Empat.
Dua hari ini aku tidak keluar rumah. Tidak ada satu pun media sosial yang aku buka. Data internet dalam ponselku juga kumatikan. Setelah perlombaan itu, aku benar-benar mengurung diri di kamar sendirian. Bukannya menghindari ejekan orang-orang, hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk menunjukan wajahku pada mereka yang sudah percaya kepadaku, terlebih kepada Sae.
Setelah perlombaan hari itu, aku yang sudah dinyatakan gagal, kemudian meninggalkan panggung buru-buru. Aku berlari ke luar aula untuk menghindari Sae yang sudah pasti akan menyusulku ke belakang panggung.
Rasa marah bergejolak di dalam diri.
Saat itu, ada dua hal yang aku rasakan, aku marah kepadanya karena dia tidak bisa datang untuk melihat pidato yang sudah kupersiapkan untuknya, dan hal kedua adalah aku merasa malu untuk menunjukan wajahku kepadanya.
Setelah melewati pintu aula, aku langsung saja berlari menuju parkiran, mencari di mana posisi motorku berada. Saat aku sudah menemukan sepeda motorku yang terparkir di bawah pohon, dan sudah hampir kugapai, seseorang menarik tanganku.
Kontan saja tubuhku berhenti. Aku tahu siapa dia. Dengan tanpa menoleh saja, aku bisa mengetahui jika orang yang baru saja menahanku adalah Sae. Aroma bayi yang khas di tubuhnya menyeruak di udara sampai masuk ke lubang hidungku.
“Adis,” katanya sambil masih menggengam tanganku. Aku menelan ludah dengan kasar. “Maaf aku enggak bisa hadir tadi. Aku beneran enggak bisa. Harusnya aku datang dan nonton kamu pas lomba.” Sae masih memegangi tanganku. Aku belum sedikit pun mengubah posisi tubuhku dari sikap semula.
Aku terdiam.
“Tapi, aku berusaha buat datang. Aku juga mati-matian cari angkutan buat bisa sampai ke sini. Tapi---”
“Kamu enggak perlu minta maaf, Sae,” potongku. “Orang yang seharusnya minta maaf itu aku. Aku enggak bisa bawain pidato itu dengan baik sesuai apa yang kamu minta. Maaf, Sae.”
Ucapanku terasa berat. Aku merasa seperti akan menangis. Sesak di dada tiba-tiba terasa begitu saja. Aku melihat motor di depanku semakin kabur, remang-remang.
“Lagian dari awal aku udah enggak yakin bisa bawain pidatonya. Aku sudah bilang itu, kan sama kamu,” kataku sambil berusaha terkekeh-kekeh.Aku tahu sekarang mataku sudah mengeluarkan butiran air. Aku menangis.
“Adis,” katanya lirih.
“Cuma karena kamu aja aku mau berusaha. Cuma karena janji kita aja aku mau terus berjuang. Tapi, ternyata aku tetap gagal.”
“Maafin aku, Adis,” ucapnya dengan nada yang terkesan menyesal. “Aku beneran minta maaf karena enggak bisa datang buat lihat kamu pidato.”
Aku tidak bisa melakukan apa pun. Aku hanya diam membiarkan Sae memegangi pundakku dari belakang. Setelah hal itu, aku lantas memintanya untuk melepaskan pegangan tangannya dari pundakku. Namun, dia tak mau mendengar.
“Aku pengin pulang, Sae. Aku enggak enak badan,” kataku tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya.
“Aku antar kamu pulang, ya,” usulnya.
Aku membentak, “Enggak! Kamu dengar aku? Aku mau pulang sendirian!” Aku lalu pergi menghampiri motorku dan mulai memelesat meninggalkannya.
Sejak hari itu, aku tidak mau menerima pesan dari siapa pun, dan dua hari itu pula, aku tidak bertemu Sae. Bukannya apa-apa, aku terlalu malu untuk melihat wajahnya.
“Adis!” teriak sebuah suara.
Seseorang dari balik pintu kamar mengetuk pintuku beberapa kali. Itu suara Ibu, membuyarkan lamunanku yang sedang kunikmati di bawah jendela kamar.
Oh, ya, dua hari lalu, Ibu juga menanyakan hal yang sama dengan apa yang Arrani tanyakan kepadaku dalam whatsapp. Ibu bilang, kenapa aku bisa sampai kehilangan konsentrasi dan kacau saat berpidato. Aku tidak bisa memberitahu Ibu soal alasan kenapa aku bisa menjadi seperti itu. Aku juga tidak bercerita kepada Arrani ketika dia bertanya, dan dia memaksaku untuk ke sekolah karena teman-teman ingin menghukumku.
“Adis, ada tamu. Keluar dulu sini!” Ibu masih mengetuk pintu. Aku mengerjap, lantas mulai bangkit dari posisi duduk di bawah jendela dan berdiri dengan memegangi kursi belajar; posisinya berada di sampingku.
Kemarin juga seperti ini. Ibu menyuruhku keluar karena katanya ada tamu, tapi aku bersikeras bilang untuk menyuruh tamu itu pulang. Aku tahu sebenarnya yang datang adalah Sae.
Namun, kali ini, Ibu bilang aku harus keluar dulu dan temui tamunya.
“Bu, suruh pulang saja,” kataku sambil mulai duduk di kursi, menatap ke luar jendela lantai dua kamarku. Dari sini aku bisa melihat rumah tetanggaku yang juga dua lantai. Dari sini juga, aku bisa lihat jalanan yang dilewati beberapa orang komplek.
“Jangan begitu. Dari kemarin kamu suruh dia pulang. Ayo, ah keluar dulu. Enggak enak sama Nak Sae.”
Aku menoleh pada pintu. Sudah kuduga jika yang datang memang Sae. Aku mengembuskan napas berat, kemudian memutuskan untuk menyuruh Sae masuk kamarku saja. Aku terlalu malas untuk keluar dan turun ke ruang tamu.
Setelah ucapan itu, Ibu tidak lagi mengetuk pintu. Dia sepertinya turun mendatangi Sae. Sebentar kemudian, seseorang mengetuk pintu kamarku lagi. Kali ini, hanya satu kali dan menyebut nama lengkapku.
Aku buru-buru berdiri dan melangkah cepat hingga belakang pintu. Ketika aku akan meraih gagang pintu, Sae berkata, tetaplah di balik pintu dan jangan membukanya. Dia bilang masih bisa menyampaikan semua hal yang akan dia utarakan meski terhalang pintu.
Sebentar kemudian aku menoleh ke bawah, tepat ke ujung pintu kamarku.
“Kamu boleh diam dan enggak usah bukain pintu ini, Adis. Aku akan bicara dari sini aja.”
Mendengar ucapan itu membuatku mengurungkan niat dan terdiam. Aku berdiri tepat di balik daun pintu, sambil posisi tangan yang kuangkat dengan ragu-ragu. Aku masih terdiam menunggu. Mungkin, sekarang kami sedang berhadapan, hanya saja terhalang oleh pintu kayu yang membuat kami tidak bisa saling tatap satu sama lain.
Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Sae sekarang, dan tentu Sae tidak tahu aku sedang apa sekarang.
“Aku juga enggak bakal memaksa kamu buat keluar dan lihat aku sekarang. Aku enggak punya hak untuk mengatur seseorang, terlebih mempermainkan kehendak manusia. Apa yang akan aku lakukan di sini hanya memperjelas semuanya. Aku ingin meluruskan kesalahpahaman ini, Adis.”
Aku masih berdiri di balik pintu. Aku menatap ke bawah, pintu kamarku berada lima sentimeter dari lantai keramik, yang membuat ada celah di bawahnya.
“Untuk semua kejadian yang sudah terjadi dua hari lalu, sebenarnya aku enggak pernah menyalahkanmu, dan enggak pernah merasa kecewa dengan hasil yang sudah kamu buat. Aku juga enggak pernah marah dengan semuanya. Aku enggak tahu kenapa kamu malah pergi menjauh dan menghindariku,” katanya. Suaranya terdengar lirih dan penuh kesedihan. Aku hanya bisa menggigit bibir bawah kuat-kuat sambil mengepal erat. Ada rasa sakit yang menjalar di dada, tapi entah apa penyebabnya.
Aku bungkam, tidak mengucapkan apa pun. Bunyi pendingin ruangan terdengar lebih keras. Deru mesinnya menggema, mengisi gendang telingaku. Mataku terpejam sambil masih berniat untuk mengangkat tangan, yang pada kenyataanya masih ragu-ragu.
Dari balik pintu, suara napas kami beradu.
“Apa kamu malu denganku, Adis?” katanya di sela keheningan yang melanda.
Hening. Semua kembali hening. Keheningan ini terjadi sampai beberapa saat. Aku masih tidak tahu harus menjawab apa.
“Jawab, Adis! Apa kamu malu sampai enggak berani menatap wajahku? Kenapa sampai sejauh ini? Kenapa sampai menghindar?”
“Aku ....”
Ludahku mengalir cepat. Entah apa yang sebenarnya terjadi. Jika dipikirkan, memang Sae tidak sepenuhnya salah. Aku juga tidak pernah menyalahkannya atas ketidakhadiran itu. Sejujurnya, semua itu hanya sebuah kecelakaan, tapi tetap saja hal itu membuatku sedikit marah dan ... malu!
“Aku sudah ingkar janji,” jawabku. Aku tidak tahu kenapa malah kalimat itu yang keluar dari mulutku. Sae tampaknya terdiam mendengarkan, menyadari hal itu aku lantas berniat melanjutkan ucapanku, “sore itu, aku berjanji untuk memenangkan perlombaanya buat kamu. Tapi, aku malah gagal, bahkan sebelum berperang.”
Tanganku bergetar. Bayangan dari tubuh Sae di balik pintu masih sama seperti semula. Dia belum bergerak sama sekali.
“Hanya karena alasan itu kamu menghindar selama dua hari ini, Adis? Hanya karena itu?” tanyanya dengan nada yang tak kusukai. Aku masih menundukan kepala, menatap celah pintu bagian bawah. Ada rasa panas yang mulai berkeliaran di kelopak mata. Aku siap menangis.
Cengeng!
“Itu penting buatku. Itu berarti buatku,” jawabku dengan intonasi meninggi, tidak mampu menahan emosi yang mulai tidak stabil. Suaraku bergetar.
“Kalau memang penting, kenapa kamu malah mengacaukan semuanya? Kenapa enggak sedikit saja berjuang sampai aku datang?”
Kalimat itu memohokku. Jemariku mengepal erat. Rasa sesak menjalar di dada. Sae berkata seperti itu padaku?
“Bagaimana aku bisa tahu kalau kamu bakal datang sebelum lomba selesai dan lihat aku berpidato? Aku berjuang ini buat kamu, Sae. Semua buat kamu!”
“Lakukan buat diri kamu sendiri, Adis.”
“Dan kamu enggak datang saat aku berjuang!” kataku kesal.
“Buktinya aku datang!” jawabnya tak kalah membentak.
“Tapi, kamu terlambat,” bentakku. Sae terdiam. Kami sama-sama terdiam. Sebentar kemudian, embusan napas di balik pintu terdengar cukup panjang dan keras. Setelah adu mulut cukup keras, keadaan lenggang. Canggung.
“Jadi, semua ini salahku?” tanyanya dengan nada menyesal, membuatku tersentak dan sadar dari lamunan panjangku. Aku menoleh ke arah daun pintu yang hanya menampilkan kekosongan.
“Eh, enggak. Bukan. Maksudku ....”
Aku keceplosan. Sekarang aku tidak tahu harus bagaimana merespons. Mulutku terlalu menyebalkan. Aku salah mengucap. Kudengar embusan napas Sae dari balik pintu sedikit lebih keras dari sebelumnya. Beberapa saat kemudian, aku mendengar langkah kaki menjauh.
Sae pulang?
“Tunggu,” kataku sambil membuka pintu. Kulihat Sae sudah ada tiga langkah berjalan meninggalkan mulut pintu.
Dia berhenti, lalu menoleh.
“Kupikir kamu enggak akan keluar, dan enggak mau lihat wajahku.”
Setelah dia mengatakan itu aku tertunduk sambil mengepalkan tangan erat-erat. Dari dalam mulutku terasa dengan kuat saat gigi-gigiku gemertak. Keheningan kembali melanda beberapa jenak, sampai akhirnya aku memutuskan mendongak melihat wajahnya yang tampak sedih. Tanpa sadar, bibirku tersungging ke samping, lalu tanpa aba-aba aku berlari ke arahnya.
“Gila kamu, Saelandara!” ucapku sambil meninju bahunya kirinya dengan keras, menumpahkan semua kekesalanku kepadanya dalam satu pukulan. “Bisa banget buat orang lain kacau, berantakan,” lanjutku sambil merengut sebal. Sae di depanku hanya terkekeh-kekeh.
“Oh, ini orang yang tadi ngambek sampai enggak berani nunjukin wajahnya sama aku?” tanya dengan senyum mengejek. Aku siap melempar pukulan lagi ke bahunya, tapi kali ini dengan sigap Sae menghindar. Dia mencekal lenganku sambil terkekeh-kekeh.
“Nah, mulai, kan sifat menyebalkannya,” ucapku sambil menarik lagi tanganku.
Dari jarak sedekat ini membuat aroma bayi dari tubuhnya menyeruak, menjelajahi lubang hidungku.
“Jadi, sekarang kamu udah enggak marah, nih?” tanyanya sambil melipat kedua tangannya di dada. Kebiasaan menyombongkan dirinya keluar lagi.
“Huh! Aku bilang, kan cuma enggak bisa menepati janji. Itu bikin aku merasa bersalah, Sae.:
“Aku minta maaf kalau begitu, Adis.”
Aku menggeleng. “Aku yang minta maaf. Aku enggak bisa menyelesaikan apa pun. Janji kuingkari, lomba pun gagal. Aku yang minta maaf.” Aku mengucek kelopak mata, bertingkah sewajarnya ketika keadaan mulai terasa canggung dengan sesekali menyusut lubang hidung.
“Enggak apa-apa. Tapi, ada satu syarat,” katanya sambil mengangkat jari telunjuknya.
Kontan saja aku mendongak menatapnya. Dia menyodorkan telunjuknya padaku. Di bawah senyumnya yang manis, dia mulai mengutarakan apa syarat barusan.
“Enggak ada adegan menangis dan enggak ada marah-marahan lagi.”
“Itu dua syarat,” sergahku cepat. Dia berbohong!
“Intinya tetap satu! Kamu jangan marah lagi. Itu saja sudah cukup.”
Aku hanya mengangguk. Tangan kecil dan mungilku terangkat, dan meraih tangan milik Sae. Tak berselang lama, aku menariknya masuk ke kamar. Lebih baik berbicara di dalam daripada berdiri di lorong.
“Seharusnya enggak usah kayak begini. Kamu bikin aku khawatir.” Sae berjalan masuk, kemudian melenggang ke arah jendela dan duduk di bangku yang tadi kugunakan. Sementara aku berjalan gontai menuju kasur, dan duduk di sana.
Sae bersandar ke dinding jendela sambil memerhatikan suasana di luar.
Dia khawatir kepadaku?
Setelah puas menatap ke luar jendela, dia mengalihkan pandangan pada tumpukan buku yang tersimpan rapi di sebuah nakas kecil di samping ranjang tidurku. Nakas yang dipenuhi gambar Doraemon.
“Ehm. Sori,” kataku.
Pemuda itu tak merespons apa pun lagi. Dia anteng menatap tumpukan buku di nakas.
Sae mengenakan kaos berkerah warna hijau tua, dipadukan dengan celana nepada selutut warna krem. Dada bidangnya menonjol, membuat Sae terlihat lebih seksi dari biasanya.
“Aku beneran enggak tahu harus gimana kasih tahu kamu soal ini. Tapi, semuanya bikin aku merasa sangat bersalah dan itu bikin aku berpikir yang enggak-enggak. Overthink. Sori, Sae. Kamu tahu itu, kan?” tanyaku sambil menatap wajahnya yang selalu tampak memesona setiap saat.
“Kalau kayak begini, aku yang merasa enggak enak. Kamu tahu, semalaman aku enggak bisa tidur. Huh, bikin khawatir aja nih anak.”
Aku pura-pura tidak peka dan bertanya kenapa dia sampai tidak bisa tidur. Sae yang merasa kesal karena ulahku, lantas bangkit dari bangku dekat jendela dan mulai duduk di sampingku. Sebelum duduk, dia sempat mengamati bed cover warna biru dengan gambar Doraemon yang terpasang di ranjangku. Katanya, kamarku terkesan lucu. Semua dinding dipasangi gambar Doraemon. Aku suka kucing biru itu.
“Aku enggak bisa tidur karena mikirin bocah nakal,” katanya sambil menekan hidungku yang pesek. Dia menariknya ke depan, aku mengaduh kemudian menjitak kepalanya karena sukses membuat hidungku jadi merah. Dia hanya terkekeh geli.
“Entah kenapa, aku jadi gerogi dan enggak tahu harus ngomong apa saat acara itu berlangsung. Pikiranku ....” Aku menggantung ucapan, menghentikan perkataanku sebelum mengatakan hal yang tidak-tidak dan malah kelepasan. Kugigit bibir bawah, dan menoleh pada Sae yang masih duduk di sampingku.
“Hmm?”
Aku menggeleng.
“Tapi, aku tetep bakal kasih kamu hadiah.”
Sae memosisikan tubuhnya menghadapku. Sendalnya dia taruh di atas karpet, yang menjadi dasar lantai ranjangku. Setelahnya mengangkat kaki dan duduk sambil melipat kedua kakinya rapi.
“Kok, gitu? Aku, kan enggak menang lomba.”
“Aku akan kasih kamu hadiah karena udah mau berjuang sampai berani tampil di depan semua orang,” ucapnya sambil tersenyum.
“Tapi, aku gagal ikut lomba dan enggak menepati janji. Aku enggak pantas dapat hadiah,” kataku sambi menggeleng pelan.
“Kalau begitu, lain kali pas bikin janji berusahalah untuk menepatinya.”
Sae senyum kuda. Kali ini senyumnya manis sekali.
Aku tidak tahu harus merespons bagaimana. Aku terdiam.
“Lagipula, aku harus menepati janjiku,” kata Sae.
Sae menaruh kedua tangannya di dada, kepalanya sedikit miring, lalu manik-manik indahnya menggerling ke atas, dia berpikir.
“Libur sekolah kita ke pulau, yuk?” ajaknya setelah berpikir sejenak. Kupikir dia masih membahas soal hadiah.
“Ngapain?”
“Liburan. Kita ngabisin waktu akhir sekolah.”
“Enggak tahu, deh, ya. Ibuku kayaknya udah urus jadwal buat mudik ke Jawa Timur, dan aku bakal---eh, harus ikut.” Aku terduduk dengan posisi sama seperti Sae, hanya saja kedua tanganku ditaruh di atas kaki-kaki yang bertumpangan.
“Sebelum ibumu bikin semuanya jadi fiks, mending kamu usul aja dulu. Bilang aja kalau kamu mau main ke pulau, bareng aku,” katanya.
“Nanti aku pikirin, deh.” Aku mengangkat kedua bahu, lalu menggeleng pelan.
“Ya, udah, oke. Berarti sekarang kamu sudah enggak marah, nih? Jadi aku ajak kamu ke luar, yah! Aku mau kasih kamu hadiah.”
Ketika pemuda itu tersenyum padaku, ada aliran hangat yang menjalar ke seluruh tubuh, dan berpusat tepat di hati. Sae selalu sukses membuatku senang dengan caranya.
Aku bisa bilang kalau aku menyukainya. Jujur saja, aku memang menyukai Sae karena jelas dia sahabatku. Aku juga menyayanginya. Sudah wajar, kan jika sahabat saling menyayangi dan saling menjaga satu sama lain.
Harusnya, sih tidak apa-apa, tapi aku selalu merasa ada yang aneh. Aku selalu ada rasa entah apa itu yang tak bisa kujabarkan dengan kata-kata. Aku tidak mengerti mengapa hal itu seakan-akan berbeda dengan rasa sayangku terhadap seorang sahabat. Seakan-akan aku ... mencintainya!
Namun, jelas ini tidak wajar. Kami sama-sama laki-laki. Cinta seperti itu tidak akan pernah direstui oleh pihak keluargaku ataupun keluarganya. Mungkin saja aku keliru. Aku hanya terlalu mengaguminya.
Jika sudah menyangkut hal yang berhubungan dengan Sae, aku akan dengan sukarela melakukannya. Bahkan soal lomba pidato itu, aku tidak pernah berpikir untuk ikutserta di dalamnya. Jika saja aku tak pernah mengenalnya, mungkin aku juga tidak akan berani untuk menerima keputusan Arrani tentang lomba itu.
Dia selalu berhasil membuatku bertindak lebih dari Adis yang biasa. Meski pada akhirnya selalu gagal. Namun, sosok Sae lah yang selalu bisa membuatku mau mencoba terlebih dahulu.
“Ya, udah, kalau begitu aku mandi di sini saja. Kita berangkat langsung dari rumah kamu,” katanya membuyarkan lamunanku. Aku mengerjap, lantas menggeleng ketika sadar dia mengatakan akan mandi di kamarku.
Dia beranjak dari duduknya, lalu menoleh padaku. “Mau ikut?” tanyanya.
“ENGGAK!” jawabku sambil melempar bantal ke arahnya.
Lima.Sae menggunakan kemeja planel warna hijau dan kaus Doraemon warna hitam milikku. Celana nepada krem miliknya masih dia pakai. Setelah mandi dan berpamitan pada Ibu, akhirnya kami berangkat untuk jalan-jalan ke luar. Sae tidak bilang dia akan membawaku ke mana, dan itu selalu menjadi kejutan yang dia berikan.Dia sering memberiku hal-hal kecil. Namun, manis. Seperti membawakanku minuman saat istirahat sekolah, atau membelikanku camilan dengan bungkus bergambar Doraemon.Aku masih berdiri di depan Sae yang anteng memasang helm. Dia membawa motorku. Katanya dia akan menitipkan motornya di rumahku. Aku menunggunya sampai selesai memasang helm terlebih dahulu, baru kemudian aku akan naik ke belakang motor. Niatnya, sih seperti itu. Namun, ketika Sae melihatku masih berdiri memegangi helm Doraemon milikku, dia kemudian menarik benda itu dari tanganku.“Sini. Enggak bisa pakai helm, ya?” ucapnya, kemudian memasangkan helm itu k
Enam.Seminggu setelah perlombaan antarkelas diadakan, aku mulai kembali lagi ke sekolah. Tentu saja jika bukan karena adanya pembagian buku tahunan sekolah aku tidak akan datang. Ada banyak faktor yang membuatku enggan bertemu dengan teman sekelasku. Ya, mungkin salah satunya tentang hukuman yang Arrani katakan waktu itu.Aku pengecut, ya? Haha! Memang.Sebelum memasuki gerbang aku sempat berdiri sejenak, memerhatikan semua murid yang datang. Di antara murid yang berbondong-bondong memasuki gapura warna abu-abu, aku bisa melihat seorang siswi berhijab cokelat sedang berkacak pinggang di sudut jalan.Dari jarak sejauh ini pun aku bisa melihat senyum iblis yang Arrani pancarkan. Ah, sial! Niat awalku berdiri di gapura ini bukan untuk menemuinya. Aku hanya ingin bertemu dengan Sae dan masuk kelas bersamaan.Melihat gadis itu mulai melenggang dengan entakkan kaki yang berdentum, membuatku merinding sejadinya.Aku menelan ludah
TujuhDingin dari embusan angin malam cukup untuk membuatku menggigil. Selimut warna biru yang melahap habis tubuhku masih dirasa kurang untuk bisa menghilangkan efek dingin malam ini. Gigiku gemertak kencang. Sebenarnya tidak aneh, sih saat aku terus menggigil karena aku membuka daun jendela kamarku lebar-lebar. Dari sini aku duduk dan diam memerhatikan milyaran bintang di langit.Malam ini langit sedang dalam kondisi cerahnya. Aku juga tak punya banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Terlebih setelah pembagian buku tahunan sekolah. Tugas-tugas sekolah pun sudah kuselesaikan seminggu yang lalu.Sudah sekitar dua jam aku duduk termangu di balik jendela. Tatapanku lurus ke langit. Sejak tadi maghrib aku tidak keluar kamar, toh tidak akan ada siapa pun yang menemaniku di ruang tamu sana. Ibu dan Ayah belum juga pulang.Memiliki orangtua yang sibuk mengurusi karier itu tidaklah menyenangkan. Waktu luang untuk kami kumpul sa
Delapan.Tangan halus serta putih tidak habis-habisnya mengelus kepalaku, menyusuri tiap inci rambut hitam lebat yang kumiliki sambil sesekali menyanyikan lagu kesukaanku saat masih kecil. Dalam merdunya suara yang tertangkap gendang telinga, ada pepatah-pepatah kecil yang Ibu selipkan, mencoba memberikan nasihat-nasihat tentang kehidupan yang kejam di masa depan nanti. Ibu bilang aku harus kuat menghadapi semuanya.Aku terpejam, menikmati elusan lembut di rambutku sambil terus mendengarkan ucapannya yang masuk ke gendang telinga.“Adis,” ucap Ibu pelan. Tangan halusnya masih mengelus kepalaku, menggerakkannya naik-turun, membuatku nyaman. Sedangkan aku hanya bisa memejamkan mata, menikmati tiap elusan tangannya. “Ibu selalu bersyukur dengan apa yang sudah terjadi. Ibu tidak pernah menyesal untuk apa yang sudah Ibu lakukan untuk semuanya.”Aku membuka mata setelah ucapannya terhenti, lalu membalikan posisi tidurku
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j
Dua belasAcara tidak berjalan sesuai rencana. Setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Arrani sempat melarangku untuk pulang karena perayaan ulang tahun Sae masih akan digelar. Namun, karena aku sudah tidak nyaman dengan suasananya, aku memilih tetap pulang meski hanya sendirian.Di luar dugaan, semuanya memilih ikut pulang dan membatalkan acara ulang tahun yang akan digelar tiga hari dua malam itu. Dan, beginilah sekarang keadaanya. Kami sedang berada di mobil Sae dalam kecanggungan yang membelenggu. Hingga rombongan sampai di pelabuhan, tidak ada satu pun yang berbicara. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengan siapa pun.Di belakangku ada empat teman Ahmad. Posisi duduk kami masih sama seperti saat berangkat kemarin. Sae tetap fokus menyetir, yang dengan menyebalkannya masih diganggu oleh Resha.Selama di pulau saat persiapan untuk pulang, aku dan Sae tidak berbicara satu sama lain. Sebisa mungkin
Tujuh belasJika tahu itu adalah malam terakhir aku bisa melihatnya, mungkin perdebatan bodoh itu takkan pernah terjadi. Adu mulut yang menyebabkan suasana malah menjadi semakin runyam. Saat aku sadari, semuanya sudah berakhir. Sae telah pindah ke luar pulau, meninggalkanku sendirian, bahkan dengan luka yang tak sempat terobati.Kepergiannya menambah lubang yang tadinya sudah menganga dan merobek hati itu menjadi semakin lebar, tanpa tahu bagaimana menutupnya kembali. Tak ada ucapan selamat tinggal atau sekadar basa basi, “Sehat selalu, ya? Jangan lupain aku.”Rasa menyesal mulai muncul, menggerogoti isi kepalaku. Semua yang ada di sekitar terasa kosong. Aku hanya bisa menangis, meratapi kepergiannya. Apa yang sudah aku lakukan?Malam itu, tatapan Sae nanar. Aku melihat kesedihan yang mendalam. Andai aku tidak egois, dan lebih memilih menghabiskan malam dengannya, mungkin akan dengan mudah aku melepasnya.Sesak di dada
Enam belasSemua orang menatapku dengan jijik. Mata-mata tajam terus melirikku dengan sinis. Seolah aku adalah sampah salah tempat. Selama perjalanan dari gerbang menuju kelas saja aku sudah dapat bisik-bisik anak yang kulewati. Mereka membicarakanku. Ibu hanya menggeleng pelan ketika kutatap dia dengan pandangan penuh tanda tanya.Setelah dipanggil ke ruang BK dua hari lalu, akhirnya ibu menyanggupi panggilan itu dan datang ke sekolah bersamaku. Jangan tanyakan ayah di mana? Dia bahkan tidak peduli padaku. Katanya jangan panggil lagi dia “ayah” sebelum semua kembali menjadi normal.Tanganku sudah gatal. Jari-jari mengepal erat. Ingin rasanya kuhantam setiap mulut yang mencibirku dari belakang. Napasku naik-turun. Ibu terus saja menggosok punggungku dan menuntun jalan yang bahkan sudah tidak bisa kutapaki dengan benar. Tubuh bergetar. Nafsu dalam diri membara.“Masih jauh?” tanya ibu. Sidang untuk keputusan masalah
Lima belasBeberapa hari sebelumnya.Perasaanku tidak menentu. Malam ini aku bahkan tidak bisa tidur. Ponselku sudah menunjukan pukul sepuluh, tapi mataku sama sekali tidak merasakan kantuk. Biasanya aku sudah tidur sebelum jam sembilan. Sudah ada dua kali aku ke dapur untuk menyeduh susu hangat. Kupikir akan merasa kantuk setelahnya, tapi pada kenyataanya sama saja.Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi ada begitu banyak hal yang berputar di kepalaku. Satu yang paling aku rasakan adalah gelisah. Setelah kepulanganku dari liburan beberapa waktu lalu, aku mulai semakin memikirkan semua risiko dari statusku yang bisa dibilang belok ini. Aneh memang karena baru akhir-akhir ini aku memikirkannya. Mungkin ini berkaitan dengan adegan ciuman yang tiba-tiba itu.Setelah menyelimuti tubuhku dengan sarung warna oranye, aku mulai menutup lagi ponsel yang sempat kulirik untuk memeriksa jam. Sudah kuputuskan untuk tidur, apa p
Empat belasMinggu yang cerah untuk memulai semua aktivitas di pagi hari. Musik yang diputar dengan volume tinggi membuat ruangan semi klasik modern itu bising. Seorang lelaki dengan boxer kuning sedang merapikan kamarnya sambil sesekali bernyanyi.Dia berlari ke sana ke mari mengikuti ayunan sapu di tangannya. Belum cukup bersih dengan semua debu yang sudah habis disapukan, dia lantas mengepel ruangan itu agar lebih terlihat kinclong.Buku-buku berserakan di meja belajar, sekan-akan tidak pernah dibereskan dalam waktu yang lama. Banyak sekali kertas yang terbuang percuma dan berceceran di atas kasur.“Sesen!” teriak seorang wanita dari arah bawah kamar. Volume musik yang tinggi membuat Sae tidak bisa mendengar teriakkan dari sang ibu.“Sesen. Arsenio Saelandraa!” Suara itu kembali terdengar. Namun, masih kurang kencang melawan kebisingan yang ada di kamar putra terakhirnya itu.“Ars
Tiga belasArrani [Cewek Jahad] : Adis, kamu harus lihat ini!Seketika saja dadaku seperti dihujam benda tumpul berkecepatan tinggi. Membaca isi pesan yang Arrani kirimkan tadi pagi membuatku dinobatkan sebagai orang pengindap jantungan dalam waktu yang mendadak. Ludahku meluncur begitu saja tanpa dikomando. Darah rasanya mendidih. Aku mulai merasakan udara memanas di sekitarku. Kedua tangan yang masih menggengam ponsel bergetar tak keruan, nyaris membuat benda itu terjatuh ke lantai jika tidak cepat-cepat kugengam dengan erat.Isi pesan itu sangat mengejutkan, berupa foto yang dikirimkan Arrani kepadaku menunjukan dua orang lelaki yang sedang berciuman. Latar yang ada dalam foto itu sama persis dengan keadaan di penginapan Pulau Tidung beberapa waktu lalu. Aku yakin jika yang ada dalam foto itu adalah kami berdua. Tepatnya aku dan Sae sedang memanggang jagung malam itu.Lututku lemas seketika. Rasanya semua tenaga
Dua belasAcara tidak berjalan sesuai rencana. Setelah kejadian malam itu, aku memutuskan untuk pulang lebih dulu. Arrani sempat melarangku untuk pulang karena perayaan ulang tahun Sae masih akan digelar. Namun, karena aku sudah tidak nyaman dengan suasananya, aku memilih tetap pulang meski hanya sendirian.Di luar dugaan, semuanya memilih ikut pulang dan membatalkan acara ulang tahun yang akan digelar tiga hari dua malam itu. Dan, beginilah sekarang keadaanya. Kami sedang berada di mobil Sae dalam kecanggungan yang membelenggu. Hingga rombongan sampai di pelabuhan, tidak ada satu pun yang berbicara. Aku sama sekali tidak tertarik untuk bicara dengan siapa pun.Di belakangku ada empat teman Ahmad. Posisi duduk kami masih sama seperti saat berangkat kemarin. Sae tetap fokus menyetir, yang dengan menyebalkannya masih diganggu oleh Resha.Selama di pulau saat persiapan untuk pulang, aku dan Sae tidak berbicara satu sama lain. Sebisa mungkin
Sebelas“Jangan jauh-jauh, Kucing Biru!”Saat itu juga aku berhenti melangkah. Kakiku terdiam di tempat semula. Aku mencoba untuk menoleh, sambil menggigit bibir bawah, berusaha untuk tidak memelotot sejadinya. Rasa kagetku kentara ketika tubuh mulai bergetar.Aku pikir Sae tertidur, tapi kenapa dia sadar aku datang?“Ah, aku pikir kamu tidur. Sori kalau ini bikin kamu kebangun,” ucapku sambil berbalik, lalu menangkupkan kedua tangan di depan perut, mengelus bagian sikut agar terasa hangat. Sae sekarang sudah duduk tegap sambil menatapku. Jaketnya dia eratkan di tubuhnya.Dia menatapku sekilas, tampak jelas senyum manisnya terukir beberapa jenak sebelum akhirnya dia menatap kosong meja makan. “Aku enggak tidur.”“Tapi, lampunya mati.”“Iya. Sengaja.”“Kena---”“Bau tubuh kamu aku hafal. Jadi, aku bisa tahu siapa yang pasangin j
SepuluhEmbusan angin malam cukup membuatku menggigil. Satu dua kali aku menggosok telapak tangan, mencoba menghangatkan diri dari cuaca yang tak mengenakan ini. Jaket hijau yang tadi dipakai saat perjalanan, sudah menempel lagi di tubuhku.Sebuah papan berukuran tujuh puluh kali satu meter terbuat dari kayu yang diraut tipis dijadikan sebuah meja berdiri di hadapanku. Bagian tengah kayu tersebut dibuat bolong untuk memberi celah pohon kecil yang menjadi kaki meja itu sendiri. Di sisi kanan dan kirinya ada bilah kayu lainnya yang dijadikan kursi. Di kursi itulah aku duduk sendirian, mataku lurus pada air laut malam hari.Tadi siang sebelum kapal kami sampai di pelabuhan, kata Arrani aku kembali pingsan. Tak banyak yang aku ingat hal apa saja yang terjadi sebelum pingsan itu. Namun, yang jelas, ketika aku tersadar sudah ada di penginapan.Rumah bercat ungu dengan keramik lantai warna cokelat di belakangku ini adalah homestay yang
SembilanSudah kukatakan aku tidak apa-apa ketika Arrani terus menyanyakan kondisiku yang banyak diam dan memilih duduk di bagian paling ujung samping jendela. Aku hanya sedang tidak enak badan dan memilih untuk diam saja selama perjalanan. Lagipula, tidak banyak bahan pembicaraan menarik yang ingin aku bahas. Semua menjadi begitu menyebalkan. Bahkan, Ahmad tidak berani mengganguku. Sejak keberangkatan kami beberapa menit yang lalu, si Cebol tidak sedikiat pun mengusikku. Dia mungkin paham dengan suasana hatiku, lalu memilih untuk menjauh.Di bangku bagian depan ada Resha yang duduk tepat di samping Sae yang sedang menyetir. Di barisan kedua ada aku, Tania, Arrani dan ada si Cebol yang sedang sibuk menggoda Resha. Empat teman Ahmad berada di belakang.Sebelum berangkat tadi, Ahmad sempat menanyakan ke mana kita akan berangkat. Sae bilang, sebuah pulau tidak jauh dari Kota Tangerang. Aku tidak sempat mendengar dengan jelas nama pulaunya, tapi jik