Sudah sebulan lebih waktu berjalan, Louis pun telah kembali dengan membawa kabar gembira. Persahabatan antara kedua kerajaan semakin erat dan memiliki kerjasama di berbagai sektor.
Tahun pelajaran baru akademi kerajaan juga sudah mulai dibuka. Bagi mereka yang berusia 16 hingga 18 tahun diperbolehkan mendaftar dan akan mengikuti seleksi masuk.
Seleksi masuk terdiri dari dua tes. Pertama, seleksi pengetahuan umum dan kemampuan strategi, baik strategi dalam perang maupun bidang lainnya. Kedua, seleksi kemampuan dalam pertarungan. Diperbolehkan menggunakan semua jenis serangan dan sihir yang dimiliki masing-masing peserta.
Akademi kerajaan membagi kelas berdasarkan hasil nilai yang keluar. Mereka tidak melihat dari status sosial para peserta. Jika nilai tes seleksi pertama lebih unggul dari seleksi kedua maka mereka akan dimasukkan ke dalam kelas putih, kelas yang lebih fokus dalam kemampuan seperti ekonomi, politik, strategi dan sejenisnya. Apabila hasil seleksi kedua yang lebih unggul, mereka akan dimasukkan ke dalam kelas hitam. Kelas yang berfokus pada pertarungan.
Tidak semua orang bisa lolos dan belajar di akademi ini. Jika mereka memenuhi batas nilai di masing-masing tes maka dipastikan lolos. Untuk seleksi pertama dan kedua, passing grade yang harus dicapai adalah 150 poin. Jadi, jika salah satu tidak memenuhi passing grade maka dinyatakan tidak lolos.
Kelas putih tentu juga akan menerima pelajaran dalam pertarungan namun hanya sekedar saja. Begitu pun kelas hitam yang mempelajari apa yang dipelajari kelas putih namun hanya beberapa hal saja. Mereka dapat mengajukan kelas tambahan jika sekiranya ingin lebih memahami suatu materi. Seperti contoh, kelas hitam yang ingin mempelajari bidang ekonomi lebih mendalam maka diperbolehkan mengajukannya.
Pendaftaran masuk akan dilaksanakan dalam dua hari dan hari ini merupakan hari pertama pendaftaran. Banyak remaja dan orang tua yang mengantri untuk mendaftarkan anaknya.
"Huh, seharusnya aku datang besok saja," ucap seorang remaja laki-laki.
"Kau benar, hari ini sangat ramai."
Terkejut dengan seseorang di sampingnya. Dia tidak mengira akan diajak bicara.
Pemuda itu kemudian ikut mengantri di barisan yang lebih sedikit.
"Waw, kau kuat mengantri sepanjang ini?" tanya orang itu dengan mengikutinya.
"Ya."
"Ayolah, setidaknya kau mengatakan sesuatu yang lebih panjang."
"..."
"Kau ini! Ha.. Kalau begitu, perkenalkan namaku Reito. Kuharap kita bisa saling berteman."
Reito nama orang itu. Memiliki mata coklat dan rambut hitam. Dia terlihat seperti pemuda yang periang.
"Vero."
"Baiklah Vero, mari kita berjuang bersama mulai hari ini."
Vero tidak membalas perkataannya, dia membiarkan Reito berbicara sendiri.
"Oh iya, aku penasaran dengan rambutmu. Apa ini asli berwarna putih?" tanya Reito.
"Ini bukan putih, tapi perak keputihan."
"Benarkah?! Itu sangat keren apalagi ada warna biru tuanya!" heboh Reito yang membuat mereka kini menjadi pusat perhatian sekitar terutama Vero yang menjadi fokus utamanya.
"Kau membuat keributan."
Kesal karena dirinya menjadi perhatian, Vero menegur Reito untuk diam. Banyak orang memperhatikan mereka berdua saat ini, mereka membisikkan sesuatu dengan orang di dekatnya. Vero mendengar apa yang mereka bicarakan di belakangnya. Dia sudah biasa mendengar hal itu.
"Reito sialan, padahal aku sudah menghilangkan hawa keberadaan. Yah.. Biarlah." ucap Vero dalam hati.
"Hai Vero! Kita bertemu kembali, aku tak menyangka kamu juga mendaftar di akademi ini."
Mendengar suara itu, Vero berbalik ke arah suara dan menemukan Bella bersama Roy dan Yoshi. Reito yang di belakang Vero sedikit terkejut namun segera kembali seperti biasa. Reito mengenal siapa itu Bella dan dua orang lainnya.
"Apakah Anda Nona Bella, putri marquise?" tanya Reito dengan sopan.
Bella mengalihkan matanya ke Reito, dia memang sudah mengira orang di ibukota pasti mengenalnya.
"Ya, aku Bella Van Dirson. Salam kenal."
Mendengar hal itu, Vero tak menyangka jika Bella merupakan anak seorang bangsawan. Dia mengira Bella hanya gadis biasa saat itu.
"Ternyata kau putri bangsawan."
"Maaf tidak memberitaumu terlebih dahulu, aku hanya tidak ingin dikenal sebagai putri bangsawan."
"Terserahlah, itu bukan urusanku," balas Vero acuh tak acuh.
Bangsawan merupakan hal yang Vero tidak sukai. Tidak sepenuhnya benci, mungkin hanya kurang menyukai mereka. Vero tidak menyukai seorang bangsawan karena suatu alasan di masa lalu yang terjadi padanya. Saat ini dia belajar untuk mulai menerima kehadiran mereka di sekitar dirinya.
"Kalian sudah saling mengenal?!" tanya Reito yang dari tadi memerhatikan mereka.
"Ya, kami mengenal satu sama lain di desanya Vero," jawab Yoshi.
Bella merasa Vero acuh kepadanya, dia bingung apa yang salah.
"Um... Vero," ucap Bella.
"Selanjutnya!" teriak orang yang bertugas di depan mereka.
Sebenarnya Vero mendengar Bella memanggilnya namun dia pergi menuju tempat pendaftaran.
"Oh, Kau pemuda yang tampan. Siapa namamu?" tanya petugas itu.
"Vero, 17 tahun dari Desa Miru." sambil menyerahkan kartu identitasnya.
"Hanya Vero?"
"Ya, hanya Vero."
"Baiklah, aku mengerti. Perjalananmu dari desa pasti memakan waktu lama, jadi aku harap kau lolos," ucap petugas itu sambil menyerahkan nomor urut.
Vero memberikan dua koin perak sebagai biaya pendaftaran. Memang biaya pendaftarannya cukup mahal. Dua koin perak cukup untuk biaya menginap semalam di penginapan. Biaya ini dimaksudkan agar para peserta tidak bermain-main dalam mendaftar.
Pembagian mata uang di dunia itu adalah koin platinum, emas, perak, dan perunggu. Satu koin platinum sama dengan sepuluh koin emas. Satu koin emas sama dengan lima puluh koin perak dan satu koin perak sama dengan seratus koin perunggu.
"Lusa jam delapan pagi adalah jadwal tesmu, jangan sampai terlambat."
Setelah menerima nomor urut dan jadwalnya, Vero meninggalkan tempat pendaftaran tanpa berpamit kepada Reito dan lainnya. Dia pergi mencari penginapan yang menurutnya bagus.
Hari itu sudah siang, dia memasuki penginapan bernama 'Palapa'. Dari sekian banyak penginapan, penginapan inilah yang sepi pengunjung. Menurutnya, penginapan ini sepi pengunjung karena letaknya di ujung kota. Kemungkinan para pengunjung lebih dulu memilih penginapan yang terdekat dari pusat kota.
"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya pemilik penginapan.
"Aku ingin menginap selama tiga malam."
"Biayanya dua koin perak untuk menginap semalam dan sudah termasuk makan malam."
"Hanya makan malam?"
"Iya, maafkan kami. Karena sepi pengunjung jadi tidak ada karyawan yang bekerja untuk menyiapkan sarapan."
"Baiklah, ini enam koin peraknya."
Vero melihat sekeliling ruangan, memang penginapan ini hanya memiliki tiga hingga lima orang pengunjung. Wanita pemilik penginapan itu kemudian memberikan kunci dan memanggil seorang anak laki-laki. Bocah berumur sebelas tahun itu sepertinya anak dari pemilik penginapan.
Bocah itu membimbing Vero menuju ruangannya. Setelah sampai di depan ruangannya, bocah itu izin untuk kembali.
"Tunggu sebentar."
Vero menghentikan bocah itu dan mengambil satu koin perunggu. Dia memberikan koin itu kepadanya sebagai ucapan terima kasih.
"Tidak, Kak. Aku tidak menerima upah hanya untuk mengantar."
"Tidak apa, anggap ini sebagai hadiahku saja."
"Um.. Terima kasih, Kak. Namaku Bima."
"Sama-sama, aku Vero."
Bima mengucapkan terima kasih lagi kepadanya sebelum kembali ke bawah.
Vero langsung membuka kamarnya dan melihat isi ruangan. Terdapat kasur dan lemari di kamar itu. Ruangannya bersih dan cukup luas dengan harga dua koin perak. Tak hanya itu, di dalam kamar juga tersedia kamar mandi.
"Sungguh beruntung aku menemukan penginapan ini," gumamnya sambil membuka jendela.
Karena penginapan ini terletak di ujung kota, Vero dapat melihat pemandangan kota yang ramai. Banyak pengunjung seperti dirinya yang memasuki penginapan lainnya dan juga bermacam ras berlalu lalang di dalam kota.
Vero duduk di atas kasurnya sambil memikirkan rencananya hari ini. Saat ini masih siang sekitar jam dua, dia berniat akan tidur siang dulu lalu akan mengelilingi kota dari sore hingga petang.
"Kuharap ini pilihan yang tepat."
***
Hari itu Reyna mendaftar ditemani oleh seorang maid. Semua orang di sana yang mengenal dirinya dibuat takjub akan kecantikannya. Dia mengetahui mereka terus melihatnya dengan tatapan takjub membuatnya merasa sedikit canggung, karena itulah dia jarang keluar istana.
"Putri, tolong tunggu sebentar. Biarkan saya yang mendaftarkan Anda."
"Tidak, biar aku saja. Aku juga akan mengantri seperti yang lainnya."
"Tidak, Putri. Itu akan sangat lama, jadi biarkan saya saja."
Reyna tak dapat membantah perkataan maidnya, dia membiarkan maid itu untuk mendaftarkan dirinya. Sedangkan, Reyna menunggunya di luar barisan. Tentu orang-orang memperhatikan dirinya.
"Sudah aku duga akan begini," gumamnya.
Dia bosan menunggu dengan tidak melakukan apapun hingga sebuah suara terdengar.
"Benarkah?! Itu sangat keren apalagi ada warna biru tuanya!" teriak seseorang di barisan kedua.
Semua perhatian yang diterima Reyna akhirnya teralihkan ke sumber suara. Dia bersyukur akan itu dan juga penasaran dengan apa yang terjadi.
"Kau membuat keributan." ucap pemuda satunya.
Baru pertama kali bagi Reyna melihat pemuda seperti itu. Memiliki dua warna rambut itu sangatlah langka. Orang-orang di sekitarnya terkesan dengan pemuda itu termasuk dirinya.
"Siapa pemuda itu?"
"Aku terkejut melihat pemuda setampan dirinya."
"Apa dia seorang pangeran dari suatu kerajaan?"
"Sepertinya bukan, lihatlah pakaiannya."
"Oh, Nona Bella mengenal pemuda itu? Apa mungkin dia memang seorang bangsawan?"
Banyak orang yang membicarakan pemuda itu. Reyna juga penasaran akan identitasnya, baru kali ini dia penasaran dengan seseorang. Pemuda berambut perak dan biru tua.
"Kalau tidak salah dengar, nama dia Vero ya.. Vero.." gumam Reyna.
"Putri, sekarang kita bisa kembali ke istana dulu. Tesnya dilaksanakan lusa."
Maid itu berbicara dengannya membuat dia sadar dari lamunan.
"Baiklah, terima kasih, Nell."
Mereka kembali ke kereta kuda dan menuju ke istana. Reyna masih memikirkan pemuda itu karena dia merasa pemuda itu sangat misterius. Hawa keberadaannya sangat tipis. Jika pemuda satunya tidak membuat kehebohan maka tak ada yang menyadarinya kecuali beberapa orang.
***
Sore harinya, Vero keluar penginapan untuk membeli beberapa peralatan sekaligus mengumpulkan informasi. Dia mengunjungi bar yang cukup ramai dengan memakai jubah biasa menutupi kepalanya.
"Aku pesan satu soda."
Dia kemudian duduk di pojok ruangan. Pelayan itu lalu mengantar pesanan Vero.
"Apa kau sudah dengar? Katanya di pegunungan ada seekor ular raksasa."
"Pegunungan di dekat Desa Eru? Jangan bercanda!"
"Oh iya, apa kalian juga sudah tau jika kerajaan akan mengadakan kontes tarung?"
"Aku sudah tau, mereka mengadakannya enam bulan dari sekarang dan syaratnya harus berusia 16-25 tahun."
Setelah mendengar beberapa informasi, Vero membayar tagihan dan meninggalkan bar. Dia kemudian mengunjungi toko senjata untuk melihat-lihat. Di sana ada berbagai macam senjata, mulai dari kelas rendah hingga spesial.
"Selamat datang, Tuan. Senjata apa yang Anda butuhkan?" tanya pelayan toko itu.
"Aku ingin melihat belati."
Pelayan itu mengantar Vero menuju rak khusus belati. Vero melihat kualitas semua belati di atas rak dengan skill appraisal miliknya. Dia mengerti kalau kualitas senjata di ibukota lebih bagus dari tempat lainnya namun harganya tidak wajar.
Vero kemudian memilih satu belati hitam yang middle quality dengan harga 4 koin perak dan 10 perunggu. Belati itu akan dia gunakan untuk seleksi masuk akademi.
Selanjutnya, Vero mengelilingi kota agar lebih mengenal kota tersebut.
Terkadang Vero berhenti di depan toko makanan dan armor hanya untuk melihat-lihat. Lalu membeli beberapa roti dan manisan. Setelah dia merasa cukup mengetahui kota, dia kembali ke penginapan saat matahari terbenam.
"Selamat datang kembali. Makan malamnya sedang disiapkan Ibu, Kak," sapa Bima di meja resepsionis.
"Kalau begitu aku pergi mandi dulu. Oh iya, ini ada beberapa oleh-oleh untuk kalian."
Vero menyerahkan tiga roti isi dan beberapa manisan kepada Bima. Sebenarnya Bima tak enak menerimanya namun Vero memaksa.
"Astaga, kau tidak perlu repot seperti ini, Nak," kata ibu Bima dengan membawa nampan berisi makanan.
Rupanya Ibu Bima mendengar pembicaraan mereka dan menyiapkan makanan yang sudah jadi untuk Vero. Vero lantas menghampirinya dan menerima nampan tersebut.
"Tidak apa, aku juga tidak akan habis memakannya, Nyonya."
"Jangan panggil aku Nyonya, panggil saja aku seperti Bima memanggilku."
"Uhm... Baik, Bu."
Dengan suara keraguan, Vero memanggilnya dengan sebutan ibu. Dia merasa aneh memanggil seseorang dengan panggilan itu karena seumur hidupnya dia tak pernah memanggil ibu kepada seseorang.
Vero yang awalnya berniat untuk mandi terlebih dahulu, saat ini membatalkan jadwalnya karena makan malam sudah disiapkan. Dia lalu mengajak mereka berdua untuk makan malam bersama.
"Pengunjung yang lain tidak makan malam?" tanya Vero.
"Mereka saat ini ada keperluan, kemungkinan pulang sekitar jam delapan."
"Kak, terima kasih sudah memberikan Bima makanan."
"Ya, tak masalah. Lain kali aku akan membawakan lagi jika aku sempat."
Melihat Bima dan Vero berbincang layaknya seseorang yang sudah dekat, pemilik penginapan itu tersenyum. Dia merasa bersyukur Vero menginap di tempatnya. Mereka kemudian berbincang-bincang mengenai keadaan masing-masing.
Selepas makan malam, Vero kembali ke kamarnya dan mandi.
Dia mengetahui jika ibu pemilik penginapan ini bernama Hilma. Suaminya saat ini menjadi prajurit bintang satu dan ditugaskan di desa yang berjarak tiga kilometer dari ibukota. Karena suaminya bekerja sebagai prajurit, penginapan itu masih tetap berjalan hingga sekarang walaupun hanya memiliki sedikit pelanggan.
Vero yang sudah selesai mandi kemudian mengambil baju ganti dan memasukkan belanjaan yang dibelinya ke dalam inventory.
"Sihir ini sangat praktis, bukan."
Malam itu merupakan awal bagi dirinya memulai hidup baru di Kerajaan Quella.
Pagi harinya, Vero berada di dapur penginapan. Dia saat ini sedang memasak untuk sarapan. Saat kemarin sore dia sudah meminta izin Hilma untuk menggunakan dapur. "Kakak mau masak apa?" tanya Bima penasaran. "Hanya makanan sederhana," jawabnya. Suara khas dari penggorengan terdengar di sekitar dapur, beberapa rempah yang sudah digiling dimasukkan ke dalam wajan seperti bawang putih, bawang merah, cabai, garam, lada, dan sebagainya. Kemudian, dia memasukkan potongan daging hingga setengah matang. Bima yang memperhatikan Vero memasukkan daging lalu nasi mengerti jika dia berencana membuat nasi goreng daging sapi. "Kelihatannya sangat lezat!" ujar Bima. "Belum saatnya menilai kalau belum dicoba." Setelah beberapa saat, nasi goreng itu diletakkan di atas mangkuk besar. Cukup untuk beberapa porsi, pikirnya. Wangi dari masakan itu menyebar hingga lantai dua membuat para penghuni keluar kamar. Mereka penasaran darimana aroma makanan itu datang. "Rupanya Nak Vero pandai memasak. Aroma m
Terdapat sekitar tiga ratus calon peserta yang mengikuti tes masuk, yang dibagi menjadi enam kelas dengan masing-masing menghadirkan lima puluh peserta. Vero, yang memiliki nomor tes empat puluh sembilan, ditugaskan di ruangan pertama. Saat memasuki ruangan tersebut, Vero melihat hampir seluruh bangku telah terisi. Ia mencari tempat duduk sesuai dengan nomor urutnya dan menemukannya di pojok paling belakang. Beberapa menit kemudian, ruangan tersebut telah penuh dan pengawas ujian memberikan sepuluh lembar pertanyaan kepada peserta. Setiap lembar soal terdiri dari lima belas pertanyaan. Setiap jawaban benar akan memberikan dua poin, jawaban yang dianggap kurang tepat diberikan satu poin, sementara jawaban yang salah akan dikenai poin minus satu. Dengan demikian, untuk memenuhi passing grade, peserta harus menjawab minimal tujuh puluh lima soal dengan benar. "Diberikan waktu satu setengah jam untuk mengerjakan soal. Jangan harap ada kesempatan untuk menyontek!" tegas pengawas. Atmosf
"Sejak kapan ada bangku-bangku ini?!""Aku juga tidak tahu, penginapan ini terkunci saat malam.""Mungkin saja tukang mebelnya datang pagi-pagi sebelum kita semua bangun," duga Ken. Mereka saling bertatapan, bingung dengan kehadiran bangku-bangku tersebut. Mendengar keributan, Hilma keluar dari kamarnya. "Apa yang terjadi? Sudah pagi-pagi begini ribut?" tanya Hilma. "Gini Bu, kita sebenarnya ingin merapikan ruangan lagi sebelum dibuka, tapi tiba-tiba ada banyak bangku yang sudah tersusun rapi padahal pintunya belum dibuka," jelaskan Yui. Hilma yang mendengar penjelasan Yui segera memeriksa keadaan. Dia juga terkejut melihat banyaknya bangku yang telah tersusun rapi di dalam penginapan. "Oh, begitu ya... Tadi sebelum kalian turun, aku membuka pintunya, dan pada saat itulah mereka membawa bangku-bangku ini masuk," jawab Hilma, mencoba menutupi kebenaran Vero. "Hmm... mereka benar-benar pekerja keras," komentar Niki, percaya dengan alasan Hilma. Pagi itu, mereka melanjutkan members
Pagi ini aula akademi kerajaan dipenuhi oleh para murid baru karena acara pembukaan dialihkan ke sini. Mereka memakai seragam yang sudah dibagikan dan duduk di masing-masing kelas. Kelas hitam berada di sisi kanan dan kelas putih berada di sisi kiri. Setiap sisi terdapat bangku yang diatur sedemikian rupa. Bangku-bangku itu diatur menjadi lima belas baris dan setiap baris berisi sepuluh bangku. Vero yang sudah datang dari awal berada di kursi barisan kedua. Memakai seragam putih dan rambut peraknya menjadi perhatian murid di sekitar. Vero sudah tak mempermasalahkan tatapan itu dan melanjutkan aktivitasnya namun tiba-tiba seseorang masuk. Seorang siswa kelas hitam, memiliki mata tajam, rambut merah, dan wajah rupawan. Di sampingnya berdiri seorang siswa kelas hitam juga, dia mengikuti siswa berambut merah. Saat dua orang itu melewati bangku-bangku belakang, aroma khas tercium. "Hei, bukannya mereka dari Sirius?" bisik seseorang ke teman di sebelahnya. "Darimana kau tau?" "Lihat la
Biasanya, para murid menghabiskan jam istirahat mereka di kantin, lapangan, tempat latihan, atau perpustakaan. Namun, Vero termasuk siswa yang memilih tempat lain. Dia berada di bawah pohon yang dapat ditemukan melalui jendela perpustakaan. Saat ini, dia tertidur pulas dengan buku menutup wajahnya. Kicauan burung di dahan pohon terdengar merdu, sementara suara dentingan pedang yang beradu di lapangan terdengar sampai ke tempatnya. Angin sepoi menambah rasa kantuk dalam diri Vero. Tuk. Tuk. Tuk. Waktu santainya terganggu, Vero bangun dari tidur setelah merasakan sesuatu pada tubuhnya. Dia melihat ada tiga butir kacang di dekatnya lalu melihat sekeliling. Tak ada orang. Kemudian, dia melihat ke atas pohon. "Rupanya kau," kata Vero. "Ah, aku ketahuan ya," balas Reito. Seseorang itu turun dari pohon dan ikut duduk di dekatnya. "Ada apa sampai harus mengganggu tidurku?" tanya Vero. "Aku hanya iseng melihat kau tidur dengan pulas," jawab Reito. Mendengar itu, Vero memutar matanya deng
"Apa yang kau lakukan?" tanya Vero, membalikkan kepalanya untuk melihat Reito yang mengikutinya. "Aku?" Reito mengernyitkan keningnya. "Cepat katakan. Kenapa kau mengikutiku?" "Siapa juga yang mengikutimu, aku hanya ingin mengunjungi Kedai Palapa itu." "Terserah kau saja." Vero sudah tidak mempedulikan dirinya yang diikuti oleh Reito sejak pulang dari akademi. Dia meneruskan jalannya menuju penginapan. Sebenarnya, Reito mengikuti Vero karena penasaran dengan kehidupan Vero. Apa saja yang dilakukannya hingga bisa seperti itu. Rasa penasaran Reito semakin menjadi setelah mereka melakukan latihan tanding. *** Dua orang pemuda berada di dalam ruang latihan. Mereka berdiri di atas arena latih tanding dengan perlengkapan yang lengkap. Kedua pemuda itu menggunakan pelindung dada dan sarung tangan. "Ternyata kau benar datang ke sini ya," kata Reito kepada Vero. Vero hanya terdiam, fokus pada persiapan dirinya untuk latihan. Dia menganggap seolah-olah tidak ada orang di depannya dan te
"Ada apa ini?" Vero bingung ketika baru sampai akademi karena melihat banyak orang berkumpul di depan papan pengumuman. Mereka melihat sebuah informasi terpasang di papan tersebut. Menyipitkan matanya, dia melihat dengan jarak lima meter dari papan itu. "Apa maksudnya ini?" Tak habis pikir dengan informasi yang dibacanya, Vero mengerutkan keningnya. Informasi yang dibacanya memang sedikit mengejutkan. Akademi baru saja menerima murid baru sehari yang lalu namun saat ini akan mengadakan pertukaran pelajar. Pertukaran pelajar dengan akademi nomor dua di Kerajaan Quella ini. Kabarnya, siswa tahun pertamalah yang akan menjadi peserta dalam kegiatan tersebut. Akademi Xerrn merupakan akademi terbesar kedua di Kerajaan Quella. Akademi ini tidak kalah megah dan istimewa. Perbedaan keduanya hanyalah dari sejarah dan pencapaian lulusan terhadap kerajaan. Sebelumnya, mereka tidak pernah mengadakan hal semacam itu membuat sebag
Suasana di dalam ruang latihan sedikit mencekam, terutama bagi mereka kelas putih. Jika membandingkan masing-masing dari perwakilan, mereka merasa akan kalah. Robin menyadari akan hal itu namun dia membiarkan para muridnya merasa tidak berdaya. Dia hanya ingin membuat mereka terinovasi dengan siapa pun pemenangnya. "Baiklah, pertandingan pertama antara Reyna dan Vira." Keduanya maju menuju arena. "Mari buat ini menjadi pertandingan yang menarik, Putri Reyna," ucap Vira. "Aku juga berharap begitu." Mereka berdua mengenakan pelindung badan. Reyna yang pandai dalam sihir hanya memakai sebuah belati. Sedangkan Vira menggunakan pedang pendek. Kemudian mereka saling bersiap untuk melawan. Vira yang pertama kali maju menyerang Reyna. Dia berlari dan melompat ke titik buta lawannya dengan cepat namun Reyna lebih dulu mengetahuinya. Serangan Vira ditahannya menggunakan belati kemudian mundur menjaga jarak.
Kembali ke hari di mana Vero membuat janji akan bertemu dengan Dika dan Yoga. Hari itu mereka membuat janji akan bertemu di suatu tempat saat jam istirahat. Vero menyetujui itu karena penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka merupakan anggota suatu organisasi di akademi yang sering menindas. "Kamu mau kemana?" tanya Allya melihat Vero keluar kelas dan berjalan beda arah. "Aku ada urusan," ucap Vero singkat mengabaikan Allya. Dengan jawaban singkat seperti itu membuat Allya curiga dengannya, dia berniat mengikuti Vero namun tiba - tiba seseorang menyapanya. "Allya, kenapa kau berdiri di depan pintu seperti ini? Kau menunggu seseorang?" "... Aku hanya bingung mau ke kantin dengan siapa." "Kalau kau bingung begitu, kenapa tidak bersama denganku? Ayo kita ke kantin bersama." "Eh, tapi—" "Ayolah, Reyna juga pasti lagi
Sekarang adalah hari di mana mereka akan diseleksi kembali. Peserta yang berhasil mencapai 20 besar akan melakukan pertandingan dengan peraturan baru. Kali ini murid tahun pertama akan melawan murid tahun kedua. Tidak peduli apakah mereka baru menjadi murid di akademi, karena hasil seleksi dari ajang ini memerlukan seseorang yang memiliki kekuatan. Sama seperti sebelumnya, mereka akan mengambil nomor urut secara bergiliran. "Vero! Kali ini aku berharap kita akan mendapatkan nomor yang sama." "Rei, kau tidak pernah menyerah huh." "Tentu saja!" "Tapi sayangnya kali ini tahun pertama akan melawan tahun kedua." "Ah kenapa peraturan konyol seperti itu ada?!" Seperti biasa, Reito kesal dengan sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencananya. Mereka maju satu persatu dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Petugas kali ini tidak mengumumkan siapa yang akan menjadi lawan m
Di tengah malam gelap gulita, seseorang keluar dari penginapan. Dia keluar layaknya seorang pencuri yang mengendap-endap. Orang itu pergi mengunjungi sebuah rumah yang berjarak enam rumah dari penginapan palapa. Tok tok... Pintu rumah yang diketuk itu kemudian terbuka menampilkan ruangan terang benerang. "Kau kembali?" "Aku ingin bertemu ketua." "Ketua saat ini istirahat, kau sampaikan saja kepadaku." "... Kalau begitu aku akan kembali besok." Pria yang diajak berbicara membuat muka masam. Pasalnya orang di depannya itu terlihat mencurigai dirinya. "Ketua ada di dalam, dia menunggumu." Pria itu membuka suara ketika orang tadi hampir sepenuhnya keluar dari pintu. "Aku tambah mencurigaimu," balasnya sambil melewati pria tersebut. Di balik pintu itu duduk seorang pria tua dengan sebuah buku di tangannya. "Apa ada yang ingin kau sampaikan malam-malam begini?"
Sudah sehari terlewat semenjak pertandingan Vero dengan Ferry. Pertandingan keduanya bisa dikatakan sangat menarik perhatian satu akademi. Saat hampir semua murid membicarakan pertandingan keduanya di asrama, Vero saat ini berada penginapan. Menjalani kegiatan rutinnya. "Biarkan aku juga membantumu memasak," tawar Allya di depan pintu dapur. "Kau lebih baik jangan mengacau. Jadilah anak baik." "Nak Vero, jangan seperti itu. Allya berniat baik untuk menolong kita di dapur. Setidaknya jawab dia dengan baik." "Kalau ibu bilang begitu... Kau bisa membantuku menyiapkan makanan. Yui, tolong urus dia." Yui yang mendengar itu tentu terlihat antusias namun tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Dia merasa tertolong dengan bantuan Allya. Allya secara cepat beradaptasi dengan suasana dapur. Tidak ada kesalahan yang diperbuat olehnya. Berkat dirinya pekerjaan terasa lebih ringan dari biasanya. "K
Hari ini merupakan babak penyisihan empat puluh besar. Mereka yang berhasil lolos hingga tahap ini akan diseleksi kembali menjadi dua puluh besar. "Kuharap kita bisa bertanding, Vero." "Kuharap tidak." "Ayolah, kali ini aku akan serius menghadapimu." "Kau tidak bosan kalah dariku, Rei?" Di bangku ruang tunggu, Reito terus berbicara dengan Vero. Dia ingin sekali menantang Vero bertanding. Namun, kali ini pertandingan dilakukan dengan pengundian. Setiap peserta akan menulis nama mereka masing-masing di atas sebuah lembar kertas. Lembaran-lembaran itu dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah kotak. Terdapat dua petugas yang akan mengambil masing-masing satu lembaran itu, kemudian nama yang muncul akan bertanding satu sama lain. "Baik, sekarang kami akan mengambil nama kalian. Apapun hasilnya, tidak dapat diganggu gugat." Dua petugas maju ke depan kotak. Mereka mengambil masing-m
Hari seleksi pertama sudah berlalu dengan lancar. Tidak ada kecelakaan apapun yang terjadi. "Hei, bukankah hari ini giliranmu?" tanya Elvina di kursi penonton. "Ya, dan itu bukan urusanmu," jawab Vero dengan menutup matanya. Elvina yang melihat reaksi jawaban dari Vero merasa amat kesal. Dia kesal karena sikap yang diberikan kepadanya berbeda dengan sikap yang diberikan kepada Allya. "Kamu mendapat nomor urut ke berapa?" balas Allya mendengar percakapan keduanya. "Kenapa? Aku mendapat nomor tiga puluh enam," jawab Vero dengan menghadap ke arah Allya. Sebenarnya Vero hanya mengerjai Elvina dengan berperilaku seperti itu karena merasa bosan. "Sekarang sudah urutan tiga puluh, sebaiknya kau bersiap sekarang juga sana!" kesal Elvina. "Kau bisa diam tidak? Aku sudah tau itu, Elvina." Elvina membuang muka dengan raut wajah kesalnya. Dia benar-benar kesal dengan Vero saat ini. Saat mereka bertiga mengobrol, s
Pagi hari itu menjadi begitu sangat ramai. Semua murid akademi berkumpul di lapangan. Mereka duduk di kursi penonton untuk menyaksikan pertandingan yang akan dimulai pada hari pertama. Semua kursi yang disediakan hampir terisi penuh, para guru juga menyaksikan siapa bibit unggul tahun ini. "Baiklah dengan ini aku menyatakan bahwa seleksi pertama dimulai!" teriak Mazumi dari tempat duduknya. Sorakan terdengar riuh di stadium menyambut pengumuman kepala akademi. Dengan demikian, pertandingan pertama akan segera dimulai. "Bagi yang mendapatkan nomor urut pertama silakan maju. Sekali lagi, bagi yang mendapat nomor urut pertama silakan memasuki arena!" MC mengumumkan melalui speaker agar peserta segera memasuki arena. Pintu masuk arena terbuka dan seketika semua perhatian tertuju kepadanya. "A-ah, I-ini terlalu me-menakutkan.." gumam pemuda berkacamata yang saat ini berjalan menuju arena. Di
Mengejutkan. Di penginapan, Vero terkejut dengan keberadaan seorang gadis yang dia tidak pernah perkirakan akan tinggal di sana juga. Gadis itu adalah Allya. "Kenapa kau ada di sini?" tanya Vero di depan meja resepsionis. "Kamu juga kenapa di sini?" tanya Allya balik dengan muka polos. "Aku tinggal di sini." "Kamu tinggal di sini juga? Astaga aku tak menyangka kita akan sepenginapan," ucapnya dengan senyuman. "Oh.. Tu-tunggu, apa maksudmu?!" "Haha.. Jangan terkejut seperti itu, mukamu yang biasanya kaku terlihat lucu saat ini." "Tidak. Aku serius bertanya, kenapa kau tidak tinggal saja di asrama akademi atau apakah kau tidak punya tempat tinggal?" tanya Vero panjang lebar. "Rumahku dari akademi cukup jauh dan tinggal di asrama sedikit kurang nyaman karena itu bukan akademi asalku." "Setidaknya ada banyak penginapan lain!" Walaupun Vero mengeluh dengan kehadiran
Hai, mohon maaf sebelumnya. Saya selaku penulis novel ini ingin mengabarkan bahwa novel ini update satu Chapter per minggu dikarenakan kesibukan. Sangat disayangkan memang namun saya harus memprioritaskan urusan pribadi. Saya juga merasa seperti tidak ada yang membaca novel ini karena selama ini hanya satu respon atau dukungan yang saya terima, itu membuat saya ragu apakah ada yang membaca cerita ini atau tidak hingga sekarang. Namun, saya akan tetap menyelesaikan novel ini hingga tamat sesuai kontrak. Kemungkinan novel ini update setiap hari sabtu atau minggu. Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca cerita ini. Mohon maaf bila ada kata yang salah.