Bab 17: Gugatan Raja
Istana Landbird diguncang oleh kabar yang mengejutkan: Raja Flynn telah melayangkan gugatan resmi terhadap Ratu Elea. Tindakan ini menciptakan gelombang besar di antara para bangsawan dan rakyat kerajaan. Banyak yang terkejut, bahkan marah, dengan keputusan tersebut, sementara sebagian lainnya, terutama pendukung Beatrice, justru merasa senang dengan langkah ini.Bagi Ratu Elea, berita itu menjadi pukulan telak yang menambah beban di pundaknya. Ia kini tidak hanya harus menahan rasa sakit akibat penghinaan dari suaminya, tetapi juga harus bersiap menghadapi sidang yang akan menentukan posisinya sebagai ratu.Di ruang pertemuan kerajaan, para bangsawan terbagi dalam dua kubu. Satu pihak mendukung Elea, menganggapnya sebagai ratu yang bijaksana dan tak tergantikan. Sementara pihak lain, yang terpengaruh oleh Beatrice dan desas-desus tentang kejahatan Elea, mendukung Flynn dengan alasan menjaga stabilitas kerajaan.Bab 18- Keadilan yang di paksakan Dua hari kemudian, rombongan dari Veridion bersiap untuk berangkat menuju Landbird. Alaric berdiri di depan gerbang istana dengan jubah hitam kebesarannya, menatap ke arah jalan yang akan mereka lalui. Lennox mendekat, membawa surat resmi yang menyatakan bahwa kunjungan ini adalah misi diplomatik untuk menjaga hubungan baik antara dua kerajaan. "Surat ini akan membantu kita jika ada yang mempertanyakan niat kita, Yang Mulia." "Terima kasih, Lennox," jawab Alaric. "Tapi aku ingin mereka tahu bahwa aku tidak datang hanya untuk diplomasi. Aku datang untuk Elea." Rombongan pun berangkat, dengan Alaric memimpin di depan. Di sepanjang perjalanan, pikiran Alaric terus dihantui oleh bayangan Elea. Ia membayangkan bagaimana wanita itu berdiri teguh menghadapi semua tuduhan dan hinaan, meskipun hatinya pasti terluka. "Elea," bisik Alaric dalam hati, "bertah
Bab 19- Tuduhan Baru yang MenyakitkanPagi itu, istana Landbird kembali diterpa isu yang menggemparkan. Desas-desus beredar dengan cepat di antara para pelayan, bangsawan, dan rakyat, membawa kabar baru yang mengejutkan. Beatrice, dengan licik, telah menyebarkan rumor bahwa Ratu Elea tidak mampu memiliki anak, sebuah tuduhan yang menyerang kehormatan Elea sebagai seorang wanita dan ratu. Di dalam kamarnya, Elea duduk dengan wajah tegang, mendengarkan laporan dari salah satu pelayannya yang setia, Daisy. "Yang Mulia," Daisy berkata pelan, suaranya bergetar karena marah, "rumor ini... telah menyebar ke seluruh istana. Mereka mengatakan bahwa Anda mandul, dan ini alasannya mengapa Anda belum memberikan pewaris bagi kerajaan." Elea menghela napas dalam, mencoba menenangkan emosinya yang mulai memuncak. Wajahnya tetap tenang, tetapi tatapan matanya penuh dengan ketegasan. "Siapa yang memulai rumor ini?" Daisy m
Bab 20- Hasrat dan tuduhan Di malam yang sunyi, Elea duduk sendirian di kamarnya, memandang keluar jendela. Ia tahu bahwa masa depannya di kerajaan Landbird semakin suram. Namun, di tengah kesedihannya, ia merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah kekuatan yang perlahan muncul dari dalam dirinya. "Jika mereka ingin melawan aku," gumam Elea pelan, "aku akan menunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya kuat." Ia menyadari bahwa gugatan ini bukan akhir dari segalanya. Sebagai seorang ratu, ia telah menghadapi berbagai cobaan, dan ini hanya salah satu di antaranya. Ia bertekad untuk melawan dengan cara yang bermartabat, menjaga kehormatan dan harga dirinya, meskipun dunia seolah-olah memusuhinya. *** Kabar tentang gugatan perceraian ini akhirnya sampai ke Veridion. Alaric, yang baru saja pulih dari rasa cemas akan keselamatan Elea, kembali murka saat mendengar kabar tersebut. Ia tah
Bab 21: Persidangan Sang Ratu Balairung besar di Istana Landbird dipenuhi oleh bisikan dan sorakan dari para bangsawan yang hadir. Sidang perceraian antara Raja Flynn dan Ratu Elea menjadi peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan perhatian seluruh kerajaan tertuju pada momen ini. Di tengah-tengah ruangan, Pontifex yang dihormati berdiri di podium, tangannya memegang gulungan hukum kerajaan. Ratu Elea, dengan anggun namun tegas, duduk di kursi terdakwa. Wajahnya tetap tenang meskipun tatapan para bangsawan yang memihak Beatrice memancarkan kebencian. Di sisi lain, Beatrice duduk dengan penuh kemenangan di sebelah Raja Flynn, yang ekspresinya penuh rasa percaya diri. Pontifex memulai persidangan dengan suara lantang, “Sidang ini dibuka untuk membahas gugatan perceraian yang diajukan oleh Raja Flynn terhadap Ratu Elea. Tuduhan pertama yang dilayangkan adalah ketidakmampuan Ratu Elea untuk menghasilkan keturunan.
Bab 22: Akhir dari Sebuah Ikatan Seminggu kemudian, balairung besar kembali dipenuhi oleh para bangsawan dan pejabat kerajaan. Suasana kali ini lebih tegang dibandingkan sebelumnya. Persidangan yang awalnya untuk membahas gugatan perceraian Raja Flynn kini berubah arah, karena Elea, sang Ratu, secara mengejutkan mengajukan pembatalan pernikahannya. Pontifex yang dihormati duduk dengan wajah serius di atas podium, dikelilingi oleh penasihat dan pejabat tinggi gereja. Flynn terlihat marah dan gelisah, sementara Beatrice duduk di barisan tamu, tampak senang melihat drama ini berlangsung. Di sisi lain, Elea berdiri dengan kepala tegak, keanggunannya tetap terpancar meski dalam situasi sulit. “Yang Mulia Pontifex,” suara Elea terdengar tegas, memecah keheningan. “Saya berdiri di sini bukan hanya untuk membela diri, tetapi untuk memperjuangkan keadilan yang sudah terlalu lama diabaikan. Saya, Elea, Ratu Landbird, mengajukan p
Bab 23: Kembali ke Pelukan Keluarga Kepulangan Elea ke rumah orang tuanya, kediaman keluarga Grand Duke Marre, disambut dengan suasana penuh haru. Sebuah prosesi kecil diadakan di halaman istana keluarga untuk menyambut putri mereka yang telah lama meninggalkan rumah. Sejak menikah dengan Flynn, Elea jarang kembali, bahkan hampir tidak pernah. Kedatangannya kali ini membawa nuansa berbeda, penuh emosi yang bercampur antara kesedihan dan kebebasan. Di tangga depan istana, Grand Duke Marre berdiri dengan anggun, mengenakan mantel kebesarannya. Meski usianya telah lanjut, posturnya tetap tegap, memancarkan wibawa seorang pemimpin keluarga bangsawan. Di sampingnya, Duchess Marre terlihat menahan air mata sambil memandangi kereta yang membawa Elea mendekat. Ketika Elea turun dari kereta, wajahnya tampak tenang, tetapi matanya sedikit memerah. Ia melangkah dengan anggun, seperti kebiasaannya sebagai ratu. Namun, ketika ia mel
Bab 24: Retaknya Ketenangan Hari-hari berlalu dengan cepat di Istana Landbird. Usia kehamilan Beatrice kini memasuki bulan ketiga. Namun, semenjak kepergian Elea, urusan kerajaan semakin menumpuk, membuat Flynn sibuk tanpa henti. Dia terpaksa menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang kerja atau rapat dengan para bangsawan untuk meredakan gejolak politik dan mengembalikan kestabilan kerajaan. Hal ini membuat Beatrice jarang sekali melihat Flynn. Bahkan ketika sang raja akhirnya kembali ke kamarnya, itu terjadi larut malam, saat Beatrice sudah tertidur. Kehadiran Flynn yang mulai terasa dingin jelas memicu keresahan di hati Beatrice. Ia tidak terbiasa diabaikan, apalagi dengan posisinya saat ini sebagai calon ibu dari pewaris kerajaan. Malam itu, setelah beberapa malam berturut-turut hanya mendapat kehadiran Flynn yang singkat dan tanpa kata, Beatrice memutuskan untuk menunggunya. Ia duduk di atas ranj
Bab 25: Kenangan yang Menyayat Setelah malam cekcok yang membakar emosi Beatrice, ia mulai merancang langkah untuk kembali merebut perhatian Flynn sepenuhnya. Ia menyadari bahwa sekadar berada di sisi Flynn tidak lagi cukup. Jika ia ingin memastikan posisinya tak tergantikan, ia harus mengambil bagian dalam urusan kerajaan. Keesokan paginya, Beatrice mendatangi Flynn di ruang kerja dengan ekspresi yang tampak tulus, tetapi dengan rencana matang yang tersembunyi di balik senyumnya. “Yang Mulia,” ucap Beatrice lembut, melangkah mendekat. Flynn, yang sedang sibuk dengan dokumen, mengangkat wajahnya untuk menatap wanita yang tengah mengandung anaknya itu. “Ada apa, Beatrice?” tanyanya, suaranya terdengar hangat meskipun letih. Beatrice duduk dengan anggun di kursi di depannya, menangkupkan tangannya di atas perutnya yang mulai membesar. “Saya hanya ingin mengungkapkan rasa syukur
Ruangan kerja Grand Duke Elvenhart dipenuhi dengan aroma kayu pinus dari perapian yang menyala. Di atas meja, setumpuk dokumen tersusun rapi, termasuk dokumen yang berisi keputusan penting mengenai daerah selatan. Grand Duke dengan tenang membaca setiap baris dokumen, menandatanganinya dengan ekspresi mantap. Saat pintu ruangan terbuka dengan kasar, Lady Aveline masuk dengan langkah cepat, wajahnya merah padam oleh amarah. "Ayah!" serunya, suaranya menggema di ruangan. Grand Duke mendongak dengan tenang, menatap putrinya. "Aveline, ada apa? Kau tampak marah sekali." Lady Aveline berjalan mendekat, menunjuk dokumen di meja. "Apa maksud semua ini? Aku mendengar kau berniat memberikan daerah selatan kepada Edith! Bagaimana mungkin kau memberikan wilayah penting kepada seorang pelayan rendahan?!" Grand Duke menghela napas, menutup dokumen di depannya dengan tenang. "Aveline, duduklah. Aku tidak akan membahas ini dengan nada
Keesokan harinya, Edith, Lionel, dan Kaelen mengadakan pertemuan di balai desa untuk mendengarkan keluhan para warga tentang pajak. Balai desa yang sederhana dipenuhi oleh para petani, pedagang, dan warga lainnya yang berharap suara mereka didengar.Edith berdiri di depan, didampingi oleh Lionel dan Kaelen. Wajahnya serius namun lembut, memberikan kesan bahwa ia benar-benar peduli pada masalah yang dihadapi rakyat.Seorang petani tua, Tuan Harlen, berdiri dari kursinya. “Nona Edith, kami sudah berusaha sebaik mungkin, tapi cuaca yang tidak menentu telah merusak hasil panen kami. Pajak yang ditetapkan terlalu tinggi untuk kami bayar. Bahkan beberapa dari kami terpaksa menjual ternak hanya untuk memenuhi kewajiban pajak.”Seorang wanita lain ikut bersuara. “Kami tidak keberatan membayar pajak, Nona. Tapi sistemnya terlalu kaku. Tahun ini panen kami menurun, sementara pajak tetap sama seperti saat panen melimpah. Apakah tidak ada cara untuk men
Bab 71 - Bayang-bayang Ancaman di Selatan Pagi tiba dengan kabut tipis yang menyelimuti tempat peristirahatan mereka. Lionel sudah bangun lebih awal untuk memeriksa jalur perjalanan, sementara Edith masih tertidur di balok kayu dengan selimut yang disediakan Kaelen. Pemuda itu duduk tak jauh darinya, menjaganya dengan penuh perhatian. Lionel kembali dengan wajah serius, menyeka embun dari pelindung lengannya. "Ada sesuatu yang aneh di sepanjang jalan menuju daerah selatan. Jejak kaki terlalu banyak untuk ukuran desa kecil." Kaelen mengangkat alis. "Jejak kaki? Kau pikir itu kelompok perampok?" Lionel mengangguk pelan. "Kemungkinan besar. Tapi jumlah mereka lebih dari sekadar kelompok kecil. Kita harus berhati-hati." Kaelen menoleh pada Edith yang perlahan terbangun. Wajahnya masih terlihat pucat, tetapi ia berusaha duduk tegak. "Ada apa?" tanyanya dengan suara lemah.
Edith memacu kudanya dengan semangat, angin menerpa wajahnya saat ia melaju bersama prajurit bernama Lionel, seorang prajurit setia Grand Duke yang dikenal akan kemampuannya melindungi orang-orang penting di mansion. "Kau tampak terburu-buru hari ini, Edith," ujar Lionel sambil memperlambat kudanya agar sejajar dengan Edith. "Aku hanya ingin sampai sebelum gelap," jawab Edith dengan senyum kecil. "Daerah selatan membutuhkan perhatian kita, dan aku tidak ingin membuat mereka menunggu lebih lama." Lionel tertawa kecil. "Kau terlalu berdedikasi untuk seseorang yang hanya dianggap pelayan, Edith. Terkadang aku heran bagaimana kau bisa mengurus begitu banyak hal." Edith hanya tersenyum, lalu kembali memusatkan perhatian pada jalan di depan. Namun, ketenangan mereka tiba-tiba terusik saat sebuah suara mendesing di udara. "Thwack!" Edith terkejut saat merasakan sakit yang luar biasa di kakinya. S
Pagi itu, Kaelen duduk di ruang kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen. Fokusnya terbagi antara laporan internal istana dan surat diplomatik dari kerajaan tetangga. Meski terlihat tenang, pikirannya terus berpacu, memikirkan tanggung jawab besar yang kelak akan ia emban sebagai Raja Veridion. Ketukan pintu tiba-tiba membuyarkan konsentrasinya. "Masuk," katanya tanpa mengangkat wajah dari dokumen.Pintu terbuka, dan suara langkah berat terdengar mendekat. Kaelen akhirnya mendongak dan melihat ayahnya, Alaric, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi serius."Kaelen," Alaric memulai, suaranya berat namun tegas, "Aku ingin bicara denganmu."Kaelen meletakkan penanya. "Tentu, Ayah. Ada apa?"Alaric melangkah lebih dekat, lalu duduk di kursi di depan meja kerja Kaelen. Ia menatap putranya dengan tajam, seperti hendak menilai setiap reaksi Kaelen. "Aku mendengar laporan bahwa kau cenderung mengabaikan Lad
Bab 68- Pertemuan SingkatKaelen berdiri dengan tenang di samping meja, matanya mengamati ruangan yang penuh dengan orang-orang terkemuka dari berbagai kalangan. Tuan-tuan dan nyonya-nyonya mengenakan pakaian mewah, berbicara dengan suara rendah, namun cukup untuk menunjukkan status mereka yang luar biasa. Namun, perhatian Kaelen justru teralih saat seorang wanita muda dengan pakaian yang elegan, namun tidak mencolok, melangkah masuk ke ruangan bersama seorang gadis."Ini adalah putri dari Grand Duke, Lady Aveline," suara seorang pelayan perempuan terdengar pelan, memperkenalkan sosok yang baru saja memasuki ruangan.Lady Aveline melangkah anggun, kepalanya tegak dan wajahnya yang cantik dihiasi senyuman ramah. Di sebelahnya, seorang gadis berpenampilan sederhana namun cukup cantik berjalan mengikuti langkahnya, mengenakan gaun yang sedikit lebih sederhana dibandingkan orang-orang lainnya di ruangan itu. Namun, sesuatu di dalam diri Kaelen m
Season 2Bab 67: Pewaris Cahaya Veridion Embun pagi masih menggantung di taman kerajaan saat suara tangisan bayi pertama kali menggema di istana. Elea terbaring lelah di pembaringan, namun wajahnya bersinar penuh kebahagiaan. Di sisinya, Alaric memandangi putra mereka dengan tatapan haru yang tak mampu disembunyikan. Bayi itu kecil, namun kuat, seolah tak gentar menghadapi dunia yang menantinya. “Kaelen... Nama itu akan cocok untuknya,” bisik Alaric dengan suara serak, matanya tak lepas dari wajah mungil putra mereka. “Kaelen Alaric Veridion,” gumam Elea sambil tersenyum. “Harapan baru bagi kerajaan kita.” Berita kelahiran sang putra mahkota disambut suka cita oleh rakyat Veridion. Di setiap sudut kota, para petani, pedagang, hingga prajurit bersorak-sorai. Perayaan berlangsung selama tujuh hari tujuh malam. Namun di balik kebahagiaan itu, Elea tahu perjalanan putranya baru saja dimulai—penuh ujian dan tant
**Bab 66: Kabar dari Landbird** Di taman istana Veridion yang dipenuhi bunga musim semi, Elea dan Alaric duduk di bawah naungan pohon besar. Meja kecil di depan mereka dipenuhi hidangan teh sore dan camilan ringan. Suasana tenang itu terganggu ketika seorang pelayan mendatangi mereka dengan membawa surat dari Landbird. "Yang Mulia, surat dari Grand Duke Marre baru saja tiba," ujar pelayan itu sambil membungkuk. Elea segera membuka surat tersebut dan membaca dengan seksama. Wajahnya yang semula tenang berubah menjadi ekspresi campuran antara lega dan prihatin. "Apa kabar dari Landbird?" tanya Alaric, menatap istrinya dengan penuh perhatian. Elea meletakkan surat itu di pangkuannya. "Grand Duke Marre telah mengambil alih takhta Landbird. Flynn secara resmi telah turun dari posisinya sebagai raja." Alaric mengangguk pelan, tidak tampak terkejut. "Itu langkah yang bijaksana. Flynn sudah kehil
Bab 65: Takhta yang Terguncang Di sebuah kastil terpencil di wilayah selatan Landbird, para bangsawan yang bersekongkol untuk menggulingkan Raja Flynn berkumpul di ruang pertemuan yang gelap dan beraroma lilin. Wajah mereka menunjukkan berbagai ekspresi ambisi, kebencian, dan determinasi. Baron Asher membuka diskusi dengan suara berat. "Kita tidak bisa lagi membiarkan Flynn duduk di atas takhta. Setiap keputusan yang dia buat adalah aib bagi kerajaan ini." Lady Elda, dengan gaun mewahnya yang berkilauan, mengangguk setuju. "Dia bahkan tidak bisa menghasilkan seorang pewaris yang sah. Bayangkan, kita semua pernah percaya pada kebohongan seorang wanita seperti Beatrice. Apa lagi yang akan menghancurkan Landbird setelah ini?" Duke Rowan, seorang pria berbadan besar dengan mata tajam, bersandar di kursinya. "Dan kini, Flynn membiarkan dirinya dihina dengan mengasingkan Beatrice alih-alih menghukumnya. Itu kelemahan yang tida