Tiga.
Dua hari ternyata tidak membuatku benar-benar bisa menghafal pidato ini dengan benar. Beberapa kali aku lupa isi yang sedang kuhafalkan. Ini terlalu rumit. Namun, Sae terus saja memberiku semangat. Dua hari ini, entah itu pagi, siang, sore atau malam, dia akan mengirim stiker berupa beruang cokelat yang menggebu-gebu dibakar api. Itu adalah tanda seseorang yang sedang bersemangat.
Sae percaya bahwa aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Jujur saja, semua semangat yang Sae berikan membuatku semakin termotivasi. Meskipun itu tidak membantuku memperlancar semua naskah yang sedang kuhafalkan.
Hari ini, aku sudah duduk di kantin. Beberapa menit lagi, semua orang yang ikut lomba sudah harus berkumpul di belakang panggung, di dalam aula. Dua sampai tiga kali aku mengulang naskah yang sudah hampir semua kuhafal itu agar tidak lupa sambil memperagakan gerakan yang ada dalam naskah.
Dentum dari langkah kaki murid yang berlalu-lalang di teras kantin membuat fokusku buyar beberapa kali. Belum lagi kekehan anak gadis di ujung kantin dekat dengan tiang kolom warna hijau. Mereka mengganggu sekali!
Saat aku mencoba untuk kembali fokus dari semua keributan yang ada, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. LINE-ku berkedip. Sambil masih menghafal satu-dua kata, aku mulai meraih ponsel yang tergeletak di atas meja kayu bercat hijau untuk kuperiksa.
Dengan perasaan menggebu, aku berharap yang mengirimiku pesan adalah Sae. Di saat-saat seperti ini, pesan darinya adalah sebuah moodbooster.
Ternyata harapanku tidak berujung manis. Orang yang mengirim LINE itu adalah ibuku. Dia bilang akan datang saat lomba diadakan. Aku tidak langsung membalas pesan itu, hanya terdiam termenung sambil memikirkan sesuatu.
Aku pikir Ibu ataupun Ayah tidak pernah kuberitahu soal lomba ini. Bagaimana Ibu bisa tahu?
“Adis, buruan masuk!”
Seseorang membuyarkan semua teka-teki yang baru saja terrangkai di otakku. Aku menoleh ke asal suara, dan di ujung pintu masuk kantin, ada Arrani yang sudah berdiri dengan kedua tangan di taruh di pinggang.
Gadis itu selalu saja memiliki aura menyeramkan. Entah mengapa, meski dia menggunakan hijab yang membuat sebagian wanita terlihat sejuk dan menenangkan, justru malah membuat Arrani terlihat memiliki aura aneh serta menyeramkan. Matanya memelotot.
“Iya. Aku datang,” jawabku.
Aku memasukan ponsel tanpa membalas pesan Ibu, kemudian berlari menghampiri Arrani. Sesampainya di hadapan gadis berparas cantik berhati iblis itu, kemudian dia menyerahkan nomor urut untukku. Katanya, perwakilan kelas sudah melakukan runding untuk urutan tampil, tapi karen aku tidak ada, jadi dia yang menggantikanku.
“Nomor lima? Baguslah. Enggak terlalu cepet dan enggak terlalu lama juga,” kataku sambil menerima nomor itu darinya. Dia sempat berpesan jangan terlalu gerogi, cukup bersikap seperti saat latihan dan biarkan semuanya mengalir alami. Aku mengangguk lalu melenggang meninggalkannya.
“Ingat soal hukuman!” teriaknya lagi. Aku tidak peduli.
Ketika aku sampai di belakang panggung, ternyata sudah banyak orang juga. Mereka membawa selembaran kertas, sama sepertiku. Kebanyakan yang ikut adalah perempuan, hanya ada dua peserta lelaki selain aku. Di ujung ruangan, tepat di samping tumpukan steropom, lelaki bertubuh gendut sedang asik membaca naskah di tangannya, sementara lelaki lainnya-yang memakai kacamata- sedang berbincang dengan salah satu gadis di belakang layar.
Aku melenggang memasuki area, untuk lebih dekat ke belakang panggung. Sesampainya di sebuah bangku panjang terbuat dari kayu, aku mulai duduk. Tak lama, lelaki gendut tadi melenggang ke arahku, mendekati layar.
“Tegang,” ucapnya. Aku hanya mengangguk diiringi senyuman canggung.
Tak berselang lama, suara dari kepala sekolah terdengar. Dia menyampaikan beberapa sambutan dan pembukaan. Aku tidak terlalu mendengarkan. Batinku bilang, fokuslah untuk berlatih. Aku pun mulai mengeluarkan naskah yang sempat kulipat dan dimasukan ke saku untuk kubaca ulang.
Hari ini aku harus menang demi Sae.
Jika ingat soal Sae, otomatis saja semua terasa menjadi menggebu. Aku selalu dibuat deg-degan sendiri hanya dengan menyebut namanya saja. Apalagi kalau sampai dia datang ke perlombaan ini dan menyemangatiku secara langsung, seperti yang biasa dia lakukan dua hari ini.
Aku menaruh kertas yang sedang kuhafalkan, lantas merogoh saku untuk mencari ponselku. Aku memutuskan untuk menghubunginya lebih dulu. Sekaligus mengurangi semua ketegangan yang sedari tadi menghinggapiku.
“Sae,” kataku dalam pesan, lantas kukirim, diikuti sebuah stiker melambaikan lima jari.
Tidak memakan waktu sampai satu menit, dia membalas pesanku diawali stiker beruang yang kepalanya penuh dengan tanda tanya, baru kemudian dia menanyakan kenapa aku mengirimi pesan.
Sebenarnya, aku tidak usah mengirim pesan pada Sae di saat seperti ini, tapi aku selalu gugup dan gerogi bahkan sebelum semua ini dimulai. Ketika aku bisa berbicara dengan Sae, meski hanya lewat LINE, itu sudah membuatku sedikit lebih baik.
“Kamu datang?”
“Agak telat. Kamu urutan keberapa?”
“Dapat nomor lima. Masih keburu kayaknya. Kamu di mana?”
“Sebentar lagi sampai. Aku lagi dapat masalah. Banku bocor.”
Ketika membaca pesan itu, aku sedikit terkejut dan membuatku agak down. Aku langsung berpikir jika dia tidak akan bisa sampai tepat waktu sebelum aku tampil nanti.
“Ya, udah, aku tunggu. Harus datang!”
“Oke.”
Setelah itu, aku kembali menutup ponsel, membaca lagi naskah pidato dan menghafal semuanya agar acaranya lancar seperti yang kuharapkan.
**
Peserta yang sudah tampil di urutan sebelum aku, menampilkan semua pidatonya dengan baik. Bahkan hampir semuanya mendapat tepuk tangan meriah dari penonton. Di depan sana, ada seorang gadis dari jurusan IPS 4 yang sedang membacakan pidatonya. Aku mengintip dari balik layar panggung. Dia terlihat sangat lihai dan menikmati pidato yang dibawakannya.
Seketika saja, rasa gerogi menghinggapiku lagi. Keringat dingin mulai keluar di seluruh tubuh. Aku merasakan sakit perut tiba-tiba. Padahal bagianku saja belum dimulai, tapi aku sudah menciut duluan.
Saat aku menatapi peserta nomor empat di depanku itu, tiba-tiba saja aku teringat ucapan Sae sehari yang lalu, saat kami berada di depan lapangan. Dia memberitahuku, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Saat itu, hari sudah semakin sore, aku dan Sae memutuskan untuk lebih lama berada di sekolah sambil berlatih naskah pidatoku.
Hanya ada aku dan Sae di depan lapangan voli yang biasa digunakan untuk pertandingan antar kelas. Sae duduk di kursi kayu warna hijau, tepat di bawah pohon mangga sambil memerhatikan, sementara aku berdiri di dekat tiang net sembari meneriakkan pidato tanpa kertas naskah itu dengan lantang.
Semburat jingga sukses menyinari tubuhku dari arah barat. Aku bisa melihat Sae tersenyum sambil masih mengangkat dua jempolnya ke arahku. Aku tahu dia memujiku, padahal pada kenyataanya, aku masih terus saja salah saat membaca pidato bahasa Inggris ini.
Ketika aku benar-benar merasa tidak sanggup untuk menghafal semuanya, dan bilang pada Sae untuk menghentikan semua kegiatan ini, lantas pemuda itu bangkit dari duduknya dan berlari menghampiriku.
Dia terlihat marah, lalu meraih kertas dan menunjukan benda di tangannya padaku.
Aku bilang, bahasa Inggris terlalu sulit untuk kuhafalkan. Dia melipat kertas di tangannya, kemudian menaruh kedua tangan di bahuku. Kami saling tatap. Aku yang merasa payah dan malu dengan kemampuan diri sendiri, dan merasa telah menodai kepercayaan Sae padaku, hanya bisa menolehkan pandangan ke arah lain tanpa berani menatap kedua bola matanya langsung.
“Dengar, Adis! Ini adalah sebuah tanggung jawab. Tanggung jawab yang harus kamu selesaikan. Apa kamu mau lari dari semua ini? Orang-orang percaya sama kamu,” katanya sembari masih memegangi bahuku. Aku masih tak berani menatap kedua bola matanya.
“Kamu juga udah berjanji sama aku untuk menang lomba. Terus kamu mau jadi pecundang dan lari dari semua tanggung jawab?”
Dia lalu mengarahkan tangannya untuk meraih pipiku dan memosisikan wajahku untuk lurus menatapnya. Aku yang diperlakukan seperti itu hanya bisa mengigit bibir sambil memberanikan diri menatapnya.
“Aku enggak sehebat kamu, Sae. Aku enggak seberani kamu. Pidato ini enggak bisa aku selesaikan!”
“Enggak ada yang enggak bisa selama kamu mau berlatih dan terus berusaha.”
“Buktinya aku enggak bisa hafalin semua ini dengan benar.”
Aku kembali membuang pandangan ke sisi lain. Sae berusaha lagi mengembalikan tatapanku untuk saling berhadapan dengannya.
“Kamu bisa! Aku tahu itu. Kalau kamu enggak bisa, enggak mungkin kamu akan berdiri di sini dan bacain naskah pidato ini kayak tadi tanpa menyontek. Aku tahu kamu bisa,” tegasnya sambil menguatkan pegangan tangan di pipiku. Sorot mata Sae menyalurkan semacam aura aneh yang membuatku sedikit nyaman di bawah ketidakmampuan yang aku rasakan.
“Tapi, Sae---”
“Kita sudah sama-sama berjanji. Kamu harus menepatinya,” katanya lagi memotong ucapanku dengan tatapan penuh penegasan. Aku yang tak bisa apa-apa hanya menatapnya dengan terus menggigit bibir bawah. Sebentar kemudian, aku mengangguk.
Aku mengembuskan napas berat untuk membuat diriku setenang mungkin menghadapi situasi sekarang. Untuk kedua kalinya, sakit perut itu muncul. Beberapa kali aku memejamkan mata sambil terus mengatur napas agar merasa rileks.
Di saat embusan napas habis, saat itulah tepuk tangan dari semua orang yang hadir di acara lomba ini terdengar, membuat suasana yang tadinya hening karena semuanya menikmati acara menjadi ramai.
Aku mengintip lagi dari balik tirai sambil menatapi satu per satu orang yang datang. Dari bangku urutan kedua, di posisi sebelah kanan tempat di mana semua orangtua hadir, ada ibuku yang masih sibuk bermain ponsel.Dia benar-benar datang. Namun, aku tidak bisa melihat di mana Sae. Apa mungkin ban motornya masih belum selesai diperbaiki?
Saking seriusnya mencari di mana Sae duduk, sampai-sampai aku tidak sadar jika peserta nomor empat sudah keluar dari balik tirai. Dia sempat menabrakku yang masih duduk anteng mengintip.
“Eh, ada orang?” tanyanya terkejut.
Dia agak mundur sedikit setelah tahu menabrak seseorang. Aku kemudian sadar dan mundur. Sebentar kemudian, gadis itu keluar dari balik tirai.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya lelaki tambun yang tadi duduk di kursi kayu itu. Aku yang berdiri di dekatnya hanya menoleh lantas mengangguk.
“Semangat, ya?” ucap gadis bernomor urut empat padaku. Aku menatapnya, lalu mengangguk diiringi senyum.
**
Tepuk tangan bergemuruh ketika aku masuk melewati tirai. Semua orang terlihat antusias ketika mereka melihatku memasuki panggung. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi ini benar-benar membuatku kembali merasa gerogi. Tegang.
Dari ujung barisan, di dekat pintu aula depan, di bawah pengeras suara, ada anak-anak dari jurusanku. Di sana mereka berteriak sambil menyebut namaku keras-keras. Ada Arrani juga, berdiri dengan kedua tangan ditaruh di depan dada. Dia tersenyum. Kali ini, senyumya manis dan sedikit membuatku tenang.
Aku melangkah perlahan tapi pasti menuju standing mic sambil terus berusaha untuk tenang. Setelah posisiku mantap, aku berdiri tegap dengan tatapan lurus ke depan, menyaksikan semua orang yang duduk di hadapanku.
Aku sempat memerhatikan keadaan sekitar. Aula ini terlihat lebih sempit dari biasanya. Entah karena banyaknya orang yang memenuhi ruangan, membuat ruangan sebesar ini menjadi terlihat lebih kecil, atau memang kapasitas aula yang tidak bisa menampung orang sebanyak ini.
Kualihkan pandangan dari orang-orang yang hadir ke deretan foto yang terpasang rapi di dinding. Di sana, terpampang semua gambar siswa berprestasi yang sempat mengharumkan nama sekolahan. Di deretan foto itu juga, aku bisa melihat Sae sedang tersenyum dengan sebuah piala di tangannya. Dia menjadi perwakilan sekolah waktu itu.
Melihat hal itu, aku jadi teringat pada Sae yang masih belum juga aku lihat sejak tadi. Kontan saja, yang kucari sekarang adalah dia. Mataku memindai satu per satu orang yang ada. Mereka menatapku heran. Mungkin lebih tepatnya, mempertanyakan tentang tindakanku yang masih belum juga membuka salam.
Saat aku masih sibuk mencari, membuat seorang MC berdeham pelan. Aku tersadar, lantas menoleh.
Aku berdeham pelan sambil memosisikan mic di depanku agar lebih nyaman digunakan. Setelah semuanya merasa siap, juri-juri yang duduk berbaris di bagian paling depan mempersilakanku sambil memencet sebuah tombol pada sebuah kotak berupa benda penghitung waktu.
Ludahku meluncur cepat ke tenggorokan.
“Go-good morning all.”
Semua orang serempak menjawab. Di samping Arrani, ada satu orang yang terus mengacungkan kepalan tangan ke arahku. Dia memelotot sejadinya dengan tatapan mengancam. Tak mau menanggapi lelaki aneh itu, kemudian aku kembali fokus pada pidato.
Aku sempat menggeleng pelan, mencoba fokus mengucapkan salam pembukaan. Setelahnya, kuembuskan napas perlahan sampai merasa lega. Belum apa-apa, aku sudah kehilangan fokus. Melihat semua tatapan penonton, sukses membuat nyaliku terkikis.
“Honorable ones; the principle of-of ....”
Kakiku bergetar.
Aku memejamkan mata, mengingat kata apa lagi yang akan kuucapkan setelahnya. Awalnya, semua orang terdiam ketika aku mulai gugup, sebentar kemudian mulai memberikan tepuk tangan. Mereka meneriaki namaku. Kontan saja, aula ini menjadi ramai oleh suara tepuk tangan.
Hal itu justru memperburuk keadaan.
Pejamku semakin kuat ketika gerogi semakin menggelayuti seluruh tubuhku. Pikiranku berkecambuk. Aku mengingat banyak hal saat ini, mengingat tentang kegagalan, tentang semua orang yang datang, tentang semua harapan yang teman-teman gantungkan padaku, juga mengingat tentang ... Sae!
“And all my friends in XII, X and XI grade ....
“First of all, let ussss ....p-epeeraise to the Almighty God, because of His blessing we-w-ee are able to gather here, to attend a farewell ceremony for the students of SMA Angkasa, XII grade in academic year 2017-2018.”
Aku hampir saja salah menyebutkan nama sekolahku. Dalam pejam yang ke sekian kali, aku kembali menggali kalimat apa yang akan diucapkan selanjutnya.
“My friends, in-in this good opportunity, I stand here to res-represent all the students of SMA Angkasa. Grade XII to give a valedictory speech.”
Di hitungan dua detik setelah mengutarakan kalimat tersebut, aku membuka mata, lantas mulai menoleh ke deretan foto yang ada di dinding aula. Satu foto yang menjadi fokus utamaku adalah milik lelaki bernama Saelandra. Dia tersenyum ke arahku. Tersenyum lewat foto.
“On the behalf of all students XI grade, there are so many things tt-that ... that ... that that i-i want to say here to express ho-ho-how thankful we are. I can't ... i can’t ... i ican’t find a word to express this tears of joy of---”
Tanganku mengepal erat, merutuki diriku sendiri. Mengapa hal semacam ini bisa terjadi? Ayolah, Adis, tenang!
“Remembering all mem-mee-memories that we have been through during this past three years. All we wwa-ant to say is we are proud to belong here, to study here and to meet all great teachers that we have ever met.”
Tubuhku sudah dikuasai gerogi. Gugup. Tubuhku bergetar lagi.
Semua kata-kata yang kuucapkan tadi, mengingatkanku pada perjuangan Sae yang sudah meluangkan waktunya untukku dua hari ini. Sae yang dengan semua ketegasannya, membimbingku untuk terus berjuang, memberikan semua yang kupunya untuk pidato ini. Sae juga yang sudah memberikanku harapan, ketika aku sudah tidak mau memperjuangkan lagi pidato bahasa Inggris ini.
Mataku masih jelalatan mencari keberadaan pemuda beraroma bayi itu, tapi kenapa, di saat semua yang sudah kupersiapkan untuk hari ini, dia malah tidak datang. Sae tidak hadir di saat aku tampil untuknya?
Fokusku buyar. Aku tidak bisa menjaga konsentrasi. Diriku yang paling dalam hanya menginginkan satu hal, yaitu Sae. Kehadirannya, adalah satu-satunya yang kuinginkan.
Jika semua yang aku siapkan untuk dirinya selama dua hari ini tak dapat Sae lihat, untuk apa aku terus berjuang? Toh, di awal saja aku sudah merasa putus asa. Satu-satunya tujuanku untuk memang adalah demi Sae. Jika dia tidak datang, masih bisakah aku berjuang?
Aku mematung di tempat. Lidahku seakan kelu. Otakku tak mampu lagi menggali kata apa yang akan kuucapkan selanjutnya. Suasana terasa canggung. Atmosfer yang tidak mengenakan ini menyebar ke seluruh ruangan. Semua orang yang tadi sempat bertepuk tangan, kini mulai melongo, termasuk Ibu.
Aku masih terdiam. Kedua bola mataku bisa melihat Ibu yang sedang duduk dengan tatapan penuh tanda tanya. Jika saja aku bisa paham apa yang dia pancarkan dari raut wajahnya, mungkin akan seperti ini, Kamu kenapa Adis? Lanjutkan pidatonya!
“We would like to sss-say th-th-thank you v-very much for all the ttt-teachers.
“W-we ....”
Aku mengacak rambut. Dari ekor mataku, dapat kulihat salah satu juri masih menaruh satu tangannya di atas benda penghitung waktu. Waktu yang tersisa tinggal dua menit lagi, dan aku baru saja mengucapkan seperempat isi dari pidato yang Sae tulis.
Semua juri saling pandang, mereka sepertinya tidak mengerti dengan apa yang kurasakan.
Waktu lima menitku terbuang sia-sia.
Berbagai ingatan kembali berputar di kepalaku. Aku memejamkan mata dengan tangan yang terus bergetar. Tubuhku menggigil. Seluruh kulit terasa dingin dan dipenuhi keringat. Telingaku terasa menangkap bunyi jarum penghitung waktu itu semakin berdengung. Semakin keras sampai aku merasa dikelilingi oleh semua hal mengerikan.
Aula yang kudiami terasa berubah menjadi bangunan lenjong. Semua orang yang hadir seakan menatapku dengan wajah mengejek, termasuk tatapan Ibu yang terlihat menyeramkan. Aku bersikeras untuk mengingat, menggali semua ingatan saat latihan bersama Sae. Berusaha menggali semua kenangan manis yang bisa kujadikan obat di saat seperti ini.
Bunyi jantungku semakin keras. Detak jantungnya terasa terpompa lebih cepat. Aku kaget sejadinya ketika sebuah suara terdengar membuyarkan semua rasa takut yang mengelilingi.
“Ananda Adis, Saudara tidak apa-apa?” tanya MC padaku. Wanita berpakaian formal serba hitam itu menatapku sedikit khawatir. Keadaan lengang. Tak ada satu suara pun yang kutangkap selain bunyi jantung yang makin terpompa kencang.
Aku tidak tahu harus apa sekarang. Semuanya sudah terjadi. Untuk mundur saja, aku tidak bisa. Jikapun aku kembali sekarang, semua orang akan mengingatku sebagai orang yang gagal dalam pidato. Namun jika aku masih bersikeras untuk melanjutkan, aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Aku sudah sepenuhnya lupa dengan naskahku.
Pada kenyataanya, berbicara di depan orang itu bukan saja sekadar hafal apa yang harus dibawakan, tapi juga harus mempersiapkan semua aspek yang lain. Mengasah kekuatan mental misalnya. Dua hari ini aku terlalu fokus untuk bisa menghafal naskah pidato, tanpa sadar jika kesiapan mental sama pentingnya dengan hafalan naskah.
Aku mematung.
“Sa-sa ....”
Aku gugup. Mataku masih menoleh pada orang-orang di depan. Kulihat waktu yang tersisa tinggal empat puluh detik.
“Sa-sa ....”
Aku menoleh pada wanita itu sambil menelan ludah.
Sangat sulit untuk mengucapkan, saya sudah tidak bisa lagi melanjutkannya. Hanya itu saja. Itu terlalu sulit untuk diutarakan. Entah apa yang mengganguku kali ini.
Wanita berpakaian formal itu menautkan kedua alis matanya. Dia menatapku dengan penuh tanda tanya, sementara aku masih berusaha untuk bilang, kalau aku sudah menyerah. Wanita itu kemudian menoleh pada juri yang duduk di bawah panggung. Dia meminta pendapat soal keputusan selanjutnya.
Salah satu juri mengangkat tangan. Kontan saja itu membuatku terkejut sejadinya. Tindakan itu membuat jantungku kembali terpompa. Aku siap dinyatakan gagal!
Ludah dengan cepat meluncur lagi. Kutarik standing mic dan kucoba utarakan lagi.
“Sa ....”
Di saat aku benar-benar akan mengucapkannya, dengan tanpa sengaja, mataku menoleh ke arah pintu masuk aula bagian depan, tepat di mana semua teman-temanku duduk. Di sana, aku melihat sosok pemuda yang baru saja datang dengan napas yang masih sesenggal. Dia berdiri dengan dada yang naik-turun.
Napasnya berderu sambil menatap ke arahku. Setelah menelan ludahnya dengan kasar, dia kemudian menarik napas cukup panjang dan dalam hitungan kesekian detik, dia meneriakkan namaku dengan keras.
Dia memberiku kalimat yang sedari tadi kutunggu-tunggu, Adis, aku datang untuk semua kerja kerasmu. Berjuang! Aku tahu kamu bisa!
Semua orang yang mendengar itu sontak saja menoleh serempak ke asal suara. Aku yang senang dengan kehadirannya, lalu tersenyum sambil menggigit bibir bawahku. Rasa senangku benar-benar tak terbendung kali ini.
“Sae,” teriakku, melanjutkan ucapan sebelumnya yang sempat tertunda, yang pada kenyataanya, bukan kata itulah yang seharusnya keluar dari mulutku.
Dia mengangkat satu tangannya yang mengepal, memberi tanda bahwa dia datang untukku. Bibirnya merekah lebar. Aku bisa melihat aliran semangat yang Sae pancarkan dari raut mukanya.
Tanpa membuang waktu lagi, kutarik kembali standing mic dan siap kembali memulai pidato. Namun, ketika aku baru saja akan memulai, salah satu juri mengangkat kedua tangan di depan wajahnya dengan membentuk pola X, yang artinya waktuku untuk berpidato sudah habis.
Sialan!
Empat.Dua hari ini aku tidak keluar rumah. Tidak ada satu pun media sosial yang aku buka. Data internet dalam ponselku juga kumatikan. Setelah perlombaan itu, aku benar-benar mengurung diri di kamar sendirian. Bukannya menghindari ejekan orang-orang, hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukan wajahku pada mereka yang sudah percaya kepadaku, terlebih kepada Sae.Setelah perlombaan hari itu, aku yang sudah dinyatakan gagal, kemudian meninggalkan panggung buru-buru. Aku berlari ke luar aula untuk menghindari Sae yang sudah pasti akan menyusulku ke belakang panggung.Rasa marah bergejolak di dalam diri.Saat itu, ada dua hal yang aku rasakan, aku marah kepadanya karena dia tidak bisa datang untuk melihat pidato yang sudah kupersiapkan untuknya, dan hal kedua adalah aku merasa malu untuk menunjukan wajahku kepadanya.Setelah melewati pintu aula, aku langsung saja berlari menuju parkiran, mencari di mana posisi motork
Lima.Sae menggunakan kemeja planel warna hijau dan kaus Doraemon warna hitam milikku. Celana nepada krem miliknya masih dia pakai. Setelah mandi dan berpamitan pada Ibu, akhirnya kami berangkat untuk jalan-jalan ke luar. Sae tidak bilang dia akan membawaku ke mana, dan itu selalu menjadi kejutan yang dia berikan.Dia sering memberiku hal-hal kecil. Namun, manis. Seperti membawakanku minuman saat istirahat sekolah, atau membelikanku camilan dengan bungkus bergambar Doraemon.Aku masih berdiri di depan Sae yang anteng memasang helm. Dia membawa motorku. Katanya dia akan menitipkan motornya di rumahku. Aku menunggunya sampai selesai memasang helm terlebih dahulu, baru kemudian aku akan naik ke belakang motor. Niatnya, sih seperti itu. Namun, ketika Sae melihatku masih berdiri memegangi helm Doraemon milikku, dia kemudian menarik benda itu dari tanganku.“Sini. Enggak bisa pakai helm, ya?” ucapnya, kemudian memasangkan helm itu k
Enam.Seminggu setelah perlombaan antarkelas diadakan, aku mulai kembali lagi ke sekolah. Tentu saja jika bukan karena adanya pembagian buku tahunan sekolah aku tidak akan datang. Ada banyak faktor yang membuatku enggan bertemu dengan teman sekelasku. Ya, mungkin salah satunya tentang hukuman yang Arrani katakan waktu itu.Aku pengecut, ya? Haha! Memang.Sebelum memasuki gerbang aku sempat berdiri sejenak, memerhatikan semua murid yang datang. Di antara murid yang berbondong-bondong memasuki gapura warna abu-abu, aku bisa melihat seorang siswi berhijab cokelat sedang berkacak pinggang di sudut jalan.Dari jarak sejauh ini pun aku bisa melihat senyum iblis yang Arrani pancarkan. Ah, sial! Niat awalku berdiri di gapura ini bukan untuk menemuinya. Aku hanya ingin bertemu dengan Sae dan masuk kelas bersamaan.Melihat gadis itu mulai melenggang dengan entakkan kaki yang berdentum, membuatku merinding sejadinya.Aku menelan ludah
TujuhDingin dari embusan angin malam cukup untuk membuatku menggigil. Selimut warna biru yang melahap habis tubuhku masih dirasa kurang untuk bisa menghilangkan efek dingin malam ini. Gigiku gemertak kencang. Sebenarnya tidak aneh, sih saat aku terus menggigil karena aku membuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Dari sini aku duduk dan diam memerhatikan milyaran bintang di langit.Malam ini langit sedang dalam kondisi cerahnya. Aku juga tak punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terlebih setelah pembagian buku tahunan sekolah. Tugas-tugas sekolah pun sudah kuselesaikan seminggu yang lalu.Sudah sekitar dua jam aku duduk termangu di balik jendela. Tatapanku lurus ke langit. Sejak tadi maghrib aku tidak keluar kamar, toh tidak akan ada siapa pun yang menemaniku di ruang tamu sana. Ibu dan Ayah belum juga pulang.Memiliki orangtua yang sibuk mengurusi karier itu tidaklah menyenangkan. Waktu luang untuk kami kumpul sa
Delapan.Tangan halus serta putih tidak habis-habisnya mengelus kepalaku, menyusuri tiap inci rambut hitam lebat yang kumiliki sambil sesekali menyanyikan lagu kesukaanku saat masih kecil. Dalam merdunya suara yang tertangkap gendang telinga, ada pepatah-pepatah kecil yang Ibu selipkan, mencoba memberikan nasihat-nasihat tentang kehidupan yang kejam di masa depan nanti. Ibu bilang aku harus kuat menghadapi semuanya.Aku terpejam, menikmati elusan lembut di rambutku sambil terus mendengarkan ucapannya yang masuk ke gendang telinga.“Adis,” ucap Ibu pelan. Tangan halusnya masih mengelus kepalaku, menggerakkannya naik-turun, membuatku nyaman. Sedangkan aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati tiap elusan tangannya. “Ibu selalu bersyukur dengan apa yang sudah terjadi. Ibu tidak pernah menyesal untuk apa yang sudah Ibu lakukan untuk semuanya.”Aku membuka mata setelah ucapannya terhenti, lalu membalikan posisi tidurku
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j
Tujuh belasJika tahu itu adalah malam terakhir aku bisa melihatnya, mungkin perdebatan bodoh itu takkan pernah terjadi. Adu mulut yang menyebabkan suasana malah menjadi semakin runyam. Saat aku sadari, semuanya sudah berakhir. Sae telah pindah ke luar pulau, meninggalkanku sendirian, bahkan dengan luka yang tak sempat terobati.Kepergiannya menambah lubang yang tadinya sudah menganga dan merobek hati itu menjadi semakin lebar, tanpa tahu bagaimana menutupnya kembali. Tak ada ucapan selamat tinggal atau sekadar basa basi, “Sehat selalu, ya? Jangan lupain aku.”Rasa menyesal mulai muncul, menggerogoti isi kepalaku. Semua yang ada di sekitar terasa kosong. Aku hanya bisa menangis, meratapi kepergiannya. Apa yang sudah aku lakukan?Malam itu, tatapan Sae nanar. Aku melihat kesedihan yang mendalam. Andai aku tidak egois, dan lebih memilih menghabiskan malam dengannya, mungkin akan dengan mudah aku melepasnya.Sesak di dada
Enam belasSemua orang menatapku dengan jijik. Mata-mata tajam terus melirikku dengan sinis. Seolah aku adalah sampah salah tempat. Selama perjalanan dari gerbang menuju kelas saja aku sudah dapat bisik-bisik anak yang kulewati. Mereka membicarakanku. Ibu hanya menggeleng pelan ketika kutatap dia dengan pandangan penuh tanda tanya.Setelah dipanggil ke ruang BK dua hari lalu, akhirnya ibu menyanggupi panggilan itu dan datang ke sekolah bersamaku. Jangan tanyakan ayah di mana? Dia bahkan tidak peduli padaku. Katanya jangan panggil lagi dia “ayah” sebelum semua kembali menjadi normal.Tanganku sudah gatal. Jari-jari mengepal erat. Ingin rasanya kuhantam setiap mulut yang mencibirku dari belakang. Napasku naik-turun. Ibu terus saja menggosok punggungku dan menuntun jalan yang bahkan sudah tidak bisa kutapaki dengan benar. Tubuh bergetar. Nafsu dalam diri membara.“Masih jauh?” tanya ibu. Sidang untuk keputusan masalah
Lima belasBeberapa hari sebelumnya.Perasaanku tidak menentu. Malam ini aku bahkan tidak bisa tidur. Ponselku sudah menunjukan pukul sepuluh, tapi mataku sama sekali tidak merasakan kantuk. Biasanya aku sudah tidur sebelum jam sembilan. Sudah ada dua kali aku ke dapur untuk menyeduh susu hangat. Kupikir akan merasa kantuk setelahnya, tapi pada kenyataanya sama saja.Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ada begitu banyak hal yang berputar di kepalaku. Satu yang paling aku rasakan adalah gelisah. Setelah kepulanganku dari liburan beberapa waktu lalu, aku mulai semakin memikirkan semua risiko dari statusku yang bisa dibilang belok ini. Aneh memang karena baru akhir-akhir ini aku memikirkannya. Mungkin ini berkaitan dengan adegan ciuman yang tiba-tiba itu.Setelah menyelimuti tubuhku dengan sarung warna oranye, aku mulai menutup lagi ponsel yang sempat kulirik untuk memeriksa jam. Sudah kuputuskan untuk tidur, apa p
Empat belasMinggu yang cerah untuk memulai semua aktivitas di pagi hari. Musik yang diputar dengan volume tinggi membuat ruangan semi klasik modern itu bising. Seorang lelaki dengan boxer kuning sedang merapikan kamarnya sambil sesekali bernyanyi.Dia berlari ke sana ke mari mengikuti ayunan sapu di tangannya. Belum cukup bersih dengan semua debu yang sudah habis disapukan, dia lantas mengepel ruangan itu agar lebih terlihat kinclong.Buku-buku berserakan di meja belajar, sekan-akan tidak pernah dibereskan dalam waktu yang lama. Banyak sekali kertas yang terbuang percuma dan berceceran di atas kasur.“Sesen!” teriak seorang wanita dari arah bawah kamar. Volume musik yang tinggi membuat Sae tidak bisa mendengar teriakkan dari sang ibu.“Sesen. Arsenio Saelandraa!” Suara itu kembali terdengar. Namun, masih kurang kencang melawan kebisingan yang ada di kamar putra terakhirnya itu.“Ars
Tiga belasArrani [Cewek Jahad] : Adis, kamu harus lihat ini!Seketika saja dadaku seperti dihujam benda tumpul berkecepatan tinggi. Membaca isi pesan yang Arrani kirimkan tadi pagi membuatku dinobatkan sebagai orang pengindap jantungan dalam waktu yang mendadak. Ludahku meluncur begitu saja tanpa dikomando. Darah rasanya mendidih. Aku mulai merasakan udara memanas di sekitarku. Kedua tangan yang masih menggengam ponsel bergetar tak keruan, nyaris membuat benda itu terjatuh ke lantai jika tidak cepat-cepat kugengam dengan erat.Isi pesan itu sangat mengejutkan, berupa foto yang dikirimkan Arrani kepadaku menunjukan dua orang lelaki yang sedang berciuman. Latar yang ada dalam foto itu sama persis dengan keadaan di penginapan Pulau Tidung beberapa waktu lalu. Aku yakin jika yang ada dalam foto itu adalah kami berdua. Tepatnya aku dan Sae sedang memanggang jagung malam itu.Lututku lemas seketika. Rasanya semua tenaga
Dua belasAcara tidak berjalan sesuai rencana. Setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Arrani sempat melarangku untuk pulang karena perayaan ulang tahun Sae masih akan digelar. Namun, karena aku sudah tidak nyaman dengan suasananya, aku memilih tetap pulang meski hanya sendirian.Di luar dugaan, semuanya memilih ikut pulang dan membatalkan acara ulang tahun yang akan digelar tiga hari dua malam itu. Dan, beginilah sekarang keadaanya. Kami sedang berada di mobil Sae dalam kecanggungan yang membelenggu. Hingga rombongan sampai di pelabuhan, tidak ada satu pun yang berbicara. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengan siapa pun.Di belakangku ada empat teman Ahmad. Posisi duduk kami masih sama seperti saat berangkat kemarin. Sae tetap fokus menyetir, yang dengan menyebalkannya masih diganggu oleh Resha.Selama di pulau saat persiapan untuk pulang, aku dan Sae tidak berbicara satu sama lain. Sebisa mungkin
Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik