Brankar pesakitan itu didorong oleh dua perawat sekaligus, melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan masuk ke dalam UGD.
Sebuah tangan yang menghantam tembok, seperti saksi bahwa sebenarnya seseorang tidak ingin kejadian tiba-tiba ini terjadi.
Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk dari seorang bodyguard yang ia tugaskan untuk mengejar seseorang berpakaian serba hitam di bandara tadi.
"Bagaimana?"
"Kami menangkapnya, Tuan."
"Jaga dia, usahakan jangan sampai kabur."
"Baik, Tuan."
Darah yang mengalir di buku-buku jari, tidak ia hiraukan. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, menunggu kabar dan berharap itu bukan kabar buruk.
"Tuan Mikael, Nyonya Isabelle menelepon."
Mikael menoleh, pada seorang bodyguard yang tadi menemaninya untuk pergi ke rumah sakit. Ia mengambil ponsel di tangan bodyguardnya dengan ragu.
"Kau di mana? Eleana menangis sejak tadi," cerita Isabelle.
"Mom, katakan p
"Pagi, Daddy.""Pagi, Vin."Mikael mencium pipi putra kecilnya, ia ikut duduk di sebelah Kevin yang sedang sarapan roti selai buatan Oma. Pukul delapan pagi, ketika Mikael turun dari lantai atas."Mom di mana?" tanya Kevin, menatap Mikael dengan mata bulatnya."Mom masih tidur."Kevin mengerutkan kening, tidak biasanya Mommy masih tertidur saat matahari sudah menyengat seperti ini. Bocah kecil itu sampai memiringkan kepalanya bingung."Mom kecapekan, sayang.""Hm?""Mom sakit?" tanya Kevin, kaki gembulnya berusaha turun dari kursi setelah menanyakan itu pada Mikael."Vin, mau ke mana?" tanya Mikael setelah menurunkan bocah itu.Kevin tidak menjawab, ia mengambil piring berisi roti selainya yang tinggal setengah, lalu menaiki tangga dengan hati-hati."Kevin, mau ke mana, Nak?" Mom Isabelle yang melewati bawah tangga meringis, melihat bagaimana cucu pertamanya dengan susah payah menaiki tangga."Oma, V
Mikael memijat pangkal hidungnya. Jika dihadapkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih memilih meeting dan membuat laporan daripada harus mengajari Kevin berhitung.Bukannya tidak mau, hanya saja putra kecilnya ini lebih banyak bicara menanyakan gambar sebagai objek belajarnya, bukan menghitung. Lalu, jika Mikael mengatakan hitungannya salah. Dia akan marah dan kesal."Vin, diamlah. Dad pusing sekarang." Mikael menyandarkan punggungnya, saat Kevin mulai bertanya sebaiknya kelinci di buku menghitung diwarnai apa."Daddy, aku bertanya.""Terserahmu saja, pilih yang kau suka."Kevin mendengkus, kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Mikael tidak suka. "Aku mau belajar dengan Mom saja.""Jangan...!"Mikael mengangkat Kevin ke pangkuannya, memeluk tubuh mungil itu dan membuatnya nyaman dalam kungkungan Mikael. "Mom sedang sakit Vin."Dua hari ini Eleana batuk dan demam, tadi pagi ia baru saja pergi ke dokter d
Seperti menemukan keluarga baru, Kevin begitu lengket dengan Izrael. Bahkan ia sering ikut Omnya pergi ke beberapa tempat makan dan bertemu teman-teman Izrael. Mungkin karena saat masih dalam kandungan, Izrael merawat Kevin jadi dia tidak perlu waktu lama untuk dekat.Mengenai Mikael, dia sering cemburu. Tentu saja. Bahkan saat belajar menghitung, Kevin lebih memilih diajari Izrael daripada dirinya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi Mikael merasa sudah di ayah tirikan oleh putra kecilnya.Tapi, pagi ini, Mikael benar-benar menitipkan Kevin sepenuhnya pada Izrael karena tiba-tiba Eleana demam lagi. Padahal kemarin masih baik-baik saja, tapi malam tadi demamnya begitu tinggi. Susahnya, Eleana selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan masih trauma saat dirawat pasca melahirkan dulu."Aku titip, besok kuambil lagi," ucap Mikael, mencium pipi Kevin sebelum putranya masuk ke dalam rumah besar Mom Isabelle."Sudah seperti barang saja, dioper sana
"Om, Vin ingin es krim." Izrael yang sedang membaca buku di ruang tengah menatap sang keponakan setelah menaruh majalah di tangannya. "Apa, Vin?" "Es krim." Kevin dengan malu-malu menunjuk kulkas yang ada di dapur. Senyum manisnya mengembang, membuat Izrael juga tertular. "Kata Daddy, kau tidak boleh makan yang manis-manis." Seketika Kevin menunduk. "Aku mau." Melihat wajah Kevin yang berubah sedih, Izrael tak sampai hati untuk menolak permintaan keponakan kecilnya. Maka dari itu, Izrael langsung saja menggandeng Kevin dan ia dudukkan di kursi makan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, selain dirinya dan Kevin. Mom dan Dad sedang pergi ke sebuah pesta, sementara Mikael dan Eleana yang sejak tadi memberitahu akan menjemput Kevin, belum juga sampai. "Kau jangan bilang Daddymu, ya. Bisa-bisa aku dipenggal." "Dipenggal itu apa, Om?" Pertanyaan polos Kevin membuat Izrael merutuki mulutnya sendiri yang tidak difil
Eleana POVAku sudah menunggu Mommy sekitar setengah jam lamanya, namun ia tak kunjung datang. Aku pun sudah mencoba menghubunginya, tetapi sama sekali tidak ada respon. Aku sendirian di ruangan privat ini.Setibanya aku di tempat yang Mommy katakan, seorang pelayan menghampiriku dan menyuruhku untuk masuk ke dalam sebuah ruangan yang katanya sudah dipesan sebelumnya. Aku tidak curiga, lagi pula di sana tertera nama Mommy, di meja yang sekarang ada di depanku.Aku sendiri bingung, kenapa Mommy repot-repot menyiapkan ruangan privat seperti ini, apakah ia akan membicarakan sesuatu yang serius atau ada urusan lain. Jujur, setelah setengah tahun aku memutuskan tinggal di apartemen, aku sedikit kurang tahu bagaimana kondisi rumah. Aku hanya pulang dan bertemu kedua orang tuaku jika liburan semester tiba, tapi tidak pernah lama karena aku harus mengurus bisnis kecil bersama teman kampusku.Lama aku melamun, tiba-tiba pelayan kembali membuka pintu dan disusul ol
Eleana devilova smith, wanita 22 tahun yang sekarang tengah menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin besar. Kamar dengan nuansa hitam gelap ini menjadi tempat tidurnya setelah kemarin ia dipaksa untuk segera mengemasi barang dan harus tinggal di sebuah hotel megah pilihan Mikael.Akhirnya ia mengalah pada takdir dan membiarkan kebebasannya direnggut paksa oleh seorang Mikael Abraham. Ia tidak ingin dianggap anak durhaka karena tidak menuruti kemauan orang tua, maka dengan sangat berat hati dan tidak rela, Eleana menerima pernikahan ini.Entah sudah berapa kali riasan pada wajahnya selalu dipoles ulang, air mata Eleana tidak berhenti meluruh dari kedua mata birunya. Meski ia sudah mencoba untuk menghentikannya, rasa sesal dan sesak selalu berhasil membuat pertahanannya runtuh.Ia hanya sendirian di kamar hotel ini, setelah perias keluar lima belas menit yang lalu. Kamar dengan aroma khas Mikael dengan nuansa gelap yang dominan oleh sosok Mikael yang
“Ana?”Eleana semakin merasa pusing, ia merasakan Mikael yang menyentuh bahunya. “Kepalamu berdarah, Baby,” katanya panik.Eleana menutup mata rapat-rapat saat lelehan darah itu merembes hampir mengenai matanya. “Jauhkan darah itu, ku mohon!” pekik Eleana, semakin mengeratkan genggamannya pada Mikael.Mikael melepas jas hitamnya dan memakaikan jas itu di bahu Eleana yang terbuka. Dengan cepat ia menghapus lelehan darah itu dengan sapu tangan, lalu mengangkat tubuh Eleana.“Kepalaku pusing." Eleana menyembunyikan wajahnya di dada bidang Mikael, tidak peduli kemeja putih lelaki itu akan terkena darah.“Apakah kau bisa mendengarku?” tanya Mikael, berhenti memperhatikan Eleana yang terpejam.“Ngghh...,” gumamnya.“Kita ke rumah sakit sekarang.”Eleana otomatis membuka mata, menatap langit malam dan juga rahang Mikael yang terlihat mengeras. “Kita pu
Mikael sudah menenggak beberapa gelas alkohol yang ada di hadapannya. Sekarang laki-laki itu benar-benar ada di batas kesadaran, kepalanya sudah berat, rasa pahit dan pekat menyatu pada wine yang sekarang mengalir di tenggorokannya.Masalah akhir-akhir ini selalu muncul, masalah di kantor dan belum lagi Eleana yang membuat amarahnya meledak malam ini.Mikael berjalan sempoyongan menuju pintu keluar klub. Langkahnya terhenti oleh sosok wanita dengan dress super ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping. Rambut pirangnya membuat Mikael mengira jika itu adalah Eleana.“Jalang kecil, kenapa kau ada di sini?”“El, sudah lama kita tidak bertemu.”Wanita itu tersenyum, lalu bergelayut manja pada lengan kekar Mikael. Mikael sendiri hanya terkekeh sambil mengusap rambut panjang bergelombang milik wanita yang ada di hadapannya.“Kau merindukanku El?” tanya wanita itu.Mikael terkekeh. “Kau a
"Om, Vin ingin es krim." Izrael yang sedang membaca buku di ruang tengah menatap sang keponakan setelah menaruh majalah di tangannya. "Apa, Vin?" "Es krim." Kevin dengan malu-malu menunjuk kulkas yang ada di dapur. Senyum manisnya mengembang, membuat Izrael juga tertular. "Kata Daddy, kau tidak boleh makan yang manis-manis." Seketika Kevin menunduk. "Aku mau." Melihat wajah Kevin yang berubah sedih, Izrael tak sampai hati untuk menolak permintaan keponakan kecilnya. Maka dari itu, Izrael langsung saja menggandeng Kevin dan ia dudukkan di kursi makan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, selain dirinya dan Kevin. Mom dan Dad sedang pergi ke sebuah pesta, sementara Mikael dan Eleana yang sejak tadi memberitahu akan menjemput Kevin, belum juga sampai. "Kau jangan bilang Daddymu, ya. Bisa-bisa aku dipenggal." "Dipenggal itu apa, Om?" Pertanyaan polos Kevin membuat Izrael merutuki mulutnya sendiri yang tidak difil
Seperti menemukan keluarga baru, Kevin begitu lengket dengan Izrael. Bahkan ia sering ikut Omnya pergi ke beberapa tempat makan dan bertemu teman-teman Izrael. Mungkin karena saat masih dalam kandungan, Izrael merawat Kevin jadi dia tidak perlu waktu lama untuk dekat.Mengenai Mikael, dia sering cemburu. Tentu saja. Bahkan saat belajar menghitung, Kevin lebih memilih diajari Izrael daripada dirinya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi Mikael merasa sudah di ayah tirikan oleh putra kecilnya.Tapi, pagi ini, Mikael benar-benar menitipkan Kevin sepenuhnya pada Izrael karena tiba-tiba Eleana demam lagi. Padahal kemarin masih baik-baik saja, tapi malam tadi demamnya begitu tinggi. Susahnya, Eleana selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan masih trauma saat dirawat pasca melahirkan dulu."Aku titip, besok kuambil lagi," ucap Mikael, mencium pipi Kevin sebelum putranya masuk ke dalam rumah besar Mom Isabelle."Sudah seperti barang saja, dioper sana
Mikael memijat pangkal hidungnya. Jika dihadapkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih memilih meeting dan membuat laporan daripada harus mengajari Kevin berhitung.Bukannya tidak mau, hanya saja putra kecilnya ini lebih banyak bicara menanyakan gambar sebagai objek belajarnya, bukan menghitung. Lalu, jika Mikael mengatakan hitungannya salah. Dia akan marah dan kesal."Vin, diamlah. Dad pusing sekarang." Mikael menyandarkan punggungnya, saat Kevin mulai bertanya sebaiknya kelinci di buku menghitung diwarnai apa."Daddy, aku bertanya.""Terserahmu saja, pilih yang kau suka."Kevin mendengkus, kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Mikael tidak suka. "Aku mau belajar dengan Mom saja.""Jangan...!"Mikael mengangkat Kevin ke pangkuannya, memeluk tubuh mungil itu dan membuatnya nyaman dalam kungkungan Mikael. "Mom sedang sakit Vin."Dua hari ini Eleana batuk dan demam, tadi pagi ia baru saja pergi ke dokter d
"Pagi, Daddy.""Pagi, Vin."Mikael mencium pipi putra kecilnya, ia ikut duduk di sebelah Kevin yang sedang sarapan roti selai buatan Oma. Pukul delapan pagi, ketika Mikael turun dari lantai atas."Mom di mana?" tanya Kevin, menatap Mikael dengan mata bulatnya."Mom masih tidur."Kevin mengerutkan kening, tidak biasanya Mommy masih tertidur saat matahari sudah menyengat seperti ini. Bocah kecil itu sampai memiringkan kepalanya bingung."Mom kecapekan, sayang.""Hm?""Mom sakit?" tanya Kevin, kaki gembulnya berusaha turun dari kursi setelah menanyakan itu pada Mikael."Vin, mau ke mana?" tanya Mikael setelah menurunkan bocah itu.Kevin tidak menjawab, ia mengambil piring berisi roti selainya yang tinggal setengah, lalu menaiki tangga dengan hati-hati."Kevin, mau ke mana, Nak?" Mom Isabelle yang melewati bawah tangga meringis, melihat bagaimana cucu pertamanya dengan susah payah menaiki tangga."Oma, V
Brankar pesakitan itu didorong oleh dua perawat sekaligus, melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan masuk ke dalam UGD.Sebuah tangan yang menghantam tembok, seperti saksi bahwa sebenarnya seseorang tidak ingin kejadian tiba-tiba ini terjadi.Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk dari seorang bodyguard yang ia tugaskan untuk mengejar seseorang berpakaian serba hitam di bandara tadi."Bagaimana?""Kami menangkapnya, Tuan.""Jaga dia, usahakan jangan sampai kabur.""Baik, Tuan."Darah yang mengalir di buku-buku jari, tidak ia hiraukan. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, menunggu kabar dan berharap itu bukan kabar buruk."Tuan Mikael, Nyonya Isabelle menelepon."Mikael menoleh, pada seorang bodyguard yang tadi menemaninya untuk pergi ke rumah sakit. Ia mengambil ponsel di tangan bodyguardnya dengan ragu."Kau di mana? Eleana menangis sejak tadi," cerita Isabelle."Mom, katakan p
"Mom, Vin ingin bertemu Dad." Eleana seperti diserang ribuan lebah berbentuk gumpalan menggemaskan dalam satu tubuh, Kevin. Putra kecilnya yang bicara tanpa henti, menanyakan sosok Daddy-nya yang sedang pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Rasanya Eleana sudah tidak punya alasan untuk membujuk Kevin. Karena semua bujukan yang ia buat, tidak berhasil membuat Kevin tenang. Adonan kue yang sedang ia buat sampai kebanyakan tepung terigu. "Vin, Mom sedang memasak." "Vin ingin bertemu Daddy," rengeknya, menarik-narik kaus Eleana. Seperti dengan begitu Mommy-nya akan luluh dan mempertemukannya dengan Mikael. "Mommy." Tangisan Kevin yang menggelegar membuat Eleana menaruh adonan kuenya dan langsung menggendong bocah itu. Mungkin, Kevin sudah kesal terlalu lama diabaikan oleh Eleana. "Berhenti menangis," ucap Eleana, mendudukkan Kevin di atas meja. Kevin justru memperkeras tangisannya. Membuat Eleana mendengus,
Ada banyak hal yang perlu diurus di kantor. Mikael sampai melupakan sarapan yang sudah disiapkan Eleana, ketika menerima telepon dari Lucas. Ia juga melupakan rutinitas paginya membangunkan Kevin. Pagi ini, begitu sangat kacau. "Aku berangkat, ya." Mikael mencium kening Eleana begitu lama, lalu masuk ke mobil. Eleana menunggu mobil Mikael sampai keluar dari gerbang, lalu masuk ke rumah. Sampai ia mendengar tangisan Kevin dari lantai dua. "Daddy," panggil Kevin, menatap mobil Mikael yang sudah berjalan menjauh. "Vin." "Mom, Daddy tidak membangunkanku." Kevin merengek. "Dad sedang buru-buru, kan, sudah ada Mommy." Kevin merengut, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memeluk Mom Eleana dan dibawa ke kamar mandi, untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melupakan Daddy yang pergi begitu saja tanpa menyapanya dulu. Kesal sekali sebenarnya, tapi ya sudahlah. *** Mikael menutup berkas di tanga
Lima tahun kemudian .... "Mom, Vin mau beli roti itu." Eleana menolehkan kepalanya pada sesuatu yang membuat putranya tertarik. Ia kemudian menghela napas. "Nanti Mom buatkan roti bolu di rumah, ya." "Aku tidak mau Mom, nanti dimakan Dad lagi." Kemarin, Kevin meminta kue ulang tahun sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke lima tahun. Eleana secara spesial membuatkan kue itu untuk Kevin dan dia simpan di lemari pendingin. Namun, ketika Eleana pulang setelah menjemput Kevin ke sekolah, kue itu sudah hilang dari lemari pendingin. Dan, Mikael adalah pelakunya. Kevin menangis dan tidak bicara semalaman pada Eleana, menuduh Eleana jika dirinya sudah tidak menyayangi Kevin lagi. "Nanti Mom beritahu Dad, kau mengerti." Kevin menghela napas, ia menurut saja ketika Mom menggandeng tangannya meninggalkan taman yang ia lewati sebelum ke teman parkir. Padahal, roti bolu di kedai kecil dekat sekolahnya terlihat menggiurkan untuk dicicipi
Abraham menutup berkas di tangannya dengan kasar. Ia menatap Mikael yang sekarang duduk dengan gelisah di hadapannya. Abraham mencoba menebak apa isi kepala putra keduanya ini. “Kenapa kau ingin menangguhkan Izrael?” Mikael menghela napas. “Aku merasa bersalah padanya, Dad.” “Aku tidak setuju.” Menurut Abraham, Izrael pantas mendapatkan hukuman atas perbuatan yang ia lakukan. Biarkan saja merugikan dirinya sendiri, itu sudah konsekuensi. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. “Dad, Izrael depresi di penjara.” Abraham berdecak. “Biarkan saja,” ucap Abraham tegas. “Dia juga anakmu, Dad.” “Dia sudah mencoreng nama baikku!” tandas Abraham. Mikael mengusap kasar wajahnya. “Kau hanya memikirkan nama baikmu?” “Sudahlah, El. Lebih baik kau urus keluargamu dengan baik. Biarkan saja Izrael menjalani masa hukuman atas kejahatan yang dia perbuat.” “Izrael melakukan percobaan bunuh diri,” ungkap Mikae