Pagi yang cerah mengawali kegiatan penduduk Desa Miru. Para pedagang dengan semangat membuka kios mereka, sementara anak-anak bersemangat berlarian ke sana kemari tanpa memperhatikan sekitar.
Dug.
Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun menabrak seorang gadis dan terjatuh. Gadis berambut coklat itu terkejut melihat dirinya menabrak seseorang.
"M-maaf, aku tidak sengaja," ucap anak laki-laki itu sambil membungkuk.
"Ah, tidak apa-apa, tapi lain kali kamu harus lebih berhati-hati ya," balasnya dengan lembut.
Setelah mendengar perkataan gadis itu, anak itu pergi menghampiri teman-temannya, sementara orang-orang di jalanan yang menyaksikan kejadian itu melanjutkan aktivitas mereka.
Dua orang di samping gadis itu mulai berbicara.
"Anak-anak zaman sekarang, hanya tahu berlarian saja," komentar salah seorang dari mereka.
"Bukannya kamu juga begitu saat seumuran mereka, Roy?" sahut pemuda yang lain.
"Oh, ayolah, jangan bercanda! Saat umur segitu, aku sudah melatih stamina dengan berlari mengelilingi desa," bantah Roy.
"Tak ada bedanya, kalian sama-sama berlari di desa," sela pemuda yang lain.
Gadis itu hanya bisa menghembuskan nafas, sudah bisa menebak bahwa mereka akan seperti ini.
"Sudahlah, Roy, Yoshi, kalian seperti kucing dan tikus, selalu bertengkar," tegur gadis itu.
Roy dan Yoshi diam setelah mendengar teguran gadis itu, tapi tetap saja suasana menjadi agak tegang. Gadis itu tak habis pikir dengan mereka berdua, hanya karena hal sepele mereka bisa mengeluarkan aura yang kurang menyenangkan.
Mereka melanjutkan perjalanan ke beberapa toko dan mampir ke kedai untuk sarapan pagi. Kedai itu memiliki desain sederhana namun cukup ramai pengunjung pada pagi hari. Mereka langsung memilih tempat duduk di dekat kasir.
"Selamat pagi, kami pesan sup hangat dan roti tiga porsi," pesan gadis itu.
"Bella, kau lupa sesuatu. Paman, jangan lupa minumannya juga ya!" ingatkan Roy dengan semangat.
"Tentu saja. Vero, tolong buatkan minuman tiga gelas seperti biasanya!" perintah pemilik kedai tersebut.
".. Baik," jawab seseorang dari seberang ruangan.
Bella memperhatikan ruangan tempat suara itu keluar, menantikan untuk bertemu dengan pemuda berambut perak itu.
Setelah beberapa menit, Vero muncul dengan tiga minuman segar di tangannya. Dengan kaos hitam lengan panjang, rambut perak keputihan dengan sentuhan warna biru gelap, bulu mata putih yang lentik, dan postur tubuh yang tegap, dia menyajikan minuman tersebut dengan cepat dan profesional kepada mereka. Gadis-gadis di kedai itu tidak bisa menyembunyikan rasa tertarik mereka pada Vero.
"Hm, sepertinya kau sangat populer, ya," komentar salah satu dari mereka.
"Jelaslah, dia kan tidak seperti 'Roy si tukang onar'," sahut Yoshi.
"Siapa yang kau sebut 'si tukang onar', huh?!" protes Roy.
"Tolong diam. Jangan buat keributan di sini," tegur Vero dengan tegas, membuat ruangan terdiam. Vero memang dikenal sebagai pemuda yang tenang dan minim ekspresi.
Setelah menyampaikan pesannya, Vero kembali ke dapur, dan suasana kembali seperti semula.
"Apa-apaan itu.. Kenapa dia begitu menyeramkan," bisik Roy.
"Kali ini aku setuju denganmu, Roy," sahut Yoshi.
"Maafkan dia, sifatnya memang seperti itu, tapi dia anak yang baik," bela paman pemilik kedai.
"Iya, paman. Kami mengerti," jawab Bella dengan senyum.
Mereka melanjutkan sarapan sambil membicarakan rencana untuk hari itu. Beberapa persiapan sudah mereka lakukan untuk kembali ke ibukota setelah sebulan menetap di Desa Miru. Mereka bukan penduduk asli desa itu, mereka hanya menerima tugas dari guild petualang untuk membantu memperbaiki desa yang diserang monster.
Desa Miru, meskipun terletak jauh dari ibukota, memerlukan tiga hari perjalanan dengan menggunakan kereta kuda. Meskipun berdekatan dengan hutan, penduduknya tidak merasa khawatir berkat keberadaan beberapa petualang yang menetap di desa.
Insiden serangan monster bulan lalu ditangani oleh para petualang tersebut. Desa Miru hanya memberikan quest untuk membawa pesanan bahan bangunan dan membantu dalam pembangunan. Meskipun mereka telah menyelesaikan pembangunan dua minggu setelah kedatangan mereka, mereka memutuskan untuk tetap tinggal karena kenyamanan suasana di desa tersebut.
"Hari ini kalian akan kembali ke ibukota?" tanya Brad, pemilik kedai.
"Iya, kami berangkat pagi ini," jawab Bella.
"Kalo begitu tunggu sebentar.. Vero, tolong siapkan beberapa makanan untuk mereka yang kembali ke ibukota!"
"Paman, jangan repot-repot. Kami tidak mau merepotkan dan kami juga sudah membeli beberapa persediaan," sanggah Bella.
"Benar, Paman. Kami sudah punya makanan," tambah Roy.
"Tidak, biarkan paman memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih atas bantuan kalian kepada desa ini," kata Brad.
"Kalau begitu kami tidak akan menolak kebaikan Paman!" ujar Roy.
Vero keluar dari dapur dengan membawa sekantung makanan dan minuman. Setelah itu, dia kembali ke dapur tanpa berkata-kata.
"Hey Vero, setidaknya ucapkan terima kasih dan jelaskan apa saja isi kantung ini," pinta Brad.
Vero kembali keluar setelah dipanggil oleh Brad. Dia membawa piring yang berisi makanan penutup berupa jelly dan menyerahkannya kepada mereka bertiga.
"Terima kasih atas bantuan kalian. Ini adalah makanan penutup sebagai ucapan terima kasih dariku. Di dalam kantung itu terdapat roti isi daging, buah-buahan, daging kering, dan air mineral. Semoga perjalanan kalian sampai ke tujuan dengan selamat," ucap Vero.
Para pengunjung kedai terkejut mendengar Vero berbicara begitu panjang. Bella, Roy, dan Yoshi juga terkejut dengan makanan penutup yang mereka terima, yang tidak pernah mereka lihat di kedai sebelumnya.
"Hahaha.. Vero sebenarnya orang yang suka berbicara, jadi jangan heran. Oh, apakah itu jelly? Ternyata dia memberikannya untuk pertama kalinya kepada kalian," kata Brad, mencoba untuk meredakan kekagetan.
Pagi itu, kedai sangat ramai dengan adanya menu baru tersebut.
"Terima kasih, Paman. Kami merasa tidak enak karena merepotkan," kata Bella.
"Kami sangat senang tinggal di desa ini. Mungkin aku akan mampir ke sini jika sempat," ucap Roy.
"Juga.. Sampaikan terima kasih kami kepada Vero. Yah.. Padahal aku ingin mengobrol dengannya," ujar Bella, suaranya semakin lama semakin redup.
"Apa yang kamu ucapkan? Jika ingin mengatakan terima kasih, silakan ucapkan secara langsung saja. Biar paman bantu memanggilkannya," kata Brad dengan nada santai.
"T-tidak, sekarang dia sedang sibuk, jadi aku.. Maksudku kami hanya ingin menitipkan terima kasih dan salam saja," jelas Bella, wajahnya sedikit merah karena malu.
Roy dan Yoshi mengerti maksud Bella, mereka hanya tersenyum melihat Bella yang canggung seperti itu. Jarang mereka melihat Bella menyukai seseorang, terutama di ibukota. Sebaliknya, Bella sering mendapat pernyataan cinta namun selalu menolak dengan halus.
Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada pengunjung kedai, mereka menuju kereta kuda yang sudah dipesan. Tak lupa mereka berpamitan kepada orang-orang di jalanan.
"Nona, apakah liburanmu sudah memuaskan?" tanya Yoshi.
"Bukannya sudah kubilang jangan memanggilku 'Nona' di luar?" balas Bella.
Roy yang melihat Bella mengatakan hal itu hanya tersenyum. "Argh, kami tidak tahan memanggil Anda dengan sebutan nama saja. Seorang putri dari keluarga bangsawan dan dua orang pengawalnya seharusnya diperlakukan dengan hormat," jelas Roy dengan serius.
"Sudahlah, jangan diperbesar lagi. Aku sudah merasa senang selama di desa itu," jawab Bella.
"Senang karena pemuda bernama Vero, kan Nona?" goda Yoshi.
"Bukannya itu sudah pasti, Nona kita yang tidak pernah tertarik dengan seorang pria malah jatuh cinta dengan pemuda desa," tambah Roy, sambil tersenyum.
Bella, yang digoda oleh keduanya, hanya terdiam dengan muka memerah. Dia mengingat kembali awal pertemuannya dengan Vero di Desa Miru. Sungguh kenangan yang berarti baginya.
Kerajaan Quella dikenal dengan kerajaan yang damai, di sana berbagai macam ras ada dan saling mengayomi. Tak ada yang namanya budak, mereka saling bahu membahu bila ada yang kesusahan. Itu semua berkat sang raja. Raja Reyland Quella merupakan raja keenam dari Kerajaan Quella. Memiliki seorang istri dan tiga orang anak, dua di antaranya seorang putri yang cantik dan anggun. Anak keduanya merupakan seorang putra yang kuat dan berwibawa. Mereka bertiga memiliki kepribadian yang berbeda namun tak ada perselisihan yang terjadi. Airi Quella, anak sulung dari Raja Reyland. Dia seorang putri yang pintar dan ramah. Rambut pirang dan mata biru menjadi ciri khasnya karena perpaduan antara rambut pirang sang raja dan mata biru sang ratu. Saat ini umurnya menginjak 23 tahun dan sudah memiliki tunangan. Airi dikenal dengan kepintarannya dalam hal ekonomi, oleh karena itu dia dipercaya memegang urusan ekonomi wilayah Foren. Wilayah terbesar kedua di Kerajaan Quella. Anak kedua dan satu-satunya put
Sudah sebulan lebih waktu berjalan, Louis pun telah kembali dengan membawa kabar gembira. Persahabatan antara kedua kerajaan semakin erat dan memiliki kerjasama di berbagai sektor. Tahun pelajaran baru akademi kerajaan juga sudah mulai dibuka. Bagi mereka yang berusia 16 hingga 18 tahun diperbolehkan mendaftar dan akan mengikuti seleksi masuk. Seleksi masuk terdiri dari dua tes. Pertama, seleksi pengetahuan umum dan kemampuan strategi, baik strategi dalam perang maupun bidang lainnya. Kedua, seleksi kemampuan dalam pertarungan. Diperbolehkan menggunakan semua jenis serangan dan sihir yang dimiliki masing-masing peserta. Akademi kerajaan membagi kelas berdasarkan hasil nilai yang keluar. Mereka tidak melihat dari status sosial para peserta. Jika nilai tes seleksi pertama lebih unggul dari seleksi kedua maka mereka akan dimasukkan ke dalam kelas putih, kelas yang lebih fokus dalam kemampuan seperti ekonomi, politik, strategi dan sejenisnya. Apabila hasil seleksi kedua yang lebih unggu
Pagi harinya, Vero berada di dapur penginapan. Dia saat ini sedang memasak untuk sarapan. Saat kemarin sore dia sudah meminta izin Hilma untuk menggunakan dapur. "Kakak mau masak apa?" tanya Bima penasaran. "Hanya makanan sederhana," jawabnya. Suara khas dari penggorengan terdengar di sekitar dapur, beberapa rempah yang sudah digiling dimasukkan ke dalam wajan seperti bawang putih, bawang merah, cabai, garam, lada, dan sebagainya. Kemudian, dia memasukkan potongan daging hingga setengah matang. Bima yang memperhatikan Vero memasukkan daging lalu nasi mengerti jika dia berencana membuat nasi goreng daging sapi. "Kelihatannya sangat lezat!" ujar Bima. "Belum saatnya menilai kalau belum dicoba." Setelah beberapa saat, nasi goreng itu diletakkan di atas mangkuk besar. Cukup untuk beberapa porsi, pikirnya. Wangi dari masakan itu menyebar hingga lantai dua membuat para penghuni keluar kamar. Mereka penasaran darimana aroma makanan itu datang. "Rupanya Nak Vero pandai memasak. Aroma m
Terdapat sekitar tiga ratus calon peserta yang mengikuti tes masuk, yang dibagi menjadi enam kelas dengan masing-masing menghadirkan lima puluh peserta. Vero, yang memiliki nomor tes empat puluh sembilan, ditugaskan di ruangan pertama. Saat memasuki ruangan tersebut, Vero melihat hampir seluruh bangku telah terisi. Ia mencari tempat duduk sesuai dengan nomor urutnya dan menemukannya di pojok paling belakang. Beberapa menit kemudian, ruangan tersebut telah penuh dan pengawas ujian memberikan sepuluh lembar pertanyaan kepada peserta. Setiap lembar soal terdiri dari lima belas pertanyaan. Setiap jawaban benar akan memberikan dua poin, jawaban yang dianggap kurang tepat diberikan satu poin, sementara jawaban yang salah akan dikenai poin minus satu. Dengan demikian, untuk memenuhi passing grade, peserta harus menjawab minimal tujuh puluh lima soal dengan benar. "Diberikan waktu satu setengah jam untuk mengerjakan soal. Jangan harap ada kesempatan untuk menyontek!" tegas pengawas. Atmosf
"Sejak kapan ada bangku-bangku ini?!""Aku juga tidak tahu, penginapan ini terkunci saat malam.""Mungkin saja tukang mebelnya datang pagi-pagi sebelum kita semua bangun," duga Ken. Mereka saling bertatapan, bingung dengan kehadiran bangku-bangku tersebut. Mendengar keributan, Hilma keluar dari kamarnya. "Apa yang terjadi? Sudah pagi-pagi begini ribut?" tanya Hilma. "Gini Bu, kita sebenarnya ingin merapikan ruangan lagi sebelum dibuka, tapi tiba-tiba ada banyak bangku yang sudah tersusun rapi padahal pintunya belum dibuka," jelaskan Yui. Hilma yang mendengar penjelasan Yui segera memeriksa keadaan. Dia juga terkejut melihat banyaknya bangku yang telah tersusun rapi di dalam penginapan. "Oh, begitu ya... Tadi sebelum kalian turun, aku membuka pintunya, dan pada saat itulah mereka membawa bangku-bangku ini masuk," jawab Hilma, mencoba menutupi kebenaran Vero. "Hmm... mereka benar-benar pekerja keras," komentar Niki, percaya dengan alasan Hilma. Pagi itu, mereka melanjutkan members
Pagi ini aula akademi kerajaan dipenuhi oleh para murid baru karena acara pembukaan dialihkan ke sini. Mereka memakai seragam yang sudah dibagikan dan duduk di masing-masing kelas. Kelas hitam berada di sisi kanan dan kelas putih berada di sisi kiri. Setiap sisi terdapat bangku yang diatur sedemikian rupa. Bangku-bangku itu diatur menjadi lima belas baris dan setiap baris berisi sepuluh bangku. Vero yang sudah datang dari awal berada di kursi barisan kedua. Memakai seragam putih dan rambut peraknya menjadi perhatian murid di sekitar. Vero sudah tak mempermasalahkan tatapan itu dan melanjutkan aktivitasnya namun tiba-tiba seseorang masuk. Seorang siswa kelas hitam, memiliki mata tajam, rambut merah, dan wajah rupawan. Di sampingnya berdiri seorang siswa kelas hitam juga, dia mengikuti siswa berambut merah. Saat dua orang itu melewati bangku-bangku belakang, aroma khas tercium. "Hei, bukannya mereka dari Sirius?" bisik seseorang ke teman di sebelahnya. "Darimana kau tau?" "Lihat la
Biasanya, para murid menghabiskan jam istirahat mereka di kantin, lapangan, tempat latihan, atau perpustakaan. Namun, Vero termasuk siswa yang memilih tempat lain. Dia berada di bawah pohon yang dapat ditemukan melalui jendela perpustakaan. Saat ini, dia tertidur pulas dengan buku menutup wajahnya. Kicauan burung di dahan pohon terdengar merdu, sementara suara dentingan pedang yang beradu di lapangan terdengar sampai ke tempatnya. Angin sepoi menambah rasa kantuk dalam diri Vero. Tuk. Tuk. Tuk. Waktu santainya terganggu, Vero bangun dari tidur setelah merasakan sesuatu pada tubuhnya. Dia melihat ada tiga butir kacang di dekatnya lalu melihat sekeliling. Tak ada orang. Kemudian, dia melihat ke atas pohon. "Rupanya kau," kata Vero. "Ah, aku ketahuan ya," balas Reito. Seseorang itu turun dari pohon dan ikut duduk di dekatnya. "Ada apa sampai harus mengganggu tidurku?" tanya Vero. "Aku hanya iseng melihat kau tidur dengan pulas," jawab Reito. Mendengar itu, Vero memutar matanya deng
"Apa yang kau lakukan?" tanya Vero, membalikkan kepalanya untuk melihat Reito yang mengikutinya. "Aku?" Reito mengernyitkan keningnya. "Cepat katakan. Kenapa kau mengikutiku?" "Siapa juga yang mengikutimu, aku hanya ingin mengunjungi Kedai Palapa itu." "Terserah kau saja." Vero sudah tidak mempedulikan dirinya yang diikuti oleh Reito sejak pulang dari akademi. Dia meneruskan jalannya menuju penginapan. Sebenarnya, Reito mengikuti Vero karena penasaran dengan kehidupan Vero. Apa saja yang dilakukannya hingga bisa seperti itu. Rasa penasaran Reito semakin menjadi setelah mereka melakukan latihan tanding. *** Dua orang pemuda berada di dalam ruang latihan. Mereka berdiri di atas arena latih tanding dengan perlengkapan yang lengkap. Kedua pemuda itu menggunakan pelindung dada dan sarung tangan. "Ternyata kau benar datang ke sini ya," kata Reito kepada Vero. Vero hanya terdiam, fokus pada persiapan dirinya untuk latihan. Dia menganggap seolah-olah tidak ada orang di depannya dan te
Kembali ke hari di mana Vero membuat janji akan bertemu dengan Dika dan Yoga. Hari itu mereka membuat janji akan bertemu di suatu tempat saat jam istirahat. Vero menyetujui itu karena penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan. Sudah menjadi rahasia umum kalau mereka merupakan anggota suatu organisasi di akademi yang sering menindas. "Kamu mau kemana?" tanya Allya melihat Vero keluar kelas dan berjalan beda arah. "Aku ada urusan," ucap Vero singkat mengabaikan Allya. Dengan jawaban singkat seperti itu membuat Allya curiga dengannya, dia berniat mengikuti Vero namun tiba - tiba seseorang menyapanya. "Allya, kenapa kau berdiri di depan pintu seperti ini? Kau menunggu seseorang?" "... Aku hanya bingung mau ke kantin dengan siapa." "Kalau kau bingung begitu, kenapa tidak bersama denganku? Ayo kita ke kantin bersama." "Eh, tapi—" "Ayolah, Reyna juga pasti lagi
Sekarang adalah hari di mana mereka akan diseleksi kembali. Peserta yang berhasil mencapai 20 besar akan melakukan pertandingan dengan peraturan baru. Kali ini murid tahun pertama akan melawan murid tahun kedua. Tidak peduli apakah mereka baru menjadi murid di akademi, karena hasil seleksi dari ajang ini memerlukan seseorang yang memiliki kekuatan. Sama seperti sebelumnya, mereka akan mengambil nomor urut secara bergiliran. "Vero! Kali ini aku berharap kita akan mendapatkan nomor yang sama." "Rei, kau tidak pernah menyerah huh." "Tentu saja!" "Tapi sayangnya kali ini tahun pertama akan melawan tahun kedua." "Ah kenapa peraturan konyol seperti itu ada?!" Seperti biasa, Reito kesal dengan sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencananya. Mereka maju satu persatu dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Petugas kali ini tidak mengumumkan siapa yang akan menjadi lawan m
Di tengah malam gelap gulita, seseorang keluar dari penginapan. Dia keluar layaknya seorang pencuri yang mengendap-endap. Orang itu pergi mengunjungi sebuah rumah yang berjarak enam rumah dari penginapan palapa. Tok tok... Pintu rumah yang diketuk itu kemudian terbuka menampilkan ruangan terang benerang. "Kau kembali?" "Aku ingin bertemu ketua." "Ketua saat ini istirahat, kau sampaikan saja kepadaku." "... Kalau begitu aku akan kembali besok." Pria yang diajak berbicara membuat muka masam. Pasalnya orang di depannya itu terlihat mencurigai dirinya. "Ketua ada di dalam, dia menunggumu." Pria itu membuka suara ketika orang tadi hampir sepenuhnya keluar dari pintu. "Aku tambah mencurigaimu," balasnya sambil melewati pria tersebut. Di balik pintu itu duduk seorang pria tua dengan sebuah buku di tangannya. "Apa ada yang ingin kau sampaikan malam-malam begini?"
Sudah sehari terlewat semenjak pertandingan Vero dengan Ferry. Pertandingan keduanya bisa dikatakan sangat menarik perhatian satu akademi. Saat hampir semua murid membicarakan pertandingan keduanya di asrama, Vero saat ini berada penginapan. Menjalani kegiatan rutinnya. "Biarkan aku juga membantumu memasak," tawar Allya di depan pintu dapur. "Kau lebih baik jangan mengacau. Jadilah anak baik." "Nak Vero, jangan seperti itu. Allya berniat baik untuk menolong kita di dapur. Setidaknya jawab dia dengan baik." "Kalau ibu bilang begitu... Kau bisa membantuku menyiapkan makanan. Yui, tolong urus dia." Yui yang mendengar itu tentu terlihat antusias namun tidak menunjukkannya secara terang-terangan. Dia merasa tertolong dengan bantuan Allya. Allya secara cepat beradaptasi dengan suasana dapur. Tidak ada kesalahan yang diperbuat olehnya. Berkat dirinya pekerjaan terasa lebih ringan dari biasanya. "K
Hari ini merupakan babak penyisihan empat puluh besar. Mereka yang berhasil lolos hingga tahap ini akan diseleksi kembali menjadi dua puluh besar. "Kuharap kita bisa bertanding, Vero." "Kuharap tidak." "Ayolah, kali ini aku akan serius menghadapimu." "Kau tidak bosan kalah dariku, Rei?" Di bangku ruang tunggu, Reito terus berbicara dengan Vero. Dia ingin sekali menantang Vero bertanding. Namun, kali ini pertandingan dilakukan dengan pengundian. Setiap peserta akan menulis nama mereka masing-masing di atas sebuah lembar kertas. Lembaran-lembaran itu dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah kotak. Terdapat dua petugas yang akan mengambil masing-masing satu lembaran itu, kemudian nama yang muncul akan bertanding satu sama lain. "Baik, sekarang kami akan mengambil nama kalian. Apapun hasilnya, tidak dapat diganggu gugat." Dua petugas maju ke depan kotak. Mereka mengambil masing-m
Hari seleksi pertama sudah berlalu dengan lancar. Tidak ada kecelakaan apapun yang terjadi. "Hei, bukankah hari ini giliranmu?" tanya Elvina di kursi penonton. "Ya, dan itu bukan urusanmu," jawab Vero dengan menutup matanya. Elvina yang melihat reaksi jawaban dari Vero merasa amat kesal. Dia kesal karena sikap yang diberikan kepadanya berbeda dengan sikap yang diberikan kepada Allya. "Kamu mendapat nomor urut ke berapa?" balas Allya mendengar percakapan keduanya. "Kenapa? Aku mendapat nomor tiga puluh enam," jawab Vero dengan menghadap ke arah Allya. Sebenarnya Vero hanya mengerjai Elvina dengan berperilaku seperti itu karena merasa bosan. "Sekarang sudah urutan tiga puluh, sebaiknya kau bersiap sekarang juga sana!" kesal Elvina. "Kau bisa diam tidak? Aku sudah tau itu, Elvina." Elvina membuang muka dengan raut wajah kesalnya. Dia benar-benar kesal dengan Vero saat ini. Saat mereka bertiga mengobrol, s
Pagi hari itu menjadi begitu sangat ramai. Semua murid akademi berkumpul di lapangan. Mereka duduk di kursi penonton untuk menyaksikan pertandingan yang akan dimulai pada hari pertama. Semua kursi yang disediakan hampir terisi penuh, para guru juga menyaksikan siapa bibit unggul tahun ini. "Baiklah dengan ini aku menyatakan bahwa seleksi pertama dimulai!" teriak Mazumi dari tempat duduknya. Sorakan terdengar riuh di stadium menyambut pengumuman kepala akademi. Dengan demikian, pertandingan pertama akan segera dimulai. "Bagi yang mendapatkan nomor urut pertama silakan maju. Sekali lagi, bagi yang mendapat nomor urut pertama silakan memasuki arena!" MC mengumumkan melalui speaker agar peserta segera memasuki arena. Pintu masuk arena terbuka dan seketika semua perhatian tertuju kepadanya. "A-ah, I-ini terlalu me-menakutkan.." gumam pemuda berkacamata yang saat ini berjalan menuju arena. Di
Mengejutkan. Di penginapan, Vero terkejut dengan keberadaan seorang gadis yang dia tidak pernah perkirakan akan tinggal di sana juga. Gadis itu adalah Allya. "Kenapa kau ada di sini?" tanya Vero di depan meja resepsionis. "Kamu juga kenapa di sini?" tanya Allya balik dengan muka polos. "Aku tinggal di sini." "Kamu tinggal di sini juga? Astaga aku tak menyangka kita akan sepenginapan," ucapnya dengan senyuman. "Oh.. Tu-tunggu, apa maksudmu?!" "Haha.. Jangan terkejut seperti itu, mukamu yang biasanya kaku terlihat lucu saat ini." "Tidak. Aku serius bertanya, kenapa kau tidak tinggal saja di asrama akademi atau apakah kau tidak punya tempat tinggal?" tanya Vero panjang lebar. "Rumahku dari akademi cukup jauh dan tinggal di asrama sedikit kurang nyaman karena itu bukan akademi asalku." "Setidaknya ada banyak penginapan lain!" Walaupun Vero mengeluh dengan kehadiran
Hai, mohon maaf sebelumnya. Saya selaku penulis novel ini ingin mengabarkan bahwa novel ini update satu Chapter per minggu dikarenakan kesibukan. Sangat disayangkan memang namun saya harus memprioritaskan urusan pribadi. Saya juga merasa seperti tidak ada yang membaca novel ini karena selama ini hanya satu respon atau dukungan yang saya terima, itu membuat saya ragu apakah ada yang membaca cerita ini atau tidak hingga sekarang. Namun, saya akan tetap menyelesaikan novel ini hingga tamat sesuai kontrak. Kemungkinan novel ini update setiap hari sabtu atau minggu. Terima kasih untuk kalian yang sudah membaca cerita ini. Mohon maaf bila ada kata yang salah.