“Ana?”
Eleana semakin merasa pusing, ia merasakan Mikael yang menyentuh bahunya. “Kepalamu berdarah, Baby,” katanya panik.
Eleana menutup mata rapat-rapat saat lelehan darah itu merembes hampir mengenai matanya. “Jauhkan darah itu, ku mohon!” pekik Eleana, semakin mengeratkan genggamannya pada Mikael.
Mikael melepas jas hitamnya dan memakaikan jas itu di bahu Eleana yang terbuka. Dengan cepat ia menghapus lelehan darah itu dengan sapu tangan, lalu mengangkat tubuh Eleana.
“Kepalaku pusing." Eleana menyembunyikan wajahnya di dada bidang Mikael, tidak peduli kemeja putih lelaki itu akan terkena darah.
“Apakah kau bisa mendengarku?” tanya Mikael, berhenti memperhatikan Eleana yang terpejam.
“Ngghh...,” gumamnya.
“Kita ke rumah sakit sekarang.”
Eleana otomatis membuka mata, menatap langit malam dan juga rahang Mikael yang terlihat mengeras. “Kita pulang saja, aku tidak mau ke rumah sakit.”
Mikael menunduk, menatap Eleana yang masih saja meracau dengan bibirnya yang pucat. Ia meringis melihat lelehan darah yang terus mengalir dari luka Eleana.
“Maafkan aku, Baby. Kita segera ke rumah sakit sekarang.”
Eleana tidak mampu menjawab, karena setelah itu pusing di kepalanya semakin menjadi. Merenggut kesadarannya dan juga suara Mikael yang terus dibawa pergi jauh hingga terdengar seperti dengung yang panjang.
Setelahnya, yang ia ingat hanya gelap.
****“Bodoh,” ucap Dad.
Lelaki separuh baya itu menatap tajam Mikael yang sekarang menunduk sambil bertopang dagu. Sementara Mom Isabelle hanya diam, mengusap punggung anaknya memberi ketenangan.
Setelah kejadian tadi, Eleana tidak sadarkan diri. Mom dan Dad keluar rumah setelah mendengar Mikael meneriaki nama wanita itu beberapa kali. Dan di sinilah mereka, menunggu dokter yang sedang menangani Eleana.
“Kau membuatnya terluka.”
“Aku tidak sengaja, Dad,” jawab Mikael tak kalah dingin dari ucapan sang ayah.
“Kau tidak pernah berubah El, aku pikir setelah menikah kau akan berubah. Nyatanya kau masih saja keras kepala dan temperamen.”
Abraham mengusap wajahnya kasar, menatap anak keduanya dengan kecewa. “Lihat!” ia menunjuk pintu UGD yang masih tertutup rapat.
“Jika terjadi apa-apa dengan dia, aku tidak akan tinggal diam!”
Mikael menghela napas, merasa bersalah karena dia terpancing emosi lagi setelah mendengar ucapan Izrael—kakaknya. Ia sampai tidak sadar jika menarik Eleana terlalu keras dan membuat wanita itu terpaksa mengikuti langkah lebarnya dengan tertatih. Hingga Eleana tersandung dan kepalanya terbentur ujung kursi taman.
Beberapa menit kemudian dokter keluar, dan Mikael buru-buru menghampirinya.
“Bagaimana keadaan istriku?”
“Luka di kepalanya sedikit dalam, jadi kami melakukan tindakan untuk menjahit lukanya. Nyonya Eleana baik-baik saja Tuan, dia sudah sadar di dalam." Dokter tersenyum.
Tak menunggu waktu lama Mikael menyerobot masuk, meninggalkan Abraham dan Isabelle yang masih berbincang dengan dokter.
***
Mikael POV
Aku kalap, tentu saja.
Aku juga tidak mengira kejadian ini akan terjadi.
Saat aku membuka pintu ruang rawatnya, dia menoleh padaku dengan sorot mata sayu dan bibirnya yang terlihat pucat. Aku sangat khawatir hingga tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak merengkuh tubuhnya.
“Maafkan aku,” ucapku, mengecup singkat puncak kepalanya.
“Bisakah kita pulang sekarang, El?” pinta Eleana.
Aku mengerutkan kening, mengurai pelukan demi melihat wajah pucat Eleana sekali lagi. “Tidak. Kau harus dirawat di sini setidaknya seminggu.”
“Ini hanya luka ringan El, dan kau ingin aku berada di sini lebih lama lagi?”
“Luka ringan katamu?”
Tidak tahu saja bagaimana khawatirnya aku melihat dia tidak sadarkan diri.
Tak berapa lama, kedua orang tuaku masuk ke dalam ruangan, menghentikan pertikaian kecil kami. Mommy tersenyum hangat dan menghampiri Eleana.
“Kau sudah lebih baik?” tanyanya sambil mengusap bahu Eleana lembut.
Eleana mengangguk kecil.
Setelahnya, Eleana meminta Mommy untuk membujukku agar dirinya bisa cepat keluar dari rumah sakit. Dan aku tidak dapat menolak permintaan itu lagi dengan syarat, Eleana harus dirawat sampai besok pagi.
***
Seminggu setelah kejadian di rumah sakit.
Eleana meminta ijin kepada Mikael untuk menghadiri acara pernikahan teman kampusnya, Rey. Mikael tidak mengantar Eleana karena sibuk mengurus perusahaan, dan ia berpesan agar Eleana tidak pulang larut malam.
Eleana sendiri tidak keberatan dengan itu, bahkan sekarang ia lebih merasa tenang dan damai saat tidak ada Mikael yang manja saat sedang bersama dirinya.
“Hai Eleana,” sapa Rey.
Eleana memeluk Rey dan mengucapkan selamat atas pernikahannya.
“Kau cantik sekali Rey." Eleana tersenyum manis.
“Bisa saja, kau yang lebih cantik. Lihat gaunmu, terlihat anggun sekali.” Rey memuji gaun sederhana yang Eleana kenakan.
Eleana hanya membalasnya dengan senyuman, jelas sekali sekarang Rey yang paling cantik di acara pernikahannya. Ia terlihat sangat cocok dan serasi mengenakan gaun mewah dan bersanding dengan suaminya.
“Oh ya, bagaimana dengan kuliahmu sekarang? Kudengar kau juga sudah menikah.”
Eleana mengangguk, “Aku mengambil cuti kuliah satu bulan ini, dan aku memang sudah menikah.”
“Selamat atas pernikahanmu Lea, di mana suamimu sekarang?” Rey menoleh ke kanan dan ke kiri.
“Dia sedang mengurus bisnisnya, kapan-kapan saja kukenalkan padamu.”
Setelah perbincangan singkat itu, Eleana memilih untuk duduk bersama tamu undangan lain di meja yang sudah disediakan. Sembari menikmati makanan dan minuman, Eleana merasa sangat terhibur dengan alunan musik jazz yang menenangkan.
“Sorry, bolehkan aku duduk di sini? Semua kursi sudah pe—LEA?!”
Eleana mendongak dan menemukan seseorang yang tidak ingin ia temui ada di depan matanya.
“Leo?”
Bagaimana dia bisa ada di pesta ini? Kapan dia kembali dari kuliahnya dan kenapa Eleana tidak tahu mengenai hal ini.
Tanpa aba-aba, Leo merengkuh tubuh mungil Eleana ke dalam dekapannya, sangat erat. Sampai Eleana merasakan pasokan udara dalam paru-parunya hampir habis.
“I miss you, Lea,” ucap Leo melepaskan pelukannya.
Lalu lelaki itu menghujani Eleana dengan ciuman berkali-kali di pipi. Sadar hal ini keliru, Eleana segera mendorong Leo agar menjauh.
“Kita harus bicara Lea.”
***
Eleana tidak tahu, apakah keputusannya mengikuti Leo menuju tempat yang lebih sepi dari acara pernikahan Rey adalah hal yang benar. Di sinilah dia sekarang, berdiri berhadapan dengan Leo dalam diam.
“Aku merindukanmu, Lea," ucap Leo setelah lama terdiam, satu tangannya terulur untuk membelai pipi Eleana dengan lembut. Sekilas Eleana tampak menikmati belaian itu sambil terpejam, lalu sedetik kemudian ia memalingkan wajah.
“Kenapa?” tanya Leo heran.
“Sudahlah Leo, ini keliru.” Eleana menatap Leo dengan tatapan terluka.
“Aku mencintaimu, Lea." Leo menggenggam tangan Eleana lebih erat.
Eleana sudah tidak dapat membendung tangisnya lagi, ia kembali mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu. Di mana Leo meninggalkannya tanpa alasan dan kembali membawa seorang wanita lain yang di pilihkan oleh Ibunya.
“Aku sudah tidak mencintaimu, lagi.”
Leo menghapus air mata yang mengalir deras di pipi Eleana, “Izinkan aku memperbaiki semuanya dari awal Lea, kumohon.”
“Terlambat.”
Eleana hendak pergi dari tempat itu, dan secara tiba-tiba Leo menariknya ke dalam dekapan hangatnya lagi. Tidak bisa dipungkiri Eleana masih mencintai Leo yang sudah menjadi kekasihnya selama satu tahun, ia merindukan pelukan hangat ini, tetapi rasanya sudah sangat terlambat. Ia hanya bisa menangis sejadinya dalam dekapan lelaki itu, menumpahkan segala sedihnya selama ini.
“Maaf Lea, maafkan aku.”
Leo mendongakkan kepala Eleana, yang memudahkannya untuk dapat melihat mata biru Eleana yang meneduhkan. Tanpa diminta ia mengusap sisa air mata di pipi Eleana, lalu mendaratkan ciuman yang lembut dan bertempo di bibir itu. Eleana merasa darahnya berdesir aneh, kerinduan itu seperti menyeruak memenuhi perasaannya.
Bug!
Satu hantaman telak mengenai rahang Leo, sebuah kejadian yang tidak pernah Eleana duga akan terjadi di malam ini. Leo sudah tersungkur di rerumputan, dan Eleana yang terkejut bukan main dengan kehadiran Mikael di hadapannya.
“Berengsek, siapa kau?” umpat Leo.
Eleana mematung, di hadapannya sekarang Mikael menatapnya dengan sorot mata tajam dan terlihat sangat terluka.
***
“Dasar jalang kecil!”
Mikael menarik Eleana dengan kasar untuk mengikuti langkah kakinya yang lebar. Sementara di belakang, Eleana berjalan tertatih menaiki tangga sampai ia harus tersandung dan jatuh tepat di depan pintu kamar.
Lelaki itu hanya berdiri tanpa berniat menolong Eleana sedikit pun. Eleana tidak bisa membendung tangisnya, ia bersimpuh di bawah kaki Mikael. Dengan kesal pula, Mikael menutup pintu kamar sampai terdengar suara menggelegar dari pintu tersebut.
“Maaf El,” cicit Eleana.
Mikael berjongkok menatap Eleana dengan sorot mata tajam. Tangan besarnya bergerak mengelus rambut Eleana dengan lembut sampai membuat wanita itu tersenyum. Lalu setelahnya, Eleana meringis karena Mikael menarik rambutnya dengan kasar.
“Aku selalu menuruti apa pun yang kau mau, tapi ternyata di belakangku kau seperti itu.”
“Jika saja aku tidak datang tepat waktu, mungkin akan terjadi hal yang lebih dari apa yang aku lihat!”
Eleana hanya bisa menangis, bibirnya kelu untuk bicara. Baru kali ini ia melihat bagaimana Mikael yang selalu bersikap penuh perhatian, menjadi sosok lain.
“Jalang!” bisik Mikael tepat di telinga Eleana.
Mikael mendongakkan kepala Eleana paksa, sampai wanita itu dapat melihat sorot mata Mikael yang menggelap karena amarah. Eleana terkejut saat tiba-tiba tangan Mikael sudah merobek gaun yang ia kenakan hingga menjadi tak berbentuk. Sekuat tenaga ia mendorong tubuh Mikael, kedua tangannya mencoba menutup tubuh polosnya sambil terisak.
“Kau gila!” jerit Eleana.
Mikael menarik dagu Eleana yang langsung ditepis oleh wanita itu, dan semakin Eleana memberontak, itu akan semakin membuat Mikael mencengkeram lebih kuat dagunya. Butiran air mata mengalir tanpa henti melewati kedua pipi Eleana. Wanita itu tak habis pikir Mikael bisa sekasar ini.
“Kau tahu, aku benci penghianat!” tegas Mikael, dengan tatapan tajam.
“Kau menghianatiku di depan kedua mataku, bahkan aku sangat tidak percaya, gadis lugu sepertimu bisa melakukan hal seperti itu di depan umum. Jalang!”
Eleana menggeleng, ia tidak seperti itu. Ia bukan wanita jalang seperti yang dikatakan Mikael. Hati wanita mana yang tidak sakit mendengar suaminya sendiri berbicara hal seperti itu. “Aku tidak serendah itu,” ucap Eleana.
“Lalu?”
“Di—dia yang lebih dulu menciumku El, aku juga tidak mengerti.”
Mikael tertawa, tawa yang sebelumnya Eleana sukai, kini berubah menjadi tawa yang terdengar menyeramkan di telinganya.
“Dan kau menikmatinya, Baby?” Mikael menarik pinggang Eleana yang terbalut selimut.
“Sepertinya aku harus menghukummu malam ini.”
Eleana menggeleng, tidak setuju. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Mikael mulai menarik tubuhnya dan menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Eleana, menghirup aroma memabukkan dari Eleana dengan suara isak tangis Eleana yang masih terdengar.
Mikael sudah sangat keterlaluan dengan merobek pakaiannya yang sekarang sudah teronggok sebatas paha. Memperlihatkan tubuh polosnya yang kini yang tidak tertutup sehelai kain pun.
“Hentikan!”
Eleana menahan tubuh Mikael yang hampir mendekatinya. Ia memundurkan tubuhnya, menatap Mikael dengan berurai air mata sambil menggeleng dengan bibir bergetar.
“Kau sudah berjanji El, kau sudah berjanji untuk tidak memaksaku.”
Mikael sudah berjanji untuk membiarkan Eleana siap dengan semua sentuhannya, pelan-pelan. Eleana tidak ingin terburu-buru, ia akan mencintai Mikael perlahan dengan caranya sendiri. Ia tidak mau berhubungan intim melalui paksaan ataupun nafsu Mikael.
“Kau sendiri yang membuatku kehilangan kendali malam ini, Baby.”
Malam itu Mikael melakukannya, melakukan hal sensitif yang seharusnya dilakukan saat mereka berdua benar-benar siap.
Mikael sudah menenggak beberapa gelas alkohol yang ada di hadapannya. Sekarang laki-laki itu benar-benar ada di batas kesadaran, kepalanya sudah berat, rasa pahit dan pekat menyatu pada wine yang sekarang mengalir di tenggorokannya.Masalah akhir-akhir ini selalu muncul, masalah di kantor dan belum lagi Eleana yang membuat amarahnya meledak malam ini.Mikael berjalan sempoyongan menuju pintu keluar klub. Langkahnya terhenti oleh sosok wanita dengan dress super ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping. Rambut pirangnya membuat Mikael mengira jika itu adalah Eleana.“Jalang kecil, kenapa kau ada di sini?”“El, sudah lama kita tidak bertemu.”Wanita itu tersenyum, lalu bergelayut manja pada lengan kekar Mikael. Mikael sendiri hanya terkekeh sambil mengusap rambut panjang bergelombang milik wanita yang ada di hadapannya.“Kau merindukanku El?” tanya wanita itu.Mikael terkekeh. “Kau a
Tiga hari kemudian...Mikael sibuk dengan pekerjaan di kantor yang sedang mengalami masalah cukup serius, sampai lelaki itu tidak sering berada di rumah untuk menemani istrinya. Bahkan, saat Eleana masih merasa tidak enak badan lelaki itu tidak ada di sampingnya.Eleana masih berkutat pada layar laptop untuk memantau bisnis toko online yang ia bangun bersama teman sekampusnya, ketika ponsel di samping laptop bergetar. Panggilan masuk dari Mikael.“Kau sedang apa?” tanyanya.“Mengerjakan pekerjaan kecil.”“Toko pakaian online-mu itu.”Eleana mengangguk meski Mikael tidak melihat, ia memasukkan camilan ke dalam mulut sebelum menjawab, “Kapan kau akan pulang?”“Mungkin larut seperti kemarin, ada apa?”“Hari ini aku akan keluar sebentar bersama teman kampusku untuk membahas toko online kami.”Terdengar helaan napas. “Bersama supir?”&l
“Terima kasih atas kerja samanya,” ucap Mikael menyunggingkan senyumnya perlahan.Kolega bisnisnya sudah berlalu meninggalkan ruangan rapat. Mikael dapat bernapas lega atas kerja kerasnya selama beberapa hari ini untuk mengurus perusahaan yang kacau hingga mengorbankan waktunya untuk berada di rumah.Lelaki berbadan tegap itu tersenyum kecil, tidak sabar ingin pulang dan bertemu istrinya yang sangat ia rindukan. Malam ini, ia akan mempersiapkan sebuah kejutan kecil untuk Eleana.Tanpa pikir panjang, Mikael melangkahkan kakinya menuju area parkir di mana mobilnya berada. Jemarinya beradu di atas ponsel, mengetikkan pesan singkat untuk istrinya.“Apakah Tuan ada urusan di luar?” tanya sang sopir.“Antar aku pulang sekarang,” ucap Mikael tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel.***Pukul delapan malam.Eleana mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan cahaya yang terlihat sangat te
Siang ini, Mikael harus pergi ke kantor meninggalkan istrinya yang sedang demam di rumah, untungnya Eleana sudah diinfus oleh dokter pagi tadi. Wanita itu masih tidak mau bicara padanya dan Mikael masih terus membujuknya untuk bicara.Kali ini, Mikael harus menyingkirkan egonya untuk pekerjaan yang sedang menunggu.Larut dalam beberapa berkas, Meggie—sekretaris Mikael, masuk ke dalam ruangan dengan napas terengah.“Tuan, aku sudah berusaha mencegahnya, tapi dia tetap berusaha untuk masuk.”Selang beberapa saat, seseorang yang dimaksud oleh Meggie masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang anggun. Sepatunya terdengar beradu dengan lantai, wanita itu mendorong bahu Meggie untuk segera menyingkir, dan di balas Meggie dengan berdecak.“Baby, I miss you.”Wanita berambut pirang gelombang itu bergelayut manja pada lengan kokoh Mikael. Sementara Mikael tetap fokus pada laptopnya yang sedang menampilkan beberapa grafik
Hubungan Eleana dan Mikael semakin dekat. Eleana sudah bisa membuka hatinya dan mulai mencintai seorang Mikael, begitu pula Mikael yang sekarang berubah jadi manis dan menunjukkan perhatian lebih pada Eleana. Mereka saling melengkapi dan mengerti satu sama lain.Pagi hari, Eleana menunggu mobil Mikael berjalan keluar gerbang, lelaki itu harus pergi ke kantor seperti biasa. Setelah mobil itu keluar dari mansion, Eleana kembali ke ruang makan.“Huek....”Eleana menutup mulutnya, wanita itu segera berlari ke kamar mandi. Setelah mencium aroma sup daging yang dibuat Bibi Margareth, entah kenapa perutnya jadi mual. Padahal Eleana sedari dulu menyukai sup daging.“Kenapa aku jadi sensitif dengan aroma yang kuat akhir-akhir ini?” Eleana membersihkan bibirnya dengan air yang mengalir.Ia kemudian masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela di mana berbagai burung sedang terbang bebas di atas awan. Jantung
Eleana turun dari lantai atas, sembari mengikat rambutnya ia berjalan menuju dapur. Belakangan ini ia jadi sering lapar di tengah malam karena hormon kehamilan. Beruntung, Bibi Margareth selalu membantunya jika ia sedang kesulitan, sejauh ini hanya Bibi Margareth yang tahu tentang kehamilannya.Eleana tidak membangunkan Bibi Margareth lagi, ia memilih untuk menggoreng daging ayam dan kentang yang ada di lemari pendingin. Ini sudah sangat larut, ia tidak ingin merepotkan orang lain mengenai kehamilannya.Selepas makanan matang, Eleana kembali ke kamar. Ia sangat bosan, selama dua hari ini tidak tahu harus melakukan apa karena tidak ada Mikael di rumah. Kamar juga menjadi sepi, biasanya ia akan bicara atau hanya sekadar mendengar keluh kesah Mikael tentang pekerjaan.Ia rindu Mikael.Seharian ini Mikael juga tidak memberi kabar, biasanya Mikael akan menelepon setelah selesai meeting, hari ini beda. Karena rasa khawatir dan penasaran, akhirnya Eleana memutus
Mikael terbangun dengan cahaya terang dari matahari yang menerobos jendela kamar. Seingatnya, semalam ia tengah memperhatikan Eleana yang sedang berdiri membelakanginya di depan jendela.“Ana?” panggil Mikael.Mikael mencari Eleana di kamar mandi, walk in closet, dapur, taman belakang, bahkan ia mengelilingi separuh dari mansion megahnya, dan tidak menemukan wanita itu di mana pun.“Tuan, bukankah kau sedang sakit?” tanya Bibi Margareth yang tidak sengaja melihat Mikael sedang duduk di undakan tangga sembari mengusap wajah.“Di mana Ana?”“Nyonya belum terlihat sedari pagi Tuan.”Mikael begitu kebingungan, ia tidak tahu di mana Eleana sekarang. Saat ia tidak sengaja membuka lemari, seluruh pakaian Eleana sudah tidak ada. Dengan kesal Mikael membanting pintu lemari, menumpahkan emosinya pada benda-benda di sekitar.“Wanita itu, sama saja dengan wanita lain!” teriak Mikael.
Berapa hari lagi yang harus Mikael habiskan untuk mencari keberadaan Eleana, berapa orang lagi yang harus ia kerahkan untuk melacak wanita itu. Hasilnya masih tetap sama, Eleana belum ditemukan. Eleana seperti hilang ditelan bumi.Mikael seperti mayat hidup yang menghabiskan sisa waktunya di depan komputer atau hanya menunggu telepon dari orang suruhannya yang ia sebar di beberapa negara. Berharap ada kabar baik dari seorang wanita yang ia cintai.Ia juga sudah berusaha menanyakan keberadaan Eleana pada teman kampusnya, tetapi mereka tidak tahu. Wanita itu juga tidak memberi kejelasan kapan dia akan kembali berkuliah setelah mengambil cuti untuk beberapa bulan.Dan kali ini, sebuah kabar mengejutkan begitu mengguncang Mikael, sampai ia tidak dapat berpikir jernih. Ia tidak nafsu makan sejak mendengar kabar itu dan sekarang ia juga tidak peduli tubuh lelahnya yang ia paksa untuk bepergian.Mikael terbang menuju Hongkong setelah mendengar kabar duka yang sa
"Om, Vin ingin es krim." Izrael yang sedang membaca buku di ruang tengah menatap sang keponakan setelah menaruh majalah di tangannya. "Apa, Vin?" "Es krim." Kevin dengan malu-malu menunjuk kulkas yang ada di dapur. Senyum manisnya mengembang, membuat Izrael juga tertular. "Kata Daddy, kau tidak boleh makan yang manis-manis." Seketika Kevin menunduk. "Aku mau." Melihat wajah Kevin yang berubah sedih, Izrael tak sampai hati untuk menolak permintaan keponakan kecilnya. Maka dari itu, Izrael langsung saja menggandeng Kevin dan ia dudukkan di kursi makan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, selain dirinya dan Kevin. Mom dan Dad sedang pergi ke sebuah pesta, sementara Mikael dan Eleana yang sejak tadi memberitahu akan menjemput Kevin, belum juga sampai. "Kau jangan bilang Daddymu, ya. Bisa-bisa aku dipenggal." "Dipenggal itu apa, Om?" Pertanyaan polos Kevin membuat Izrael merutuki mulutnya sendiri yang tidak difil
Seperti menemukan keluarga baru, Kevin begitu lengket dengan Izrael. Bahkan ia sering ikut Omnya pergi ke beberapa tempat makan dan bertemu teman-teman Izrael. Mungkin karena saat masih dalam kandungan, Izrael merawat Kevin jadi dia tidak perlu waktu lama untuk dekat.Mengenai Mikael, dia sering cemburu. Tentu saja. Bahkan saat belajar menghitung, Kevin lebih memilih diajari Izrael daripada dirinya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi Mikael merasa sudah di ayah tirikan oleh putra kecilnya.Tapi, pagi ini, Mikael benar-benar menitipkan Kevin sepenuhnya pada Izrael karena tiba-tiba Eleana demam lagi. Padahal kemarin masih baik-baik saja, tapi malam tadi demamnya begitu tinggi. Susahnya, Eleana selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan masih trauma saat dirawat pasca melahirkan dulu."Aku titip, besok kuambil lagi," ucap Mikael, mencium pipi Kevin sebelum putranya masuk ke dalam rumah besar Mom Isabelle."Sudah seperti barang saja, dioper sana
Mikael memijat pangkal hidungnya. Jika dihadapkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih memilih meeting dan membuat laporan daripada harus mengajari Kevin berhitung.Bukannya tidak mau, hanya saja putra kecilnya ini lebih banyak bicara menanyakan gambar sebagai objek belajarnya, bukan menghitung. Lalu, jika Mikael mengatakan hitungannya salah. Dia akan marah dan kesal."Vin, diamlah. Dad pusing sekarang." Mikael menyandarkan punggungnya, saat Kevin mulai bertanya sebaiknya kelinci di buku menghitung diwarnai apa."Daddy, aku bertanya.""Terserahmu saja, pilih yang kau suka."Kevin mendengkus, kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Mikael tidak suka. "Aku mau belajar dengan Mom saja.""Jangan...!"Mikael mengangkat Kevin ke pangkuannya, memeluk tubuh mungil itu dan membuatnya nyaman dalam kungkungan Mikael. "Mom sedang sakit Vin."Dua hari ini Eleana batuk dan demam, tadi pagi ia baru saja pergi ke dokter d
"Pagi, Daddy.""Pagi, Vin."Mikael mencium pipi putra kecilnya, ia ikut duduk di sebelah Kevin yang sedang sarapan roti selai buatan Oma. Pukul delapan pagi, ketika Mikael turun dari lantai atas."Mom di mana?" tanya Kevin, menatap Mikael dengan mata bulatnya."Mom masih tidur."Kevin mengerutkan kening, tidak biasanya Mommy masih tertidur saat matahari sudah menyengat seperti ini. Bocah kecil itu sampai memiringkan kepalanya bingung."Mom kecapekan, sayang.""Hm?""Mom sakit?" tanya Kevin, kaki gembulnya berusaha turun dari kursi setelah menanyakan itu pada Mikael."Vin, mau ke mana?" tanya Mikael setelah menurunkan bocah itu.Kevin tidak menjawab, ia mengambil piring berisi roti selainya yang tinggal setengah, lalu menaiki tangga dengan hati-hati."Kevin, mau ke mana, Nak?" Mom Isabelle yang melewati bawah tangga meringis, melihat bagaimana cucu pertamanya dengan susah payah menaiki tangga."Oma, V
Brankar pesakitan itu didorong oleh dua perawat sekaligus, melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan masuk ke dalam UGD.Sebuah tangan yang menghantam tembok, seperti saksi bahwa sebenarnya seseorang tidak ingin kejadian tiba-tiba ini terjadi.Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk dari seorang bodyguard yang ia tugaskan untuk mengejar seseorang berpakaian serba hitam di bandara tadi."Bagaimana?""Kami menangkapnya, Tuan.""Jaga dia, usahakan jangan sampai kabur.""Baik, Tuan."Darah yang mengalir di buku-buku jari, tidak ia hiraukan. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, menunggu kabar dan berharap itu bukan kabar buruk."Tuan Mikael, Nyonya Isabelle menelepon."Mikael menoleh, pada seorang bodyguard yang tadi menemaninya untuk pergi ke rumah sakit. Ia mengambil ponsel di tangan bodyguardnya dengan ragu."Kau di mana? Eleana menangis sejak tadi," cerita Isabelle."Mom, katakan p
"Mom, Vin ingin bertemu Dad." Eleana seperti diserang ribuan lebah berbentuk gumpalan menggemaskan dalam satu tubuh, Kevin. Putra kecilnya yang bicara tanpa henti, menanyakan sosok Daddy-nya yang sedang pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Rasanya Eleana sudah tidak punya alasan untuk membujuk Kevin. Karena semua bujukan yang ia buat, tidak berhasil membuat Kevin tenang. Adonan kue yang sedang ia buat sampai kebanyakan tepung terigu. "Vin, Mom sedang memasak." "Vin ingin bertemu Daddy," rengeknya, menarik-narik kaus Eleana. Seperti dengan begitu Mommy-nya akan luluh dan mempertemukannya dengan Mikael. "Mommy." Tangisan Kevin yang menggelegar membuat Eleana menaruh adonan kuenya dan langsung menggendong bocah itu. Mungkin, Kevin sudah kesal terlalu lama diabaikan oleh Eleana. "Berhenti menangis," ucap Eleana, mendudukkan Kevin di atas meja. Kevin justru memperkeras tangisannya. Membuat Eleana mendengus,
Ada banyak hal yang perlu diurus di kantor. Mikael sampai melupakan sarapan yang sudah disiapkan Eleana, ketika menerima telepon dari Lucas. Ia juga melupakan rutinitas paginya membangunkan Kevin. Pagi ini, begitu sangat kacau. "Aku berangkat, ya." Mikael mencium kening Eleana begitu lama, lalu masuk ke mobil. Eleana menunggu mobil Mikael sampai keluar dari gerbang, lalu masuk ke rumah. Sampai ia mendengar tangisan Kevin dari lantai dua. "Daddy," panggil Kevin, menatap mobil Mikael yang sudah berjalan menjauh. "Vin." "Mom, Daddy tidak membangunkanku." Kevin merengek. "Dad sedang buru-buru, kan, sudah ada Mommy." Kevin merengut, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memeluk Mom Eleana dan dibawa ke kamar mandi, untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melupakan Daddy yang pergi begitu saja tanpa menyapanya dulu. Kesal sekali sebenarnya, tapi ya sudahlah. *** Mikael menutup berkas di tanga
Lima tahun kemudian .... "Mom, Vin mau beli roti itu." Eleana menolehkan kepalanya pada sesuatu yang membuat putranya tertarik. Ia kemudian menghela napas. "Nanti Mom buatkan roti bolu di rumah, ya." "Aku tidak mau Mom, nanti dimakan Dad lagi." Kemarin, Kevin meminta kue ulang tahun sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke lima tahun. Eleana secara spesial membuatkan kue itu untuk Kevin dan dia simpan di lemari pendingin. Namun, ketika Eleana pulang setelah menjemput Kevin ke sekolah, kue itu sudah hilang dari lemari pendingin. Dan, Mikael adalah pelakunya. Kevin menangis dan tidak bicara semalaman pada Eleana, menuduh Eleana jika dirinya sudah tidak menyayangi Kevin lagi. "Nanti Mom beritahu Dad, kau mengerti." Kevin menghela napas, ia menurut saja ketika Mom menggandeng tangannya meninggalkan taman yang ia lewati sebelum ke teman parkir. Padahal, roti bolu di kedai kecil dekat sekolahnya terlihat menggiurkan untuk dicicipi
Abraham menutup berkas di tangannya dengan kasar. Ia menatap Mikael yang sekarang duduk dengan gelisah di hadapannya. Abraham mencoba menebak apa isi kepala putra keduanya ini. “Kenapa kau ingin menangguhkan Izrael?” Mikael menghela napas. “Aku merasa bersalah padanya, Dad.” “Aku tidak setuju.” Menurut Abraham, Izrael pantas mendapatkan hukuman atas perbuatan yang ia lakukan. Biarkan saja merugikan dirinya sendiri, itu sudah konsekuensi. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. “Dad, Izrael depresi di penjara.” Abraham berdecak. “Biarkan saja,” ucap Abraham tegas. “Dia juga anakmu, Dad.” “Dia sudah mencoreng nama baikku!” tandas Abraham. Mikael mengusap kasar wajahnya. “Kau hanya memikirkan nama baikmu?” “Sudahlah, El. Lebih baik kau urus keluargamu dengan baik. Biarkan saja Izrael menjalani masa hukuman atas kejahatan yang dia perbuat.” “Izrael melakukan percobaan bunuh diri,” ungkap Mikae