Eleana POV
Aku sudah menunggu Mommy sekitar setengah jam lamanya, namun ia tak kunjung datang. Aku pun sudah mencoba menghubunginya, tetapi sama sekali tidak ada respon. Aku sendirian di ruangan privat ini.
Setibanya aku di tempat yang Mommy katakan, seorang pelayan menghampiriku dan menyuruhku untuk masuk ke dalam sebuah ruangan yang katanya sudah dipesan sebelumnya. Aku tidak curiga, lagi pula di sana tertera nama Mommy, di meja yang sekarang ada di depanku.
Aku sendiri bingung, kenapa Mommy repot-repot menyiapkan ruangan privat seperti ini, apakah ia akan membicarakan sesuatu yang serius atau ada urusan lain. Jujur, setelah setengah tahun aku memutuskan tinggal di apartemen, aku sedikit kurang tahu bagaimana kondisi rumah. Aku hanya pulang dan bertemu kedua orang tuaku jika liburan semester tiba, tapi tidak pernah lama karena aku harus mengurus bisnis kecil bersama teman kampusku.
Lama aku melamun, tiba-tiba pelayan kembali membuka pintu dan disusul oleh seorang lelaki di belakangnya. Aku bertambah bingung, apakah aku salah ruangan?
“Selamat malam, Nona.” Suara huski itu masuk ke dalam gendang telingaku, membuatku tanpa sadar menelan ludah.
“Maaf Tuan, sepertinya aku salah ruangan,” kataku. Aku bangkit dari kursiku, hendak pergi. Lelaki di depanku ini justru menahan tubuhku hingga aku kembali duduk di kursi.
Sungguh, lelaki yang sangat kasar.
“Nona Eleana, kau terlihat sangat cantik dari pada di foto.”
Lelaki itu tiba-tiba mengusap pipiku dan tanpa kuduga ia mengulum bibirku dengan lembut. Aku terkejut, hingga berdiri dengan cepat dan membuatnya mundur satu langkah. Sungguh, rasanya seperti baru saja tersengat listrik.
“Jangan kurang ajar Tuan,” gertakku, kesal.
Lelaki itu justru terkekeh. Tidak menunggu waktu lama, untuk membalik keadaan di mana aku sudah disudutkan di tempat, dengan tangan kokohnya yang mengurungku hingga aku tidak bisa berbuat apa pun.
“Kau calon istriku, milikku,” ucap lelaki itu.
Aku semakin tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Bibirnya membekap bibirku lagi, dengan kedua tangan besarnya yang berada di atas kedua gundukan dadaku. Meremasnya dengan perlahan dan bertempo. Ini gila, tetapi aku tidak bisa lepas dari jeratannya dan entah kenapa aku mulai terbuai.
Rasanya, aku juga akan gila jika berlama-lama seperti ini.
***
Mikael POV
Jam yang melingkar di tangan kiriku menunjukkan pukul 18.30 waktu London. Aku masih berada di jalanan, dengan mata yang tidak bisa berhenti untuk memperhatikan sehelai foto yang selalu bisa menarik perhatianku.
Sebenarnya, aku sedang ada janji dengan seseorang. Terlambat setengah jam dari perjanjian itu, tetapi aku tidak peduli.
Setelah mobil berhenti di salah satu restoran terbaik di kota ini, aku berjalan memasuki restoran itu. Seorang pelayan langsung membawaku ke dalam ruangan privat yang sudah jauh-jauh hari kupesan. Katanya, seorang wanita sudah menungguku di dalam.
Dan benar, setelah pelayan membukakan pintu ruangan itu, seorang wanita dengan balutan gaun berwarna merah maroon tengah menatapku dengan tatapan bingung sekaligus terkejut.
Wanita itu hendak pergi karena mengira ia salah ruangan. Aku hanya bisa menyunggingkan senyum misterius. Lagi pula mau sampai dia menunggu semalaman di sini, Ibunya—Nyonya Elizabeth, tidak akan pernah datang karena kami sudah memiliki sebuah kesepakatan di awal.
Tanpa menunggu waktu lama, kulumat bibir tipisnya yang terasa begitu manis dan candu. Wanita itu berada dalam dekapanku sekarang, tidak akan bisa ke mana-mana dan tidak akan pernah kulepas. Detak jantungku berdebar tidak karuan, bersama gairah yang semakin membuncah, bisa disimpulkan ini adalah bibir termanis dari wanita mana pun yang pernah ku cicipi.
Aku dapat merasakan punggung wanita itu yang menegang, tetapi aku tidak berhenti. Hingga aku rasa, ia menikmati setiap sentuhan yang aku berikan.
***
“Kau gila Tuan.”
Eleana mendorong dada bidang nan kokoh itu sekuat tenaga, setelah pikiran jernihnya kembali. Ia mengusap kasar bibirnya, merasa jijik dan hina karena sudah bersentuhan dengan bibir seseorang yang belum ia kenal.
Lelaki di hadapannya terpaksa menghentikan aktivitas panas itu karena Eleana sudah berhasil melepaskan diri dari dekapannya. Lalu ia tersenyum kecil, menatap Eleana dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Mommy-mu, tidak akan datang jika kau berpikir demikian.”
“Apa maksudmu Tuan?”
“Mommy-mu telah menyerahkan dirimu untukku. Kau tidak diberitahu olehnya? Kasihan.” Mikael menyeringai.
Eleana bernapas terengah karena perlakuan Mikael tadi. Sekarang bibirnya terlihat membengkak karena ulahnya, ditambah ia sama sekali tidak mengerti dengan topik pembicaraan malam ini.
“Jangan bicara omong kosong.”
Tawa Mikael meledak, memenuhi ruangan privat itu.
“Kau akan menikah denganku besok lusa, jadi persiapkan dirimu dari sekarang.”
Pembawaan lelaki itu yang santai namun tegas, membuat Eleana membulatkan mata terkejut. Ia masih belum bisa mencerna apa yang sebenarnya terjadi, hal ini begitu cepat. Sebelum Eleana sempat bertanya lagi, Mikael menyodorkan sepucuk surat kepadanya.
“Sebelum kau membuka isi surat ini, perkenalkan, namaku Mikael abraham,” ucapnya memperkenalkan diri, sembari meraih tangan mulus Eleana yang ada di atas meja lalu menciumnya.
Sekejap, Eleana menyadari bahwa lelaki yang berdiri di hadapannya ini bukan lelaki sembarangan.
Mikael abraham, pendiri perusahaan berlian terbesar di tengah kota London. Namanya tersohor dan tidak jarang pula wajahnya sering mampir di majalah-majalah besar kota ini. Jangan lupakan pesonanya yang gampang memikat seorang wanita.
Eleana menggeleng, baginya itu tidak penting dan ia tidak peduli, karena rasa kagum yang sempat Eleana miliki saat dulu pernah membaca sebuah artikel tentang Mikael, sirna. Ia sudah tahu bagaimana sikap Mikael yang asli, sikapnya yang kurang ajar padanya.
“Mengapa, kau terlihat terkejut Nona?” Mikael kembali menunjukkan seringainya, “Apakah kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan?”
Jelas saja Eleana tidak percaya.
“Langsung saja pada inti pembicaraan Tuan, tidak usah bertele-tele,” ketus Eleana.
“Mengapa terburu-buru Nona? Kau belum memperkenalkan diri padaku secara resmi.” Mikael mendekatkan dirinya pada tubuh Eleana.
“Tanpa kuberitahu, sepertinya kau sudah tahu lebih banyak,” balas Eleana, menatap mata Mikael, sengit.
Mikael terkekeh, kekehan yang terdengar sangat menjengkelkan di telinga Eleana. “Tidak salah aku menyewa mata-mata satu tahun yang lalu, ternyata ia benar-benar profesional. Kau adalah wanita yang sulit untuk ditaklukkan dan terlalu percaya diri.”
Eleana segera menoleh, tidak terima. “Kau memata-matai aku? Kurang ajar.”
“Kau baca saja surat itu, jangan banyak bicara,” putus Mikael, sudah malas berbasa-basi. “Aku harus segera pergi sekarang,” katanya.
Lelaki itu merunduk, melumat bibir Eleana lagi dengan sangat kasar. Membuat Eleana yang belum siap dengan serangan itu terkejut setengah mati, apalagi tangan besar Mikael kembali mendekapnya hingga ia tidak bisa bergerak.
Eleana tersudut dan tidak bisa melakukan apa pun.
“I love it.” Mikael tersenyum, setelah melepaskan pagutannya karena Eleana sudah hampir kehabisan napas.
Terakhir, Mikael membelai pipi mulus Eleana dan menatap mata biru menyejukkan miliknya lekat-lekat. Eleana terlihat sedikit pucat dengan napas yang masih tidak terkontrol, rambutnya yang ditata rapi, kini sedikit berantakan.
“Tenang Baby, aku tidak akan menyakitimu,” bisiknya, lembut di telinga Eleana.
Eleana merasakan desiran aneh yang bergemuruh bercampur kesal. Ini sudah sangat kelewatan dan ia bahkan tidak bisa melakukan apa pun untuk menghentikan perbuatan Mikael yang melecehkannya.
Mikael merapikan jas hitam yang melekat di tubuhnya, kemudian berlalu tanpa mengatakan apa pun.
Tinggal Eleana sendirian dengan tubuhnya yang terduduk di kursi itu, lemas dan syok. Tanpa terasa air matanya mengalir deras, memikirkan apa yang sebenarnya terjadi dan apa maksud dari semua ini.
***
Eleana mencoba menenangkan dirinya dengan bergelung di atas kasur, menyelimuti tubuhnya sendiri bagai kepompong dengan selimut tebal. Ia mengabaikan segala panggilan masuk dan pesan dari teman-teman kampusnya yang tertera di ponselnya yang tidak berhenti berkedip.
Hari ini, Eleana hanya ingin sendiri.
Setelah kejadian semalam, ponsel Mommy dan Daddy tidak dapat dihubungi. Dan Eleana hanya mendapatkan pesan permintaan maaf dari kedua orang tuanya, tanpa dijelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Apakah benar, sekarang ia sudah dijual pada pengusaha kaya raya itu? Tega sekali.
“Aku benar-benar tidak mengerti, tentang jalan pikiran Mommy.” Eleana mengusap kasar air matanya yang turun melewati pipi.
Sepucuk surat yang sejak semalam tidak berani ia buka, menyedot perhatiannya. Eleana terduduk, mengambil surat itu dan segera mengeluarkan isinya. Setelah menarik napas panjang, akhirnya Eleana memberanikan diri membaca isinya, perlahan.
*Isi Surat*
Eleana sayang, ini Mommy.
Pasti saat ini kau bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Kau juga pasti sangat marah dengan Mommy.
Maaf, Mom terpaksa melakukan ini padamu.
Perusahaan Dad bangkrut, dan Mom tidak tahu harus apa.
Ditambah dengan Dad yang didiagnosa penyakit kanker otak.
Mom bingung, harus bagaimana.
Mungkin ini adalah keputusan yang tepat.
Menikahlah dengan Mikael.
Mikael lelaki yang baik, sayang.
“Lelaki baik?” Eleana menghentikan kegiatan membacanya, kini ia merasa begitu sesak.
Mom percaya dia bisa menjagamu lebih baik dari Mom dan Dad.
Sekali lagi, Mom minta maaf karena tidak bisa hadir di hari bahagiamu.
Mom ucapkan selamat atas pernikahanmu. Katakan pada Mikael,
Mom berterima kasih karena ia sudah membiayai perusahaan dan perawatan Dad.
Jangan khawatirkan kami.
Mom pergi ke Singapure untuk membawa Dad berobat pada dokter yang lebih baik.
Suatu saat jika keadaan membaik, kita akan berjumpa lagi, sayang.
Mom harap kau mengerti kondisi kita, Eleana.
Semoga kau selalu bahagia.
Dan, Mom mencintaimu.
Eleana meremas surat itu hingga menjadi gumpalan, air matanya mengalir lebih deras bersama rasa sakit dan sesak yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Kesal, sedih, bercampur menjadi satu. Kenapa Eleana tidak diberitahu jika Daddy sakit dan perusahaan sedang ada masalah, kenapa Mommy bertindak gegabah dengan menyetujui perjodohan gila ini?
“Seharusnya, jika mereka menyayangiku. Mereka tidak akan menjualku seperti ini,” teriak wanita itu.
“Mengapa mereka justru menjualku?”
Eleana benar-benar hancur.
Eleana devilova smith, wanita 22 tahun yang sekarang tengah menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin besar. Kamar dengan nuansa hitam gelap ini menjadi tempat tidurnya setelah kemarin ia dipaksa untuk segera mengemasi barang dan harus tinggal di sebuah hotel megah pilihan Mikael.Akhirnya ia mengalah pada takdir dan membiarkan kebebasannya direnggut paksa oleh seorang Mikael Abraham. Ia tidak ingin dianggap anak durhaka karena tidak menuruti kemauan orang tua, maka dengan sangat berat hati dan tidak rela, Eleana menerima pernikahan ini.Entah sudah berapa kali riasan pada wajahnya selalu dipoles ulang, air mata Eleana tidak berhenti meluruh dari kedua mata birunya. Meski ia sudah mencoba untuk menghentikannya, rasa sesal dan sesak selalu berhasil membuat pertahanannya runtuh.Ia hanya sendirian di kamar hotel ini, setelah perias keluar lima belas menit yang lalu. Kamar dengan aroma khas Mikael dengan nuansa gelap yang dominan oleh sosok Mikael yang
“Ana?”Eleana semakin merasa pusing, ia merasakan Mikael yang menyentuh bahunya. “Kepalamu berdarah, Baby,” katanya panik.Eleana menutup mata rapat-rapat saat lelehan darah itu merembes hampir mengenai matanya. “Jauhkan darah itu, ku mohon!” pekik Eleana, semakin mengeratkan genggamannya pada Mikael.Mikael melepas jas hitamnya dan memakaikan jas itu di bahu Eleana yang terbuka. Dengan cepat ia menghapus lelehan darah itu dengan sapu tangan, lalu mengangkat tubuh Eleana.“Kepalaku pusing." Eleana menyembunyikan wajahnya di dada bidang Mikael, tidak peduli kemeja putih lelaki itu akan terkena darah.“Apakah kau bisa mendengarku?” tanya Mikael, berhenti memperhatikan Eleana yang terpejam.“Ngghh...,” gumamnya.“Kita ke rumah sakit sekarang.”Eleana otomatis membuka mata, menatap langit malam dan juga rahang Mikael yang terlihat mengeras. “Kita pu
Mikael sudah menenggak beberapa gelas alkohol yang ada di hadapannya. Sekarang laki-laki itu benar-benar ada di batas kesadaran, kepalanya sudah berat, rasa pahit dan pekat menyatu pada wine yang sekarang mengalir di tenggorokannya.Masalah akhir-akhir ini selalu muncul, masalah di kantor dan belum lagi Eleana yang membuat amarahnya meledak malam ini.Mikael berjalan sempoyongan menuju pintu keluar klub. Langkahnya terhenti oleh sosok wanita dengan dress super ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping. Rambut pirangnya membuat Mikael mengira jika itu adalah Eleana.“Jalang kecil, kenapa kau ada di sini?”“El, sudah lama kita tidak bertemu.”Wanita itu tersenyum, lalu bergelayut manja pada lengan kekar Mikael. Mikael sendiri hanya terkekeh sambil mengusap rambut panjang bergelombang milik wanita yang ada di hadapannya.“Kau merindukanku El?” tanya wanita itu.Mikael terkekeh. “Kau a
Tiga hari kemudian...Mikael sibuk dengan pekerjaan di kantor yang sedang mengalami masalah cukup serius, sampai lelaki itu tidak sering berada di rumah untuk menemani istrinya. Bahkan, saat Eleana masih merasa tidak enak badan lelaki itu tidak ada di sampingnya.Eleana masih berkutat pada layar laptop untuk memantau bisnis toko online yang ia bangun bersama teman sekampusnya, ketika ponsel di samping laptop bergetar. Panggilan masuk dari Mikael.“Kau sedang apa?” tanyanya.“Mengerjakan pekerjaan kecil.”“Toko pakaian online-mu itu.”Eleana mengangguk meski Mikael tidak melihat, ia memasukkan camilan ke dalam mulut sebelum menjawab, “Kapan kau akan pulang?”“Mungkin larut seperti kemarin, ada apa?”“Hari ini aku akan keluar sebentar bersama teman kampusku untuk membahas toko online kami.”Terdengar helaan napas. “Bersama supir?”&l
“Terima kasih atas kerja samanya,” ucap Mikael menyunggingkan senyumnya perlahan.Kolega bisnisnya sudah berlalu meninggalkan ruangan rapat. Mikael dapat bernapas lega atas kerja kerasnya selama beberapa hari ini untuk mengurus perusahaan yang kacau hingga mengorbankan waktunya untuk berada di rumah.Lelaki berbadan tegap itu tersenyum kecil, tidak sabar ingin pulang dan bertemu istrinya yang sangat ia rindukan. Malam ini, ia akan mempersiapkan sebuah kejutan kecil untuk Eleana.Tanpa pikir panjang, Mikael melangkahkan kakinya menuju area parkir di mana mobilnya berada. Jemarinya beradu di atas ponsel, mengetikkan pesan singkat untuk istrinya.“Apakah Tuan ada urusan di luar?” tanya sang sopir.“Antar aku pulang sekarang,” ucap Mikael tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel.***Pukul delapan malam.Eleana mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan cahaya yang terlihat sangat te
Siang ini, Mikael harus pergi ke kantor meninggalkan istrinya yang sedang demam di rumah, untungnya Eleana sudah diinfus oleh dokter pagi tadi. Wanita itu masih tidak mau bicara padanya dan Mikael masih terus membujuknya untuk bicara.Kali ini, Mikael harus menyingkirkan egonya untuk pekerjaan yang sedang menunggu.Larut dalam beberapa berkas, Meggie—sekretaris Mikael, masuk ke dalam ruangan dengan napas terengah.“Tuan, aku sudah berusaha mencegahnya, tapi dia tetap berusaha untuk masuk.”Selang beberapa saat, seseorang yang dimaksud oleh Meggie masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang anggun. Sepatunya terdengar beradu dengan lantai, wanita itu mendorong bahu Meggie untuk segera menyingkir, dan di balas Meggie dengan berdecak.“Baby, I miss you.”Wanita berambut pirang gelombang itu bergelayut manja pada lengan kokoh Mikael. Sementara Mikael tetap fokus pada laptopnya yang sedang menampilkan beberapa grafik
Hubungan Eleana dan Mikael semakin dekat. Eleana sudah bisa membuka hatinya dan mulai mencintai seorang Mikael, begitu pula Mikael yang sekarang berubah jadi manis dan menunjukkan perhatian lebih pada Eleana. Mereka saling melengkapi dan mengerti satu sama lain.Pagi hari, Eleana menunggu mobil Mikael berjalan keluar gerbang, lelaki itu harus pergi ke kantor seperti biasa. Setelah mobil itu keluar dari mansion, Eleana kembali ke ruang makan.“Huek....”Eleana menutup mulutnya, wanita itu segera berlari ke kamar mandi. Setelah mencium aroma sup daging yang dibuat Bibi Margareth, entah kenapa perutnya jadi mual. Padahal Eleana sedari dulu menyukai sup daging.“Kenapa aku jadi sensitif dengan aroma yang kuat akhir-akhir ini?” Eleana membersihkan bibirnya dengan air yang mengalir.Ia kemudian masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela di mana berbagai burung sedang terbang bebas di atas awan. Jantung
Eleana turun dari lantai atas, sembari mengikat rambutnya ia berjalan menuju dapur. Belakangan ini ia jadi sering lapar di tengah malam karena hormon kehamilan. Beruntung, Bibi Margareth selalu membantunya jika ia sedang kesulitan, sejauh ini hanya Bibi Margareth yang tahu tentang kehamilannya.Eleana tidak membangunkan Bibi Margareth lagi, ia memilih untuk menggoreng daging ayam dan kentang yang ada di lemari pendingin. Ini sudah sangat larut, ia tidak ingin merepotkan orang lain mengenai kehamilannya.Selepas makanan matang, Eleana kembali ke kamar. Ia sangat bosan, selama dua hari ini tidak tahu harus melakukan apa karena tidak ada Mikael di rumah. Kamar juga menjadi sepi, biasanya ia akan bicara atau hanya sekadar mendengar keluh kesah Mikael tentang pekerjaan.Ia rindu Mikael.Seharian ini Mikael juga tidak memberi kabar, biasanya Mikael akan menelepon setelah selesai meeting, hari ini beda. Karena rasa khawatir dan penasaran, akhirnya Eleana memutus
"Om, Vin ingin es krim." Izrael yang sedang membaca buku di ruang tengah menatap sang keponakan setelah menaruh majalah di tangannya. "Apa, Vin?" "Es krim." Kevin dengan malu-malu menunjuk kulkas yang ada di dapur. Senyum manisnya mengembang, membuat Izrael juga tertular. "Kata Daddy, kau tidak boleh makan yang manis-manis." Seketika Kevin menunduk. "Aku mau." Melihat wajah Kevin yang berubah sedih, Izrael tak sampai hati untuk menolak permintaan keponakan kecilnya. Maka dari itu, Izrael langsung saja menggandeng Kevin dan ia dudukkan di kursi makan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, selain dirinya dan Kevin. Mom dan Dad sedang pergi ke sebuah pesta, sementara Mikael dan Eleana yang sejak tadi memberitahu akan menjemput Kevin, belum juga sampai. "Kau jangan bilang Daddymu, ya. Bisa-bisa aku dipenggal." "Dipenggal itu apa, Om?" Pertanyaan polos Kevin membuat Izrael merutuki mulutnya sendiri yang tidak difil
Seperti menemukan keluarga baru, Kevin begitu lengket dengan Izrael. Bahkan ia sering ikut Omnya pergi ke beberapa tempat makan dan bertemu teman-teman Izrael. Mungkin karena saat masih dalam kandungan, Izrael merawat Kevin jadi dia tidak perlu waktu lama untuk dekat.Mengenai Mikael, dia sering cemburu. Tentu saja. Bahkan saat belajar menghitung, Kevin lebih memilih diajari Izrael daripada dirinya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi Mikael merasa sudah di ayah tirikan oleh putra kecilnya.Tapi, pagi ini, Mikael benar-benar menitipkan Kevin sepenuhnya pada Izrael karena tiba-tiba Eleana demam lagi. Padahal kemarin masih baik-baik saja, tapi malam tadi demamnya begitu tinggi. Susahnya, Eleana selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan masih trauma saat dirawat pasca melahirkan dulu."Aku titip, besok kuambil lagi," ucap Mikael, mencium pipi Kevin sebelum putranya masuk ke dalam rumah besar Mom Isabelle."Sudah seperti barang saja, dioper sana
Mikael memijat pangkal hidungnya. Jika dihadapkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih memilih meeting dan membuat laporan daripada harus mengajari Kevin berhitung.Bukannya tidak mau, hanya saja putra kecilnya ini lebih banyak bicara menanyakan gambar sebagai objek belajarnya, bukan menghitung. Lalu, jika Mikael mengatakan hitungannya salah. Dia akan marah dan kesal."Vin, diamlah. Dad pusing sekarang." Mikael menyandarkan punggungnya, saat Kevin mulai bertanya sebaiknya kelinci di buku menghitung diwarnai apa."Daddy, aku bertanya.""Terserahmu saja, pilih yang kau suka."Kevin mendengkus, kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Mikael tidak suka. "Aku mau belajar dengan Mom saja.""Jangan...!"Mikael mengangkat Kevin ke pangkuannya, memeluk tubuh mungil itu dan membuatnya nyaman dalam kungkungan Mikael. "Mom sedang sakit Vin."Dua hari ini Eleana batuk dan demam, tadi pagi ia baru saja pergi ke dokter d
"Pagi, Daddy.""Pagi, Vin."Mikael mencium pipi putra kecilnya, ia ikut duduk di sebelah Kevin yang sedang sarapan roti selai buatan Oma. Pukul delapan pagi, ketika Mikael turun dari lantai atas."Mom di mana?" tanya Kevin, menatap Mikael dengan mata bulatnya."Mom masih tidur."Kevin mengerutkan kening, tidak biasanya Mommy masih tertidur saat matahari sudah menyengat seperti ini. Bocah kecil itu sampai memiringkan kepalanya bingung."Mom kecapekan, sayang.""Hm?""Mom sakit?" tanya Kevin, kaki gembulnya berusaha turun dari kursi setelah menanyakan itu pada Mikael."Vin, mau ke mana?" tanya Mikael setelah menurunkan bocah itu.Kevin tidak menjawab, ia mengambil piring berisi roti selainya yang tinggal setengah, lalu menaiki tangga dengan hati-hati."Kevin, mau ke mana, Nak?" Mom Isabelle yang melewati bawah tangga meringis, melihat bagaimana cucu pertamanya dengan susah payah menaiki tangga."Oma, V
Brankar pesakitan itu didorong oleh dua perawat sekaligus, melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan masuk ke dalam UGD.Sebuah tangan yang menghantam tembok, seperti saksi bahwa sebenarnya seseorang tidak ingin kejadian tiba-tiba ini terjadi.Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk dari seorang bodyguard yang ia tugaskan untuk mengejar seseorang berpakaian serba hitam di bandara tadi."Bagaimana?""Kami menangkapnya, Tuan.""Jaga dia, usahakan jangan sampai kabur.""Baik, Tuan."Darah yang mengalir di buku-buku jari, tidak ia hiraukan. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, menunggu kabar dan berharap itu bukan kabar buruk."Tuan Mikael, Nyonya Isabelle menelepon."Mikael menoleh, pada seorang bodyguard yang tadi menemaninya untuk pergi ke rumah sakit. Ia mengambil ponsel di tangan bodyguardnya dengan ragu."Kau di mana? Eleana menangis sejak tadi," cerita Isabelle."Mom, katakan p
"Mom, Vin ingin bertemu Dad." Eleana seperti diserang ribuan lebah berbentuk gumpalan menggemaskan dalam satu tubuh, Kevin. Putra kecilnya yang bicara tanpa henti, menanyakan sosok Daddy-nya yang sedang pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Rasanya Eleana sudah tidak punya alasan untuk membujuk Kevin. Karena semua bujukan yang ia buat, tidak berhasil membuat Kevin tenang. Adonan kue yang sedang ia buat sampai kebanyakan tepung terigu. "Vin, Mom sedang memasak." "Vin ingin bertemu Daddy," rengeknya, menarik-narik kaus Eleana. Seperti dengan begitu Mommy-nya akan luluh dan mempertemukannya dengan Mikael. "Mommy." Tangisan Kevin yang menggelegar membuat Eleana menaruh adonan kuenya dan langsung menggendong bocah itu. Mungkin, Kevin sudah kesal terlalu lama diabaikan oleh Eleana. "Berhenti menangis," ucap Eleana, mendudukkan Kevin di atas meja. Kevin justru memperkeras tangisannya. Membuat Eleana mendengus,
Ada banyak hal yang perlu diurus di kantor. Mikael sampai melupakan sarapan yang sudah disiapkan Eleana, ketika menerima telepon dari Lucas. Ia juga melupakan rutinitas paginya membangunkan Kevin. Pagi ini, begitu sangat kacau. "Aku berangkat, ya." Mikael mencium kening Eleana begitu lama, lalu masuk ke mobil. Eleana menunggu mobil Mikael sampai keluar dari gerbang, lalu masuk ke rumah. Sampai ia mendengar tangisan Kevin dari lantai dua. "Daddy," panggil Kevin, menatap mobil Mikael yang sudah berjalan menjauh. "Vin." "Mom, Daddy tidak membangunkanku." Kevin merengek. "Dad sedang buru-buru, kan, sudah ada Mommy." Kevin merengut, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memeluk Mom Eleana dan dibawa ke kamar mandi, untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melupakan Daddy yang pergi begitu saja tanpa menyapanya dulu. Kesal sekali sebenarnya, tapi ya sudahlah. *** Mikael menutup berkas di tanga
Lima tahun kemudian .... "Mom, Vin mau beli roti itu." Eleana menolehkan kepalanya pada sesuatu yang membuat putranya tertarik. Ia kemudian menghela napas. "Nanti Mom buatkan roti bolu di rumah, ya." "Aku tidak mau Mom, nanti dimakan Dad lagi." Kemarin, Kevin meminta kue ulang tahun sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke lima tahun. Eleana secara spesial membuatkan kue itu untuk Kevin dan dia simpan di lemari pendingin. Namun, ketika Eleana pulang setelah menjemput Kevin ke sekolah, kue itu sudah hilang dari lemari pendingin. Dan, Mikael adalah pelakunya. Kevin menangis dan tidak bicara semalaman pada Eleana, menuduh Eleana jika dirinya sudah tidak menyayangi Kevin lagi. "Nanti Mom beritahu Dad, kau mengerti." Kevin menghela napas, ia menurut saja ketika Mom menggandeng tangannya meninggalkan taman yang ia lewati sebelum ke teman parkir. Padahal, roti bolu di kedai kecil dekat sekolahnya terlihat menggiurkan untuk dicicipi
Abraham menutup berkas di tangannya dengan kasar. Ia menatap Mikael yang sekarang duduk dengan gelisah di hadapannya. Abraham mencoba menebak apa isi kepala putra keduanya ini. “Kenapa kau ingin menangguhkan Izrael?” Mikael menghela napas. “Aku merasa bersalah padanya, Dad.” “Aku tidak setuju.” Menurut Abraham, Izrael pantas mendapatkan hukuman atas perbuatan yang ia lakukan. Biarkan saja merugikan dirinya sendiri, itu sudah konsekuensi. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. “Dad, Izrael depresi di penjara.” Abraham berdecak. “Biarkan saja,” ucap Abraham tegas. “Dia juga anakmu, Dad.” “Dia sudah mencoreng nama baikku!” tandas Abraham. Mikael mengusap kasar wajahnya. “Kau hanya memikirkan nama baikmu?” “Sudahlah, El. Lebih baik kau urus keluargamu dengan baik. Biarkan saja Izrael menjalani masa hukuman atas kejahatan yang dia perbuat.” “Izrael melakukan percobaan bunuh diri,” ungkap Mikae