Mikael sudah menenggak beberapa gelas alkohol yang ada di hadapannya. Sekarang laki-laki itu benar-benar ada di batas kesadaran, kepalanya sudah berat, rasa pahit dan pekat menyatu pada wine yang sekarang mengalir di tenggorokannya.
Masalah akhir-akhir ini selalu muncul, masalah di kantor dan belum lagi Eleana yang membuat amarahnya meledak malam ini.
Mikael berjalan sempoyongan menuju pintu keluar klub. Langkahnya terhenti oleh sosok wanita dengan dress super ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang ramping. Rambut pirangnya membuat Mikael mengira jika itu adalah Eleana.
“Jalang kecil, kenapa kau ada di sini?”
“El, sudah lama kita tidak bertemu.”
Wanita itu tersenyum, lalu bergelayut manja pada lengan kekar Mikael. Mikael sendiri hanya terkekeh sambil mengusap rambut panjang bergelombang milik wanita yang ada di hadapannya.
“Kau merindukanku El?” tanya wanita itu.
Mikael terkekeh. “Kau agresif sekali, Baby.”
Wanita itu menaikkan sebelah alisnya karena tidak biasanya Mikael memanggilnya dengan sebutan ‘Baby’.
“Aku akan memberikan yang terbaik malam ini, El.”
“Harusnya seperti itu, Baby.”
Mikael mendaratkan kecupan di pipi wanita itu dan selanjutnya yang terjadi, Mikael tidak akan menyadari apa yang telah ia lakukan.
***
Mikael mengerjapkan kedua matanya saat cahaya matahari mulai masuk ke dalam kamar hotel. Tunggu, kamar hotel?
Ini terlihat begitu sangat asing, bukankah semalam ia ada di sebuah klub?
Lelaki itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, rasa pening yang masih terasa di kepalanya membuat Mikael tidak bisa berpikir jernih. Apalagi sekarang seorang wanita datang dengan membawa secangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“Kathrine?”
“Selamat pagi, El. Kau sudah bangun, Baby?” tanya Kathrine dengan suara lembut.
Mikael segera turun dari ranjang, menyambar jas yang tergeletak di sofa sudut ruangan.
“Bagaimana, kau menikmati pelayananku semalam?”
“Kau mau ke mana?” tanya Kathrine, meraih kemeja Mikael yang entah sejak kapan kancing bajunya sudah lepas, memperlihatkan dada bidangnya yang tumbuh bulu-bulu halus.
“Lepaskan!”
Mikael menghempaskan tangan nakal Kathrine yang mulai bermain pada dada lelaki itu, sampai wanita cantik berambut pirang bergelombang itu mundur tiga langkah.
Kathrine mencebik, “Semalam kau bersikap manis kepadaku, sekarang? Bahkan menatapku saja kau terlihat jijik.”
“Memang kau menjijikkan,” ucap Mikael dan menohok perasaan seorang Kathrine.
Tanpa pikir panjang Mikael segera keluar dari kamar hotel. Meninggalkan Kathrine seorang diri dengan kekecewaan dan rasa kesal di hatinya.
***
Eleana terbangun dengan mata yang sembab, ia menangis semalaman dan sekarang ia baru merasakan tubuhnya seperti remuk. Dingin sekali hari ini, meski matahari sudah muncul memancarkan cahaya terang yang menerobos celah korden. Wanita dengan rambut pirang lurus itu mengeratkan selimut, meraba sisi ranjang yang masih kosong dan terasa dingin, sejak semalam Mikael tidak pulang.
“Bodoh, untuk apa berharap lebih. Kehadiranmu hanya untuk menjadi penikmat nafsunya saja,” kesalnya pada diri sendiri.
Mengingat kejadian semalam membuat hati Eleana benar-benar tercabik.
Dering ponsel membuat Eleana terduduk dari posisi berbaring. Kepalanya terasa pening dan berat, pandangannya juga mengabur, tetapi ia mencoba mengusir itu dengan menggelengkan kepala pelan. Dengan langkah gontai Eleana mengambil ponsel yang tergeletak di meja rias.
“Halo?”
“Selamat pagi, Lea.”
Eleana membulatkan mata. “Kau? Mau apa lagi kau menghubungiku?”
“Aku hanya ingin memperbaiki semua dari awal, Lea.”
Eleana meremas sisi meja riasnya, ia sudah sangat muak. “Sudah sangat terlambat, aku sudah—“
“Aku tahu, kau sudah mempunyai seorang suami sekarang. Aku minta maaf untuk kejadian tadi malam.”
Eleana mengusap kasar air matanya.
“Aku hanya ingin menyelesaikan kesalahanku di masa lalu dengan meminta maaf secara langsung padamu. Setidaknya kau dengarkan penjelasanku dulu, setelah itu terserah, kau boleh terus membenciku."
Wanita itu tampak berpikir sembari mengusap kasar air mata yang terus mengalir tanpa diminta. “Baik, hanya sekali ini saja,” putusnya.
Leo terdengar menghela napas di seberang sana. “Aku menunggu kabar baik darimu.”
Eleana memutuskan panggilan telefon, lalu menaruh ponselnya setengah membanting.
“Sedang berhubungan dengan selingkuhanmu?”
Sekali lagi, ia dikejutkan dengan kehadiran Mikael yang tiba-tiba. Suaminya itu dengan penampilan kacau berjalan gontai menuju ranjang dan langsung menjatuhkan tubuh tegapnya di kasur.
“Sejak kapan kau datang?” tanya Eleana.
“Memangnya kau peduli?” Mikael terkekeh menyebalkan pada akhir kalimatnya.
“Bahkan jika aku tidak pulang selama beberapa hari, kurasa kau tidak akan pernah mencariku.”
“Bu—bukan seperti itu,” cicit Eleana, memainkan jemari lentiknya.
“Ya, terserah kau saja.”
Eleana dengan langkah pelan menyusul Mikael yang sudah beranjak dari ranjang dan pergi ke tempat handuk. Lalu ia menarik pelan tubuh Mikael agar berbalik dan bersitatap dengannya, wanita itu menelisik penampilan Mikael yang sudah berantakan dari atas sampai bawah.
“Kenapa? Kau berpikir aku pergi bermalam dengan seorang jalang semalam?” tanya Mikael.
Eleana membelalakkan mata. “Bicaramu selalu kasar.”
“Aku memang seperti itu.”
“Kau mabuk?”
“Masih peduli,” kekeh Mikael.
Eleana berdecak. “Berhenti mengatakan kalimat menyebalkan itu.”
Mikael mencondongkan kepalanya ke depan, menaruhnya di ceruk leher Eleana yang terasa hangat. “Tunggu, kau demam?” Mikael mulai mengulurkan punggung tangan ke dahi wanita itu.
Namun, Eleana berusaha menghindari sentuhan Mikael dengan memundurkan tubuh.
“Mulai sekarang aku tidak suka penolakan,” geram Mikael saat Eleana menepis tangannya.
Eleana mendengkus. “Aku benci kau yang seenaknya.”
Selanjutnya, Mikael menggendong tubuh Eleana dengan gaya bridal style dalam diam. Eleana yang belum siap diperlakukan seperti itu memekik terkejut, ia segera mengalungkan kedua tangannya di leher Mikael.
"Kau gila?”
“Iya, tergila-gila padamu.”
***
“Minumlah,” ujar Mikael.
Ia menyodorkan sebuah pil dan segelas air putih pada Eleana yang sekarang tengah memejamkan mata. Wanita itu mengerjap, merasakan kepalanya yang masih berdenyut dan tenggorokan yang pahit.
“Aku tidak ingin minum obat,” tolak Eleana, ia menaikkan selimutnya sampai menutupi seluruh tubuh.
Mikael mendengkus. "Kau memang keras kepala.”
“Sama sepertimu.”
Susah sekali membujuk Eleana untuk minum obat. “Jadi, kau ingin minum obat atau kubawa ke rumah sakit lagi?”
“Kau suka sekali memaksaku dengan hal-hal yang tidak aku sukai.” Eleana melempar guling ke arah Mikael, kesal.
Tanpa pikir panjang ia duduk, mengambil obat dan segelas air dari tangan Mikael. Sekali tenggak, Eleana sudah berhasil menelan obat dan kembali menidurkan tubuhnya.
“Bagus, kau sangat cantik jika menurut seperti ini.” Mikael terkekeh, membelai rambut panjang Eleana.
“Aku bukan anak kecil.”
Lagi-lagi Mikael terkekeh.
“Aku ada urusan sebentar, Baby. Kau jaga dirimu, aku akan segera kembali.”
Eleana memberengut kesal, “Baru saja kau kembali dan sekarang kau akan pergi lagi.”
“Sebentar.”
Eleana menggeleng lemas. “Terserah kau saja.” Wanita itu membalik tubuhnya membelakangi Mikael.
“Aku janji tidak akan lama, beristirahatlah. Aku harap kau segera membaik, Baby.”
Setelah mengecup puncak kepala Eleana cukup lama, lelaki itu benar-benar pergi meninggalkannya. Mikael memang seperti itu, tak peduli bagaimana kondisinya, dia akan tetap pergi untuk urusan bisnis.
Lalu, apakah Eleana tidak penting baginya?
Tiga hari kemudian...Mikael sibuk dengan pekerjaan di kantor yang sedang mengalami masalah cukup serius, sampai lelaki itu tidak sering berada di rumah untuk menemani istrinya. Bahkan, saat Eleana masih merasa tidak enak badan lelaki itu tidak ada di sampingnya.Eleana masih berkutat pada layar laptop untuk memantau bisnis toko online yang ia bangun bersama teman sekampusnya, ketika ponsel di samping laptop bergetar. Panggilan masuk dari Mikael.“Kau sedang apa?” tanyanya.“Mengerjakan pekerjaan kecil.”“Toko pakaian online-mu itu.”Eleana mengangguk meski Mikael tidak melihat, ia memasukkan camilan ke dalam mulut sebelum menjawab, “Kapan kau akan pulang?”“Mungkin larut seperti kemarin, ada apa?”“Hari ini aku akan keluar sebentar bersama teman kampusku untuk membahas toko online kami.”Terdengar helaan napas. “Bersama supir?”&l
“Terima kasih atas kerja samanya,” ucap Mikael menyunggingkan senyumnya perlahan.Kolega bisnisnya sudah berlalu meninggalkan ruangan rapat. Mikael dapat bernapas lega atas kerja kerasnya selama beberapa hari ini untuk mengurus perusahaan yang kacau hingga mengorbankan waktunya untuk berada di rumah.Lelaki berbadan tegap itu tersenyum kecil, tidak sabar ingin pulang dan bertemu istrinya yang sangat ia rindukan. Malam ini, ia akan mempersiapkan sebuah kejutan kecil untuk Eleana.Tanpa pikir panjang, Mikael melangkahkan kakinya menuju area parkir di mana mobilnya berada. Jemarinya beradu di atas ponsel, mengetikkan pesan singkat untuk istrinya.“Apakah Tuan ada urusan di luar?” tanya sang sopir.“Antar aku pulang sekarang,” ucap Mikael tanpa memalingkan wajahnya dari ponsel.***Pukul delapan malam.Eleana mengerjapkan matanya, berusaha menyesuaikan cahaya yang terlihat sangat te
Siang ini, Mikael harus pergi ke kantor meninggalkan istrinya yang sedang demam di rumah, untungnya Eleana sudah diinfus oleh dokter pagi tadi. Wanita itu masih tidak mau bicara padanya dan Mikael masih terus membujuknya untuk bicara.Kali ini, Mikael harus menyingkirkan egonya untuk pekerjaan yang sedang menunggu.Larut dalam beberapa berkas, Meggie—sekretaris Mikael, masuk ke dalam ruangan dengan napas terengah.“Tuan, aku sudah berusaha mencegahnya, tapi dia tetap berusaha untuk masuk.”Selang beberapa saat, seseorang yang dimaksud oleh Meggie masuk ke dalam ruangan dengan langkah yang anggun. Sepatunya terdengar beradu dengan lantai, wanita itu mendorong bahu Meggie untuk segera menyingkir, dan di balas Meggie dengan berdecak.“Baby, I miss you.”Wanita berambut pirang gelombang itu bergelayut manja pada lengan kokoh Mikael. Sementara Mikael tetap fokus pada laptopnya yang sedang menampilkan beberapa grafik
Hubungan Eleana dan Mikael semakin dekat. Eleana sudah bisa membuka hatinya dan mulai mencintai seorang Mikael, begitu pula Mikael yang sekarang berubah jadi manis dan menunjukkan perhatian lebih pada Eleana. Mereka saling melengkapi dan mengerti satu sama lain.Pagi hari, Eleana menunggu mobil Mikael berjalan keluar gerbang, lelaki itu harus pergi ke kantor seperti biasa. Setelah mobil itu keluar dari mansion, Eleana kembali ke ruang makan.“Huek....”Eleana menutup mulutnya, wanita itu segera berlari ke kamar mandi. Setelah mencium aroma sup daging yang dibuat Bibi Margareth, entah kenapa perutnya jadi mual. Padahal Eleana sedari dulu menyukai sup daging.“Kenapa aku jadi sensitif dengan aroma yang kuat akhir-akhir ini?” Eleana membersihkan bibirnya dengan air yang mengalir.Ia kemudian masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang, menatap keluar jendela di mana berbagai burung sedang terbang bebas di atas awan. Jantung
Eleana turun dari lantai atas, sembari mengikat rambutnya ia berjalan menuju dapur. Belakangan ini ia jadi sering lapar di tengah malam karena hormon kehamilan. Beruntung, Bibi Margareth selalu membantunya jika ia sedang kesulitan, sejauh ini hanya Bibi Margareth yang tahu tentang kehamilannya.Eleana tidak membangunkan Bibi Margareth lagi, ia memilih untuk menggoreng daging ayam dan kentang yang ada di lemari pendingin. Ini sudah sangat larut, ia tidak ingin merepotkan orang lain mengenai kehamilannya.Selepas makanan matang, Eleana kembali ke kamar. Ia sangat bosan, selama dua hari ini tidak tahu harus melakukan apa karena tidak ada Mikael di rumah. Kamar juga menjadi sepi, biasanya ia akan bicara atau hanya sekadar mendengar keluh kesah Mikael tentang pekerjaan.Ia rindu Mikael.Seharian ini Mikael juga tidak memberi kabar, biasanya Mikael akan menelepon setelah selesai meeting, hari ini beda. Karena rasa khawatir dan penasaran, akhirnya Eleana memutus
Mikael terbangun dengan cahaya terang dari matahari yang menerobos jendela kamar. Seingatnya, semalam ia tengah memperhatikan Eleana yang sedang berdiri membelakanginya di depan jendela.“Ana?” panggil Mikael.Mikael mencari Eleana di kamar mandi, walk in closet, dapur, taman belakang, bahkan ia mengelilingi separuh dari mansion megahnya, dan tidak menemukan wanita itu di mana pun.“Tuan, bukankah kau sedang sakit?” tanya Bibi Margareth yang tidak sengaja melihat Mikael sedang duduk di undakan tangga sembari mengusap wajah.“Di mana Ana?”“Nyonya belum terlihat sedari pagi Tuan.”Mikael begitu kebingungan, ia tidak tahu di mana Eleana sekarang. Saat ia tidak sengaja membuka lemari, seluruh pakaian Eleana sudah tidak ada. Dengan kesal Mikael membanting pintu lemari, menumpahkan emosinya pada benda-benda di sekitar.“Wanita itu, sama saja dengan wanita lain!” teriak Mikael.
Berapa hari lagi yang harus Mikael habiskan untuk mencari keberadaan Eleana, berapa orang lagi yang harus ia kerahkan untuk melacak wanita itu. Hasilnya masih tetap sama, Eleana belum ditemukan. Eleana seperti hilang ditelan bumi.Mikael seperti mayat hidup yang menghabiskan sisa waktunya di depan komputer atau hanya menunggu telepon dari orang suruhannya yang ia sebar di beberapa negara. Berharap ada kabar baik dari seorang wanita yang ia cintai.Ia juga sudah berusaha menanyakan keberadaan Eleana pada teman kampusnya, tetapi mereka tidak tahu. Wanita itu juga tidak memberi kejelasan kapan dia akan kembali berkuliah setelah mengambil cuti untuk beberapa bulan.Dan kali ini, sebuah kabar mengejutkan begitu mengguncang Mikael, sampai ia tidak dapat berpikir jernih. Ia tidak nafsu makan sejak mendengar kabar itu dan sekarang ia juga tidak peduli tubuh lelahnya yang ia paksa untuk bepergian.Mikael terbang menuju Hongkong setelah mendengar kabar duka yang sa
Troli berisi beberapa bahan makanan dan camilan, berhenti di depan kasir. Wanita berbadan dua dengan balutan mantel khas musim dingin itu menunggu belanjaannya selesai dihitung sambil sesekali mengusap perut bulatnya.Di luar memang musim dingin, tetapi Eleana merasa gerah sampai terdapat bulir-bulir keringat pada pelipisnya. Matanya tidak berhenti bergerak gelisah, sesekali ia mencuri pandang ke belakang, memperhatikan orang-orang yang sedang berbaris menunggu giliran untuk membayar.Entah kenapa, akhir-akhir ini Eleana merasa jika seseorang sedang mengawasinya. Seseorang yang sama, bertopi hitam dan memakai jaket kulit. Sudah dua hari berturut-turut Eleana merasa dibuntuti oleh orang tersebut. Awalnya saat ia pulang setelah bercerita bersama Izrael, kedua adalah hari ini.Setelah membayar di kasir, Eleana segera keluar dari minimarket sambil membawa barang belanjaan. Ia seperti orang yang tengah dikejar, padahal di belakang sama sekali tidak ada yang mengejar.
"Om, Vin ingin es krim." Izrael yang sedang membaca buku di ruang tengah menatap sang keponakan setelah menaruh majalah di tangannya. "Apa, Vin?" "Es krim." Kevin dengan malu-malu menunjuk kulkas yang ada di dapur. Senyum manisnya mengembang, membuat Izrael juga tertular. "Kata Daddy, kau tidak boleh makan yang manis-manis." Seketika Kevin menunduk. "Aku mau." Melihat wajah Kevin yang berubah sedih, Izrael tak sampai hati untuk menolak permintaan keponakan kecilnya. Maka dari itu, Izrael langsung saja menggandeng Kevin dan ia dudukkan di kursi makan. Di rumah tidak ada siapa-siapa, selain dirinya dan Kevin. Mom dan Dad sedang pergi ke sebuah pesta, sementara Mikael dan Eleana yang sejak tadi memberitahu akan menjemput Kevin, belum juga sampai. "Kau jangan bilang Daddymu, ya. Bisa-bisa aku dipenggal." "Dipenggal itu apa, Om?" Pertanyaan polos Kevin membuat Izrael merutuki mulutnya sendiri yang tidak difil
Seperti menemukan keluarga baru, Kevin begitu lengket dengan Izrael. Bahkan ia sering ikut Omnya pergi ke beberapa tempat makan dan bertemu teman-teman Izrael. Mungkin karena saat masih dalam kandungan, Izrael merawat Kevin jadi dia tidak perlu waktu lama untuk dekat.Mengenai Mikael, dia sering cemburu. Tentu saja. Bahkan saat belajar menghitung, Kevin lebih memilih diajari Izrael daripada dirinya. Mungkin ini hal yang sepele, tapi Mikael merasa sudah di ayah tirikan oleh putra kecilnya.Tapi, pagi ini, Mikael benar-benar menitipkan Kevin sepenuhnya pada Izrael karena tiba-tiba Eleana demam lagi. Padahal kemarin masih baik-baik saja, tapi malam tadi demamnya begitu tinggi. Susahnya, Eleana selalu menolak untuk dibawa ke rumah sakit dengan alasan masih trauma saat dirawat pasca melahirkan dulu."Aku titip, besok kuambil lagi," ucap Mikael, mencium pipi Kevin sebelum putranya masuk ke dalam rumah besar Mom Isabelle."Sudah seperti barang saja, dioper sana
Mikael memijat pangkal hidungnya. Jika dihadapkan dalam keadaan seperti ini, ia lebih memilih meeting dan membuat laporan daripada harus mengajari Kevin berhitung.Bukannya tidak mau, hanya saja putra kecilnya ini lebih banyak bicara menanyakan gambar sebagai objek belajarnya, bukan menghitung. Lalu, jika Mikael mengatakan hitungannya salah. Dia akan marah dan kesal."Vin, diamlah. Dad pusing sekarang." Mikael menyandarkan punggungnya, saat Kevin mulai bertanya sebaiknya kelinci di buku menghitung diwarnai apa."Daddy, aku bertanya.""Terserahmu saja, pilih yang kau suka."Kevin mendengkus, kesal. Ia melipat kedua tangannya di depan dada, menatap Mikael tidak suka. "Aku mau belajar dengan Mom saja.""Jangan...!"Mikael mengangkat Kevin ke pangkuannya, memeluk tubuh mungil itu dan membuatnya nyaman dalam kungkungan Mikael. "Mom sedang sakit Vin."Dua hari ini Eleana batuk dan demam, tadi pagi ia baru saja pergi ke dokter d
"Pagi, Daddy.""Pagi, Vin."Mikael mencium pipi putra kecilnya, ia ikut duduk di sebelah Kevin yang sedang sarapan roti selai buatan Oma. Pukul delapan pagi, ketika Mikael turun dari lantai atas."Mom di mana?" tanya Kevin, menatap Mikael dengan mata bulatnya."Mom masih tidur."Kevin mengerutkan kening, tidak biasanya Mommy masih tertidur saat matahari sudah menyengat seperti ini. Bocah kecil itu sampai memiringkan kepalanya bingung."Mom kecapekan, sayang.""Hm?""Mom sakit?" tanya Kevin, kaki gembulnya berusaha turun dari kursi setelah menanyakan itu pada Mikael."Vin, mau ke mana?" tanya Mikael setelah menurunkan bocah itu.Kevin tidak menjawab, ia mengambil piring berisi roti selainya yang tinggal setengah, lalu menaiki tangga dengan hati-hati."Kevin, mau ke mana, Nak?" Mom Isabelle yang melewati bawah tangga meringis, melihat bagaimana cucu pertamanya dengan susah payah menaiki tangga."Oma, V
Brankar pesakitan itu didorong oleh dua perawat sekaligus, melewati lorong-lorong rumah sakit yang sepi dan masuk ke dalam UGD.Sebuah tangan yang menghantam tembok, seperti saksi bahwa sebenarnya seseorang tidak ingin kejadian tiba-tiba ini terjadi.Ponsel di sakunya bergetar, sebuah panggilan masuk dari seorang bodyguard yang ia tugaskan untuk mengejar seseorang berpakaian serba hitam di bandara tadi."Bagaimana?""Kami menangkapnya, Tuan.""Jaga dia, usahakan jangan sampai kabur.""Baik, Tuan."Darah yang mengalir di buku-buku jari, tidak ia hiraukan. Ia berjalan mondar-mandir di depan ruang UGD, menunggu kabar dan berharap itu bukan kabar buruk."Tuan Mikael, Nyonya Isabelle menelepon."Mikael menoleh, pada seorang bodyguard yang tadi menemaninya untuk pergi ke rumah sakit. Ia mengambil ponsel di tangan bodyguardnya dengan ragu."Kau di mana? Eleana menangis sejak tadi," cerita Isabelle."Mom, katakan p
"Mom, Vin ingin bertemu Dad." Eleana seperti diserang ribuan lebah berbentuk gumpalan menggemaskan dalam satu tubuh, Kevin. Putra kecilnya yang bicara tanpa henti, menanyakan sosok Daddy-nya yang sedang pergi untuk melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Rasanya Eleana sudah tidak punya alasan untuk membujuk Kevin. Karena semua bujukan yang ia buat, tidak berhasil membuat Kevin tenang. Adonan kue yang sedang ia buat sampai kebanyakan tepung terigu. "Vin, Mom sedang memasak." "Vin ingin bertemu Daddy," rengeknya, menarik-narik kaus Eleana. Seperti dengan begitu Mommy-nya akan luluh dan mempertemukannya dengan Mikael. "Mommy." Tangisan Kevin yang menggelegar membuat Eleana menaruh adonan kuenya dan langsung menggendong bocah itu. Mungkin, Kevin sudah kesal terlalu lama diabaikan oleh Eleana. "Berhenti menangis," ucap Eleana, mendudukkan Kevin di atas meja. Kevin justru memperkeras tangisannya. Membuat Eleana mendengus,
Ada banyak hal yang perlu diurus di kantor. Mikael sampai melupakan sarapan yang sudah disiapkan Eleana, ketika menerima telepon dari Lucas. Ia juga melupakan rutinitas paginya membangunkan Kevin. Pagi ini, begitu sangat kacau. "Aku berangkat, ya." Mikael mencium kening Eleana begitu lama, lalu masuk ke mobil. Eleana menunggu mobil Mikael sampai keluar dari gerbang, lalu masuk ke rumah. Sampai ia mendengar tangisan Kevin dari lantai dua. "Daddy," panggil Kevin, menatap mobil Mikael yang sudah berjalan menjauh. "Vin." "Mom, Daddy tidak membangunkanku." Kevin merengek. "Dad sedang buru-buru, kan, sudah ada Mommy." Kevin merengut, ia menghela napas panjang sebelum akhirnya memeluk Mom Eleana dan dibawa ke kamar mandi, untuk mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Melupakan Daddy yang pergi begitu saja tanpa menyapanya dulu. Kesal sekali sebenarnya, tapi ya sudahlah. *** Mikael menutup berkas di tanga
Lima tahun kemudian .... "Mom, Vin mau beli roti itu." Eleana menolehkan kepalanya pada sesuatu yang membuat putranya tertarik. Ia kemudian menghela napas. "Nanti Mom buatkan roti bolu di rumah, ya." "Aku tidak mau Mom, nanti dimakan Dad lagi." Kemarin, Kevin meminta kue ulang tahun sebagai hadiah untuk ulang tahunnya yang ke lima tahun. Eleana secara spesial membuatkan kue itu untuk Kevin dan dia simpan di lemari pendingin. Namun, ketika Eleana pulang setelah menjemput Kevin ke sekolah, kue itu sudah hilang dari lemari pendingin. Dan, Mikael adalah pelakunya. Kevin menangis dan tidak bicara semalaman pada Eleana, menuduh Eleana jika dirinya sudah tidak menyayangi Kevin lagi. "Nanti Mom beritahu Dad, kau mengerti." Kevin menghela napas, ia menurut saja ketika Mom menggandeng tangannya meninggalkan taman yang ia lewati sebelum ke teman parkir. Padahal, roti bolu di kedai kecil dekat sekolahnya terlihat menggiurkan untuk dicicipi
Abraham menutup berkas di tangannya dengan kasar. Ia menatap Mikael yang sekarang duduk dengan gelisah di hadapannya. Abraham mencoba menebak apa isi kepala putra keduanya ini. “Kenapa kau ingin menangguhkan Izrael?” Mikael menghela napas. “Aku merasa bersalah padanya, Dad.” “Aku tidak setuju.” Menurut Abraham, Izrael pantas mendapatkan hukuman atas perbuatan yang ia lakukan. Biarkan saja merugikan dirinya sendiri, itu sudah konsekuensi. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab. “Dad, Izrael depresi di penjara.” Abraham berdecak. “Biarkan saja,” ucap Abraham tegas. “Dia juga anakmu, Dad.” “Dia sudah mencoreng nama baikku!” tandas Abraham. Mikael mengusap kasar wajahnya. “Kau hanya memikirkan nama baikmu?” “Sudahlah, El. Lebih baik kau urus keluargamu dengan baik. Biarkan saja Izrael menjalani masa hukuman atas kejahatan yang dia perbuat.” “Izrael melakukan percobaan bunuh diri,” ungkap Mikae