Enam.
Seminggu setelah perlombaan antarkelas diadakan, aku mulai kembali lagi ke sekolah. Tentu saja jika bukan karena adanya pembagian buku tahunan sekolah aku tidak akan datang. Ada banyak faktor yang membuatku enggan bertemu dengan teman sekelasku. Ya, mungkin salah satunya tentang hukuman yang Arrani katakan waktu itu.
Aku pengecut, ya? Haha! Memang.
Sebelum memasuki gerbang aku sempat berdiri sejenak, memerhatikan semua murid yang datang. Di antara murid yang berbondong-bondong memasuki gapura warna abu-abu, aku bisa melihat seorang siswi berhijab cokelat sedang berkacak pinggang di sudut jalan.
Dari jarak sejauh ini pun aku bisa melihat senyum iblis yang Arrani pancarkan. Ah, sial! Niat awalku berdiri di gapura ini bukan untuk menemuinya. Aku hanya ingin bertemu dengan Sae dan masuk kelas bersamaan.
Melihat gadis itu mulai melenggang dengan entakkan kaki yang berdentum, membuatku merinding sejadinya.
Aku menelan ludah secepat mungkin, kemudian mulai berbalik memasuki gapura bertuliskan nama sekolahku. Tepat dua langkah sebelum melewati pos satpam, seseorang menarikku. Tubuhku terseret bergitu saja ke sebelah kanan, dengan tanganku yang sudah tertarik ke depan.
Karena tidak tahu apa yang sedang terjadi, aku hanya merespons sealami mungkin, mengikuti ke mana seseorang yang tengah menarikku itu pergi. Silau matahari yang merambat dari ujung atap kelas memantul sampai ke lensa mataku, membuatku tak bisa melihat dengan jelas siapa orang yang sedang menarikku.
Dengan rasa penasaran yang mulai menjalar, aku kemudian berhenti berlari, lantas menarik tanganku kembali.
“Setop!” teriakku, kemudian menaruh tangan kiri di atas kening, menghalangi sinar matahari pagi dari mataku.
“Bleee ....”
Orang itu menjulurkan lidahnya sambil menarik kedua sisi bibirnya ke kanan dan ke kiri dengan telunjuk. Aku yang baru saja bisa melihat dengan normal mendapati sosok pemuda yang sedang melet menjulurkan lidahnya.
“Aih, Sae!” ucapku, kemudian mencoba meninju pemuda itu dengan tangan kanan. Tampaknya dia tahu apa yang akan aku lakukan, lalu dia menghindar dengan cepat sambil memasukan lagi lidahnya.
“Main tarik aja. Kamu pikir ini jemuran?”
“Lagian bengong di depan gapura kayak lihat hantu pagi-pagi.”
Bibirnya maju sambil kedua alis yang dikerutkan. Mata-matanya terpejam. Aku tahu dia mengejekku.
“Oh, ya, aku tadi lihat Arrani di jalan. Dia---”
Aku tah menuntaskan ucapanku saat kulihat tangan Sae kembali terangkat dan menjulurkannya padaku.
“Arrani,” katanya sambil menarikku. Dia tertawa sebelum membalikan badan dan membawaku berlari lagi. Kami berlari di antara anak-anak yang sedang berjalan di depan bangunan dua tingkat. Guguran daun pohon lengkeng yang tumbuh di taman samping jalan membuatku merasa sedang berada dalam novel-novel romansa remaja.
Seseorang menarikku untuk terus berlari sambil tertawa, daun-daun jatuh tertiup angin, suara anak-anak yang tertawa, semua yang sedang terjadi itu terasa menjadi lambat. Satu-satunya hal yang kurasakan sedang berjalan sangat cepat adalah detak jantungku. Degubnya setiap detik semakin naik dan makin naik.
“Aayoo! Kiiita keee kelas!” teriak Sae. Aku benar-benar mendengar pemuda itu berteriak mendayu-dayu.
Serius! Ini terasa seperti dalam drama-drama Korea. Dia menoleh dengan sangat lambat, kemudian tersenyum padaku.
“Aaaaadis, iiituuuu Arraaaaaani!”
Aku melongo di tempat sambil menatapi Sae yang sedang memasang ekspresi aneh sambil terus berusaha menyampaikan sesuatu padaku. Aku yang gemas dengan ucapannya, kemudian berusaha untuk menjawab, tapi bibirku terasa kebas. Aku merasa tidak bisa menggerakannya.
“Aaaaayo!”
Ini sungguh nyata! Sae dan aku berlari dengan gerak lambat. Tangan yang masih digenggam oleh Sae tertarik sambil melangkah menyusuri jalan di antara pepohonan.
Ketika aku ingin mengutarakan yang sedang berputar di otak, tiba-tiba saja kakiku tersandung sesuatu, membuat tubuhku oleng begitu saja. Aku melambung dengan sangat lambat, sambil memasang wajah terkejut. Kulihat Sae sama terkejutnya di bawah. Anehnya, tubuhku yang terpelanting ke udara terasa sangat pelan untuk kembali jatuh ke tanah.
Sae makin melongo. Mulutnya membulat sempurna.
Arah jatuhku berbalik seketika. Ini terasa aneh. Aku yang harusnya jatuh ke sebelah kanan, tepat di samping bangku besi, malah tiba-tiba terarah ke hadapan Sae yang sedang membolongkan mulutnya.
Kedua tanganku bergerak bagai sedang berenang dalam air. Jatuhku makin melambat, kemudian dalam hitungan entah keberapa, jarak antara bibirku dengan bibir Sae hanya sekitar beberapa sentimeter.
Mata kami sama-sama membulat. Aku tidak bisa menolak adegan jatuh ini. Sae makin memelotot. Matanya bagai akan loncat saja dari tempatnya. Ketika jarak kami semakin dekat dan sangat dekat hingga benar-benar sangat dekat, aku siap mencium Sae.
AAH!
Hampir menciumnya. Mataku terpejam sambil mulai memajukan bibir ke depan. Aku tahu adegan ciuman ini akan berlangsung lama akibat efek lambat yang tidak kuketahui apa penyebabnya.
Sae mulai mengangkat tangannya untuk menolak sambil mengucapkan, “Tidak!” Dengan adegan yang super duper mega jumbo hyper lambat.
Otakku berpacu cepat. Di sana sekarang hanya tertulis satu adegan, yaitu ciuman.
Dag-dig-dug jantungku ketika bibir kami hanya tinggal lima senti saja, dan ketika mulai mendekat aku semakin terpejam dan merasa adegan itu akan segera terjadi. Sampai akhirnya ....
“Woi! Ngapain monyong-monyong?”
Aku terhenti dari adegan itu, kemudian membuka mata. Betapa terkejutnya aku ketika tahu orang yang ada di hadapanku adalah Arrani. Gadis itu menaruh kedua tangannya di dada sambil memasang wajah jijik padaku.
“Main nyosor aja! Gila.”
“Eh?” Aku mundur cepat-cepat, lantas menutup mulutku dengan satu tangan. Mendadak saja rasa maluku terpicu, merambat naik dari kaki sampai memelesat ke otak. Mulutku terkatup, pipi-pipi chubby-ku semakin kembung menahan napas.
“Jorok. Mesum. Otak cabul!” umpat Arrani sambil masih dalam posisi sama. Wajahku panas. Aku sangat yakin jika wajahku merah padam. Semua organ tubuhku matikutu.
“Tadi itu hampir aja!” teriak seseorang sambil tertawa entah dari mana. Semua rasa maluku sirna begitu saja ketika mendengar suara yang tidak asing di telingaku. Dengan tanpa membuang waktu, aku menoleh ke asal suara.
“Sae!” teriakku ketika melihat pemuda itu berjongkok di atas bangku besi di bawah pohon lengkeng. Dia masih tertawa.
“Kamu, kok ....”
Aku bingung di tempat. Jelas-jelas yang baru saja terjadi adalah Sae menarik tanganku untuk menjauh dari gapura, menghindari Arrani yang sedang berjalan ke arahku. Aku juga ingat ketika Sae kembali menjulurkan tangannya padaku untuk kembali berlari.
Namun, kenapa tiba-tiba berubah dan semua jadi kayak begini?
“Ngapain kamu di sini?” tanyaku pada Arrani. Dia menurunkan kedua tangannya di depan dada, kemudian mengembuskan napas.
“Harusnya aku yang tanya begitu. Ngapain kamu tarik tangan aku dan monyong-monyong bikin jijik kayak tadi?” Gadis berhijab cokelat itu menggeleng. Dia memakai seragam pramuka.
Aku melongo.
“Tadi aku lihat kamu di gapura, Adis. Jangan bilang kamu mau lari dari aku, ya! Enak aja. Kamu harus kena hukuman karena kalah lomba pidato.”
“Eh! Enggak adil, dong! Aku enggak mau dihukum. Lagian aku enggak pernah sepakat sama usul kamu.” Aku mendengus sebal, menaruh satu tangan di mulut, sambil masih merasa malu dengan kejadian tak terduga tadi.
“Ngapain naik panggung kalau enggak setuju? Sok-sok’an banget!”
Arrani menjitak kepalaku. Aku mengaduh kesakitan. Gadis itu dengan mudah menggapai bagian atas kepalaku karena tubuhnya lebih tinggi dari tubuhku. Aku pikir dia sepantaran dengan Sae yang memiliki tinggi tubuh 173cm. Atau mungkin tidak! Ah intinya dia lebih tinggi dariku.
“Itu karena ....“ Aku menoleh pada Sae yang masih jongkok di atas bangku besi. Dia sekarang sedang menatap ke arah kami. Aku terdiam sejenak. Arrani masih menungguku, sebentar kemudian aku menoleh lagi pada Arrani. “Aku mau nyoba aja,” kilahku berbohong.
Aku tidak bisa bilang jika semua yang kulakukan itu demi Sae. Tidak mungkin kukatakan.
“Intinya kamu harus tetap dihukum. Ayo, ikut aku. Anak-anak sudah siapin hukumannya,” kata Arrani sambil menarik tangan kananku, lantas melenggang mendahuluiku. Ekor mataku menoleh pada Sae, dia mengangguk lantas mulai berdiri dan berjalan mengikutiku.
Tindakan itu membuatku merasa lebih baik. Dengan sangat yakin aku kembali menatap ke depan, mengikuti Arrani untuk menemui teman-temanku yang sudah siap memberikan hukuman.
**
Selama perjalanan Sae memberitahuku tentang apa yang sudah terjadi sebelumnya. Apa yang mebuatku sampai-sampai berdiri di depan Arrani. Katanya ketika aku sampai di depan gapura, Sae memang menarik tanganku untuk masuk ke kelas. Dia juga tidak tahu jika aku sedang dikejar oleh Arrani.
Di depan taman aku tiba-tiba terdiam, dan Sae menyuruhku untuk terus berlari. Katanya ketika dia bilang jika semua anak sudah menunggu di kelas untuk menghukumku, aku merespons dengan lebai. Entah itu benar atau tidak, aku berlari kembali ke arah gapura. Namun, kata Sae ada Arrani yang berdiri di belakangku, dan akhirnya aku terdiam tersentak. Ketika ingin kembali berbalik, kakiku menendang sesuatu.
Sae bilang, Arranilah yang menarik tanganku supaya aku tidak jatuh menghantam tanah, tapi justru apa yang aku rasakan malah berbeda dengan aslinya. Bagiku, semua yang terjadi tadi terasa benar-benar nyata.
Ah! Aku teringat tentang ciuman! Aku pikir akan benar-benar terjadi tadi.
“Kamu enggak bawa motor?” tanya Sae. Kami bertiga masih berjalan menuju koridor sekolah. Arrani berada di sampingku, berfokus menatap jalanan di depannya.
“Enggak. Motorku dibawa Ibu. Tadi aku nebeng.”
“Mau pulang bareng?” tanya Sae padaku. Aku dan Arrani serempak menoleh kepadanya. Sejenak keadaan hening, hanya menyisakan dentuman kaki di tanah yang kami pijaki. Arrani mencolek pinggangku jail.
“Acieee.”
“Apa, sih?” tanyaku ketus, masih marah kepadanya karena adegan taadi.
Aku menepis tangan Arrani, kemudian kembali fokus ke depan sambil mencoba menahan bibir yang mulai merekah tersenyum. Wajahku kembali memerah.
Setelah jauh berjalan, kami berbelok ke sebelah kiri dan lurus menyusuri koridor yang dipasangi kolom beton per dua meter setengah sampai melewati lorong bawah tangga. Berjalan beberapa langkah lagi, kemudian kami sampai di depan kelas.
Ah, kupikir aku belum menyebutkan di kelas mana aku belajar, ya, kan?
Aku, Sae dan Arrani berada di kelas yang sama, yaitu kelas IPA 2. Dulunya Arrani adalah anak IPS, tapi entah karena hal apa dia menjadi bagian dari anak kelas IPA, dan Sae selalu menolak ketika guru-guru menempatkannya di kelas IPA 1.
Sebenarnya Arrani adalah gadis yang baik, hanya saja terlalu tegas yang membuat dirinya jadi sedikit kaku.
Sae membuka pintu lebih dulu dan diikuti olehku dari belakang.
“Sang juara dateng, tuh,” celetuk salah satu murid di bagian belakang setelah tubuhku sukses berada di dalam kelas. Aku tidak tahu siapa yang mengatakan ucapan sarkas itu padaku. Tiga orang lelaki bertubuh tinggi datang begitu saja menghalangi pandanganku pada sosok yang bicara tadi.
“Seminggu menghilang kayak Avatar. Ke mana aja kali ini anak?” kata lelaki berrambut cepak, salah satu dari tiga lelaki bertubuh tinggi tadi. Namanya Yusuf, dia anak OSIS. Yusuf menepuk pundakku, lantas berjalan melewatiku untuk keluar kelas. Tersisa dua lelaki bertubuh tinggi yang berdiri di depanku.
“Nungguin lu datang lama. Gua sampai malas ke sekolah. Padahal kalau lihat lu dihukum kayaknya seru,” celetuk orang yang tadi bersarkas ria. Kali ini aku bisa melihat orangnya. Dia menyelinap di antara orang-orang yang berdiri mengelilingiku.
Ah, harusnya aku sadar siapa dia.
“Eh, Centong, buruan masuk, gua pengin lihat elu dihukum,” sambungnya. Lelaki itu kini sudah sepenuhnya keluar dari kerumunan. Tubuh cebol dan cungkringnya terlihat mencolok dari semua orang. Rambut ijuk acak-acakan mirip jambul udangnya menjadikan ciri khas dia berpenampilan.
“Namaku Cetta,” tukasku cepat.
“Gua lebih suka Centong. Udah, tuh barang-barangnya, buruan pakai!”
Dia menyarankan. Namanya Ahmad. Dia lelaki bertubuh kecil, tapi pemberani. Tingginya tak lebih dari pundakku. Bisa dibayangkan, kan jika aku yang pendek ini masih ada yang lebih pendek.
Ahmad adalah ketua dari geng di kelas kami. Anggotanya ada lima orang. Dia adalah yang paling pendek dari semua anggota yang ada dalam geng tersebut. Aku juga tidak tahu, kenapa empat teman lainnya bisa menjadi penurut dan mau-mau saja diketuai oleh si cebol itu.
“Nanti, lah! Lagian, kan pembagian buku tahunannya belum dimulai. Aku pakai habis acara aja.”
Aku melenggang meninggalkan Ahmad yang masih berdiri. Dua teman segengnya masih berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dua lagi entah di mana.
“Iya, Mad nanti saja. Lagian sebentar lagi masuk.” Sae di belakang melangkah mengikuti. Aku berhenti, lalu menoleh ke belakang. Kulihat Sae menepuk pundak si Cebol, kemudian mengelus kepalanya.
Sae itu bintang kelas! Dia banyak dihormati di sini. Si Cebol tidak mungkin berani melawan pada Sae. Selain itu, dia adalah dewa penyelamatnya kala ujian. Kalau sampai macam-macam, kan bisa habis si Cebol tidak bisa mengisi soal.
“Ngumpet di ketek Sae lu. Huh!” Si cebol Ahmad kemudian melengos kembali ke kursinya. Aku juga melihat Arrani datang dengan setumpuk buku tahunan di tangannya. Oh, ya, tadi setelah kami memutuskan masuk kelas, Arrani pamit izin untuk ke ruang guru. Katanya dia akan membantu wali kelas membawakan buku tahunan.
Setelah Arrani masuk, seorang wanita mengikuti dari belakang. Rambut pendek tak sampai bahu menjadi mahkota wanita yang baru saja masuk itu. Kacamata bening berbentuk kotak tertaut indah di pangkal hidungnya.
Dia melenggang manja menuju tempat duduk, lantas tersenyum pada kami. Namanya Ibu Delisa.
Tak banyak yang Bu Delis sampaikan pada kami setelah dua minggu tidak bertemu. Entahlah, dia tidak merasa kangen pada anak muridnya atau dia sedang buru-buru ingin segera berlibur, tapi semua itu jelas membuat acara pembagian buku tahunan ini menjadi lebih singkat.
Bu Delis hanya menyampaikan beberapa nasihat dan bilang agar kami semakin kompak. Sisa kami di sekolah hanya tinggal satu tahun setengah. Terlebih kebersamaan kami dengannya. Wali kelas hanya diperbolehkan mengajar dan menanggung beban tanggung jawab mengurusi satu kelas hanya sekali dalam setahun. Itu artinya, enam bulan sudah kami habiskan bersama, dan tersisa enam bulan lagi sampai kami benar-benar berpisah dengan Bu Delis.
Setelah semua yang dia sampaikan selesai, akhirnya buku tahunan itu dibagikan. Seperti biasanya, pembagian buku diawali dengan si Bintang Kelas. Maksudku, buku tahunan milik seseorang yang mendapatkan peringkat pertama akan lebih dulu disebutkan. Tentunya nama Arsenio Saelandra Bahari lah yang pertama Bu Delis sebut.
Senyumku merekah lebar ketika Sae berjalan ke depan. Dia selalu menjadi yang pertama dan terdepan di antara kami. Dia sempurna.
Buku kedua kemudian dijemput oleh Arrani, dan ketika diambil oleh Awal. Lelaki pendiam itu selalu menempatkan dirinya di posisi ketiga.
Sae, Arrani, Awal, selalu begitu siklusnya. Dulu, sih posisi dua adalah Awal, sebelum Arrani datang ke IPA, tapi setelah dia ada di sini, posisi awal digeser. Lalu, bagaimana denganku? Ah! Jangan tanya aku peringkat ke berapa? Aku tidak akan membanggakan posisi ini.
“Berapa?” Tiba-tiba saja Sae berada di sampingku setelah semua rapot dibagikan. Dia memegangi buku tahunannya dengan tangan kanan.
“Ehmm.”
Aku mengerutkan dahi, memajukan bibir. Aku malu.
“Aku ....”
“Enggak apa-apa,” katanya, kemudian mencoba berbalik meninggalkanku.
“Delapan belas,” jawabku.
**
Sebuah kalung kardus betuliskan, “Juara Pertama Lomba Pidato” tergantung di leherku; jelas ini sebuah ejekan. Tas berbahan karung berisi buku dan bolpoin juga aku pakai. Ahmad memaksaku untuk menggunakan properti yang sudah disiapkan untuk hukuman ini.
Awalnya aku tidak paham dengan tujuan gila yang Ahmad rencanakan, tapi setelah Arrani bilang aku harus berkeliling sekolah mencari tanda tangan semua anak dan berfoto, akhirnya aku tahu maksud gilanya.
Ahmad berjongkok di kursi miliknya. Empat temannya yang tak mau kusebutkan satu per satu ikut duduk di meja samping kanan dan kiri Ahmad. Kata Ahmad sambil memakan gery chocolatos, aku harus masuk ke kelas IPA dari satu sampai lima untuk minta tanda tangan dan berfoto bareng.
Aku sempat protes karena sebelum memutuskan harus berkeliling kelas IPA, si cebol ini menyuruhku mencari tanda tangan ke semua anak yang ada di sekolah.
Gila, enggak tuh?
Namun, Sae dan Arrani bilang, cukup di IPA satu sampai lima angkatan dua saja yang aku mintai tanda tangan, dan akhirnya si Cebol itu setuju. Lagipula, semua anak pasti sudah mulai pulang meninggalkan sekolah.
“Tenang, aku bantu,” bisik Sae sambil menaruh kedua tangan di dada. Kali ini Sae memakai seragam pramuka yang dibalut oleh jaket baseball biru dongkernya.
“Dibatas sampai jam berapa?” tanyaku memastikan. Lagipula, orang sebanyak itu mau sampai kapan aku mengumpulkan tanda tangan?
“Sampai jam tiga sore. Kalau sampai jam tiga masih enggak bisa, untuk lolos dari hukuman lu harus berhasil dapat seenggaknya lima puluh tanda tangan dan lima puluh foto orang yang lu mintain tanda tangan.”
“Itu masih wajar.” Sae bergumam di pihakku.
“Bentar! Aku agak aneh, sih sama hukumannya.” Aku menaruh satu tangan di dagu. Ahmad diam mendengarkan.
“Apa?” tanyanya kemudian.
“Buat apa coba tanda tangan sama fotonya?” lanjutku.
“Terserah gue, dong. Lagian yang lain juga setuju.” Ahmad menghabiskan cokelatnya dalam satu kali suapan.
“Aku enggak setuju. Itu enggak nyambung.”
Aku kemudian mulai kembali membuka tas yang tadi si Cebol berikan, kemudian menaruhnya di pangkuan Ahmad. Dia membuang bungkus cokelat asal, kemudian melongo memegangi barang-barang yang kukembalikan.
“Hukuman lain, deh,” saranku kemudian duduk di kursi sambil menopang dagu.
“Itu enggak sulit, Adis. Lagian ini cuma hiburan.” Arrani menjelaskan.
“Aku enggak mau melakukan hal yang tujuannya enggak jelas. Lagian, tandatangannya buat apaan?” protesku. Sae diam. Arrani menatapku.
Arrani terlihat kecewa dengan keputusanku. Dia kemudian berpikir sejenak, setelahnya berlari ke arah Ahmad dan membisikan sesuatu. Aku melihat raut wajah Arrani tersipu sambil senyum-senyum tidak keruan.
Bibir si Cebol merekah. Aku yang tidak enak dengan hal itu merasakan sesuatu yang buruk akan segera menimpaku. Aku menoleh pada Sae, pemuda itu masih anteng menatap Arrani dan Ahmad.
“Oke, gini aja.”
Ahmad berdiri dari duduknya, kemudian berjalan ke arahku. Kulihat Yusup baru datang dari arah pintu, hal itu membuat Ahmad terhenti sejenak, dan kembali melangkah. “Enggak apa-apa kalau lu enggak mau nyari tanda tangan. Oke, its ok. Gua maklum. Tapi, hukuman kali ini harus lu jalanin. Gua ancam lu pakai pulpel,” katanya sambil menodongkan sebuah bolpoin warna biru yang baru saja dicabut dari saku pramukanya.
“A-apa?” tanyaku gugup.
“Lo harus ....” Si Cebol itu mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik, “nembak si Sae di depan kita-kita!” teriaknya kemudian setelah sebelumnya berbisik sangat pelan.
Sontak saja sesuatu terasa menghantam dadaku. Rasa kagetku terjadi begitu saja saat si Cebol itu mengucapkan hukuman apa yang harus aku jalankan. Aku mematung di tempat. Darahku terasa berhenti mengalir.
Semua yang ada di sekitarku terasa berhenti. Satu-satunya hal yang aku rasakan dan terdengar adalah teriakan-teriakan semua anak yanga ada di kelas. Sorak-sorai bergema keseluruh ruangan.
“Ciee.”
“Aheuy, romantis. Cie.”
Semua berteriak seperti itu.
Aku tersadar beberapa saat kemudian, lalu menoleh pada Sae. Pemuda itu hanya diam sambil menggeleng menatap si Cebol yang kini sedang jingkrak-jingkrak kegirangan.
“Ke-kenapa harus Sae?” tanyaku gugup.
“Aelah, sampai gugup begitu,” ucap Yusup tiba-tiba sambil mencolek daguku.
“Gue lihat, lu nempel-nempel banget sama Sae. Jadi, gue rasa lu emang suka sama dia.” Ahmad mengolok-olokku sambil menggodaku dengan colek-colek dagu.
“Aku juga lihat pas Sae tawarin kamu pulang bareng tadi. Acie.” Arrani terbahak.
“A-aku n-normal, ya!” teriakku cepat.
Semua orang masih tertawa. Wajahku panas, memerah.
Jantungku dag-dig-dug semakin keras. Kutatap lagi Sae, kali ini dia membalas tatapanku. Dengan cepat, aku mengalihkan pandangan ke sisi lain. Terlalu malu untuk menatap kedua maniknya yang indah. Sebelum sempat menjauh dari tatapannya, dari ekor mataku dapat kulihat jika Sae tersenyum.
Menyatakan perasaan pada Sae? Ah, itu memang yang aku inginkan. Aku menginginkannya, tapi jika harus di depan semua orang, aku tidak mungkin melakukannya. Lagipula, aku seorang lelaki. Sae juga lelaki.
Aku kembali tersentak ketika Sae mulai beranjak dari duduknya di atas meja, lantas berjalan ke arahku. Semua orang bersorak semakin keras saat Sae sudah menggengam tanganku. Kedua tangannya yang besar itu membelai jemariku dengan lembut.
“Ayo, Adis. Ini lebih gampang dari tadi. Kamu cukup pura-pura nembak aku saja.” Sae menarikku untuk berdiri. Tangan kami masih bertautan. Dia tersenyum, kemudian sukses membuatku berdiri.
Apa katanya? Pura-pura aku menyukainya?
Sae, jika saja kamu tahu, aku sungguh menyukaimu. Perasaan ini sudah tumbuh sejak dulu. Aku tidak tahu kenapa itu bisa terjadi. Selama ini, aku berjuang sendiri untuk memerangi sifat denial-ku, bahwa sesungguhnya aku memang belok. Selama itu pula aku menahan rasa sukaku untukmu.
Batinku bergelut.
Aku sadar, kami berdua adalah kaum Adam yang diciptakan untuk Hawa. Tak sepantasnya Adam mendampingi sosok Bambang. Harus ada yang menjadi Hawa agar semua bisa berjalan dengan semestinya.
Semua hal itu juga yang membuatku memerangi diriku sendiri. Aku bertanya, kenapa aku bisa berbelok. Mengapa aku bisa mencintai sejenisku? Di saat kaum Hawa masih banyak di luaran sana, tapi ketika aku mengingatmu, mengenangmu, dan berkeinginan hidup bersamamu, aku tidak memerlukan alasan-alasan itu. Tidak peduli kenapa aku menjadi seperti sekarang ini.
Hal yang kuinginkan adalah aku dan kamu menjadi kita. Kita yang selalu bersama, sampai tak ada lagi nyawa dalam diri Adam yang melekat di diri kita.
“A-aku enggak bisa.”
“Kenapa? Ini lebih mudah dari yang tadi, Adis. Kamu cukup bilang, kalau kamu suka sama aku. Gitu aja.”
“Ta-tapi---”
“Cie yang baper,” teriak Arrani memotong ucapanku.
Aku tidak tahu harus bagaimana merespons. Tangan dan jari-jariku masih dikuasai Sae. Dia memegangi semuanya dengan kuat.
“Tatap mata aku,” ucap Sae. Dia melepaskan pegangan tangannya dariku, kemudian menaruh tangan-tangan besar dan kuat itu di pipiku. Dia menarik wajahku agar terarah lurus menatapnya. “Ini cuma pura-pura. Kamu bisa, kok.”
“Ah! Leleh aku. Ah, Sae, kamu jangan belok, please.” Semua gadis yang duduk berkeliling di sekitarku berteriak. Mereka meneriaki Sae yang sedang menangkupkan kedua tanganya di pipiku.
“Oh, God, please itu pipi gue aja yang dipegang. Ah, enggak kuat Dede,” teriak salah satu gadis lagi yang entah siapa namanya.
Aku tidak bisa pura-pura bahwa aku menyukaimu, Sae karena dari lubuk hatiku, aku sungguh-sungguh menyukaimu. Suka bagaimana caramu memujiku, suka caramu menyemangatiku, dan suka semua hal yang ada pada dirimu.
“Aku suka kamu, Adis,” ucap Sae sambil menatapku lurus. Tatapannya serius penuh makna. Aku tak sempat memahami pancaran matanya yang dia salurkan. Lemas yang menjalar di seluruh tubuh menghancurkan fokusku pada dua maniknya.
Aaah!
Semua anak gadis berteriak histeris.
Aku sama histerisnya dengan gadis-gadis itu ketika mendengar Sae mengucapkan kalimat barusan. Lututku lemas tiba-tiba, rasanya sendi mau copot. Aku sebisa mungkin menahan senyum yang mulai merekah dari bibirku.
“Itu contohnya,” sambung Sae kemudian. Senyum yang sedari tadi kutahan agar tak merekah itu, kini malah hancur menjadi layu dan turun membentuk lengkungan kesedihan ketika Sae mengatakan kalimat tadi. Padahal, aku berharap semua itu nyata, bukan sekadar contoh.
“Maaf, Sae, aku enggak bisa.”
Aku melepas tangan Sae yang masih ada di pipiku, kemudian mengempaskannya cukup keras, sebentar kemudian aku melengos ke luar kelas. Semua anak yang tadinya berteriak histeris, kemudian senyap seketika setelah melihatku keluar dan menutup pintu kelas dengan kencang.
TujuhDingin dari embusan angin malam cukup untuk membuatku menggigil. Selimut warna biru yang melahap habis tubuhku masih dirasa kurang untuk bisa menghilangkan efek dingin malam ini. Gigiku gemertak kencang. Sebenarnya tidak aneh, sih saat aku terus menggigil karena aku membuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Dari sini aku duduk dan diam memerhatikan milyaran bintang di langit.Malam ini langit sedang dalam kondisi cerahnya. Aku juga tak punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terlebih setelah pembagian buku tahunan sekolah. Tugas-tugas sekolah pun sudah kuselesaikan seminggu yang lalu.Sudah sekitar dua jam aku duduk termangu di balik jendela. Tatapanku lurus ke langit. Sejak tadi maghrib aku tidak keluar kamar, toh tidak akan ada siapa pun yang menemaniku di ruang tamu sana. Ibu dan Ayah belum juga pulang.Memiliki orangtua yang sibuk mengurusi karier itu tidaklah menyenangkan. Waktu luang untuk kami kumpul sa
Delapan.Tangan halus serta putih tidak habis-habisnya mengelus kepalaku, menyusuri tiap inci rambut hitam lebat yang kumiliki sambil sesekali menyanyikan lagu kesukaanku saat masih kecil. Dalam merdunya suara yang tertangkap gendang telinga, ada pepatah-pepatah kecil yang Ibu selipkan, mencoba memberikan nasihat-nasihat tentang kehidupan yang kejam di masa depan nanti. Ibu bilang aku harus kuat menghadapi semuanya.Aku terpejam, menikmati elusan lembut di rambutku sambil terus mendengarkan ucapannya yang masuk ke gendang telinga.“Adis,” ucap Ibu pelan. Tangan halusnya masih mengelus kepalaku, menggerakkannya naik-turun, membuatku nyaman. Sedangkan aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati tiap elusan tangannya. “Ibu selalu bersyukur dengan apa yang sudah terjadi. Ibu tidak pernah menyesal untuk apa yang sudah Ibu lakukan untuk semuanya.”Aku membuka mata setelah ucapannya terhenti, lalu membalikan posisi tidurku
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j
Dua belasAcara tidak berjalan sesuai rencana. Setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Arrani sempat melarangku untuk pulang karena perayaan ulang tahun Sae masih akan digelar. Namun, karena aku sudah tidak nyaman dengan suasananya, aku memilih tetap pulang meski hanya sendirian.Di luar dugaan, semuanya memilih ikut pulang dan membatalkan acara ulang tahun yang akan digelar tiga hari dua malam itu. Dan, beginilah sekarang keadaanya. Kami sedang berada di mobil Sae dalam kecanggungan yang membelenggu. Hingga rombongan sampai di pelabuhan, tidak ada satu pun yang berbicara. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengan siapa pun.Di belakangku ada empat teman Ahmad. Posisi duduk kami masih sama seperti saat berangkat kemarin. Sae tetap fokus menyetir, yang dengan menyebalkannya masih diganggu oleh Resha.Selama di pulau saat persiapan untuk pulang, aku dan Sae tidak berbicara satu sama lain. Sebisa mungkin
Tiga belasArrani [Cewek Jahad] : Adis, kamu harus lihat ini!Seketika saja dadaku seperti dihujam benda tumpul berkecepatan tinggi. Membaca isi pesan yang Arrani kirimkan tadi pagi membuatku dinobatkan sebagai orang pengindap jantungan dalam waktu yang mendadak. Ludahku meluncur begitu saja tanpa dikomando. Darah rasanya mendidih. Aku mulai merasakan udara memanas di sekitarku. Kedua tangan yang masih menggengam ponsel bergetar tak keruan, nyaris membuat benda itu terjatuh ke lantai jika tidak cepat-cepat kugengam dengan erat.Isi pesan itu sangat mengejutkan, berupa foto yang dikirimkan Arrani kepadaku menunjukan dua orang lelaki yang sedang berciuman. Latar yang ada dalam foto itu sama persis dengan keadaan di penginapan Pulau Tidung beberapa waktu lalu. Aku yakin jika yang ada dalam foto itu adalah kami berdua. Tepatnya aku dan Sae sedang memanggang jagung malam itu.Lututku lemas seketika. Rasanya semua tenaga
Empat belasMinggu yang cerah untuk memulai semua aktivitas di pagi hari. Musik yang diputar dengan volume tinggi membuat ruangan semi klasik modern itu bising. Seorang lelaki dengan boxer kuning sedang merapikan kamarnya sambil sesekali bernyanyi.Dia berlari ke sana ke mari mengikuti ayunan sapu di tangannya. Belum cukup bersih dengan semua debu yang sudah habis disapukan, dia lantas mengepel ruangan itu agar lebih terlihat kinclong.Buku-buku berserakan di meja belajar, sekan-akan tidak pernah dibereskan dalam waktu yang lama. Banyak sekali kertas yang terbuang percuma dan berceceran di atas kasur.“Sesen!” teriak seorang wanita dari arah bawah kamar. Volume musik yang tinggi membuat Sae tidak bisa mendengar teriakkan dari sang ibu.“Sesen. Arsenio Saelandraa!” Suara itu kembali terdengar. Namun, masih kurang kencang melawan kebisingan yang ada di kamar putra terakhirnya itu.“Ars
Tujuh belasJika tahu itu adalah malam terakhir aku bisa melihatnya, mungkin perdebatan bodoh itu takkan pernah terjadi. Adu mulut yang menyebabkan suasana malah menjadi semakin runyam. Saat aku sadari, semuanya sudah berakhir. Sae telah pindah ke luar pulau, meninggalkanku sendirian, bahkan dengan luka yang tak sempat terobati.Kepergiannya menambah lubang yang tadinya sudah menganga dan merobek hati itu menjadi semakin lebar, tanpa tahu bagaimana menutupnya kembali. Tak ada ucapan selamat tinggal atau sekadar basa basi, “Sehat selalu, ya? Jangan lupain aku.”Rasa menyesal mulai muncul, menggerogoti isi kepalaku. Semua yang ada di sekitar terasa kosong. Aku hanya bisa menangis, meratapi kepergiannya. Apa yang sudah aku lakukan?Malam itu, tatapan Sae nanar. Aku melihat kesedihan yang mendalam. Andai aku tidak egois, dan lebih memilih menghabiskan malam dengannya, mungkin akan dengan mudah aku melepasnya.Sesak di dada
Enam belasSemua orang menatapku dengan jijik. Mata-mata tajam terus melirikku dengan sinis. Seolah aku adalah sampah salah tempat. Selama perjalanan dari gerbang menuju kelas saja aku sudah dapat bisik-bisik anak yang kulewati. Mereka membicarakanku. Ibu hanya menggeleng pelan ketika kutatap dia dengan pandangan penuh tanda tanya.Setelah dipanggil ke ruang BK dua hari lalu, akhirnya ibu menyanggupi panggilan itu dan datang ke sekolah bersamaku. Jangan tanyakan ayah di mana? Dia bahkan tidak peduli padaku. Katanya jangan panggil lagi dia “ayah” sebelum semua kembali menjadi normal.Tanganku sudah gatal. Jari-jari mengepal erat. Ingin rasanya kuhantam setiap mulut yang mencibirku dari belakang. Napasku naik-turun. Ibu terus saja menggosok punggungku dan menuntun jalan yang bahkan sudah tidak bisa kutapaki dengan benar. Tubuh bergetar. Nafsu dalam diri membara.“Masih jauh?” tanya ibu. Sidang untuk keputusan masalah
Lima belasBeberapa hari sebelumnya.Perasaanku tidak menentu. Malam ini aku bahkan tidak bisa tidur. Ponselku sudah menunjukan pukul sepuluh, tapi mataku sama sekali tidak merasakan kantuk. Biasanya aku sudah tidur sebelum jam sembilan. Sudah ada dua kali aku ke dapur untuk menyeduh susu hangat. Kupikir akan merasa kantuk setelahnya, tapi pada kenyataanya sama saja.Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ada begitu banyak hal yang berputar di kepalaku. Satu yang paling aku rasakan adalah gelisah. Setelah kepulanganku dari liburan beberapa waktu lalu, aku mulai semakin memikirkan semua risiko dari statusku yang bisa dibilang belok ini. Aneh memang karena baru akhir-akhir ini aku memikirkannya. Mungkin ini berkaitan dengan adegan ciuman yang tiba-tiba itu.Setelah menyelimuti tubuhku dengan sarung warna oranye, aku mulai menutup lagi ponsel yang sempat kulirik untuk memeriksa jam. Sudah kuputuskan untuk tidur, apa p
Empat belasMinggu yang cerah untuk memulai semua aktivitas di pagi hari. Musik yang diputar dengan volume tinggi membuat ruangan semi klasik modern itu bising. Seorang lelaki dengan boxer kuning sedang merapikan kamarnya sambil sesekali bernyanyi.Dia berlari ke sana ke mari mengikuti ayunan sapu di tangannya. Belum cukup bersih dengan semua debu yang sudah habis disapukan, dia lantas mengepel ruangan itu agar lebih terlihat kinclong.Buku-buku berserakan di meja belajar, sekan-akan tidak pernah dibereskan dalam waktu yang lama. Banyak sekali kertas yang terbuang percuma dan berceceran di atas kasur.“Sesen!” teriak seorang wanita dari arah bawah kamar. Volume musik yang tinggi membuat Sae tidak bisa mendengar teriakkan dari sang ibu.“Sesen. Arsenio Saelandraa!” Suara itu kembali terdengar. Namun, masih kurang kencang melawan kebisingan yang ada di kamar putra terakhirnya itu.“Ars
Tiga belasArrani [Cewek Jahad] : Adis, kamu harus lihat ini!Seketika saja dadaku seperti dihujam benda tumpul berkecepatan tinggi. Membaca isi pesan yang Arrani kirimkan tadi pagi membuatku dinobatkan sebagai orang pengindap jantungan dalam waktu yang mendadak. Ludahku meluncur begitu saja tanpa dikomando. Darah rasanya mendidih. Aku mulai merasakan udara memanas di sekitarku. Kedua tangan yang masih menggengam ponsel bergetar tak keruan, nyaris membuat benda itu terjatuh ke lantai jika tidak cepat-cepat kugengam dengan erat.Isi pesan itu sangat mengejutkan, berupa foto yang dikirimkan Arrani kepadaku menunjukan dua orang lelaki yang sedang berciuman. Latar yang ada dalam foto itu sama persis dengan keadaan di penginapan Pulau Tidung beberapa waktu lalu. Aku yakin jika yang ada dalam foto itu adalah kami berdua. Tepatnya aku dan Sae sedang memanggang jagung malam itu.Lututku lemas seketika. Rasanya semua tenaga
Dua belasAcara tidak berjalan sesuai rencana. Setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Arrani sempat melarangku untuk pulang karena perayaan ulang tahun Sae masih akan digelar. Namun, karena aku sudah tidak nyaman dengan suasananya, aku memilih tetap pulang meski hanya sendirian.Di luar dugaan, semuanya memilih ikut pulang dan membatalkan acara ulang tahun yang akan digelar tiga hari dua malam itu. Dan, beginilah sekarang keadaanya. Kami sedang berada di mobil Sae dalam kecanggungan yang membelenggu. Hingga rombongan sampai di pelabuhan, tidak ada satu pun yang berbicara. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengan siapa pun.Di belakangku ada empat teman Ahmad. Posisi duduk kami masih sama seperti saat berangkat kemarin. Sae tetap fokus menyetir, yang dengan menyebalkannya masih diganggu oleh Resha.Selama di pulau saat persiapan untuk pulang, aku dan Sae tidak berbicara satu sama lain. Sebisa mungkin
Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik