Enam belas
Semua orang menatapku dengan jijik. Mata-mata tajam terus melirikku dengan sinis. Seolah aku adalah sampah salah tempat. Selama perjalanan dari gerbang menuju kelas saja aku sudah dapat bisik-bisik anak yang kulewati. Mereka membicarakanku. Ibu hanya menggeleng pelan ketika kutatap dia dengan pandangan penuh tanda tanya.
Setelah dipanggil ke ruang BK dua hari lalu, akhirnya ibu menyanggupi panggilan itu dan datang ke sekolah bersamaku. Jangan tanyakan ayah di mana? Dia bahkan tidak peduli padaku. Katanya jangan panggil lagi dia “ayah” sebelum semua kembali menjadi normal.
Tanganku sudah gatal. Jari-jari mengepal erat. Ingin rasanya kuhantam setiap mulut yang mencibirku dari belakang. Napasku naik-turun. Ibu terus saja menggosok punggungku dan menuntun jalan yang bahkan sudah tidak bisa kutapaki dengan benar. Tubuh bergetar. Nafsu dalam diri membara.
“Masih jauh?” tanya ibu. Sidang untuk keputusan masalah
Tujuh belasJika tahu itu adalah malam terakhir aku bisa melihatnya, mungkin perdebatan bodoh itu takkan pernah terjadi. Adu mulut yang menyebabkan suasana malah menjadi semakin runyam. Saat aku sadari, semuanya sudah berakhir. Sae telah pindah ke luar pulau, meninggalkanku sendirian, bahkan dengan luka yang tak sempat terobati.Kepergiannya menambah lubang yang tadinya sudah menganga dan merobek hati itu menjadi semakin lebar, tanpa tahu bagaimana menutupnya kembali. Tak ada ucapan selamat tinggal atau sekadar basa basi, “Sehat selalu, ya? Jangan lupain aku.”Rasa menyesal mulai muncul, menggerogoti isi kepalaku. Semua yang ada di sekitar terasa kosong. Aku hanya bisa menangis, meratapi kepergiannya. Apa yang sudah aku lakukan?Malam itu, tatapan Sae nanar. Aku melihat kesedihan yang mendalam. Andai aku tidak egois, dan lebih memilih menghabiskan malam dengannya, mungkin akan dengan mudah aku melepasnya.Sesak di dada
Tidak siapa pun tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Satu minggu, satu bulan, satu tahun, atau bahkan satu detik kemudian adalah misteri.Begitu juga dengan apa yang terjadi padaku. Aku tak pernah tahu bahwa aku akan mengenalmu. Tak pernah menyangka aku akan masuk ke dalam kehidupanmu. Tidak pernah sekali pun terpikirkan bahwa pada akhirnya, kau adalah milikku.**Satu.Aku mengerjap dua kali. Mulutku membulat membentuk huruf O besar. Melongo! Aku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Ini benar-benar gawat! Ini bahaya.Ada dua gadis berhijab yang sedang berdiri di depanku. Salah satunya memegang sebuah kertas formulir. Awalnya aku tak begitu tertarik untuk mengajak mereka mengobrol atau sekadar menyapa. Namun, ternyata, kedatangan mereka padaku lebih daripada itu, bahkan sukses memaksaku untuk mengutarakan semuanya, lebih dari
Dua.Hari berikutnya, kami sepakat untuk bertemu di sebuah kafe hits di kotaku karena hari ini aku sudah tidak ada lagi mata pelajaran yang harus diremedial. Jadi, aku memutuskan menggunakan waktu kosong ini untuk membuat naskah pidato.Tadi pagi, aku sempat mengirim LINE kepada Sae. Aku bilang, jika dia tidak sibuk, sempatkan diri untuk mampir dan membantuku mencari ide untuk pidatonya. Tak lama, dia membalas pesanku dan bilang akan datang jika waktunya memungkinkan. Makanya, setelah dirasa tak ada lagi mata pelajaran yang akan aku remedial, bergegaslah aku ke tempat ini dengan motor scoopy Doraemon-ku.Tempatnya menyejukan. Awalnya aku tidak berniat datang ke sini, hanya saja, tempat inilah yang paling dekat dengan sekolahku. Menurutku, kafe ini masih bisa dijangkau oleh anak-anak sekolah yang memiliki budget kecil untuk jajan.Saat aku sampai, deretan kursi minimalis modern terpampang rapi menyambutku. Warna hitam men
Tiga.Dua hari ternyata tidak membuatku benar-benar bisa menghafal pidato ini dengan benar. Beberapa kali aku lupa isi yang sedang kuhafalkan. Ini terlalu rumit. Namun, Sae terus saja memberiku semangat. Dua hari ini, entah itu pagi, siang, sore atau malam, dia akan mengirim stiker berupa beruang cokelat yang menggebu-gebu dibakar api. Itu adalah tanda seseorang yang sedang bersemangat.Sae percaya bahwa aku bisa menyelesaikan semua ini dengan baik. Jujur saja, semua semangat yang Sae berikan membuatku semakin termotivasi. Meskipun itu tidak membantuku memperlancar semua naskah yang sedang kuhafalkan.Hari ini, aku sudah duduk di kantin. Beberapa menit lagi, semua orang yang ikut lomba sudah harus berkumpul di belakang panggung, di dalam aula. Dua sampai tiga kali aku mengulang naskah yang sudah hampir semua kuhafal itu agar tidak lupa sambil memperagakan gerakan yang ada dalam naskah.Dentum dari langkah kaki murid yang berlalu-lalang di
Empat.Dua hari ini aku tidak keluar rumah. Tidak ada satu pun media sosial yang aku buka. Data internet dalam ponselku juga kumatikan. Setelah perlombaan itu, aku benar-benar mengurung diri di kamar sendirian. Bukannya menghindari ejekan orang-orang, hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukan wajahku pada mereka yang sudah percaya kepadaku, terlebih kepada Sae.Setelah perlombaan hari itu, aku yang sudah dinyatakan gagal, kemudian meninggalkan panggung buru-buru. Aku berlari ke luar aula untuk menghindari Sae yang sudah pasti akan menyusulku ke belakang panggung.Rasa marah bergejolak di dalam diri.Saat itu, ada dua hal yang aku rasakan, aku marah kepadanya karena dia tidak bisa datang untuk melihat pidato yang sudah kupersiapkan untuknya, dan hal kedua adalah aku merasa malu untuk menunjukan wajahku kepadanya.Setelah melewati pintu aula, aku langsung saja berlari menuju parkiran, mencari di mana posisi motork
Lima.Sae menggunakan kemeja planel warna hijau dan kaus Doraemon warna hitam milikku. Celana nepada krem miliknya masih dia pakai. Setelah mandi dan berpamitan pada Ibu, akhirnya kami berangkat untuk jalan-jalan ke luar. Sae tidak bilang dia akan membawaku ke mana, dan itu selalu menjadi kejutan yang dia berikan.Dia sering memberiku hal-hal kecil. Namun, manis. Seperti membawakanku minuman saat istirahat sekolah, atau membelikanku camilan dengan bungkus bergambar Doraemon.Aku masih berdiri di depan Sae yang anteng memasang helm. Dia membawa motorku. Katanya dia akan menitipkan motornya di rumahku. Aku menunggunya sampai selesai memasang helm terlebih dahulu, baru kemudian aku akan naik ke belakang motor. Niatnya, sih seperti itu. Namun, ketika Sae melihatku masih berdiri memegangi helm Doraemon milikku, dia kemudian menarik benda itu dari tanganku.“Sini. Enggak bisa pakai helm, ya?” ucapnya, kemudian memasangkan helm itu k
Enam.Seminggu setelah perlombaan antarkelas diadakan, aku mulai kembali lagi ke sekolah. Tentu saja jika bukan karena adanya pembagian buku tahunan sekolah aku tidak akan datang. Ada banyak faktor yang membuatku enggan bertemu dengan teman sekelasku. Ya, mungkin salah satunya tentang hukuman yang Arrani katakan waktu itu.Aku pengecut, ya? Haha! Memang.Sebelum memasuki gerbang aku sempat berdiri sejenak, memerhatikan semua murid yang datang. Di antara murid yang berbondong-bondong memasuki gapura warna abu-abu, aku bisa melihat seorang siswi berhijab cokelat sedang berkacak pinggang di sudut jalan.Dari jarak sejauh ini pun aku bisa melihat senyum iblis yang Arrani pancarkan. Ah, sial! Niat awalku berdiri di gapura ini bukan untuk menemuinya. Aku hanya ingin bertemu dengan Sae dan masuk kelas bersamaan.Melihat gadis itu mulai melenggang dengan entakkan kaki yang berdentum, membuatku merinding sejadinya.Aku menelan ludah
TujuhDingin dari embusan angin malam cukup untuk membuatku menggigil. Selimut warna biru yang melahap habis tubuhku masih dirasa kurang untuk bisa menghilangkan efek dingin malam ini. Gigiku gemertak kencang. Sebenarnya tidak aneh, sih saat aku terus menggigil karena aku membuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Dari sini aku duduk dan diam memerhatikan milyaran bintang di langit.Malam ini langit sedang dalam kondisi cerahnya. Aku juga tak punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terlebih setelah pembagian buku tahunan sekolah. Tugas-tugas sekolah pun sudah kuselesaikan seminggu yang lalu.Sudah sekitar dua jam aku duduk termangu di balik jendela. Tatapanku lurus ke langit. Sejak tadi maghrib aku tidak keluar kamar, toh tidak akan ada siapa pun yang menemaniku di ruang tamu sana. Ibu dan Ayah belum juga pulang.Memiliki orangtua yang sibuk mengurusi karier itu tidaklah menyenangkan. Waktu luang untuk kami kumpul sa
Tujuh belasJika tahu itu adalah malam terakhir aku bisa melihatnya, mungkin perdebatan bodoh itu takkan pernah terjadi. Adu mulut yang menyebabkan suasana malah menjadi semakin runyam. Saat aku sadari, semuanya sudah berakhir. Sae telah pindah ke luar pulau, meninggalkanku sendirian, bahkan dengan luka yang tak sempat terobati.Kepergiannya menambah lubang yang tadinya sudah menganga dan merobek hati itu menjadi semakin lebar, tanpa tahu bagaimana menutupnya kembali. Tak ada ucapan selamat tinggal atau sekadar basa basi, “Sehat selalu, ya? Jangan lupain aku.”Rasa menyesal mulai muncul, menggerogoti isi kepalaku. Semua yang ada di sekitar terasa kosong. Aku hanya bisa menangis, meratapi kepergiannya. Apa yang sudah aku lakukan?Malam itu, tatapan Sae nanar. Aku melihat kesedihan yang mendalam. Andai aku tidak egois, dan lebih memilih menghabiskan malam dengannya, mungkin akan dengan mudah aku melepasnya.Sesak di dada
Enam belasSemua orang menatapku dengan jijik. Mata-mata tajam terus melirikku dengan sinis. Seolah aku adalah sampah salah tempat. Selama perjalanan dari gerbang menuju kelas saja aku sudah dapat bisik-bisik anak yang kulewati. Mereka membicarakanku. Ibu hanya menggeleng pelan ketika kutatap dia dengan pandangan penuh tanda tanya.Setelah dipanggil ke ruang BK dua hari lalu, akhirnya ibu menyanggupi panggilan itu dan datang ke sekolah bersamaku. Jangan tanyakan ayah di mana? Dia bahkan tidak peduli padaku. Katanya jangan panggil lagi dia “ayah” sebelum semua kembali menjadi normal.Tanganku sudah gatal. Jari-jari mengepal erat. Ingin rasanya kuhantam setiap mulut yang mencibirku dari belakang. Napasku naik-turun. Ibu terus saja menggosok punggungku dan menuntun jalan yang bahkan sudah tidak bisa kutapaki dengan benar. Tubuh bergetar. Nafsu dalam diri membara.“Masih jauh?” tanya ibu. Sidang untuk keputusan masalah
Lima belasBeberapa hari sebelumnya.Perasaanku tidak menentu. Malam ini aku bahkan tidak bisa tidur. Ponselku sudah menunjukan pukul sepuluh, tapi mataku sama sekali tidak merasakan kantuk. Biasanya aku sudah tidur sebelum jam sembilan. Sudah ada dua kali aku ke dapur untuk menyeduh susu hangat. Kupikir akan merasa kantuk setelahnya, tapi pada kenyataanya sama saja.Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ada begitu banyak hal yang berputar di kepalaku. Satu yang paling aku rasakan adalah gelisah. Setelah kepulanganku dari liburan beberapa waktu lalu, aku mulai semakin memikirkan semua risiko dari statusku yang bisa dibilang belok ini. Aneh memang karena baru akhir-akhir ini aku memikirkannya. Mungkin ini berkaitan dengan adegan ciuman yang tiba-tiba itu.Setelah menyelimuti tubuhku dengan sarung warna oranye, aku mulai menutup lagi ponsel yang sempat kulirik untuk memeriksa jam. Sudah kuputuskan untuk tidur, apa p
Empat belasMinggu yang cerah untuk memulai semua aktivitas di pagi hari. Musik yang diputar dengan volume tinggi membuat ruangan semi klasik modern itu bising. Seorang lelaki dengan boxer kuning sedang merapikan kamarnya sambil sesekali bernyanyi.Dia berlari ke sana ke mari mengikuti ayunan sapu di tangannya. Belum cukup bersih dengan semua debu yang sudah habis disapukan, dia lantas mengepel ruangan itu agar lebih terlihat kinclong.Buku-buku berserakan di meja belajar, sekan-akan tidak pernah dibereskan dalam waktu yang lama. Banyak sekali kertas yang terbuang percuma dan berceceran di atas kasur.“Sesen!” teriak seorang wanita dari arah bawah kamar. Volume musik yang tinggi membuat Sae tidak bisa mendengar teriakkan dari sang ibu.“Sesen. Arsenio Saelandraa!” Suara itu kembali terdengar. Namun, masih kurang kencang melawan kebisingan yang ada di kamar putra terakhirnya itu.“Ars
Tiga belasArrani [Cewek Jahad] : Adis, kamu harus lihat ini!Seketika saja dadaku seperti dihujam benda tumpul berkecepatan tinggi. Membaca isi pesan yang Arrani kirimkan tadi pagi membuatku dinobatkan sebagai orang pengindap jantungan dalam waktu yang mendadak. Ludahku meluncur begitu saja tanpa dikomando. Darah rasanya mendidih. Aku mulai merasakan udara memanas di sekitarku. Kedua tangan yang masih menggengam ponsel bergetar tak keruan, nyaris membuat benda itu terjatuh ke lantai jika tidak cepat-cepat kugengam dengan erat.Isi pesan itu sangat mengejutkan, berupa foto yang dikirimkan Arrani kepadaku menunjukan dua orang lelaki yang sedang berciuman. Latar yang ada dalam foto itu sama persis dengan keadaan di penginapan Pulau Tidung beberapa waktu lalu. Aku yakin jika yang ada dalam foto itu adalah kami berdua. Tepatnya aku dan Sae sedang memanggang jagung malam itu.Lututku lemas seketika. Rasanya semua tenaga
Dua belasAcara tidak berjalan sesuai rencana. Setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Arrani sempat melarangku untuk pulang karena perayaan ulang tahun Sae masih akan digelar. Namun, karena aku sudah tidak nyaman dengan suasananya, aku memilih tetap pulang meski hanya sendirian.Di luar dugaan, semuanya memilih ikut pulang dan membatalkan acara ulang tahun yang akan digelar tiga hari dua malam itu. Dan, beginilah sekarang keadaanya. Kami sedang berada di mobil Sae dalam kecanggungan yang membelenggu. Hingga rombongan sampai di pelabuhan, tidak ada satu pun yang berbicara. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengan siapa pun.Di belakangku ada empat teman Ahmad. Posisi duduk kami masih sama seperti saat berangkat kemarin. Sae tetap fokus menyetir, yang dengan menyebalkannya masih diganggu oleh Resha.Selama di pulau saat persiapan untuk pulang, aku dan Sae tidak berbicara satu sama lain. Sebisa mungkin
Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik