Dua.
Hari berikutnya, kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe hits di kotaku karena hari ini aku sudah tidak ada lagi mata pelajaran yang harus diremedial. Jadi, aku memutuskan menggunakan waktu kosong ini untuk membuat naskah pidato.
Tadi pagi, aku sempat mengirim LINE kepada Sae. Aku bilang, jika dia tidak sibuk, sempatkan diri untuk mampir dan membantuku mencari ide untuk pidatonya. Tak lama, dia membalas pesanku dan bilang akan datang jika waktunya memungkinkan. Makanya, setelah dirasa tak ada lagi mata pelajaran yang akan aku remedial, bergegaslah aku ke tempat ini dengan motor scoopy Doraemon-ku.
Tempatnya menyejukan. Awalnya aku tidak berniat datang ke sini, hanya saja, tempat inilah yang paling dekat dengan sekolahku. Menurutku, kafe ini masih bisa dijangkau oleh anak-anak sekolah yang memiliki budget kecil untuk jajan.
Saat aku sampai, deretan kursi minimalis modern terpampang rapi menyambutku. Warna hitam mendominasi bangunan tersebut. Dari mulai meja, kusen pintu, sampai cat di dalam ruangan, semua warna hitam, hanya kursi dan kaca saja yang warnanya berbeda. Aku menunggu Sae datang sambil mencoba mencari sedikit ide untuk bahan naskah pidatoku nanti, sesekali mengamati keadaan sekitar. Tak berselang lama setelahnya, Sae datang dengan seragam sekolah yang masih lengkap.
“Halo, Adis,” katanya sambil melambai di atas motornya. Aku mengangguk dan membalas lambaian tangannya pelan.
Sae membuka helm hitam yang membungkus kepalanya, kemudian menaruhnya di setang motor. Dia membuka sarung tangan hitamnya, kemudian mulai melenggang ke arahku.
“Udah lama di sini?” tanyanya. Aku yang duduk di samping pintu masuk kemudian berdiri. Dia melangkah semangat ke arahku, lalu berdiri berhadapan.
“Lumayan. Di dalam aja, ya?” kataku sambil merapikan barang-barang yang berserakan. Sae mengangguk, kemudian memasukan sarung tangan hitamnya ke saku jaket.
Sae lalu membukakan pintu untukku. Aku menoleh dan tersenyum. Saat aku masuk, hal pertama yang tertangkap oleh indera penglihatanku adalah poster-poster background hitam yang dipasang di dinding. Banyak tulisan-tulisan dengan font menarik di dalamnya, berisi kata-kata motivasi.
Tak jauh dari pintu masuk, ada sekitar empat sampai lima meja warna hitam dengan kursi kayu krem yang tersusun apik dari ujung kasir sampai ke batas sebuah pilar yang menyangga lantai dua. Lampu-lampu gantung, dikaitkan pada plafon dengan indah, sehingga menambah kesan modern serta kekinian kafe ini. Keramik sewarna putih menjadi alas meja dan kursi yang diduduki pengunjung kafe.
“Itu di pojokan aja,” kata Sae sambil menunjuk satu meja yang isinya hanya ada dua kursi. Aku mengangguk, kemudian melenggang lebih dulu.
Kuletakkan barang-barangku bersamaan dengan Sae duduk di seberang meja. Dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu menaruhnya di meja, dan menatap ke arahku dengan tatapan ramah.
“Bagaimana kabar Ibu?” tanyanya.
“Sejauh ini baik. Ibu juga sempat tanya kabar kamu. Katanya, kenapa kamu sudah jarang ke rumah. Ibu sekarang sibuk mengurusi semacam arisan. Aku enggak tahu acara apa. Tapi, katanya beliau sibuk.”
Sae mengangguk paham, kemudian meraih ponselnya saat benda itu berkedip. “Ibu tahu kamu mau lomba?”
“Enggak. Aku enggak pernah cerita. Lagian kalau aku bilang pun, enggak yakin juga Ibu bisa datang. Apalagi Ayah. Ah, sudahlah enggak usah dibahas.”
“Coba aja dulu kasih tahu mereka.” Sae menaruh ponselnya lagi, melipat dua tangan di depan dada, kemudian memiringkan kepala sedikit sambil tersenyum. “mereka akan senang kalau tahu kamu ikut lomba. Bagaimanapun, mereka orangtuamu, Dis.”
“Aku lebih senang kalau kamu yang datang,” kataku seadanya.
Tangan-tanganku lihai mengeluarkan kertas yang sempat kucoret-coret untuk menuangkan ide yang keluar di dalam otak tadi. Dua manikku apik memindai aksara yang tadi kutorehkan. Entahlah, aku tidak tahu apa yang akan jadi bahan pidato nanti.
Tak lama setelah perkataan tadi, aku fokus pada kertas-kertas di tanganku sampai membuat Sae berdeham pelan. Mataku mengerjap beberapa kali, menoleh pada pemuda di hadapanku, lantas tersenyum.
“Aku pasti datang. Akan kuusahakan,” ucapnya.
“Ya, semoga saja.”
“Jadi, apa yang mau kamu angkat jadi bahan pidato? Kelihatannya kamu sudah punya beberapa idenya.”
Sae belum mau memesan. Sejak tadi kami masih sibuk dengan urusan masing-masing. Aku contohnya, yang sibuk dengan kertas-kertas dan pensil di tangan.
“Enggak tahu, deh, ya. Otakku macet banget kayaknya. Kamu ada ide?”
Dia menggeleng pelan.
Wajah Sae yang putih makin bersinar ketika rambatan cahaya matahari menyinari pipi-pipinya. Aku yang melihat kejadian itu, mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dari sudut ruangan seperti ini, aku bisa melihat beberapa orang yang berlalu-lalang di bawah terik matahari, memancarkan sinar yang membuat Arsenio Saelandra Bahari menjadi lebih memesona.
Sudah begitu lama aku mengenalnya, dan sudah lama pula aku menjadi bagian dari kehidupannya yang sempurna. Sae itu bisa menjadi sosok yang misterius. Aku bisa dengan mudah memahaminya, dan terkadang juga begitu sulit untuk tahu apa yang sedang dia pikirkan.
Dia, pemuda itu, kini duduk di hadapanku, maniknya teduh menatap kertas di tanganku. Entah apa yang berputar di ingatannya. Entah apa yang sedang dia pikirkan. Hanya satu hal yang aku harapkan, semoga saja dia tak pernah berpikiran untuk berpisah denganku.
Aku tidak akan pernah tahu bagaimana hidupku jika sosok Saelandra pergi dan hilang dari kehidupanku. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Perpisahan. Sesuatu yang tak pernah kuinginkan. Berpisah. Perpisahan ....
Ya, itu dia!
“Ah, gimana kalau soal perpisahan?” kataku tiba-tiba. Aku menggerling ke arahnya. Sae tampak menaikan alis mata, kemudian menimbang sejenak. Tak berselang lama setelah aku makin melebarkan senyum, dia pun mengangguk.
“Perpisahan, ya?” gumam Sae pelan.
“Iya. Hal yang paling berat dan menyakitkan, kan?” tanyaku sambil tersenyum sinis.
Kami akhirnya memutuskan untuk mengangkat tema tentang perpisahan. Awalnya tidak terpikirkan untuk mengangkat tema itu, tapi saat otakku berputar membicarakan tentang perpisahanku dengan Sae, tiba-tiba saja mulutku meluncurkan ide itu. Tampaknya Sae juga tidak terlalu keberatan.
Aku menatap kedua maniknya yang mengilap. Sae memiliki tatapan yang teduh, seolah semua hal yang dia jalani berlalu baik-baik saja tanpa ada masalah. Sae bisa bersikap sangat tenang menghadapi masalah. Dia dewasa dan lebih tahu apa yang harus dilakukan.
“Boleh, perpisahan. Tapi, enggak bisa dibilang paling berat dan menyakitkan juga karena seperti itulah siklusnya. Hidup dan mati. Gelap dan terang. Siang dan malam. Juga, ada pertemuan dan perpisahan. Kamu enggak bisa sepenuhnya menyalahkan dirimu sendiri karena pernah bertemu seseorang dan akhirnya harus berpisah, kan? Karena semua itu sudah memang seharusnya seperti itu.”
Sae tersenyum, kemudian kembali melanjutkan, “Berat memang untuk berpisah, tapi kalau memang sudah waktunya, kita bisa apa?”
“Pengalaman banget kayaknya,” gumamku pelan, lalu bersiul, membuat dia tersadar dari dunianya sendiri. Sae menoleh lalu tersenyum.
“Itu bagus, Adis,” katanya. “Dan, itu bikin aku jadi bijak. Kamu ini,” tambahnya sambil terkekeh-kekeh.
“Aku minta kamu ke sini buat bantuin bikin naskah, loh bukan buat curhat dan baper-baper ria.”
“Aku tahu, dan karena itu, aku jadi haus. Mau pesankan aku minum?”
Dia makin melebarkan senyum kudanya, seolah tidak berdosa. Namun, anehnya, dengan perasaan ikhlas dan tak banyak memprotes, aku mau saja memesakan minuman untuknya.
“Ice choco cheese cream crunch?” tawarku. Itu minuman kesukaannya.
“Ya, dan jangan lupa pisang cokelat taburan susu dan gulanya. Tapi, memang ada, ya?”
“Enggak tahu, deh, ya. Aku cek dulu aja.”
Dia melakukan tegap hormat padaku sambil membusungkan dadanya yang bidang. Kepalaku kontan menggeleng, kemudian mulai membalikkan badan. Kulihat Sae tersenyum di bangkunya. Aku menggeleng pelan lagi sambil mulai melenggang menuju kasir untuk memesan apa yang tadi Sae inginkan.
Pertemanan selama dua tahun membuatku cukup untuk mengenali diri Sae sepenuhnya. Selama itu pula aku tahu apa yang dia suka dan tidak suka. Beberapa makanan, dan minuman favorit, juga soal barang-barang apa saja yang selalu ingin dia koleksi.
Mungkin aku sudah terlalu jauh melangkah di kehidupannya. Aku sudah lebih dari mengetuk pintu hatinya dan bertamu di sana. Saat ini, ruangan kosong itu sudah kutempati, mendekornya dengan semua hal yang kuketahui tentangnya.
Aku kembali dengan minuman lain. Pesanan yang Sae inginkan ternyata tidak ada di kafe ini. Terpaksa, aku hanya bisa membawakannya pisang cokelat, dan untuk minumannya, aku memesan cappucino.
Dia terlihat anteng dengan kertas dan bolpoin. Aku menatapi tiap inci wajahnya yang putih dan juga mulus. Dia itu seperti bayi, wajahnya mulus sekali. Oh, ya, dan aroma tubuh Sae juga seperti aroma bayi.
Cahaya dari matahari yang menerobos lurus melewati kaca jendela membuat wajah Sae semakin bersinar. Tangannya yang besar dan juga jari-jarinya yang panjang lihai menuliskan kata demi kata untuk naskah pidatoku.
Meski di ruangan ini ada begitu banyak orang dengan berbagai macam pesona, tapi mataku dengan anteng tertuju pada satu titik. Satu titik yang hanya bisa dilihat keindahannya olehku saja. Jaket baseball biru dongker yang dikenakannya, membuat Sae semakin menarik di antara yang lain.
Ketika mata ini masih betah menatapnya dalam sebuah jarak, dia mulai menoleh padaku, memergokiku yang sedang senyum-senyum tidak keruan. Aku mengerjap, lantas mulai melangkah mendekatinya.
“Memangnya kamu ada waktu buat hafalin ini semua?”
“Enggak usah panjang-panjang, deh. Aku juga enggak yakin bisa menang. Aku naik panggung cuma buat bungkam mulut-mulut kejam di kelas aja,” kataku enteng sambil menaikkan kedua bahuku.
“Kamu, kok begitu, sih? Aku udah relain bantu, masa enggak menang? Kamu harus menang!”
“Dua hari, Sae. Aku enggak yakin bisa.”
“Kamu bisa. Aku bakal bantu kamu.”
“Enggak tahu, deh, ya. Ini pidato Bahasa Inggris. Bukan bahasa yang bisa aku kuasai dan aku pakai sehari-hari,” kataku sambil menatapnya dengan sendu. Sae terdiam, wajahnya tampak serius membalas tatapanku.
Aku menyerahkan pesanan kepadanya. Dia menaruh bolpoin, lalu meraihnya.
“Aku mau kamu menang. Titik. Aku enggak mau tahu. Kamu harus menang!”
“Apa yang bakal aku dapat kalau menang lomba?” tanyaku tersenyum hiperbolis.
Sae mengaduk cappucino-nya dengan sendok. Beberapa detik dia terlihat berpikir, mencari tahu apa yang akan dia berikan padaku jika nanti aku memenangkan lombanya.
“Aku akan kasih sesuatu, deh pokoknya.”
“Iya, apa? Kamu harus tanggung jawab kalau begitu,” kataku sambil terkekeh geli.
“Siap. Aku enggak keberatan. Tapi, kamu harus janji menang dan aku juga berjani buat ngasih kamu hadiah. Deal?”
Dia mengulurkan tangan kanan yang sebelumnya digunakan untuk menggam sendok kecil. Aku diam sejenak sebelum membalas jabat tangan Sae. Otakku memikirkan beberapa kemungkinan kecil lainnya.
Memenangkan lomba? Bisa saja aku mengabaikannya. Lagipula, aku memang tidak berniat untuk ikut. Jika bukan karena desakan Arrani dan temannya yang menyebalkan itu, aku pasti sudah mengundurkan diri. Selain itu, teman sekelas mengancamku agar aku menang lomba.
Baik! Aku akan memenangkan lomba ini. Tapi, bukan demi mereka, semua ini demi Sae. Demi dia yang sudah rela mengorbankan waktunya hanya untuk membantuku membuat naskah pidato.
“Baik.” Aku membalas jabat tangannya, kemudian mengangguk.
Aku juga harus memberinya sesuatu yang spesial, kan? Lagipula, Sae sudah berjanji akan memberiku hadiah. Aku harus menang. Kami sudah saling janji.
“Pikirkan apa yang paling menyakitkan dari perpisahan?” tanya Sae sambil memulai kembali menulis.
“Kemungkinan bertemu yang sangat kecil? Atau bahkan enggak akan pernah bertemu lagi?” tanyaku.
Sae mengangguk, sambil mengetukkan bolpoin di dagunya beberapa kali. Dua sampai tiga kali matanya terpejam, mencoba mencerna apa yang kukatakan tadi.
“Tapi, ini perpisahan untuk siswa kelas tiga, Adis. Masih ada masa reuni nanti. Biasanya dilakukan dalam tiga tahun setelah kelulusan, kan? Jadi, pasti masih bisa bertemu. Itu enggak menyakitkan sama sekali.”
“Begini saja, kamu buat hal yang menyedihkan saja. Maksudku, buat seolah-olah berpisah dengan teman satu perjuangan itu menyedihkan dan, ya, sedih pokoknya,” saranku seolah-olah semuanya mudah.
Aku meminum pesanan yang sama dengan Sae. Dia masih berpikir. Sekiranya, Sae sedang mencari hal apa yang lebih sedih dari kemungkinan tidak bisa bertemu lagi setelah berpisah.
“Semua orang meninggal ketika acara perpisahan terjadi?” tanya Sae. Aku mengernyitkan dahi, lalu menggeleng tidak setuju.
“Sebuah meteor lepas dari jalur lintasan dan mendarat di sekolah? Menghancurkan seluruh gedung dan siswanya tewas semua?” tanyanya lagi dengan wajah polos tidak berdosa.
Aku mengernyit makin kuat. Dia masih berpikir. Bolpoin yang dia pegang diposisikan di bawah bibir tebalnya.
“Atau …,” katanya menimbang.
Aku yang sudah tidak ingin mendengar hal aneh lagi darinya, kemudian mulai mencoba menolak. Aku pikir, dia hanya akan mencari alasan-alasan yang lebih brutal lagi jika tak segera dihentikan.
“Ini kamu nyumpahin, deh kayaknya,” kataku sambil menaikan alis mata. Dia berhenti berpikir, lalu menoleh dengan tatapan tanpa dosanya itu. Bibirnya kembali merekah, tersenyum.
“Begini saja, kamu tulis semua kenangan yang pernah mereka lewati selama tiga tahun. Itu bisa membangkitkan lagi kenangan di otak mereka. Mungkin bisa juga bikin mereka nangis,” saranku sambil memegangi sendok. Sae di hadapanku menaruh bolpoinnya, mengangkat cangkir, dan menyeruput isi di dalamnya perlahan.
“Sebenarnya, kamu bisa bikin naskah sendiri.” Dia meraih kertas dan bolpoin lalu memberikannya padaku. “Tulis aja dulu. Tulis apa saja yang menurut kamu menyedihkan. Berpisah dengan aku mungkin, atau kamu enggak bisa ketemu aku lagi?”
“Kok, harus itu, sih contohnya?”
“Ya kalau apa yang dialami sendiri oleh penulisnya, biasanya akan lebih dapet feel-nya. Tapi, kan itu hanya perumpamaan. Lagian, aku juga enggak mau berpisah sama kamu,” tuturnya sambil kembali menghisap cappucino.
Setelah ucapan itu, seakan ada aliran hangat yang menjalar di dada, membuat aku merespons dengan senyum-senyum sendiri. Ketika Sae mengucapkan jika dia tidak ingin berpisah denganku, aku merasa senang dan, kuyakin pipiku sudah merah sekarang.
Buru-buru kualihkan pandangan yang awalnya saling bertatapan untuk kembali menatap kertas yang Sae berikan padaku. Aku tidak mau dia menyadari diriku yang tersipu karena perkataanya.
“Ya, udah, aku tunggu di sini sampai selesai. Kamu tulis aja versi Indonesia-nya. Aku bakal ubah ke versi Inggris.” Dia menyarankan. Aku yang setuju, lalu mengangguk.
Karena merasa yakin jika apa yang akan kutulis itu cukup sebagai bahan pidato nanti, akhirnya aku setuju untuk menulis naskahku sendiri. Sae hanya diam sambil sesekali mengoreksi kata yang salah.
Tak sampai sore, kami berhasil membuat satu naskah dalam bahasa Indonesia, dan sisanya, kuserahkan naskah itu pada Sae untuk diubah ke-dalam-BAHASA-INGGRIS.
Tiga.Dua hari ternyata tidak membuatku benar-benar bisa menghafal pidato ini dengan benar. Beberapa kali aku lupa isi yang sedang kuhafalkan. Ini terlalu rumit. Namun, Sae terus saja memberiku semangat. Dua hari ini, entah itu pagi, siang, sore atau malam, dia akan mengirim stiker berupa beruang cokelat yang menggebu-gebu dibakar api. Itu adalah tanda seseorang yang sedang bersemangat.Sae percaya bahwa aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Jujur saja, semua semangat yang Sae berikan membuatku semakin termotivasi. Meskipun itu tidak membantuku memperlancar semua naskah yang sedang kuhafalkan.Hari ini, aku sudah duduk di kantin. Beberapa menit lagi, semua orang yang ikut lomba sudah harus berkumpul di belakang panggung, di dalam aula. Dua sampai tiga kali aku mengulang naskah yang sudah hampir semua kuhafal itu agar tidak lupa sambil memperagakan gerakan yang ada dalam naskah.Dentum dari langkah kaki murid yang berlalu-lalang di
Empat.Dua hari ini aku tidak keluar rumah. Tidak ada satu pun media sosial yang aku buka. Data internet dalam ponselku juga kumatikan. Setelah perlombaan itu, aku benar-benar mengurung diri di kamar sendirian. Bukannya menghindari ejekan orang-orang, hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukan wajahku pada mereka yang sudah percaya kepadaku, terlebih kepada Sae.Setelah perlombaan hari itu, aku yang sudah dinyatakan gagal, kemudian meninggalkan panggung buru-buru. Aku berlari ke luar aula untuk menghindari Sae yang sudah pasti akan menyusulku ke belakang panggung.Rasa marah bergejolak di dalam diri.Saat itu, ada dua hal yang aku rasakan, aku marah kepadanya karena dia tidak bisa datang untuk melihat pidato yang sudah kupersiapkan untuknya, dan hal kedua adalah aku merasa malu untuk menunjukan wajahku kepadanya.Setelah melewati pintu aula, aku langsung saja berlari menuju parkiran, mencari di mana posisi motork
Lima.Sae menggunakan kemeja planel warna hijau dan kaus Doraemon warna hitam milikku. Celana nepada krem miliknya masih dia pakai. Setelah mandi dan berpamitan pada Ibu, akhirnya kami berangkat untuk jalan-jalan ke luar. Sae tidak bilang dia akan membawaku ke mana, dan itu selalu menjadi kejutan yang dia berikan.Dia sering memberiku hal-hal kecil. Namun, manis. Seperti membawakanku minuman saat istirahat sekolah, atau membelikanku camilan dengan bungkus bergambar Doraemon.Aku masih berdiri di depan Sae yang anteng memasang helm. Dia membawa motorku. Katanya dia akan menitipkan motornya di rumahku. Aku menunggunya sampai selesai memasang helm terlebih dahulu, baru kemudian aku akan naik ke belakang motor. Niatnya, sih seperti itu. Namun, ketika Sae melihatku masih berdiri memegangi helm Doraemon milikku, dia kemudian menarik benda itu dari tanganku.“Sini. Enggak bisa pakai helm, ya?” ucapnya, kemudian memasangkan helm itu k
Enam.Seminggu setelah perlombaan antarkelas diadakan, aku mulai kembali lagi ke sekolah. Tentu saja jika bukan karena adanya pembagian buku tahunan sekolah aku tidak akan datang. Ada banyak faktor yang membuatku enggan bertemu dengan teman sekelasku. Ya, mungkin salah satunya tentang hukuman yang Arrani katakan waktu itu.Aku pengecut, ya? Haha! Memang.Sebelum memasuki gerbang aku sempat berdiri sejenak, memerhatikan semua murid yang datang. Di antara murid yang berbondong-bondong memasuki gapura warna abu-abu, aku bisa melihat seorang siswi berhijab cokelat sedang berkacak pinggang di sudut jalan.Dari jarak sejauh ini pun aku bisa melihat senyum iblis yang Arrani pancarkan. Ah, sial! Niat awalku berdiri di gapura ini bukan untuk menemuinya. Aku hanya ingin bertemu dengan Sae dan masuk kelas bersamaan.Melihat gadis itu mulai melenggang dengan entakkan kaki yang berdentum, membuatku merinding sejadinya.Aku menelan ludah
TujuhDingin dari embusan angin malam cukup untuk membuatku menggigil. Selimut warna biru yang melahap habis tubuhku masih dirasa kurang untuk bisa menghilangkan efek dingin malam ini. Gigiku gemertak kencang. Sebenarnya tidak aneh, sih saat aku terus menggigil karena aku membuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Dari sini aku duduk dan diam memerhatikan milyaran bintang di langit.Malam ini langit sedang dalam kondisi cerahnya. Aku juga tak punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terlebih setelah pembagian buku tahunan sekolah. Tugas-tugas sekolah pun sudah kuselesaikan seminggu yang lalu.Sudah sekitar dua jam aku duduk termangu di balik jendela. Tatapanku lurus ke langit. Sejak tadi maghrib aku tidak keluar kamar, toh tidak akan ada siapa pun yang menemaniku di ruang tamu sana. Ibu dan Ayah belum juga pulang.Memiliki orangtua yang sibuk mengurusi karier itu tidaklah menyenangkan. Waktu luang untuk kami kumpul sa
Delapan.Tangan halus serta putih tidak habis-habisnya mengelus kepalaku, menyusuri tiap inci rambut hitam lebat yang kumiliki sambil sesekali menyanyikan lagu kesukaanku saat masih kecil. Dalam merdunya suara yang tertangkap gendang telinga, ada pepatah-pepatah kecil yang Ibu selipkan, mencoba memberikan nasihat-nasihat tentang kehidupan yang kejam di masa depan nanti. Ibu bilang aku harus kuat menghadapi semuanya.Aku terpejam, menikmati elusan lembut di rambutku sambil terus mendengarkan ucapannya yang masuk ke gendang telinga.“Adis,” ucap Ibu pelan. Tangan halusnya masih mengelus kepalaku, menggerakkannya naik-turun, membuatku nyaman. Sedangkan aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati tiap elusan tangannya. “Ibu selalu bersyukur dengan apa yang sudah terjadi. Ibu tidak pernah menyesal untuk apa yang sudah Ibu lakukan untuk semuanya.”Aku membuka mata setelah ucapannya terhenti, lalu membalikan posisi tidurku
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
Tujuh belasJika tahu itu adalah malam terakhir aku bisa melihatnya, mungkin perdebatan bodoh itu takkan pernah terjadi. Adu mulut yang menyebabkan suasana malah menjadi semakin runyam. Saat aku sadari, semuanya sudah berakhir. Sae telah pindah ke luar pulau, meninggalkanku sendirian, bahkan dengan luka yang tak sempat terobati.Kepergiannya menambah lubang yang tadinya sudah menganga dan merobek hati itu menjadi semakin lebar, tanpa tahu bagaimana menutupnya kembali. Tak ada ucapan selamat tinggal atau sekadar basa basi, “Sehat selalu, ya? Jangan lupain aku.”Rasa menyesal mulai muncul, menggerogoti isi kepalaku. Semua yang ada di sekitar terasa kosong. Aku hanya bisa menangis, meratapi kepergiannya. Apa yang sudah aku lakukan?Malam itu, tatapan Sae nanar. Aku melihat kesedihan yang mendalam. Andai aku tidak egois, dan lebih memilih menghabiskan malam dengannya, mungkin akan dengan mudah aku melepasnya.Sesak di dada
Enam belasSemua orang menatapku dengan jijik. Mata-mata tajam terus melirikku dengan sinis. Seolah aku adalah sampah salah tempat. Selama perjalanan dari gerbang menuju kelas saja aku sudah dapat bisik-bisik anak yang kulewati. Mereka membicarakanku. Ibu hanya menggeleng pelan ketika kutatap dia dengan pandangan penuh tanda tanya.Setelah dipanggil ke ruang BK dua hari lalu, akhirnya ibu menyanggupi panggilan itu dan datang ke sekolah bersamaku. Jangan tanyakan ayah di mana? Dia bahkan tidak peduli padaku. Katanya jangan panggil lagi dia “ayah” sebelum semua kembali menjadi normal.Tanganku sudah gatal. Jari-jari mengepal erat. Ingin rasanya kuhantam setiap mulut yang mencibirku dari belakang. Napasku naik-turun. Ibu terus saja menggosok punggungku dan menuntun jalan yang bahkan sudah tidak bisa kutapaki dengan benar. Tubuh bergetar. Nafsu dalam diri membara.“Masih jauh?” tanya ibu. Sidang untuk keputusan masalah
Lima belasBeberapa hari sebelumnya.Perasaanku tidak menentu. Malam ini aku bahkan tidak bisa tidur. Ponselku sudah menunjukan pukul sepuluh, tapi mataku sama sekali tidak merasakan kantuk. Biasanya aku sudah tidur sebelum jam sembilan. Sudah ada dua kali aku ke dapur untuk menyeduh susu hangat. Kupikir akan merasa kantuk setelahnya, tapi pada kenyataanya sama saja.Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ada begitu banyak hal yang berputar di kepalaku. Satu yang paling aku rasakan adalah gelisah. Setelah kepulanganku dari liburan beberapa waktu lalu, aku mulai semakin memikirkan semua risiko dari statusku yang bisa dibilang belok ini. Aneh memang karena baru akhir-akhir ini aku memikirkannya. Mungkin ini berkaitan dengan adegan ciuman yang tiba-tiba itu.Setelah menyelimuti tubuhku dengan sarung warna oranye, aku mulai menutup lagi ponsel yang sempat kulirik untuk memeriksa jam. Sudah kuputuskan untuk tidur, apa p
Empat belasMinggu yang cerah untuk memulai semua aktivitas di pagi hari. Musik yang diputar dengan volume tinggi membuat ruangan semi klasik modern itu bising. Seorang lelaki dengan boxer kuning sedang merapikan kamarnya sambil sesekali bernyanyi.Dia berlari ke sana ke mari mengikuti ayunan sapu di tangannya. Belum cukup bersih dengan semua debu yang sudah habis disapukan, dia lantas mengepel ruangan itu agar lebih terlihat kinclong.Buku-buku berserakan di meja belajar, sekan-akan tidak pernah dibereskan dalam waktu yang lama. Banyak sekali kertas yang terbuang percuma dan berceceran di atas kasur.“Sesen!” teriak seorang wanita dari arah bawah kamar. Volume musik yang tinggi membuat Sae tidak bisa mendengar teriakkan dari sang ibu.“Sesen. Arsenio Saelandraa!” Suara itu kembali terdengar. Namun, masih kurang kencang melawan kebisingan yang ada di kamar putra terakhirnya itu.“Ars
Tiga belasArrani [Cewek Jahad] : Adis, kamu harus lihat ini!Seketika saja dadaku seperti dihujam benda tumpul berkecepatan tinggi. Membaca isi pesan yang Arrani kirimkan tadi pagi membuatku dinobatkan sebagai orang pengindap jantungan dalam waktu yang mendadak. Ludahku meluncur begitu saja tanpa dikomando. Darah rasanya mendidih. Aku mulai merasakan udara memanas di sekitarku. Kedua tangan yang masih menggengam ponsel bergetar tak keruan, nyaris membuat benda itu terjatuh ke lantai jika tidak cepat-cepat kugengam dengan erat.Isi pesan itu sangat mengejutkan, berupa foto yang dikirimkan Arrani kepadaku menunjukan dua orang lelaki yang sedang berciuman. Latar yang ada dalam foto itu sama persis dengan keadaan di penginapan Pulau Tidung beberapa waktu lalu. Aku yakin jika yang ada dalam foto itu adalah kami berdua. Tepatnya aku dan Sae sedang memanggang jagung malam itu.Lututku lemas seketika. Rasanya semua tenaga
Dua belasAcara tidak berjalan sesuai rencana. Setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Arrani sempat melarangku untuk pulang karena perayaan ulang tahun Sae masih akan digelar. Namun, karena aku sudah tidak nyaman dengan suasananya, aku memilih tetap pulang meski hanya sendirian.Di luar dugaan, semuanya memilih ikut pulang dan membatalkan acara ulang tahun yang akan digelar tiga hari dua malam itu. Dan, beginilah sekarang keadaanya. Kami sedang berada di mobil Sae dalam kecanggungan yang membelenggu. Hingga rombongan sampai di pelabuhan, tidak ada satu pun yang berbicara. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengan siapa pun.Di belakangku ada empat teman Ahmad. Posisi duduk kami masih sama seperti saat berangkat kemarin. Sae tetap fokus menyetir, yang dengan menyebalkannya masih diganggu oleh Resha.Selama di pulau saat persiapan untuk pulang, aku dan Sae tidak berbicara satu sama lain. Sebisa mungkin
Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik