Share

I Saed Lupyu
I Saed Lupyu
Author: Castortwelvy

Satu

Author: Castortwelvy
last update Last Updated: 2021-03-24 09:46:39

Tidak siapa pun tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Satu minggu, satu bulan, satu tahun, atau bahkan satu detik kemudian adalah misteri.

Begitu juga dengan apa yang terjadi padaku. Aku tak pernah tahu bahwa aku akan mengenalmu. Tak pernah menyangka aku akan masuk ke dalam kehidupanmu. Tidak pernah sekali pun terpikirkan bahwa pada akhirnya, kau adalah milikku.

**

Satu.

Aku mengerjap dua kali. Mulutku membulat membentuk huruf O besar. Melongo! Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Ini benar-benar gawat! Ini bahaya.

Ada dua gadis berhijab yang sedang berdiri di depanku. Salah satunya memegang sebuah kertas formulir. Awalnya aku tak begitu tertarik untuk mengajak mereka mengobrol atau sekadar menyapa. Namun, ternyata, kedatangan mereka padaku lebih daripada itu, bahkan sukses memaksaku untuk mengutarakan semuanya, lebih dari sekadar sebuah sapaan.

Gadis berhijab yang sedang memegang kertas formulir itu mengatakan bahwa aku baru saja diikutsertakan dalam sebuah lomba antarkelas.

“Ya, kamu harus ikut. Bagiamanapun caranya.”

“Kok, bisa, sih main pilih begitu aja?” kataku kesal. Aku memarahi dua gadis yang sedang berdiri di depanku. Salah satu dari mereka yang wajahnya tampak mengerikan dengan senyum iblisnya menunjukan secarik kertas formulir yang di dalamnya terdapat namaku.

“Enggak ada pilihan lagi, Adis. Kamu mau, ya kelas kita dihukum karena enggak ada satu orang pun yang ikut lomba?” tanya gadis berhijab warna merah yang memiliki senyum iblis sambil menyerahkan formulirnya kepadaku.

“Tapi, kan enggak dadakan kayak begini juga. Kalian bahkan enggak tanya pendapatku dulu. Kalian enggak tanya aku siap apa enggak!” ucapku agak emosi. Mataku memelotot ke arah mereka, tapi dua gadis itu tampak tidak merasa bersalah sama sekali.

“Ya, itu, sih risiko kamu, ya! Aku juga udah tanya-tanya sama anak di kelas, kasih tahu sama semua orang siapa yang harus ikut lomba. Tapi, semuanya ngusulin kamu. Katanya, kamu bisa. Lagian, kan lombanya cuma pidato bahasa Inggris. Kamu pasti bisa. Oke?”

“Tapi---“

Gadis bernama Arrani itu menepuk pundakku sebelum aku sempat menyelesaikan penolakkanku, lalu melenggang meninggalkanku. Satu gadis lainnya tersenyum, kemudian mengikutinya di belakang.

“Oh, ya, kalau kamu sampai kalah, akan ada hukuman dari anak-anak kelas buatmu. Ahmad bilang, dia siap lakukan apa pun buat hukum kamu,” ucap Arrani sebelum benar-benar pergi meninggalkanku. Dia sempat tersenyum seperti iblis. Aku melongo sambil melihat dirinya yang kini berjalan memasuki area ruang guru.

Bencana! Ini benar-benar bencana. Apa yang harus kulakukan?

Lomba? Ah, yang benar saja! Kenapa mereka tidak menanyakan pendapatku dulu?

Aku tahu sekolah memang sedang mengadakan acara tahunan di akhir ajaran sekolah berupa ertandingan antarkelas. Beberapa kelas mengajukan perwakilan untuk mengikuti setiap lomba yang diadakan. Salah satunya, ya lomba pidato bahasa Inggris itu. Namun, ini ... mengejutkan! Aku bahkan tidak pernah berniat untuk mengikuti lomba apa pun sebelumnya. Tidak sama sekali.

Adiysta Adelio Cetta! Nama itu terpampang jelas di formulir, ditulis langsung oleh Arrani dengan bolpoin hitam. Lomba bahasa Inggris? Oh, mengerikan!

Aku menepuk jidat karena rasa pusing hinggap begitu saja di kepala. Tiba-tiba aku merasa mumet sendiri seperti benang kusut bergulung-gulung di dalam otak. Padahal, kan lombanya saja belum dimulai.

Aku buru-buru merogoh saku celana, mencari benda pipih di sana dan berusaha menghubungi salah satu temanku yang andal dalam masalah ini. Di saat-saat seperti ini, hanya dia yang bisa kumintai bantuan. Semoga saja.

Setelah mengetikkan namanya di buku telepon, kemudian kutekan tombol hijau, membuat sambungan menuliskan kata berdering, kemudian berubah menampilkan kata menghubungkan, beberapa detik kemudian orang itu  mengangkat sambungannya.

“Ya, Dis, ada apa?” tanyanya langsung. Rasanya lega seketika saat dia menjawab teleponku. Oh, Malaikatku.

“Aku butuh bantuanmu. Kamu di mana sekarang? Bisa datang ke kantin sekarang juga?” kataku langsung ke intinya. Dia berdeham sekali, kemudian menjawab iya. Aku mengangguk, lantas menutup sambungan dan bergegas menuju kantin sekarang juga.

**

Di saat-saat seperti ini, sekolah memang tidak begitu ramai, hanya ada beberapa anak yang ikut dalam lomba dan mereka yang menjadi penonton saja. Sisanya? Entahlah, mereka mungkin memilih untuk tidur di rumah ketimbang harus ikut bersorak-sorak, menghabiskan suara saja!

Seharusnya aku jadi salah satu dari anak yang tidak datang ke sekolah pagi ini, tidak usah ikut sorak-sorai menghabiskan suara, tapi karena ada perbaikan nilai yang harus kuselesaikan, mau tidak mau aku harus datang ke sekolah lagi. Nahasnya, nasib baik itu tak juga datang, bahkan nasib buruk yang terus-terusan datang padaku.

Ada tiga hal buruk yang datang menimpaku hari ini. Pertama, aku harus menyelesaikan tiga mata pelajaran yang nilainya masih jauh di bawah KKM, kedua aku mendapat kabar bahwa diriku diikutsertakan dalam lomba bahasa Inggris, dan hal buruk ketiga adalah akan ada hukuman jika aku kalah dalam lomba.

Hey, mereka menentukan seenaknya!

Sebelum pergi ke kantin, aku menyempatkan untuk ke kamar mandi. Aku harus merapikan penampilanku dulu yang acak-acakan. Semalam aku begadang, dan mataku terlihat menghitam, belum lagi wajahku yang berminyak mungkin akan membuat dia merasa ilfeel. Aku tidak mau hal itu terjadi.

Setelah sampai di kamar mandi, aku hanya membasuh wajahku agar terlihat lebih segar, setidaknya tidak seperti orang yang tidak mandi. Kelopak mataku terlihat kecil dan hitam. Pipiku akhir-akhir ini semakin melebar. Aku tembem!

Ayolah, Adis, kau masih kalah jauh jika ingin bersanding dengan orang itu. Kau perlu setidaknya dua puluh lima kali perawatan wajah dan berendam di kolam susu selama satu bulan agar bisa dikatakan seimbang dengannya. Wajahmu itu kumal, jerawatan, hitam. Sementara dia? Dia itu ... istimewa.

 “Aku pikir kamu enggak bakal ke Sekolah, Dis?” katanya sambil duduk di kursi saat kami sudah berada di kantin. Dia baru saja datang beberapa saat lalu. Aku yang lebih dulu sampai di kantin.

“Kalau aku jadi kamu, aku juga enggak bakal datang ke sini, Sae. Kamu enggak tahu bagaimana rasanya jadi aku yang low brain ini,” keluhku sambil terkekeh geli. Dia menggeleng, lalu tersenyum tipis. Senyum yang selalu sukses membuat gadis-gadis menjerit histeris.

“Remedial, ya?” tanyanya sambil menaikan alis mata, keningnya berkerut. Aku mengangguk. Dia tertawa setelahnya. Mungkin kata itu tidak pernah ada dalam kamusnya. Jadi, ketika mendengarnya dia merasa aneh.

“Kan, sudah aku bilang, kalau aku jadi kamu, aku enggak bakal datang ke sini. Rebahan di kasur lebih menyenangkan, Sae.”

Sae menggeleng sambil tersenyum, sebelum akhirnya dia menjawab,“Kamu saja yang enggak tahu, Adis. Aku juga ada, kok nilai yang harus diremedial. Mungkin menurutmu ini enggak masuk ke dalam hitungan remedial, tapi buatku nilai di bawah sembilan itu harus diperbaiki. Dua mata pelajaranku dapat nilai delapan puluh lima, dan itu harus diremedial,” katanya santai, seakan-akan itu bukan sesuatu yang aneh. Padahal, kan nilai di bawah sembilan yang dia maksud itu besar!

Aku menganggukkan kepala tanda mengerti, meskipun sebenarnya tidak benar-benar paham apa yang dia ceritakan dan tidak tahu harus bagaimana merespons. Sae mengembuskan napas pelan setelah panjang lebar bercerita.

“Terserah kamu saja, deh. Intinya aku butuh bantuan kamu sekarang,” kataku.

“Apa itu?” tanyanya. Aku terdiam beberapa jenak, menarik napas panjang, kemudian diembuskan perlahan sambil menatap matanya yang tampak hitam legam.

Sae itu sempurna. Dia tampan, cerdas, juga baik hati. Prestasinya dalam akademis dan non-akademis segudang. Dibandingkan denganku yang buluk dan kumal ini, aku tidak ada apa-apanya. Kami jelas-jelas jauh berbeda. Dia bagai piala emas yang ditaruh dalam kotak kaca dan diletakan di lemari, jauh dari jangkauan, sedangkan aku hanya celana dalam yang diletakan di atas karung ampar di pinggir jalan, dijual harga sepuluh ribu tiga biji. Namun, meski begitu, kami bisa menjadi sahabat dekat. Itulah alasanku meminta bantuannya.

Aku sebenarnya tidak tahu mengapa seorang Arsenio Saelandra Bahari mau berteman dengaku.

Seperti apa yang kukatakan tadi, prestasinya bukan hanya yang ada di sekolah, tapi juga sering mendapat berbagai penghargaan di luar sekolah. Sae juga ikut acara semacam bimbingan belajar. Kedua orangtuanya rela menghabiskan jutaan rupiah agar anaknya bisa mendapat pendidikan yang layak.

“Soal kegiatan belakangan ini,” kataku.

“Jadi, apa yang bisa aku bantu?” katanya sambil mengembangkan senyum. Kedua tangannya di taruh di meja. Dua matanya membulat sempurna ketika dia tersenyum. Bibirnya tebal. Namun, mungil, sangat cocok dengan wajahnya yang bulat. Rambutnya bertekstur ijuk, halus, dan terlihat merah karena terlalu banyak terpapar sinar matahari.

“Kelas kita ikut lomba pidato,” ucapku. “Kamu tahu soal itu, kan?”

“Ya, terus? Bagus, kan? Aku juga tadi lihat kelas kita lagi tanding voli, tuh.”

“Memang bagus, sih kalau dilihat dari sisi lain. Tapi, kalau dilihat dari sudut pandangku, itu enggak bagus sama sekali.” Aku menggerutu kesal. Sae tampak menahan senyumnya yang terus berkedut di ujung bibirnya.

“Jangan bilang kamu yang jadi perwakilannya? Serius kamu ikutan lomba pidato, Adis?” tebak Sae sambil mulai tertawa. Satu telunjuknya terarah padaku.  Dia tampak puas mengejek dan menertawakanku.

“Aish. Kamu sama nyebelinnya kayak mereka. Haduh.”

“Sori. Sori. Aku kaget aja, Adis. Memangnya kamu bisa?” tanya Sae menghentikan tawanya yang pecah.

“Karena itulah aku manggil kamu ke sini,” jawabku sambil mengembuskan napas pelan.

“Aku harus apa?”

“Bantu aku!”

“Caranya?”

“Bantu buatkan aku pidato bahasa Inggris! Ya?”

Dia tak menjawab. Wajahnya terlihat serius berpikir, dua bola matanya terarah ke atas, bibir mungil itu maju sedikit, sebentar kemudian tertarik ke sisi kanan dan kiri, tersenyum.

“Ya? Aku mohon. Arrani bilang, mereka mengandalkanku. Apa yang mereka harapkan dariku, sebenarnya?” tanyaku setengah bergumam, tapi Sae tampak mendengarnya, membuat wajahnya merengut.

“Baik, akan kubantu. Kapan lombanya kalau begitu?”

“Dua hari lagi,” jawabku sambil menunjukan formulir yang tadi Arrani berikan padaku.

“Masih ada waktu. Itu cukup.” Sae menganggukkan kepalanya beberapa kali.

“Kalau begitu, kamu kapan bisa bikinya?” tanyaku memastikan, menarik lagi formulir itu dari hadapan Sae, lalu menggulung dan memasukkannya ke tas di sampingku.

“Kok, aku yang bikin, sih?” tanyanya tampak tidak terima dengan wajah terkejut.

“Katanya mau bantu?”

“Kalau aku yang bikin, artinya aku bikinin, bukan aku bantu. Kalau aku bilang bantu, ya kamu yang bikin, Adis. Aku jadi pembimbing, bukan pembuat. Mengerti?”

Dia tertawa. Aku kesal. Menyebalkan.

“Kok, gitu, sih? Itu namanya aku yang bikin, dong.”

“Yang lomba, kan, kamu?”

Aku mendengus sebal. Sebenarnya yang diucapkan Sae ada benarnya. Aku hanya meminta bantuannya, bukan meminta membuatkan isi pidatonya. Jadi, aku pikir aku sendiri yang harus menyelesaikan isi pidato itu dengan bantuannya.

“Ya, kan?” katanya sambil masih tersenyum, tapi terlihat lebih mengejek.

Aku hanya mengangguk mengiakan.

“Nah, begitu, dong!” Dia tertawa senang.

Aku dan Sae sudah seperti kakak-adik yang tidak bisa dipisahkan. Kami selalu saling bantu dan kompak dalam segala hal. Maksudku, apa yang Sae lakukan, pasti aku juga melakukannya. Beberapa orang bahkan menganggap kami memang saudara kandung.

Dia orang yang selalu membantuku dalam kondisi apa pun. Jika Sae sedang dalam masalah, aku juga dengan senang hati ada di sisinya untuk membantu. Sifat baik hatinya sudah ada sejak dia masih kecil. Didikan kedua orangtuanya yang berbudi luhur dan menjunjung tinggi kesopanan menjadikan Sae pribadi yang tahu sopan santun.

Menjadi anak bungsu dan satu-satunya lelaki di antara saudarinya menjadikannya anak paling disayang. Semua yang Sae inginkan selalu dituruti, tapi hal itu tak lantas membuatnya menjadi manja.

Aku tahu, apa yang dilakukan kedua orangtuanya demi masa depan Sae. Demi kebaikannya nanti. Ayahnya bahkan rela menghabiskan uang banyak hanya agar anak lelakinya itu bisa sekolah dan masuk di perguruan tinggi.

Awal aku bertemu dengannya saat sedang masa pendaftaran siswa baru. Saat itu kami berada dalam ruangan yang sama. Aku masih ingat, Sae diantar oleh ayahnya untuk mengikuti testing. Sekonyong-konyong aku bertanya sambil mengenalkan diri. Beruntung, Sae meresponsnya dengan baik, dan kami bersahabat sampai sekarang.

“Remedialmu sudah, kan?” tanya Sae membuyarkan semua lamunanku. Aku mengerjap, lalu menatap dua maniknya yang berbinar. Wajah lelaki itu selalu tampak segar dan bersinar.

“Ah, iya. Aku juga sudah mau pulang.”

“Kalau begitu, kamu harus melakukan sesuatu untukku. Anggap saja ini bayaran untuk isi pidatomu. Bagaimana?” tanyanya.

Aku menoleh ke arah tas di sampingku, tergeletak bagai bangkai penuh lalat, kemudian menoleh ke arah Sae setelahnya. Dia tampak tersenyum dengan bibir merah merekah, menunggu jawabanku.

“Ini adil, kan?” katanya sambil menaikturunkan alis matanya yang hitam tebal.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanyaku merasa tidak enak hati. Sesuatu yang buruk pasti akan terjadi.

“Sini, aku bisikkan sesuatu,” jawabnya sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku. Wajah kami begitu dekat sampai aku bisa merasakan embusan napas segar dari mulutnya. Ludahku meluncur begitu saja, dan aku sudah tidak bisa berpikir dengan jernih detik itu juga.

Related chapters

  • I Saed Lupyu   Dua

    Dua.Hari berikutnya, kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe hits di kotaku karena hari ini aku sudah tidak ada lagi mata pelajaran yang harus diremedial. Jadi, aku memutuskan menggunakan waktu kosong ini untuk membuat naskah pidato.Tadi pagi, aku sempat mengirim LINE kepada Sae. Aku bilang, jika dia tidak sibuk, sempatkan diri untuk mampir dan membantuku mencari ide untuk pidatonya. Tak lama, dia membalas pesanku dan bilang akan datang jika waktunya memungkinkan. Makanya, setelah dirasa tak ada lagi mata pelajaran yang akan aku remedial, bergegaslah aku ke tempat ini dengan motor scoopy Doraemon-ku.Tempatnya menyejukan. Awalnya aku tidak berniat datang ke sini, hanya saja, tempat inilah yang paling dekat dengan sekolahku. Menurutku, kafe ini masih bisa dijangkau oleh anak-anak sekolah yang memiliki budget kecil untuk jajan.Saat aku sampai, deretan kursi minimalis modern terpampang rapi menyambutku. Warna hitam men

    Last Updated : 2021-03-24
  • I Saed Lupyu   Tiga

    Tiga.Dua hari ternyata tidak membuatku benar-benar bisa menghafal pidato ini dengan benar. Beberapa kali aku lupa isi yang sedang kuhafalkan. Ini terlalu rumit. Namun, Sae terus saja memberiku semangat. Dua hari ini, entah itu pagi, siang, sore atau malam, dia akan mengirim stiker berupa beruang cokelat yang menggebu-gebu dibakar api. Itu adalah tanda seseorang yang sedang bersemangat.Sae percaya bahwa aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Jujur saja, semua semangat yang Sae berikan membuatku semakin termotivasi. Meskipun itu tidak membantuku memperlancar semua naskah yang sedang kuhafalkan.Hari ini, aku sudah duduk di kantin. Beberapa menit lagi, semua orang yang ikut lomba sudah harus berkumpul di belakang panggung, di dalam aula. Dua sampai tiga kali aku mengulang naskah yang sudah hampir semua kuhafal itu agar tidak lupa sambil memperagakan gerakan yang ada dalam naskah.Dentum dari langkah kaki murid yang berlalu-lalang di

    Last Updated : 2021-03-29
  • I Saed Lupyu   Empat

    Empat.Dua hari ini aku tidak keluar rumah. Tidak ada satu pun media sosial yang aku buka. Data internet dalam ponselku juga kumatikan. Setelah perlombaan itu, aku benar-benar mengurung diri di kamar sendirian. Bukannya menghindari ejekan orang-orang, hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukan wajahku pada mereka yang sudah percaya kepadaku, terlebih kepada Sae.Setelah perlombaan hari itu, aku yang sudah dinyatakan gagal, kemudian meninggalkan panggung buru-buru. Aku berlari ke luar aula untuk menghindari Sae yang sudah pasti akan menyusulku ke belakang panggung.Rasa marah bergejolak di dalam diri.Saat itu, ada dua hal yang aku rasakan, aku marah kepadanya karena dia tidak bisa datang untuk melihat pidato yang sudah kupersiapkan untuknya, dan hal kedua adalah aku merasa malu untuk menunjukan wajahku kepadanya.Setelah melewati pintu aula, aku langsung saja berlari menuju parkiran, mencari di mana posisi motork

    Last Updated : 2021-03-29
  • I Saed Lupyu   Lima

    Lima.Sae menggunakan kemeja planel warna hijau dan kaus Doraemon warna hitam milikku. Celana nepada krem miliknya masih dia pakai. Setelah mandi dan berpamitan pada Ibu, akhirnya kami berangkat untuk jalan-jalan ke luar. Sae tidak bilang dia akan membawaku ke mana, dan itu selalu menjadi kejutan yang dia berikan.Dia sering memberiku hal-hal kecil. Namun, manis. Seperti membawakanku minuman saat istirahat sekolah, atau membelikanku camilan dengan bungkus bergambar Doraemon.Aku masih berdiri di depan Sae yang anteng memasang helm. Dia membawa motorku. Katanya dia akan menitipkan motornya di rumahku. Aku menunggunya sampai selesai memasang helm terlebih dahulu, baru kemudian aku akan naik ke belakang motor. Niatnya, sih seperti itu. Namun, ketika Sae melihatku masih berdiri memegangi helm Doraemon milikku, dia kemudian menarik benda itu dari tanganku.“Sini. Enggak bisa pakai helm, ya?” ucapnya, kemudian memasangkan helm itu k

    Last Updated : 2021-03-29
  • I Saed Lupyu   Enam

    Enam.Seminggu setelah perlombaan antarkelas diadakan, aku mulai kembali lagi ke sekolah. Tentu saja jika bukan karena adanya pembagian buku tahunan sekolah aku tidak akan datang. Ada banyak faktor yang membuatku enggan bertemu dengan teman sekelasku. Ya, mungkin salah satunya tentang hukuman yang Arrani katakan waktu itu.Aku pengecut, ya? Haha! Memang.Sebelum memasuki gerbang aku sempat berdiri sejenak, memerhatikan semua murid yang datang. Di antara murid yang berbondong-bondong memasuki gapura warna abu-abu, aku bisa melihat seorang siswi berhijab cokelat sedang berkacak pinggang di sudut jalan.Dari jarak sejauh ini pun aku bisa melihat senyum iblis yang Arrani pancarkan. Ah, sial! Niat awalku berdiri di gapura ini bukan untuk menemuinya. Aku hanya ingin bertemu dengan Sae dan masuk kelas bersamaan.Melihat gadis itu mulai melenggang dengan entakkan kaki yang berdentum, membuatku merinding sejadinya.Aku menelan ludah

    Last Updated : 2021-03-29
  • I Saed Lupyu   Tujuh

    TujuhDingin dari embusan angin malam cukup untuk membuatku menggigil. Selimut warna biru yang melahap habis tubuhku masih dirasa kurang untuk bisa menghilangkan efek dingin malam ini. Gigiku gemertak kencang. Sebenarnya tidak aneh, sih saat aku terus menggigil karena aku membuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Dari sini aku duduk dan diam memerhatikan milyaran bintang di langit.Malam ini langit sedang dalam kondisi cerahnya. Aku juga tak punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terlebih setelah pembagian buku tahunan sekolah. Tugas-tugas sekolah pun sudah kuselesaikan seminggu yang lalu.Sudah sekitar dua jam aku duduk termangu di balik jendela. Tatapanku lurus ke langit. Sejak tadi maghrib aku tidak keluar kamar, toh tidak akan ada siapa pun yang menemaniku di ruang tamu sana. Ibu dan Ayah belum juga pulang.Memiliki orangtua yang sibuk mengurusi karier itu tidaklah menyenangkan. Waktu luang untuk kami kumpul sa

    Last Updated : 2021-03-31
  • I Saed Lupyu   Delapan

    Delapan.Tangan halus serta putih tidak habis-habisnya mengelus kepalaku, menyusuri tiap inci rambut hitam lebat yang kumiliki sambil sesekali menyanyikan lagu kesukaanku saat masih kecil. Dalam merdunya suara yang tertangkap gendang telinga, ada pepatah-pepatah kecil yang Ibu selipkan, mencoba memberikan nasihat-nasihat tentang kehidupan yang kejam di masa depan nanti. Ibu bilang aku harus kuat menghadapi semuanya.Aku terpejam, menikmati elusan lembut di rambutku sambil terus mendengarkan ucapannya yang masuk ke gendang telinga.“Adis,” ucap Ibu pelan. Tangan halusnya masih mengelus kepalaku, menggerakkannya naik-turun, membuatku nyaman. Sedangkan aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati tiap elusan tangannya. “Ibu selalu bersyukur dengan apa yang sudah terjadi. Ibu tidak pernah menyesal untuk apa yang sudah Ibu lakukan untuk semuanya.”Aku membuka mata setelah ucapannya terhenti, lalu membalikan posisi tidurku

    Last Updated : 2021-03-31
  • I Saed Lupyu   Sembilan

    SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik

    Last Updated : 2021-03-31

Latest chapter

  • I Saed Lupyu   Tujuh belas

    Tujuh belasJika tahu itu adalah malam terakhir aku bisa melihatnya, mungkin perdebatan bodoh itu takkan pernah terjadi. Adu mulut yang menyebabkan suasana malah menjadi semakin runyam. Saat aku sadari, semuanya sudah berakhir. Sae telah pindah ke luar pulau, meninggalkanku sendirian, bahkan dengan luka yang tak sempat terobati.Kepergiannya menambah lubang yang tadinya sudah menganga dan merobek hati itu menjadi semakin lebar, tanpa tahu bagaimana menutupnya kembali. Tak ada ucapan selamat tinggal atau sekadar basa basi, “Sehat selalu, ya? Jangan lupain aku.”Rasa menyesal mulai muncul, menggerogoti isi kepalaku. Semua yang ada di sekitar terasa kosong. Aku hanya bisa menangis, meratapi kepergiannya. Apa yang sudah aku lakukan?Malam itu, tatapan Sae nanar. Aku melihat kesedihan yang mendalam. Andai aku tidak egois, dan lebih memilih menghabiskan malam dengannya, mungkin akan dengan mudah aku melepasnya.Sesak di dada

  • I Saed Lupyu   Enam belas

    Enam belasSemua orang menatapku dengan jijik. Mata-mata tajam terus melirikku dengan sinis. Seolah aku adalah sampah salah tempat. Selama perjalanan dari gerbang menuju kelas saja aku sudah dapat bisik-bisik anak yang kulewati. Mereka membicarakanku. Ibu hanya menggeleng pelan ketika kutatap dia dengan pandangan penuh tanda tanya.Setelah dipanggil ke ruang BK dua hari lalu, akhirnya ibu menyanggupi panggilan itu dan datang ke sekolah bersamaku. Jangan tanyakan ayah di mana? Dia bahkan tidak peduli padaku. Katanya jangan panggil lagi dia “ayah” sebelum semua kembali menjadi normal.Tanganku sudah gatal. Jari-jari mengepal erat. Ingin rasanya kuhantam setiap mulut yang mencibirku dari belakang. Napasku naik-turun. Ibu terus saja menggosok punggungku dan menuntun jalan yang bahkan sudah tidak bisa kutapaki dengan benar. Tubuh bergetar. Nafsu dalam diri membara.“Masih jauh?” tanya ibu. Sidang untuk keputusan masalah

  • I Saed Lupyu   Lima belas

    Lima belasBeberapa hari sebelumnya.Perasaanku tidak menentu. Malam ini aku bahkan tidak bisa tidur. Ponselku sudah menunjukan pukul sepuluh, tapi mataku sama sekali tidak merasakan kantuk. Biasanya aku sudah tidur sebelum jam sembilan. Sudah ada dua kali aku ke dapur untuk menyeduh susu hangat. Kupikir akan merasa kantuk setelahnya, tapi pada kenyataanya sama saja.Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ada begitu banyak hal yang berputar di kepalaku. Satu yang paling aku rasakan adalah gelisah. Setelah kepulanganku dari liburan beberapa waktu lalu, aku mulai semakin memikirkan semua risiko dari statusku yang bisa dibilang belok ini. Aneh memang karena baru akhir-akhir ini aku memikirkannya. Mungkin ini berkaitan dengan adegan ciuman yang tiba-tiba itu.Setelah menyelimuti tubuhku dengan sarung warna oranye, aku mulai menutup lagi ponsel yang sempat kulirik untuk memeriksa jam. Sudah kuputuskan untuk tidur, apa p

  • I Saed Lupyu   Empat belas

    Empat belasMinggu yang cerah untuk memulai semua aktivitas di pagi hari. Musik yang diputar dengan volume tinggi membuat ruangan semi klasik modern itu bising. Seorang lelaki dengan boxer kuning sedang merapikan kamarnya sambil sesekali bernyanyi.Dia berlari ke sana ke mari mengikuti ayunan sapu di tangannya. Belum cukup bersih dengan semua debu yang sudah habis disapukan, dia lantas mengepel ruangan itu agar lebih terlihat kinclong.Buku-buku berserakan di meja belajar, sekan-akan tidak pernah dibereskan dalam waktu yang lama. Banyak sekali kertas yang terbuang percuma dan berceceran di atas kasur.“Sesen!” teriak seorang wanita dari arah bawah kamar. Volume musik yang tinggi membuat Sae tidak bisa mendengar teriakkan dari sang ibu.“Sesen. Arsenio Saelandraa!” Suara itu kembali terdengar. Namun, masih kurang kencang melawan kebisingan yang ada di kamar putra terakhirnya itu.“Ars

  • I Saed Lupyu   Tiga belas

    Tiga belasArrani [Cewek Jahad] : Adis, kamu harus lihat ini!Seketika saja dadaku seperti dihujam benda tumpul berkecepatan tinggi. Membaca isi pesan yang Arrani kirimkan tadi pagi membuatku dinobatkan sebagai orang pengindap jantungan dalam waktu yang mendadak. Ludahku meluncur begitu saja tanpa dikomando. Darah rasanya mendidih. Aku mulai merasakan udara memanas di sekitarku. Kedua tangan yang masih menggengam ponsel bergetar tak keruan, nyaris membuat benda itu terjatuh ke lantai jika tidak cepat-cepat kugengam dengan erat.Isi pesan itu sangat mengejutkan, berupa foto yang dikirimkan Arrani kepadaku menunjukan dua orang lelaki yang sedang berciuman. Latar yang ada dalam foto itu sama persis dengan keadaan di penginapan Pulau Tidung beberapa waktu lalu. Aku yakin jika yang ada dalam foto itu adalah kami berdua. Tepatnya aku dan Sae sedang memanggang jagung malam itu.Lututku lemas seketika. Rasanya semua tenaga

  • I Saed Lupyu   Dua belas

    Dua belasAcara tidak berjalan sesuai rencana. Setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Arrani sempat melarangku untuk pulang karena perayaan ulang tahun Sae masih akan digelar. Namun, karena aku sudah tidak nyaman dengan suasananya, aku memilih tetap pulang meski hanya sendirian.Di luar dugaan, semuanya memilih ikut pulang dan membatalkan acara ulang tahun yang akan digelar tiga hari dua malam itu. Dan, beginilah sekarang keadaanya. Kami sedang berada di mobil Sae dalam kecanggungan yang membelenggu. Hingga rombongan sampai di pelabuhan, tidak ada satu pun yang berbicara. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengan siapa pun.Di belakangku ada empat teman Ahmad. Posisi duduk kami masih sama seperti saat berangkat kemarin. Sae tetap fokus menyetir, yang dengan menyebalkannya masih diganggu oleh Resha.Selama di pulau saat persiapan untuk pulang, aku dan Sae tidak berbicara satu sama lain. Sebisa mungkin

  • I Saed Lupyu   Sebelas

    Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j

  • I Saed Lupyu   Sepuluh

    SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang

  • I Saed Lupyu   Sembilan

    SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status