Bab 20- Hasrat dan tuduhan
Di malam yang sunyi, Elea duduk sendirian di kamarnya, memandang keluar jendela. Ia tahu bahwa masa depannya di kerajaan Landbird semakin suram. Namun, di tengah kesedihannya, ia merasakan sesuatu yang berbeda, sebuah kekuatan yang perlahan muncul dari dalam dirinya. "Jika mereka ingin melawan aku," gumam Elea pelan, "aku akan menunjukkan pada mereka siapa yang sebenarnya kuat." Ia menyadari bahwa gugatan ini bukan akhir dari segalanya. Sebagai seorang ratu, ia telah menghadapi berbagai cobaan, dan ini hanya salah satu di antaranya. Ia bertekad untuk melawan dengan cara yang bermartabat, menjaga kehormatan dan harga dirinya, meskipun dunia seolah-olah memusuhinya. *** Kabar tentang gugatan perceraian ini akhirnya sampai ke Veridion. Alaric, yang baru saja pulih dari rasa cemas akan keselamatan Elea, kembali murka saat mendengar kabar tersebut. Ia tahBab 21: Persidangan Sang Ratu Balairung besar di Istana Landbird dipenuhi oleh bisikan dan sorakan dari para bangsawan yang hadir. Sidang perceraian antara Raja Flynn dan Ratu Elea menjadi peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan perhatian seluruh kerajaan tertuju pada momen ini. Di tengah-tengah ruangan, Pontifex yang dihormati berdiri di podium, tangannya memegang gulungan hukum kerajaan. Ratu Elea, dengan anggun namun tegas, duduk di kursi terdakwa. Wajahnya tetap tenang meskipun tatapan para bangsawan yang memihak Beatrice memancarkan kebencian. Di sisi lain, Beatrice duduk dengan penuh kemenangan di sebelah Raja Flynn, yang ekspresinya penuh rasa percaya diri. Pontifex memulai persidangan dengan suara lantang, “Sidang ini dibuka untuk membahas gugatan perceraian yang diajukan oleh Raja Flynn terhadap Ratu Elea. Tuduhan pertama yang dilayangkan adalah ketidakmampuan Ratu Elea untuk menghasilkan keturunan.
Bab 22: Akhir dari Sebuah Ikatan Seminggu kemudian, balairung besar kembali dipenuhi oleh para bangsawan dan pejabat kerajaan. Suasana kali ini lebih tegang dibandingkan sebelumnya. Persidangan yang awalnya untuk membahas gugatan perceraian Raja Flynn kini berubah arah, karena Elea, sang Ratu, secara mengejutkan mengajukan pembatalan pernikahannya. Pontifex yang dihormati duduk dengan wajah serius di atas podium, dikelilingi oleh penasihat dan pejabat tinggi gereja. Flynn terlihat marah dan gelisah, sementara Beatrice duduk di barisan tamu, tampak senang melihat drama ini berlangsung. Di sisi lain, Elea berdiri dengan kepala tegak, keanggunannya tetap terpancar meski dalam situasi sulit. “Yang Mulia Pontifex,” suara Elea terdengar tegas, memecah keheningan. “Saya berdiri di sini bukan hanya untuk membela diri, tetapi untuk memperjuangkan keadilan yang sudah terlalu lama diabaikan. Saya, Elea, Ratu Landbird, mengajukan p
Bab 23: Kembali ke Pelukan Keluarga Kepulangan Elea ke rumah orang tuanya, kediaman keluarga Grand Duke Marre, disambut dengan suasana penuh haru. Sebuah prosesi kecil diadakan di halaman istana keluarga untuk menyambut putri mereka yang telah lama meninggalkan rumah. Sejak menikah dengan Flynn, Elea jarang kembali, bahkan hampir tidak pernah. Kedatangannya kali ini membawa nuansa berbeda, penuh emosi yang bercampur antara kesedihan dan kebebasan. Di tangga depan istana, Grand Duke Marre berdiri dengan anggun, mengenakan mantel kebesarannya. Meski usianya telah lanjut, posturnya tetap tegap, memancarkan wibawa seorang pemimpin keluarga bangsawan. Di sampingnya, Duchess Marre terlihat menahan air mata sambil memandangi kereta yang membawa Elea mendekat. Ketika Elea turun dari kereta, wajahnya tampak tenang, tetapi matanya sedikit memerah. Ia melangkah dengan anggun, seperti kebiasaannya sebagai ratu. Namun, ketika ia mel
Bab 24: Retaknya Ketenangan Hari-hari berlalu dengan cepat di Istana Landbird. Usia kehamilan Beatrice kini memasuki bulan ketiga. Namun, semenjak kepergian Elea, urusan kerajaan semakin menumpuk, membuat Flynn sibuk tanpa henti. Dia terpaksa menghabiskan sebagian besar waktunya di ruang kerja atau rapat dengan para bangsawan untuk meredakan gejolak politik dan mengembalikan kestabilan kerajaan. Hal ini membuat Beatrice jarang sekali melihat Flynn. Bahkan ketika sang raja akhirnya kembali ke kamarnya, itu terjadi larut malam, saat Beatrice sudah tertidur. Kehadiran Flynn yang mulai terasa dingin jelas memicu keresahan di hati Beatrice. Ia tidak terbiasa diabaikan, apalagi dengan posisinya saat ini sebagai calon ibu dari pewaris kerajaan. Malam itu, setelah beberapa malam berturut-turut hanya mendapat kehadiran Flynn yang singkat dan tanpa kata, Beatrice memutuskan untuk menunggunya. Ia duduk di atas ranj
Bab 25: Kenangan yang Menyayat Setelah malam cekcok yang membakar emosi Beatrice, ia mulai merancang langkah untuk kembali merebut perhatian Flynn sepenuhnya. Ia menyadari bahwa sekadar berada di sisi Flynn tidak lagi cukup. Jika ia ingin memastikan posisinya tak tergantikan, ia harus mengambil bagian dalam urusan kerajaan. Keesokan paginya, Beatrice mendatangi Flynn di ruang kerja dengan ekspresi yang tampak tulus, tetapi dengan rencana matang yang tersembunyi di balik senyumnya. “Yang Mulia,” ucap Beatrice lembut, melangkah mendekat. Flynn, yang sedang sibuk dengan dokumen, mengangkat wajahnya untuk menatap wanita yang tengah mengandung anaknya itu. “Ada apa, Beatrice?” tanyanya, suaranya terdengar hangat meskipun letih. Beatrice duduk dengan anggun di kursi di depannya, menangkupkan tangannya di atas perutnya yang mulai membesar. “Saya hanya ingin mengungkapkan rasa syukur
Bab 26: Surat yang Tak Berbalas Pagi itu, di istana megah Kerajaan Veridion, Raja Alaric duduk di meja kerjanya yang penuh dengan dokumen. Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis jendela ruangannya, memberikan suasana yang hangat namun tak mampu meringankan beban pikirannya. Sesekali ia memutar cincin di jarinya kebiasaannya saat sedang berpikir keras. Di antara dokumen tentang urusan negara dan rencana diplomasi, ada selembar kertas yang berbeda. Surat yang sedang ia tulis untuk Elea. Sejak kabar perceraian Elea tersebar, Alaric merasa tak bisa diam. Ia tahu Elea terluka, dan keinginannya untuk berada di sisinya semakin kuat. “Elea...” gumam Alaric pelan sambil menuliskan beberapa kalimat terakhir di suratnya. Ia mencoba untuk tidak terlalu kentara dalam mengungkapkan isi hatinya, tetapi kalimat-kalimat itu selalu menyiratkan perasaan yang ingin ia sampaikan. Surat itu seles
Bab 27: Penobatan Beatrice Dua bulan setelah perceraian dengan Elea, Flynn akhirnya melaksanakan upacara penobatan Beatrice sebagai ratu Kerajaan Landbird. Istana dihiasi dengan megah, kain-kain sutra berwarna emas dan merah terpasang di setiap sudut aula utama. Para bangsawan diundang untuk menyaksikan momen ini, meskipun beberapa di antaranya hadir dengan rasa enggan. Beatrice, mengenakan gaun putih berhias permata, melangkah memasuki aula dengan senyum anggunnya. Perutnya yang mulai terlihat membuncit menjadi simbol statusnya sebagai ibu dari calon penerus takhta. Flynn menatapnya dengan penuh kekaguman, seolah lupa dengan semua kekacauan yang telah terjadi di sekeliling mereka. Namun, di luar aula megah itu, desas-desus buruk tentang Flynn semakin menguat. “Cepat sekali dia mengangkat Beatrice menjadi ratu,” ujar seorang bangsawan tua kepada rekannya. “Bukankah ini seperti membuktikan bahwa dia
Bab 29: Surat yang Ditunggu-Tunggu Malam itu, di Istana Veridion, Alaric tengah duduk di ruang kerjanya. Seberkas cahaya lilin menerangi meja kayu besar yang dipenuhi dokumen-dokumen kerajaan. Sementara tangannya sibuk menandatangani surat perintah, pikirannya melayang pada Elea. Sudah berbulan-bulan sejak ia terakhir mengirimkan surat untuknya, berharap suatu saat Elea akan menjawab. Namun, harapan itu selalu disambut dengan keheningan. Hingga malam ini, seekor burung merpati putih mendarat di jendela ruangannya, membawa secarik kertas kecil yang terlipat rapi. Alaric segera menghentikan pekerjaannya dan mengambil surat itu. Jantungnya berdebar saat melihat tulisan tangan yang sudah dikenalnya—tulisan Elea. Dengan hati-hati, ia membuka lipatan kertas tersebut. "Yang Mulia Raja Alaric,Setelah sekian lama saya merenung, saya merasa sudah waktunya bagi kita untuk mengenal satu sama lain lebih jauh. Kehidupan saya
Elea menatap suaminya dengan penuh selidik. Ia mengenal Alaric dengan baik, terlalu baik. Dan ekspresi yang baru saja melintas di wajah pria itu bukanlah sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja. "Alaric," ucap Elea pelan, suaranya lembut, tetapi penuh tekanan. "Apa yang dikatakan Grand Duke kepadamu sebelum pergi?" Alaric tetap diam sejenak, lalu beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah jendela. Ia menatap ke luar, seolah mencari jawaban di balik langit Veridion yang mulai meredup. "Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," jawabnya akhirnya. Elea menyipitkan mata. "Jangan meremehkanku." Alaric menghela napas, lalu berbalik menghadapi istrinya. "Grand Duke hanya mengingatkanku tentang beberapa hal di masa lalu. Tidak ada yang penting." "Jika tidak penting, kau tidak akan bereaksi seperti tadi," sahut Elea cepat. Raja Veridion itu menatap Elea beberapa saat sebelum akhirnya mengusap wajahnya dengan lelah. "Grand Duke mengungkit sesuatu yang seharusnya tetap terkubur."
Bab 84 – Api yang BerkobarDi mansion Grand Duke Elvenhart, Aveline duduk di ruang pribadinya, jemarinya mencengkeram surat dari Baron Reynard dengan kuat. Matanya membara penuh kemarahan saat membaca isi laporan yang ia terima. Putra Mahkota Kaelen membela Edith. Dan yang lebih buruk lagi, ia mengaku bahwa Edith adalah kekasihnya. Aveline tidak bisa menerima ini. Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Dengan langkah cepat, ia keluar dari kamarnya dan langsung menuju ruang kerja ayahnya. Tanpa ragu, ia mengetuk pintu keras sebelum masuk. Grand Duke Elvenhart, yang tengah membaca dokumen di mejanya, menoleh dengan alis berkerut. Melihat ekspresi putrinya yang tegang, ia meletakkan penanya dan menatapnya dengan tajam. "Aveline," katanya dengan nada dalam. "Ada apa?" Aveline menegakkan tubuhnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap terkendali. "Ayah, saya baru saja menerima kabar dari Baron Reynard," katanya dengan tenang, meskipun ada ketegangan dalam suaranya. "Putra Mahkota Ka
Edith tahu keputusan Grand Duke Elvenhart akan membawa dampak besar, tetapi ia tidak menduga seberapa cepat situasi akan berubah. Dua hari setelah pengumuman bahwa Kota Velfenne menjadi tanggung jawabnya, Edith menerima surat dari salah satu pejabat di kota tersebut. Isinya bukanlah ucapan selamat, melainkan peringatan. "Ada gerakan yang mencurigakan di antara beberapa bangsawan lokal. Mereka tidak secara terang-terangan menentang keputusan ini, tetapi banyak yang meragukan legitimasi Anda. Saya khawatir ada sesuatu yang direncanakan di balik layar."Edith membaca surat itu dengan dahi berkerut. Ia sudah menduga bahwa tidak semua orang akan menerima posisinya, tetapi jika ada sesuatu yang direncanakan di balik layar, itu berarti masalah lebih besar akan datang. Sementara itu, di sisi lain mansion, Aveline duduk di ruang pribadinya dengan tenang. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan wajah kaku dan pakaian bangsawan sederhana. Ia adalah Baron Reynard, salah satu pemilik tanah
Bab 82 – Hadiah yang Membakar DendamDi dalam mansion Grand Duke Elvenhart, ketegangan terasa semakin pekat. Edith berusaha untuk tetap tenang, tetapi rumor yang terus berkembang membuatnya semakin sulit bernapas. Malam itu, ia berjalan melewati koridor yang diterangi cahaya lilin, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Saat ia sampai di depan pintu kamarnya, langkahnya terhenti. Di ujung lorong, seseorang berdiri menunggunya. Gaun ungu lembut yang membalut tubuh wanita itu tampak begitu anggun di bawah cahaya lilin, tetapi sorot matanya yang tajam mengisyaratkan sesuatu yang lain. "Akhirnya kau pulang juga," suara Aveline terdengar lembut, tetapi ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Edith meremang. Edith menghela napas. "Apa yang kau inginkan, Lady Aveline?" Aveline tersenyum kecil, melangkah mendekat. "Kau terdengar begitu kaku, Edith. Aku hanya ingin berbicara." Edith menegang, tetapi tetap berdiri tegak. "Jika kau ingin membicarakan rumor itu, aku tidak tertarik." Av
Hari-hari setelah perburuan itu tidak berjalan seperti yang diharapkan Edith. Sejak kepulangannya dari hutan bersama Roderic, namanya tiba-tiba memenuhi setiap bisikan dan percakapan para bangsawan. Di setiap perjamuan teh, di lorong-lorong istana, di antara tawa para lady yang mengenakan gaun-gaun indah, hanya ada satu topik yang mereka bahas. "Lady Edith sudah tidak suci lagi."Rumor itu menyebar seperti api yang melahap hutan kering. Tidak ada yang tahu pasti dari mana asalnya, tetapi bisikan-bisikan itu menjadi semakin liar setiap harinya. Di Ruang Teh Para LadyDi sebuah taman indah di dalam istana, para lady tengah menikmati perjamuan sore. Teh harum memenuhi udara, diiringi suara-suara lembut yang penuh kepalsuan. "Benar-benar mengejutkan," kata Lady Vivienne dengan nada dramatis. "Aku mendengar bahwa Lady Edith menghabiskan malam di hutan bersama Lord Roderic. Berdua saja!" Lady Marielle, yang duduk di sampingnya, menutup mulutnya seolah terkejut. "Astaga, kalau itu
Di dalam hutan yang gelap, cahaya bulan mengintip di antara celah dedaunan, memberikan sedikit penerangan bagi Edith dan Roderic yang masih terjebak. Suara jangkrik dan hembusan angin menjadi latar belakang keheningan di antara mereka. Edith menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan rasa dingin meskipun mantel Roderic sudah membalut tubuhnya. Ia melirik pria di sebelahnya, yang tampak santai bersandar pada batang pohon, seolah-olah keadaan ini bukan masalah besar. "Kau terlihat tenang," kata Edith akhirnya, suaranya lirih namun cukup jelas. Roderic menoleh dengan senyum kecil. "Harus ada yang tetap tenang, kan?" Edith menghela napas, lalu menatap langit yang terbuka di antara pepohonan. "Aku tidak menyangka perburuan akan berakhir seperti ini." Roderic terkekeh. "Sama. Biasanya aku hanya berburu sebentar, lalu kembali dengan kemenangan kecil. Kali ini... kurasa kita tidak bisa mengandalkan keberuntungan." Keheningan menyelimuti mereka lagi, hingga akhirnya Edith berbicara le
Langit cerah membentang luas di atas tanah perburuan kerajaan, udara dipenuhi dengan semangat dan obrolan para bangsawan yang berkumpul dalam festival tahunan ini. Bendera-bendera kerajaan berkibar di sepanjang jalur masuk, sementara para pelayan berlalu-lalang, menyiapkan segala keperluan untuk berburu. Di singgasana yang telah disediakan di tengah area utama, Raja Alaric duduk dengan penuh wibawa, didampingi oleh Ratu Elea yang tampak anggun dalam gaun biru langit. Putra Mahkota Kaelen berdiri di sisi mereka, mengenakan jubah ringan yang menunjukkan statusnya, matanya tajam mengamati kerumunan. Di antara para peserta, Grand Duke Elvenhart tiba bersama Lady Aveline, Edith, dan asistennya, Alex. Aveline mengenakan pakaian berkuda yang mewah, sementara Edith berdiri sedikit di belakangnya dengan pakaian sederhana yang tetap rapi. “Festival perburuan ini selalu ramai, ya?” gumam Alex sambil menatap sekeliling. “Memang. Ini bukan hanya soal berburu, tetapi juga ajang politik,” ja
Di dalam kediaman keluarga Marquis Laurent, Lord Roderic duduk di ruang kerjanya, menatap surat yang baru saja ia tulis untuk Edith. Ia menggulirkan pena di antara jarinya, berpikir apakah ia harus mengirimnya atau tidak. "Roderic," sebuah suara berat terdengar dari ambang pintu. Roderic menoleh dan mendapati kakak laki-lakinya, Lord Gilbert Laurent, berdiri dengan tangan bersedekap. Wajahnya seperti biasa, penuh dengan sikap superior seorang pewaris utama. "Kau masih sibuk dengan surat-surat itu?" tanya Gilbert, nada suaranya terdengar meremehkan. Roderic tersenyum tipis. "Hanya sekadar korespondensi pribadi." Gilbert mendekat, mengambil surat di atas meja tanpa meminta izin, dan membaca sekilas. Senyum miring muncul di wajahnya. "Edith Manesse? Gadis yang bekerja di bawah Grand Duke Elvenhart?" Roderic mengulurkan tangannya untuk mengambil kembali surat itu, tapi Gilbert menahannya lebih lama sebelum akhirnya menyerahkannya. "Kau benar-benar tidak tahu bagaimana memili
Di Kediaman Grand Duke ElvenhartEdith duduk di ruang baca dengan setumpuk dokumen di depannya, tetapi perhatiannya tidak sepenuhnya tertuju pada pekerjaannya. Di sampingnya, terdapat beberapa surat yang baru saja dikirim oleh seorang pelayan, semuanya dari Lord Roderic. Ia menghela napas sebelum mengambil salah satu surat dan membukanya. Tulisan tangan yang rapi dan sedikit miring menyambutnya. "Lady Edith, Aku harap hari ini menyapamu dengan baik. Aku tidak bisa berhenti memikirkan percakapan terakhir kita di kafe itu. Rasanya begitu menyenangkan bisa berbicara dengan seseorang yang tidak hanya berbasa-basi dalam sopan santun. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa mengajakmu berjalan-jalan suatu hari nanti? Dengan hormat, Roderic Laurent"Edith menggeleng pelan. Sudah hampir seminggu sejak mereka pertama kali bertemu di kafe, dan sejak itu, surat-surat Roderic terus berdatangan. Ia tidak yakin apakah ini hanya cara pria itu bersikap sopan atau jika ada sesuatu yang lebih dala