Eleana turun dari lantai atas, sembari mengikat rambutnya ia berjalan menuju dapur. Belakangan ini ia jadi sering lapar di tengah malam karena hormon kehamilan. Beruntung, Bibi Margareth selalu membantunya jika ia sedang kesulitan, sejauh ini hanya Bibi Margareth yang tahu tentang kehamilannya.
Eleana tidak membangunkan Bibi Margareth lagi, ia memilih untuk menggoreng daging ayam dan kentang yang ada di lemari pendingin. Ini sudah sangat larut, ia tidak ingin merepotkan orang lain mengenai kehamilannya.
Selepas makanan matang, Eleana kembali ke kamar. Ia sangat bosan, selama dua hari ini tidak tahu harus melakukan apa karena tidak ada Mikael di rumah. Kamar juga menjadi sepi, biasanya ia akan bicara atau hanya sekadar mendengar keluh kesah Mikael tentang pekerjaan.
Ia rindu Mikael.
Seharian ini Mikael juga tidak memberi kabar, biasanya Mikael akan menelepon setelah selesai meeting, hari ini beda. Karena rasa khawatir dan penasaran, akhirnya Eleana memutus
Mikael terbangun dengan cahaya terang dari matahari yang menerobos jendela kamar. Seingatnya, semalam ia tengah memperhatikan Eleana yang sedang berdiri membelakanginya di depan jendela.“Ana?” panggil Mikael.Mikael mencari Eleana di kamar mandi, walk in closet, dapur, taman belakang, bahkan ia mengelilingi separuh dari mansion megahnya, dan tidak menemukan wanita itu di mana pun.“Tuan, bukankah kau sedang sakit?” tanya Bibi Margareth yang tidak sengaja melihat Mikael sedang duduk di undakan tangga sembari mengusap wajah.“Di mana Ana?”“Nyonya belum terlihat sedari pagi Tuan.”Mikael begitu kebingungan, ia tidak tahu di mana Eleana sekarang. Saat ia tidak sengaja membuka lemari, seluruh pakaian Eleana sudah tidak ada. Dengan kesal Mikael membanting pintu lemari, menumpahkan emosinya pada benda-benda di sekitar.“Wanita itu, sama saja dengan wanita lain!” teriak Mikael.
Berapa hari lagi yang harus Mikael habiskan untuk mencari keberadaan Eleana, berapa orang lagi yang harus ia kerahkan untuk melacak wanita itu. Hasilnya masih tetap sama, Eleana belum ditemukan. Eleana seperti hilang ditelan bumi.Mikael seperti mayat hidup yang menghabiskan sisa waktunya di depan komputer atau hanya menunggu telepon dari orang suruhannya yang ia sebar di beberapa negara. Berharap ada kabar baik dari seorang wanita yang ia cintai.Ia juga sudah berusaha menanyakan keberadaan Eleana pada teman kampusnya, tetapi mereka tidak tahu. Wanita itu juga tidak memberi kejelasan kapan dia akan kembali berkuliah setelah mengambil cuti untuk beberapa bulan.Dan kali ini, sebuah kabar mengejutkan begitu mengguncang Mikael, sampai ia tidak dapat berpikir jernih. Ia tidak nafsu makan sejak mendengar kabar itu dan sekarang ia juga tidak peduli tubuh lelahnya yang ia paksa untuk bepergian.Mikael terbang menuju Hongkong setelah mendengar kabar duka yang sa
Troli berisi beberapa bahan makanan dan camilan, berhenti di depan kasir. Wanita berbadan dua dengan balutan mantel khas musim dingin itu menunggu belanjaannya selesai dihitung sambil sesekali mengusap perut bulatnya.Di luar memang musim dingin, tetapi Eleana merasa gerah sampai terdapat bulir-bulir keringat pada pelipisnya. Matanya tidak berhenti bergerak gelisah, sesekali ia mencuri pandang ke belakang, memperhatikan orang-orang yang sedang berbaris menunggu giliran untuk membayar.Entah kenapa, akhir-akhir ini Eleana merasa jika seseorang sedang mengawasinya. Seseorang yang sama, bertopi hitam dan memakai jaket kulit. Sudah dua hari berturut-turut Eleana merasa dibuntuti oleh orang tersebut. Awalnya saat ia pulang setelah bercerita bersama Izrael, kedua adalah hari ini.Setelah membayar di kasir, Eleana segera keluar dari minimarket sambil membawa barang belanjaan. Ia seperti orang yang tengah dikejar, padahal di belakang sama sekali tidak ada yang mengejar.
Eleana tidak tahu sedang ada di mana sekarang. Saat dirinya membuka mata yang terlihat hanya kegelapan, ia sudah terduduk dengan posisi tangan dan kaki yang terikat. Seingatnya, ia masih ada di dalam taksi dan supir memberinya air mineral. Karena haus, Eleana meminum air itu, lalu setelahnya ia sudah tidak mengingat apa pun.Keadaan ruangan pengap yang minim cahaya ini membuat Eleana merasa sesak. “Siapa di sana, tolong lepaskan aku!” teriaknya, saat ia melihat siluet bayangan.Tiba-tiba lampu menyala, lampu yang tidak cukup terang, tetapi bisa digunakan untuk melihat keadaan sekitar. Eleana yang semula menunduk, mendongak saat mendengar suara sepatu.“Hei, tolong aku!” pintanya, keringat dingin mulai membanjiri tubuh Eleana karena takut, perutnya juga terasa mengencang.Sosok itu perlahan berjalan mendekati Eleana, seorang wanita dengan gaun hitam yang memiliki belahan memanjang sampai paha. Sungguh elegan dan terlihat seksi.
Mikael membatalkan seluruh pertemuan dan pekerjaannya, ia memilih menemani Eleana sampai wanita itu sembuh. Baginya menjaga Eleana jauh lebih penting untuk sekarang, apalagi istrinya tengah berbadan dua dan kondisinya masih belum stabil.Pagi ini, dokter dan dua perawat masuk ke dalam ruang rawat inap Eleana untuk mengecek keadaan wanita itu dan juga perkembangannya. Eleana sudah bisa bersandar dan makan sekarang.“Selamat pagi Nona, mari ku periksa.”Eleana dibantu untuk berbaring, sementara Mikael duduk di sofa memperhatikan istrinya yang sedang diperiksa. Terjadi hening beberapa saat dan dokter menyudahi pemeriksaan setelah mengatakan sesuatu untuk dicatat oleh suster.“Kau harus mengoleskan salep ini pada luka memarmu Nona, mari kubantu,” baru saja dokter ingin menyingkap pakaian Eleana, wanita itu dengan sopan menolak.Eleana sedikit melirik Mikael yang memperhatikannya dalam diam.“Nanti biar kulakuk
Eleana menceritakan seluruh kejadian yang ia ingat pada Mikael sambil menangis.Kesimpulan dari cerita itu begitu sangat menyeramkan, Mikael yang hanya mendengar tidak bisa membayangkan bagaimana istrinya itu begitu kuat.Lelaki itu juga tidak habis pikir, di mana letak pikiran manusia biadab yang dengan tanpa perasaan menganiaya istrinya yang jelas-jelas sedang mengandung. Ini membuat emosi Mikael tersulut.Eleana mendongak, menatap Mikael yang terlihat menunjukkan kemarahan, bahkan jemari lelaki itu sudah terkepal kuat. “El, kumohon jangan membencinya,” pinta Eleana berbisik lembut, perlahan menggenggam tangan Mikael dan melepas kepalan tangannya.Tidak menjawab, Mikael justru menarik Eleana ke dalam dekapannya. Begitu erat. Takut ia akan kehilangan wanita itu lagi nanti.“Kau tenang saja, Baby.”Eleana merasakan bayi di dalam perutnya menendang, apa mungkin ia merasa diabaikan oleh kedua orang tuanya. Atau dia ingi
Dulu, Mikael sangat mencintai Kathrine—teman kampusnya. Ia berani mengejar Kathrine hingga mati-matian sampai akhirnya mendapatkan wanita itu. Setelah sekian lama Mikael mengejar, seperti gayung bersambut akhirnya Kathrine luluh padanya.Tiga tahun menjalin hubungan, mereka menjadi pasangan kekasih yang serasi dan selalu terkoneksi jika membicarakan bisnis dan berbagai hal. Tiga tahun pula, mereka merencanakan sebuah pernikahan yang mereka impikan. Mikael berusaha keras untuk mewujudkan pernikahan itu dengan bekerja keras membuat perusahaan Dad menjadi berkembang pesat.Tetapi, ternyata Kathrine bukanlah wanita yang cukup dengan satu lelaki. Ia pergi ke klub malam tanpa sepengetahuan Mikael dan tidur dengan banyak lelaki di tempat itu.Lebih parahnya lagi, Kathrine bermain di belakang Mikael dengan kakak kandungnya sendiri—Izrael. Mulai saat itu Mikael benci Izrael, ia selalu menonjolkan kepintarannya dalam mengelola perusahaan berlian sang ayah, sem
Usia kandungan Eleana sudah memasuki delapan bulan. Mikael sudah melarangnya untuk melakukan pekerjaan yang berat.Eleana merasa hidupnya begitu dikekang oleh suaminya, ia tidak boleh melakukan apa pun padahal ia menginginkannya. Bahkan untuk sekadar memasak saja, Mikael tidak memperbolehkannya.Eleana sedang memijat pinggangnya ketika Mikael keluar dari kamar mandi. Lelaki itu menghampiri sang istri yang terlihat tengah meringis, menahan sakit.“Ini alasanku melarangmu melakukan pekerjaan rumah.” Mikael duduk di belakang Eleana, memijat pinggang wanitanya.Akhir-akhir ini Eleana sering mengeluh punggungnya sakit, napasnya yang sesak dan sang bayi yang selalu menendang perut saat tidur. Kata dokter, itu hal yang wajar menjelang persalinan.“Kau sudah minum susumu?”“Belum.”Mikael melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Seharusnya Eleana meminum susu itu sekitar satu jam yang lalu
"Om, Vin ingin es krim." Izrael yang sedang membaca buku di ruang tengah menatap sang keponakan setelah menaruh majalah di tangannya. "Apa, Vin?" "Es krim." Kevin dengan malu-malu menunjuk kulkas yang ada di dapur. Senyum manisnya mengembang, membuat Izrael juga tertular. "Kata Daddy, kau tidak boleh makan yang manis-manis." Seketika Kevin menunduk. "Aku mau." Melihat wajah Kevin yang berubah sedih, Izrael tak sampai hati untuk menolak permintaan keponakan kecilnya. Maka dari itu, Izrael langsung saja menggandeng Kevin dan ia dudukkan di kursi makan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, selain dirinya dan Kevin. Mom dan Dad sedang pergi ke sebuah pesta, sementara Mikael dan Eleana yang sejak tadi memberitahu akan menjemput Kevin, belum juga sampai. "Kau jangan bilang Daddymu, ya. Bisa-bisa aku dipenggal." "Dipenggal itu apa, Om?" Pertanyaan polos Kevin membuat Izrael merutuki mulutnya sendiri yang tidak difil
Seperti menemukan keluarga baru, Kevin begitu lengket dengan Izrael. Bahkan ia sering ikut Omnya pergi ke beberapa tempat makan dan bertemu teman-teman Izrael. Mungkin karena saat masih dalam kandungan, Izrael merawat Kevin jadi dia tidak perlu waktu lama untuk dekat.Mengenai Mikael, dia sering cemburu. Tentu saja. Bahkan saat belajar menghitung, Kevin lebih memilih diajari Izrael daripada dirinya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi Mikael merasa sudah di ayah tirikan oleh putra kecilnya.Tapi, pagi ini, Mikael benar-benar menitipkan Kevin sepenuhnya pada Izrael karena tiba-tiba Eleana demam lagi. Padahal kemarin masih baik-baik saja, tapi malam tadi demamnya begitu tinggi. Susahnya, Eleana selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan masih trauma saat dirawat pasca melahirkan dulu."Aku titip, besok kuambil lagi," ucap Mikael, mencium pipi Kevin sebelum putranya masuk ke dalam rumah besar Mom Isabelle."Sudah seperti barang saja, dioper sana
Mikael memijat pangkal hidungnya. Jika dihadapkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih memilih meeting dan membuat laporan daripada harus mengajari Kevin berhitung.Bukannya tidak mau, hanya saja putra kecilnya ini lebih banyak bicara menanyakan gambar sebagai objek belajarnya, bukan menghitung. Lalu, jika Mikael mengatakan hitungannya salah. Dia akan marah dan kesal."Vin, diamlah. Dad pusing sekarang." Mikael menyandarkan punggungnya, saat Kevin mulai bertanya sebaiknya kelinci di buku menghitung diwarnai apa."Daddy, aku bertanya.""Terserahmu saja, pilih yang kau suka."Kevin mendengkus, kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Mikael tidak suka. "Aku mau belajar dengan Mom saja.""Jangan...!"Mikael mengangkat Kevin ke pangkuannya, memeluk tubuh mungil itu dan membuatnya nyaman dalam kungkungan Mikael. "Mom sedang sakit Vin."Dua hari ini Eleana batuk dan demam, tadi pagi ia baru saja pergi ke dokter d
"Pagi, Daddy.""Pagi, Vin."Mikael mencium pipi putra kecilnya, ia ikut duduk di sebelah Kevin yang sedang sarapan roti selai buatan Oma. Pukul delapan pagi, ketika Mikael turun dari lantai atas."Mom di mana?" tanya Kevin, menatap Mikael dengan mata bulatnya."Mom masih tidur."Kevin mengerutkan kening, tidak biasanya Mommy masih tertidur saat matahari sudah menyengat seperti ini. Bocah kecil itu sampai memiringkan kepalanya bingung."Mom kecapekan, sayang.""Hm?""Mom sakit?" tanya Kevin, kaki gembulnya berusaha turun dari kursi setelah menanyakan itu pada Mikael."Vin, mau ke mana?" tanya Mikael setelah menurunkan bocah itu.Kevin tidak menjawab, ia mengambil piring berisi roti selainya yang tinggal setengah, lalu menaiki tangga dengan hati-hati."Kevin, mau ke mana, Nak?" Mom Isabelle yang melewati bawah tangga meringis, melihat bagaimana cucu pertamanya dengan susah payah menaiki tangga."Oma, V
Brankar pesakitan itu didorong oleh dua perawat sekaligus, melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan masuk ke dalam UGD.Sebuah tangan yang menghantam tembok, seperti saksi bahwa sebenarnya seseorang tidak ingin kejadian tiba-tiba ini terjadi.Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk dari seorang bodyguard yang ia tugaskan untuk mengejar seseorang berpakaian serba hitam di bandara tadi."Bagaimana?""Kami menangkapnya, Tuan.""Jaga dia, usahakan jangan sampai kabur.""Baik, Tuan."Darah yang mengalir di buku-buku jari, tidak ia hiraukan. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, menunggu kabar dan berharap itu bukan kabar buruk."Tuan Mikael, Nyonya Isabelle menelepon."Mikael menoleh, pada seorang bodyguard yang tadi menemaninya untuk pergi ke rumah sakit. Ia mengambil ponsel di tangan bodyguardnya dengan ragu."Kau di mana? Eleana menangis sejak tadi," cerita Isabelle."Mom, katakan p
"Mom, Vin ingin bertemu Dad." Eleana seperti diserang ribuan lebah berbentuk gumpalan menggemaskan dalam satu tubuh, Kevin. Putra kecilnya yang bicara tanpa henti, menanyakan sosok Daddy-nya yang sedang pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Rasanya Eleana sudah tidak punya alasan untuk membujuk Kevin. Karena semua bujukan yang ia buat, tidak berhasil membuat Kevin tenang. Adonan kue yang sedang ia buat sampai kebanyakan tepung terigu. "Vin, Mom sedang memasak." "Vin ingin bertemu Daddy," rengeknya, menarik-narik kaus Eleana. Seperti dengan begitu Mommy-nya akan luluh dan mempertemukannya dengan Mikael. "Mommy." Tangisan Kevin yang menggelegar membuat Eleana menaruh adonan kuenya dan langsung menggendong bocah itu. Mungkin, Kevin sudah kesal terlalu lama diabaikan oleh Eleana. "Berhenti menangis," ucap Eleana, mendudukkan Kevin di atas meja. Kevin justru memperkeras tangisannya. Membuat Eleana mendengus,
Ada banyak hal yang perlu diurus di kantor. Mikael sampai melupakan sarapan yang sudah disiapkan Eleana, ketika menerima telepon dari Lucas. Ia juga melupakan rutinitas paginya membangunkan Kevin. Pagi ini, begitu sangat kacau. "Aku berangkat, ya." Mikael mencium kening Eleana begitu lama, lalu masuk ke mobil. Eleana menunggu mobil Mikael sampai keluar dari gerbang, lalu masuk ke rumah. Sampai ia mendengar tangisan Kevin dari lantai dua. "Daddy," panggil Kevin, menatap mobil Mikael yang sudah berjalan menjauh. "Vin." "Mom, Daddy tidak membangunkanku." Kevin merengek. "Dad sedang buru-buru, kan, sudah ada Mommy." Kevin merengut, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memeluk Mom Eleana dan dibawa ke kamar mandi, untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melupakan Daddy yang pergi begitu saja tanpa menyapanya dulu. Kesal sekali sebenarnya, tapi ya sudahlah. *** Mikael menutup berkas di tanga
Lima tahun kemudian .... "Mom, Vin mau beli roti itu." Eleana menolehkan kepalanya pada sesuatu yang membuat putranya tertarik. Ia kemudian menghela napas. "Nanti Mom buatkan roti bolu di rumah, ya." "Aku tidak mau Mom, nanti dimakan Dad lagi." Kemarin, Kevin meminta kue ulang tahun sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke lima tahun. Eleana secara spesial membuatkan kue itu untuk Kevin dan dia simpan di lemari pendingin. Namun, ketika Eleana pulang setelah menjemput Kevin ke sekolah, kue itu sudah hilang dari lemari pendingin. Dan, Mikael adalah pelakunya. Kevin menangis dan tidak bicara semalaman pada Eleana, menuduh Eleana jika dirinya sudah tidak menyayangi Kevin lagi. "Nanti Mom beritahu Dad, kau mengerti." Kevin menghela napas, ia menurut saja ketika Mom menggandeng tangannya meninggalkan taman yang ia lewati sebelum ke teman parkir. Padahal, roti bolu di kedai kecil dekat sekolahnya terlihat menggiurkan untuk dicicipi
Abraham menutup berkas di tangannya dengan kasar. Ia menatap Mikael yang sekarang duduk dengan gelisah di hadapannya. Abraham mencoba menebak apa isi kepala putra keduanya ini. “Kenapa kau ingin menangguhkan Izrael?” Mikael menghela napas. “Aku merasa bersalah padanya, Dad.” “Aku tidak setuju.” Menurut Abraham, Izrael pantas mendapatkan hukuman atas perbuatan yang ia lakukan. Biarkan saja merugikan dirinya sendiri, itu sudah konsekuensi. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. “Dad, Izrael depresi di penjara.” Abraham berdecak. “Biarkan saja,” ucap Abraham tegas. “Dia juga anakmu, Dad.” “Dia sudah mencoreng nama baikku!” tandas Abraham. Mikael mengusap kasar wajahnya. “Kau hanya memikirkan nama baikmu?” “Sudahlah, El. Lebih baik kau urus keluargamu dengan baik. Biarkan saja Izrael menjalani masa hukuman atas kejahatan yang dia perbuat.” “Izrael melakukan percobaan bunuh diri,” ungkap Mikae