"Sejak kapan ada bangku-bangku ini?!"
"Aku juga tidak tahu, penginapan ini terkunci saat malam.""Mungkin saja tukang mebelnya datang pagi-pagi sebelum kita semua bangun," duga Ken.Mereka saling bertatapan, bingung dengan kehadiran bangku-bangku tersebut. Mendengar keributan, Hilma keluar dari kamarnya.
"Apa yang terjadi? Sudah pagi-pagi begini ribut?" tanya Hilma.
"Gini Bu, kita sebenarnya ingin merapikan ruangan lagi sebelum dibuka, tapi tiba-tiba ada banyak bangku yang sudah tersusun rapi padahal pintunya belum dibuka," jelaskan Yui.
Hilma yang mendengar penjelasan Yui segera memeriksa keadaan. Dia juga terkejut melihat banyaknya bangku yang telah tersusun rapi di dalam penginapan.
"Oh, begitu ya... Tadi sebelum kalian turun, aku membuka pintunya, dan pada saat itulah mereka membawa bangku-bangku ini masuk," jawab Hilma, mencoba menutupi kebenaran Vero.
"Hmm... mereka benar-benar pekerja keras," komentar Niki, percaya dengan alasan Hilma.
Pagi itu, mereka melanjutkan membersihkan kedai. Vero, yang baru turun, juga membantu mengumpulkan brosur yang akan disebar. Setelah menyelesaikan persiapan, mereka dipanggil oleh Hilma untuk sarapan. Menu sarapan pagi itu adalah sandwich, yang juga akan menjadi menu spesial di kedai mereka.
Setelah sarapan selesai, Vero berpamitan untuk pergi.
"Aku akan berangkat," ucapnya.
Vero kemudian mulai menyebarkan brosur ke sekitar akademi. Dia menyerahkannya kepada pedagang dan pejalan kaki yang melintas, serta menempelkan beberapa brosur di tiang listrik.
Ketika dia tiba di pintu akademi, masih ada beberapa brosur tersisa di tangannya. Melihat keramaian di sekitar, Vero melihat kesempatan untuk membagikan sisa brosurnya kepada orang-orang yang datang untuk melihat pengumuman. Dia menargetkan orang-orang itu sebagai penduduk biasa, mengamati dari pakaian yang mereka kenakan.
"Tunggu, apa yang sedang kau bagikan?" tanya seseorang tiba-tiba.
"Rupanya Kau, Reito," jawab Vero, memberikan brosur itu kepada Reito.
Setelah Reito melihat isi brosur tersebut, dia kemudian bertanya lebih lanjut.
"Kau bekerja di sini?"
"Tidak, aku menginap di sana. Jadi, aku sekalian membantu mereka," jawab Vero."Pemuda yang baik," ejek Reito dengan bercanda.
Selesai membagikan brosur, Vero dan Reito menuju papan pengumuman untuk mencari nama masing-masing. Hasil tes diurutkan dari total nilai tertinggi hingga terendah, dan mereka yang tidak ada namanya di sana dinyatakan tidak lolos.
Peringkat pertama ditempati oleh Putri Reyna dengan total nilai 475, yang cukup mengesankan karena memadukan dua sihir menjadi es. Reyna memasuki kelas hitam dengan nilai tersebut.
Peringkat kedua hingga sepuluh diisi oleh mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, yang biasa dilatih secara intensif sejak kecil. Reito mendapati dirinya di peringkat kedua puluh dengan total nilai 406, menjadikannya orang kedua tertinggi di kelas hitam.
Sementara Vero, berada di peringkat dua puluh tujuh dengan nilai 200 dan 198 pada masing-masing tes.
"Seperti yang diduga, kelas putih," gumam Vero.
"Sayangnya kita tidak satu kelas," ujar Reito.
"Tak apa! Mari kita tetap berteman walau beda kelas," jawab Reito dengan semangat.
Dari tiga ratus peserta, hanya sembilan puluh empat orang yang lolos. Lima puluh orang masuk ke kelas putih, dan sisanya ke kelas hitam. Mereka yang lolos melakukan registrasi ulang di aula.
"Vero, berada di kelas putih. Ini seragammu," kata petugas sambil memberikan seragam putih bermotif hitam dengan lambang kerajaan.
"Apa kamu akan tinggal di asrama atau tidak?" tanya petugas itu.
"Apa itu wajib?" tanya Vero.
"Tidak, tapi kami memberikan pilihan. Jika kamu mau tinggal di asrama, kamu harus membayar dua koin emas per tahunnya untuk biaya makan dan lain-lain," jelas petugas.
Vero memikirkan tawaran itu, merasa bahwa dua koin emas per tahun adalah biaya yang lebih terjangkau daripada di penginapan.
"Kamu bisa memutuskannya kapanpun, tapi paling lambat enam bulan sebelum tahun pertama berakhir. Jika lewat dari enam bulan pertama, kamu harus menunggu tahun kedua," tambah petugas itu.
Petugas itu kemudian memberitahu mereka untuk datang dalam acara pembukaan besok pagi di halaman utama menggunakan seragam yang diberikan.
Setelah selesai, Vero membayar delapan koin perak untuk biaya seragamnya dan kembali ke penginapan.
Di ruang rapat, para guru yang bertugas menjadi panitia sedang berkumpul, membicarakan masalah penerimaan murid baru.
"Kali ini murid yang diterima lebih banyak empat orang dari tahun sebelumnya," kata salah seorang guru.
"Generasi ini banyak yang berbakat," sahut yang lain.
"Tentu saja, banyak anak bangsawan yang mendominasi. Itu tak bisa kita hindari," ucap seorang pria dengan nada agak merendahkan.
"Jangan mulai lagi, Def. Tidak semua murid adalah anak bangsawan, bahkan lebih banyak dari penduduk biasa," timpal guru perempuan lainnya dengan tegas. Ia tampak lebih pro terhadap kesetaraan sosial di akademi.
"Mari bahas hal lain. Melihat lebih banyak murid kelas putih daripada kelas hitam, apa memang semudah itu soal tes tulisnya?" tanya guru perempuan berambut sebahu, mencoba mengalihkan topik.
"Tidak, mereka yang masuk kelas putih memiliki nilai rata-rata 160-190," jawab seorang guru lagi.
"Kalau begitu, tes kedua yang sulit ya..." lanjut yang lain.
Pandangan semua guru di ruangan itu langsung tertuju pada satu orang: penguji tes kedua.
"Ayolah, mereka saja yang lemah. Jadi aku memberi nilai yang sesuai dengan kemampuan mereka," bela sang penguji.
"Kau memberikan nilai di bawah 170 kepada hampir setengah dari mereka yang lolos," sanggah guru lainnya.
"Memang banyak yang lolos tahun ini, tapi dengan nilai di bawah 350," tambah yang lain lagi.
Ruangan kembali sepi, mereka semua melihat data yang tertera di dinding. Dari semua peserta yang lolos, hanya empat puluh orang yang mendapat nilai di atas 350. Mereka kemudian memuji nilai Putri Reyna yang hampir mencapai nilai sempurna. Selisih nilai Putri Reyna dengan peringkat kedua cukup signifikan, menunjukkan keunggulan yang luar biasa.
Posisi kedua dipegang oleh Putri Duke Alan, seorang putri yang unggul dalam tes tulis dengan mendapat nilai 251, namun kurang dalam pertarungan. Dia hanya mendapat nilai 185 dalam tes kedua, mengandalkan sihir tanah miliknya.
Seorang wanita yang menggunakan kacamata tiba-tiba membuka suara, membuat semua orang memperhatikannya.
"Ada yang aneh dengan nilai peserta ini," katanya.
"Ada apa dengan itu? Tolong katakan dengan jelas," pinta Ketua.
"Ketua, setelah saya memeriksa semua jawaban para peserta, mereka menjawab semua pertanyaan dari lembar pertama, tidak peduli benar atau tidaknya. Tapi, ada satu peserta yang hanya menjawab sepuluh soal dengan benar tiap lembar dan mengosongkan lima soal. Aku membandingkan dengan punya Putri Reyna dan Putri Elvina yang menjawab secara berurutan."
Wanita itu menyerahkan lembar jawaban itu kepada Ketua.
Setelah melihat lembaran itu, memang aneh melihat lima soal kosong tiap lembar. Seperti sengaja dilakukan.
"Siapa nama peserta ini?" tanya Ketua.
"Namanya Vero."
"Tunggu, Vero? Aku tidak tahu apakah ini orang yang sama, tapi ada juga nama Vero saat tes kedua tiba-tiba menghentikan perlawanan dan menahan diri."
Penguji itu turut dalam pembicaraan. Dia juga penasaran dengan orang bernama Vero dan melihat lembaran itu. Sementara itu, Ketua diam-diam memikirkan satu kemungkinan.
"Kurasa sampai di sini pertemuannya. Helen, jangan lupa persiapan untuk acara pembukaan dari murid dengan nilai tertinggi," pinta Ketua.
Helen, wanita berambut sebahu itu, kemudian mundur dari ruangan. Pertemuan itu kemudian berakhir, tetapi saat semua orang sudah keluar, Ketua kembali memanggil penguji dan wanita berkacamata itu. Dia meminta penjelasan mengenai ujian dari Vero.
Setelah penguji itu menjelaskan kemampuan dan ciri-cirinya, Ketua kemudian tersenyum dan menyudahi pertemuan ketiganya.
"Menarik," gumamnya.
***
"Makanan di kedai itu enak ya."
"Bukannya itu penginapan? Mungkin besok aku akan mulai menginap di sana."
Orang-orang di jalan membicarakan kedai yang baru dibuka dengan komentar positif. Vero langsung tahu itu adalah penginapan Hilma.
Saat Vero kembali ke penginapan, lantai satu yang dijadikan kedai sangat ramai. Banyak orang yang duduk dan memesan. Mulai dari anak-anak hingga orang tua mengantri di depan penginapan. Dia langsung masuk dan menuju ke dapur.
"Ramai sekali hari ini."
"Oh Vero, kamu sudah pulang? Ya, hari ini sangat ramai."
"Dimana Yui?" tanya Vero.
"Yui saat ini sedang pergi membeli bahan-bahan lagi. Persediaan sudah mau habis."
"Biar aku bantu kalau begitu."
Vero membantu Hilma menyediakan menu makanan. Dia mulai memasak seperti yang dilakukan Hilma, namun aroma yang dikeluarkan lebih harum. Hilma sudah mengira itu akan terjadi jika Vero yang memasak. Sementara Yui sudah kembali membawa bahan-bahan lainnya, Vero terus menyiapkan makanan dan menyuruh Hilma beristirahat.
"Aroma ini.. Aku juga lapar.." ucap Yui.
"Selesaikan pekerjaan dulu," balas Vero.
Yui kesal dengan balasan Vero. Dia sekarang sangat lapar mencium aroma masakan selama pagi hari.
"Pesanan meja nomor 13 dan 16."
Menyerahkan empat porsi makanan, Yui menekan bel kemudian Bima dan Zizi datang mengambil nampan tersebut.
Mereka terus melayani pelanggan yang datang hingga lewat tengah hari, Hilma meminta Niki untuk mengatakan jika kedai akan tutup saat itu juga. Karena hari pertama sangat ramai, mereka semua kelelahan dan duduk di bangku kedai.
"Aku lelah~"
"Bima juga sama lelahnya seperti Kak Zi."
"Hari pertama sangat ramai bahkan sekarang pun masih ada yang mampir. Untung saja Niki berdiri di sana."
"Sudah pasti ramailah, Yui. Hari ini kan ada diskon."
Niki yang sudah lebih dari lima belas menit di depan pintu lalu masuk.
"Waa~ melayani orang ternyata melelahkan, tapi lebih melelahkan lagi berburu."
Hilma yang mendengar Niki mengatakan itu tersenyum. Saat mereka meluapkan kelelahan, Vero datang membawakan makanan dan minuman segar. Melihat itu, semuanya langsung mengambil bagian dan duduk. Mereka makan dengan lahapnya.
"Kenyang! Sekarang aku mengantuk ingin tidur," ucap Zizi.
"Kalian... Aku bingung bagaimana membalas kebaikan kalian yang sudah banyak membantu sampai membuat penginapan ini ramai.. Intinya aku mengucapkan banyak terima kasih."
Melihat Hilma yang mengucapkan terima kasih sampai mengeluarkan air mata, mereka menenangkannya. Mereka juga mengatakan jika Hilma sudah banyak membantu mereka secara tak langsung. Perhatian yang diberikan Hilma sejak mereka datang ke penginapan ini membuat mereka nyaman.
"Ngomong-ngomong, akademi memberi kebebasan kepada murid untuk tinggal di asrama atau tidak. Jadi, setelah melihat situasi sekarang, aku akan diam di penginapan selama kurang lebih tiga bulan."
"Astaga, saking ramainya kita sampai lupa dengan seleksi Vero."
"Syukurlah kamu diterima, Nak. Tapi, kenapa memutuskan sampai tiga bulan?"
Vero menjelaskan sebenarnya dia akan meninggalkan penginapan jika penginapan ini sudah memiliki beberapa pegawai tetap. Dia akan menyeleksi mereka yang berniat menjadi pegawai. Tak hanya itu, dia sekalian ingin melihat kondisi akademi.
Ken yang merupakan orang paling tua di kelompok Yui juga membuka suara.
"Aku akan bertanya. Apakah di antara kalian bertiga masih tetap ingin di sini?" tanya Ken.
"... Aku masih ingin membantu Ibu di kedai."
"Aku juga akan ikut kemana kakak pergi!"
"Mungkin aku butuh suasana baru juga..."
Yui, Zizi, dan Niki mengatakan jika mereka akan tetap di penginapan itu untuk sementara waktu. Lalu Ken memutuskan jika hanya dirinya yang akan kembali ke Kota Foren untuk menjelaskan ke orang tua mereka masing-masing. Dia akan berangkat besok pagi dan akan kembali lusa.
"Kenapa kalian sampai melakukan hal itu?" tanya Bima tiba-tiba.
Mereka saling menatap, Yui yang pertama kali menjawab.
"Karena aku merasa kita sudah seperti keluarga, saling membantu."
"Iya, itu benar." Setuju tiga orang lainnya.
"Bagaimana denganmu, Nak?"
"Mungkin ini hanya keinginanku untuk menolong kalian."
"Jadi, Kak Vero tidak menganggap kita keluarga juga?" tanya Bima kembali.
Hilma membantu menjawab pertanyaan itu saat melihat Vero bingung menjawab Bima.
"Setiap orang memiliki cara pandang yang beda. Jadi, itu tidak apa jika masih sesuatu yang baik, Bima."
"Begitu ya Bu, tapi aku sudah menganggap Kak Vero sebagai kakakku."
Vero mengusap kepala Bima dan tersenyum. Dia juga bingung kenapa membantu mereka sampai seperti itu. Yui, Ken, Niki, dan Zizi hanya melihat mereka dengan pikiran masing-masing.
Pagi ini aula akademi kerajaan dipenuhi oleh para murid baru karena acara pembukaan dialihkan ke sini. Mereka memakai seragam yang sudah dibagikan dan duduk di masing-masing kelas. Kelas hitam berada di sisi kanan dan kelas putih berada di sisi kiri. Setiap sisi terdapat bangku yang diatur sedemikian rupa. Bangku-bangku itu diatur menjadi lima belas baris dan setiap baris berisi sepuluh bangku. Vero yang sudah datang dari awal berada di kursi barisan kedua. Memakai seragam putih dan rambut peraknya menjadi perhatian murid di sekitar. Vero sudah tak mempermasalahkan tatapan itu dan melanjutkan aktivitasnya namun tiba-tiba seseorang masuk. Seorang siswa kelas hitam, memiliki mata tajam, rambut merah, dan wajah rupawan. Di sampingnya berdiri seorang siswa kelas hitam juga, dia mengikuti siswa berambut merah. Saat dua orang itu melewati bangku-bangku belakang, aroma khas tercium. "Hei, bukannya mereka dari Sirius?" bisik seseorang ke teman di sebelahnya. "Darimana kau tau?" "Lihat la
Biasanya, para murid menghabiskan jam istirahat mereka di kantin, lapangan, tempat latihan, atau perpustakaan. Namun, Vero termasuk siswa yang memilih tempat lain. Dia berada di bawah pohon yang dapat ditemukan melalui jendela perpustakaan. Saat ini, dia tertidur pulas dengan buku menutup wajahnya. Kicauan burung di dahan pohon terdengar merdu, sementara suara dentingan pedang yang beradu di lapangan terdengar sampai ke tempatnya. Angin sepoi menambah rasa kantuk dalam diri Vero. Tuk. Tuk. Tuk. Waktu santainya terganggu, Vero bangun dari tidur setelah merasakan sesuatu pada tubuhnya. Dia melihat ada tiga butir kacang di dekatnya lalu melihat sekeliling. Tak ada orang. Kemudian, dia melihat ke atas pohon. "Rupanya kau," kata Vero. "Ah, aku ketahuan ya," balas Reito. Seseorang itu turun dari pohon dan ikut duduk di dekatnya. "Ada apa sampai harus mengganggu tidurku?" tanya Vero. "Aku hanya iseng melihat kau tidur dengan pulas," jawab Reito. Mendengar itu, Vero memutar matanya deng
"Apa yang kau lakukan?" tanya Vero, membalikkan kepalanya untuk melihat Reito yang mengikutinya. "Aku?" Reito mengernyitkan keningnya. "Cepat katakan. Kenapa kau mengikutiku?" "Siapa juga yang mengikutimu, aku hanya ingin mengunjungi Kedai Palapa itu." "Terserah kau saja." Vero sudah tidak mempedulikan dirinya yang diikuti oleh Reito sejak pulang dari akademi. Dia meneruskan jalannya menuju penginapan. Sebenarnya, Reito mengikuti Vero karena penasaran dengan kehidupan Vero. Apa saja yang dilakukannya hingga bisa seperti itu. Rasa penasaran Reito semakin menjadi setelah mereka melakukan latihan tanding. *** Dua orang pemuda berada di dalam ruang latihan. Mereka berdiri di atas arena latih tanding dengan perlengkapan yang lengkap. Kedua pemuda itu menggunakan pelindung dada dan sarung tangan. "Ternyata kau benar datang ke sini ya," kata Reito kepada Vero. Vero hanya terdiam, fokus pada persiapan dirinya untuk latihan. Dia menganggap seolah-olah tidak ada orang di depannya dan te
"Ada apa ini?" Vero bingung ketika baru sampai akademi karena melihat banyak orang berkumpul di depan papan pengumuman. Mereka melihat sebuah informasi terpasang di papan tersebut. Menyipitkan matanya, dia melihat dengan jarak lima meter dari papan itu. "Apa maksudnya ini?" Tak habis pikir dengan informasi yang dibacanya, Vero mengerutkan keningnya. Informasi yang dibacanya memang sedikit mengejutkan. Akademi baru saja menerima murid baru sehari yang lalu namun saat ini akan mengadakan pertukaran pelajar. Pertukaran pelajar dengan akademi nomor dua di Kerajaan Quella ini. Kabarnya, siswa tahun pertamalah yang akan menjadi peserta dalam kegiatan tersebut. Akademi Xerrn merupakan akademi terbesar kedua di Kerajaan Quella. Akademi ini tidak kalah megah dan istimewa. Perbedaan keduanya hanyalah dari sejarah dan pencapaian lulusan terhadap kerajaan. Sebelumnya, mereka tidak pernah mengadakan hal semacam itu membuat sebag
Suasana di dalam ruang latihan sedikit mencekam, terutama bagi mereka kelas putih. Jika membandingkan masing-masing dari perwakilan, mereka merasa akan kalah. Robin menyadari akan hal itu namun dia membiarkan para muridnya merasa tidak berdaya. Dia hanya ingin membuat mereka terinovasi dengan siapa pun pemenangnya. "Baiklah, pertandingan pertama antara Reyna dan Vira." Keduanya maju menuju arena. "Mari buat ini menjadi pertandingan yang menarik, Putri Reyna," ucap Vira. "Aku juga berharap begitu." Mereka berdua mengenakan pelindung badan. Reyna yang pandai dalam sihir hanya memakai sebuah belati. Sedangkan Vira menggunakan pedang pendek. Kemudian mereka saling bersiap untuk melawan. Vira yang pertama kali maju menyerang Reyna. Dia berlari dan melompat ke titik buta lawannya dengan cepat namun Reyna lebih dulu mengetahuinya. Serangan Vira ditahannya menggunakan belati kemudian mundur menjaga jarak.
Hari itu menjadi hari yang panjang sekaligus menakjubkan bagi mereka semua, kelas putih dan hitam. Walaupun pemenang dari pertandingan itu adalah kelas hitam namun mereka tidak peduli. Saat ini mereka hanya bisa terkagum dan mempelajari ketiga pertandingan itu. Salah satu yang membuat itu menjadi tambah menarik ialah kejutan dari pertandingan ketiga, Reito melawan Vero. Tidak ada yang menyangka dengan hasil pertandingan itu. Mereka juga dibuat heran dengan Vero yang tiba-tiba menghilang dari pandangan. Vero sendiri tidak sepenuhnya menghilang, dia hanya melakukan gerakan biasa dengan kecepatan tidak normal. Berpindah ke sana kemari sebelum Reito menemukan dan menyerangnya lalu berniat langsung melancarkan serangan terakhir. Namun suara Reyna mengganggu rencananya. "Hei manusia dingin! Aku tidak menyangka kau bisa menang melawan Reito." "..." "Ha.. Aku sudah lelah mengajakmu berbicara. Vero, jawablah sekali jika orang berbicara deng
Malam itu merupakan malam yang sangat panjang bagi mereka berenam. Bangsawan yang menyewa kedai ternyata berasal dari keluarga kerajaan. Tidak ada yang mengetahui itu karena itu sebuah kerahasiaan untuk keselamatan mereka. "Aku tidak menyangka sudah bertemu..." "Ji-jika aku tahu itu dari keluarga kerajaan, aku pasti akan bersiap-siap dengan sangat baik." "Sayangnya tidak ada Pangeran Louis..." "Putri Reyna sangat cantik!" "Ibu, aku ingin menjadi kesatria kerajaan!" Mereka berlima masih diam dengan kejutan yang tiba-tiba datang malam itu. "Ayo kita segera bereskan meja. Ini sudah malam" "Hei Vero, apa kau tidak merasa terkejut dengan itu semua?!" "Apa? Aku juga terkejut dengan kedatangan mereka. Lalu apa lagi setelah itu?" Dari semua orang di kedai, Vero lah yang paling merasa terkejut dengan kehadiran mereka. Terutama dengan kehadiran Elvina dan Reyna yang membuatnya tidak bebas bergera
Sudah dua minggu terlewat sejak kunjungan keluarga kerajaan ke Kedai Palapa. Ada beberapa hal yang terjadi baik bagi Vero maupun akademi.Sesuai rumor yang beredar, akademi akan melakukan sebuah ujian untuk memilih siapa dari tahun pertama dan tahun kedua yang akan berpartisipasi dalam kontes yang akan diadakan oleh kerajaan. Mereka akan diseleksi berdasarkan peringkat. Lima orang teratas akan menjadi perwakilan dari akademi.Kontes itu akan diadakan kurang dari enam bulan dimulai dari hari ini. Oleh karena itu, pihak akademi akan membuat beberapa penyisihan ketat.Penyisihan pertama berdasarkan tingkat kelas mereka. Kemudian, penyisihan kedua akan bercampur antara tingkat satu dan tingkat dua. Dua puluh orang teratas di masing-masing tingkat akan memasuki babak kedua tersebut.Perlu diketahui bahwa kontes tarung ini menjadi ajang bagi seluruh akademi di Kerajaan Quella untuk menunjukkan kehebatan mereka. Setiap tahunnya mere
Kembali ke hari di mana Vero membuat janji akan bertemu dengan Dika dan Yoga. Hari itu mereka membuat janji akan bertemu di suatu tempat saat jam istirahat. Vero menyetujui itu karena penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka merupakan anggota suatu organisasi di akademi yang sering menindas. "Kamu mau kemana?" tanya Allya melihat Vero keluar kelas dan berjalan beda arah. "Aku ada urusan," ucap Vero singkat mengabaikan Allya. Dengan jawaban singkat seperti itu membuat Allya curiga dengannya, dia berniat mengikuti Vero namun tiba - tiba seseorang menyapanya. "Allya, kenapa kau berdiri di depan pintu seperti ini? Kau menunggu seseorang?" "... Aku hanya bingung mau ke kantin dengan siapa." "Kalau kau bingung begitu, kenapa tidak bersama denganku? Ayo kita ke kantin bersama." "Eh, tapi—" "Ayolah, Reyna juga pasti lagi
Sekarang adalah hari di mana mereka akan diseleksi kembali. Peserta yang berhasil mencapai 20 besar akan melakukan pertandingan dengan peraturan baru. Kali ini murid tahun pertama akan melawan murid tahun kedua. Tidak peduli apakah mereka baru menjadi murid di akademi, karena hasil seleksi dari ajang ini memerlukan seseorang yang memiliki kekuatan. Sama seperti sebelumnya, mereka akan mengambil nomor urut secara bergiliran. "Vero! Kali ini aku berharap kita akan mendapatkan nomor yang sama." "Rei, kau tidak pernah menyerah huh." "Tentu saja!" "Tapi sayangnya kali ini tahun pertama akan melawan tahun kedua." "Ah kenapa peraturan konyol seperti itu ada?!" Seperti biasa, Reito kesal dengan sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencananya. Mereka maju satu persatu dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Petugas kali ini tidak mengumumkan siapa yang akan menjadi lawan m
Di tengah malam gelap gulita, seseorang keluar dari penginapan. Dia keluar layaknya seorang pencuri yang mengendap-endap. Orang itu pergi mengunjungi sebuah rumah yang berjarak enam rumah dari penginapan palapa. Tok tok... Pintu rumah yang diketuk itu kemudian terbuka menampilkan ruangan terang benerang. "Kau kembali?" "Aku ingin bertemu ketua." "Ketua saat ini istirahat, kau sampaikan saja kepadaku." "... Kalau begitu aku akan kembali besok." Pria yang diajak berbicara membuat muka masam. Pasalnya orang di depannya itu terlihat mencurigai dirinya. "Ketua ada di dalam, dia menunggumu." Pria itu membuka suara ketika orang tadi hampir sepenuhnya keluar dari pintu. "Aku tambah mencurigaimu," balasnya sambil melewati pria tersebut. Di balik pintu itu duduk seorang pria tua dengan sebuah buku di tangannya. "Apa ada yang ingin kau sampaikan malam-malam begini?"
Sudah sehari terlewat semenjak pertandingan Vero dengan Ferry. Pertandingan keduanya bisa dikatakan sangat menarik perhatian satu akademi. Saat hampir semua murid membicarakan pertandingan keduanya di asrama, Vero saat ini berada penginapan. Menjalani kegiatan rutinnya. "Biarkan aku juga membantumu memasak," tawar Allya di depan pintu dapur. "Kau lebih baik jangan mengacau. Jadilah anak baik." "Nak Vero, jangan seperti itu. Allya berniat baik untuk menolong kita di dapur. Setidaknya jawab dia dengan baik." "Kalau ibu bilang begitu... Kau bisa membantuku menyiapkan makanan. Yui, tolong urus dia." Yui yang mendengar itu tentu terlihat antusias namun tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Dia merasa tertolong dengan bantuan Allya. Allya secara cepat beradaptasi dengan suasana dapur. Tidak ada kesalahan yang diperbuat olehnya. Berkat dirinya pekerjaan terasa lebih ringan dari biasanya. "K
Hari ini merupakan babak penyisihan empat puluh besar. Mereka yang berhasil lolos hingga tahap ini akan diseleksi kembali menjadi dua puluh besar. "Kuharap kita bisa bertanding, Vero." "Kuharap tidak." "Ayolah, kali ini aku akan serius menghadapimu." "Kau tidak bosan kalah dariku, Rei?" Di bangku ruang tunggu, Reito terus berbicara dengan Vero. Dia ingin sekali menantang Vero bertanding. Namun, kali ini pertandingan dilakukan dengan pengundian. Setiap peserta akan menulis nama mereka masing-masing di atas sebuah lembar kertas. Lembaran-lembaran itu dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah kotak. Terdapat dua petugas yang akan mengambil masing-masing satu lembaran itu, kemudian nama yang muncul akan bertanding satu sama lain. "Baik, sekarang kami akan mengambil nama kalian. Apapun hasilnya, tidak dapat diganggu gugat." Dua petugas maju ke depan kotak. Mereka mengambil masing-m
Hari seleksi pertama sudah berlalu dengan lancar. Tidak ada kecelakaan apapun yang terjadi. "Hei, bukankah hari ini giliranmu?" tanya Elvina di kursi penonton. "Ya, dan itu bukan urusanmu," jawab Vero dengan menutup matanya. Elvina yang melihat reaksi jawaban dari Vero merasa amat kesal. Dia kesal karena sikap yang diberikan kepadanya berbeda dengan sikap yang diberikan kepada Allya. "Kamu mendapat nomor urut ke berapa?" balas Allya mendengar percakapan keduanya. "Kenapa? Aku mendapat nomor tiga puluh enam," jawab Vero dengan menghadap ke arah Allya. Sebenarnya Vero hanya mengerjai Elvina dengan berperilaku seperti itu karena merasa bosan. "Sekarang sudah urutan tiga puluh, sebaiknya kau bersiap sekarang juga sana!" kesal Elvina. "Kau bisa diam tidak? Aku sudah tau itu, Elvina." Elvina membuang muka dengan raut wajah kesalnya. Dia benar-benar kesal dengan Vero saat ini. Saat mereka bertiga mengobrol, s
Pagi hari itu menjadi begitu sangat ramai. Semua murid akademi berkumpul di lapangan. Mereka duduk di kursi penonton untuk menyaksikan pertandingan yang akan dimulai pada hari pertama. Semua kursi yang disediakan hampir terisi penuh, para guru juga menyaksikan siapa bibit unggul tahun ini. "Baiklah dengan ini aku menyatakan bahwa seleksi pertama dimulai!" teriak Mazumi dari tempat duduknya. Sorakan terdengar riuh di stadium menyambut pengumuman kepala akademi. Dengan demikian, pertandingan pertama akan segera dimulai. "Bagi yang mendapatkan nomor urut pertama silakan maju. Sekali lagi, bagi yang mendapat nomor urut pertama silakan memasuki arena!" MC mengumumkan melalui speaker agar peserta segera memasuki arena. Pintu masuk arena terbuka dan seketika semua perhatian tertuju kepadanya. "A-ah, I-ini terlalu me-menakutkan.." gumam pemuda berkacamata yang saat ini berjalan menuju arena. Di
Mengejutkan. Di penginapan, Vero terkejut dengan keberadaan seorang gadis yang dia tidak pernah perkirakan akan tinggal di sana juga. Gadis itu adalah Allya. "Kenapa kau ada di sini?" tanya Vero di depan meja resepsionis. "Kamu juga kenapa di sini?" tanya Allya balik dengan muka polos. "Aku tinggal di sini." "Kamu tinggal di sini juga? Astaga aku tak menyangka kita akan sepenginapan," ucapnya dengan senyuman. "Oh.. Tu-tunggu, apa maksudmu?!" "Haha.. Jangan terkejut seperti itu, mukamu yang biasanya kaku terlihat lucu saat ini." "Tidak. Aku serius bertanya, kenapa kau tidak tinggal saja di asrama akademi atau apakah kau tidak punya tempat tinggal?" tanya Vero panjang lebar. "Rumahku dari akademi cukup jauh dan tinggal di asrama sedikit kurang nyaman karena itu bukan akademi asalku." "Setidaknya ada banyak penginapan lain!" Walaupun Vero mengeluh dengan kehadiran
Hai, mohon maaf sebelumnya. Saya selaku penulis novel ini ingin mengabarkan bahwa novel ini update satu Chapter per minggu dikarenakan kesibukan. Sangat disayangkan memang namun saya harus memprioritaskan urusan pribadi. Saya juga merasa seperti tidak ada yang membaca novel ini karena selama ini hanya satu respon atau dukungan yang saya terima, itu membuat saya ragu apakah ada yang membaca cerita ini atau tidak hingga sekarang. Namun, saya akan tetap menyelesaikan novel ini hingga tamat sesuai kontrak. Kemungkinan novel ini update setiap hari sabtu atau minggu. Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca cerita ini. Mohon maaf bila ada kata yang salah.