terus berdatangan. Ia tidak yakin apakah ini hanya cara pria itu bersikap sopan atau jika ada sesuatu yang lebih dala