Benda di pergelangan tangan menunjukkan pukul 16.40. Aku dan Sherly berkeliling di lantai dasar mall ini, sambil sesekali melihat ke arah depan toko perhiasan dekat pintu masuk. Namun, Arkan belum juga menampakkan batang hidungnya. Mulai bosan, akhirnya aku putuskan untuk menunggu di depan toko perhiasan.
"Kita tunggu di sini aja, ya," pintaku pada Sherly.
"Ok, aku ikut aja. Eh, Ri, mending kita lihat-lihat aja dulu, cincinnya."
Benar juga apa kata Sherly, sambil menunggu Arkan yang katanya sekitar lima menit lagi sampai. Aku mulai menyusuri etalase emas toko ini. Sebenarnya aku tidak begitu menyukai perhiasan, apa pun itu. Melihat emas berjejer di depan mata, tak ada ketertarikan sama sekali. Kalau disuruh memilih, pasti aku tak bisa menentukan pilihan. Semua tampak cantik mengkilap.
"Ri, lihat deh yang paling atas, ke-dua dari ujung kanan, itu cocok untuk kamu," ujar Sherly, jarinya menunjuk ke arah pojok etalase.
"Iya, ya. Aku mah nggak bisa milih, terserah Arkan aja, yang penting ukurannya pas."
"Ish kamu mah, udah yang itu aja, simple tapi manis. Cocok melingkar di jari kamu."
Untuk urusan ini, aku serahkan pada Sherly dan Arkan. Aku terima beres saja, lain hal kalau aku menyukai perhiasan. Pasti sudah kupilih sesuai seleraku. Tak lama kemudian terdengar suara seseorang dari belakang.
"Riri, Sherly, maaf, ya nunggu lama." Arkan datang dengan rambut yang sedikit berantakan, anak poninya berjejer tak beraturan di keningnya. Mungkin ia tak sempat merapikannya karena terburu-buru. Wajahnya basah dengan keringat, terlihat ... maskulin. Uhhh. Merasa diperhatikan, ia langsung menunduk.
"Gak pa-pa kok, Riri jadi bisa lihat-lihat dulu, mana yang mau dipilih," sahut Sherly.
"Oh, ya? Kamu pilih yang mana, Ri?" Arkan bertanya, matanya menyusuri barisan cincin dalam kaca.
"Yang ke-dua dari pojok kanan atas," jawab Sherly bersemangat.
Sebenarnya yang mau lamaran siapa sih? Emang dasar Sherly, hufftt. Tak salah aku mengajaknya, dia paling mengerti sahabatnya ini.
"Benar, yang itu?" tanya Arkan meyakinkan.
"Iya, cincinnya simpel, aku suka." Terpaksa aku berbohong, demi menjaga perasaan Arkan. Bukankah menyenangkan orang lain itu berpahala?
Arkan meminta pegawai toko mengambil cincin yang kupilih untuk mencobanya. Pegawai itu memberikan cincin padaku, lalu aku pakai di jari manis sebelah kiri. Ukurannya pas sekali. Pilihan Sherly memang pas. Akhirnya cincin itulah yang dibeli Arkan.
Setelah membayar dengan sejumlah uang, Arkan mengajak aku dan Sherly ke food court. Dengan halus, aku menolaknya. Aku bilang padanya kalau tadi kerjaan di kantor sangat banyak , aku lelah dan ingin cepat pulang.
*
Dua minggu berlalu, hari yang dinanti telah tiba. Aku menatap pantulan wajah di cermin. Riasan tipis yang sangat sederhana tetapi tampak memesona. Ya, aku jarang sekali berhias. Kata Mama, wanita yang biasa polos tanpa make up, wajahnya akan terlihat pangling. Gamis brokat dipadu dengan jilbab crepe diamond. Warna pastel mendominasi pakaian dan hiasan ornamen di dinding ruang tamu.
Aku tetap menunggu di dalam kamar, sebelum acara penyerahan cincin. Dari dalam terdengar suara perwakilan keluarga Arkan. Adik dari papanya Arkan yang memperkenalkan dirinya itu, menjelaskan maksud dan tujuan mereka datang ke rumah ini. Acara berlanjut perkenalan dengan masing-masing anggota keluarga.
Kini, tiba di acara inti, yaitu pemberian cincin. Aku keluar kamar, menuju ruang tamu. Dalam sekian detik, semua mata tertuju padaku, tak terkecuali Arkan. Ia terlihat takjub, mungkinkah ia terpesona? Penampilan Arkan tak ada yang istimewa, sama seperti biasa. Hanya saja wajahnya memancarkan aura kebahagiaan. Ya, akhirnya aku berhasil membuatnya tersenyum. Andai aku bisa mengabadikan momen langka tadi, hihii.
Aku duduk bersimpuh di samping Mama. Arkan berada tepat di depanku, berjarak sekitar dua lantai. Di sampingnya, ada calon ibu mertuaku. Arkan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak cincin berwarna merah. Ia membukanya, lalu mengambil cincin untuk kemudian di berikan pada Ibunya Arkan.
Sekarang giliran Ibunya Arkan yang memakaikan benda kecil berbentuk lingkaran itu pada jari manis sebelah kiri tanganku. Alhamdulillah, acara berjalan dengan lancar. Di penghujung acara setelah makan-makan, kedua keluarga sepakat untuk melanjutkan ke tahap pernikahan dua bulan kemudian.
*
Sebulan mendekati acara, Bayu memberi kabar kalau Arkan jatuh sakit. Kata Bayu, Arkan terlalu bersemangat mengurus persiapan pernikahan sampai sering menunda makan. Sudah tiga hari calon suamiku itu terbaring lemah di rumah. Gejala typus kata dokter yang memeriksanya. Bayu mengajak aku dan Sherly untuk menjenguknya.
Kami bertiga menjenguk Arkan sore hari sepulangnya dari kantor dengan menumpang mobil Bayu. Begitu sampai di rumah Arkan, ada motor matic terparkir di halaman depan. Sepertinya ada tamu yang datang, entah siapa. Setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu. Ibunya Arkan menyambut kedatangan kami.
"Eh, Neng Riri dan temannya, silakan masuk," ucapnya ramah.
Tanpa basa basi, kami bertiga pun langsung masuk. Betapa terkejutnya aku, melihat pemandangan yang tak mengenakan. Arkan duduk bersandar di sofa dengan mata terpejam. Di sebelahnya duduk seorang wanita cantik yang sedang memeras kain waslap untuk mengompres. Siapa dia?
"Arkan, ada Neng Riri datang," ucap Ibunya Arkan, lalu mempersilakan kami duduk.
Mendengar ucapan Ibunya, Arkan segera membuka mata dan menaruh waslap yang tadi sudah ditempelkan pada keningnya oleh wanita berambut panjang itu. Si wanita, tersenyum melihat kedatangan kami.
"Bayu, Riri, Sherly ke sini kok gak ngabarin dulu?" Arkan mengabsen kami.
"Biar surprised, Bro." Bayu menimpali.
"Arkan, ini untukmu." Aku memberikan bungkusan berisi buah dan beberapa makanan, kuletakkan di meja.
"Makasih, ya."
"Ini pasti yang namanya Riri, kan? Kenalin, aku Sandra, sepupunya Arkan." Tanpa diminta, tiba-tiba saja wanita ini memperkenalkan dirinya. Ia mengulurkan tangan, dan langsung aku sambut sembari tersenyum simpul. Jarak kami memang dekat. Aku duduk di pinggir sofa dekat dengan Sandra yang duduk berdempetan dengan Arkan di sofa tunggal.
Oh, sepupu. Sedekat itukah mereka?
"Maaf, ya, waktu lamaran kemarin aku nggak bisa datang," lanjutnya.
"Iya, gak pa-pa," jawabku.
"Aku ke dalam dulu, ya." Sandra melenggang ke dalam membawa baskom kecil berisi air dan waslap.
Arkan mengatakan kalau sebenarnya, ia hanya butuh istirahat seharian. Besok pasti sembuh, asalkan makan dan minum obat yang teratur. Lalu, mengalirlah obrolan ringan seputar pekerjaan antara Bayu dan Arkan.
"Ayo diminum dulu, seadanya saja, ya."
Mamanya Arkan dan Sandra membawa minuman dan beberapa makanan untuk kami.
"Maaf, ya, Bu, jadi ngerepotin," celetukku.
"Iya, Bu. Kami nggak lama, kok. Cuma ingin tahu kondisi Arkan." Sherly menyikut lengan kananku.
"Nggak repot, Neng. Lha ini, apa?" Ibunya Arkan mengambil bungkusan di meja.
"Itu dari teman-teman, Bu," sahut Arkan.
"Uwa, Sandra pulang, ya. Arkan, pamit dulu, ya, semuanya." Sandra menganggukkan kepala, kemudian berlalu meninggalkan kami.
Setelah beberapa menit ngobrol, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Melihat kondisi Arkan yang masih lemas, harus banyak istirahat. Bu Rukmini--Ibunya Arkan--menahanku di ambang pintu. Ia memaksa supaya aku tetap tinggal untuk makan malam bersama.
"Ya, Neng? Kapan lagi bisa makan bareng. Sebentar lagi Nindi pulang, kalian bisa kenal lebih dekat." Nindi itu adiknya Arkan.
Sherly menatapku dengan isyarat mata, menyuruhku untuk mengiyakan ajakan Bu Rukmini. Dengan berat hati, aku terima tawarannya. Bayangan soto ayam dengan kepulan asapnya, taburan bawang goreng dan sedikit perasan jeruk nipis buatan Mama yang menanti di meja makan, menguar seketika. Ya, padahal aku sudah menahan liur sejak Haikal--adikku--mengirim gambarnya melalui pesan w******p beberapa menit yang lalu.
Sherly dan Bayu pamit. Tinggallah aku di sini dengan perasaan yang ... entah. Bu Rukmini mengajakku ke dalam. Arkan sudah berada di kamarnya sejak kami berpamitan tadi. Jadi, ia tidak mengetahui kalau aku masih di sini.
Azan Magrib berkumandang, aku meminta izin untuk ke kamar mandi. Ketika sedang berwudhu, tiba-tiba saja pintu kamar mandi digedor, membuatku kaget.
"Nindi, buruan! Abang mules nih!" seru Arkan dari balik pintu.
Duuh, Pak Arkan! Segera kupercepat merapikan jilbab. Seiring detak jantung yang berdegup cepat, entah efek kaget atau apa.
"Nindi ...!"
Perlahan kubuka pintu. Baru setengah terbuka, ia langsung merangsek masuk. Lalu, wajahnya tampak terkejut begitu badan kami bertabrakan. Matanya membulat sempurna. Ekspresi wajahnya membuatku menahan tawa.
Bersambung
"Maaf, Pak! Eh ... Arkan." Aku menutup mulut. Sesaat matanya tak berkedip. Lalu, aku langsung melesat keluar meninggalkannya. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu ditutup agak kencang. Aku menghela napas sambil mengelus dada. Hufft.Selesai salat, aku merapikan jilbab yang berantakan. Kamar Nindi ini sangat nyaman, dengan nuansa hijau yang menyejukkan mata. Dari mulai dinding, sprei, meja belajar sampai sisir yang tergantung di cermin, semua berwarna hijau.Setelah penampilan rapi, aku beranjak ke ruang depan, kemudian duduk di sofa. Sudah lewat magrib, belum ada tanda-tanda Nindi pulang. Pak Hamka--bapaknya Arkan--juga belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, dulu aku tak pernah berani pulang sekolah lewat dari jam lima sore. Mungkin saja, Nindi sedang ada tugas sekolah yang urgent."Lho, Neng Riri kok malah duduk di sini? Ayo, ke dalam, kita makan. Sudah lapar, 'kan?" Bu Rukmini menghampiri, lalu menarik lenganku pelan.Di dalam, terlihat
"Abang nganterin souvenirnya besok aja, ya?" Nindi memohon, bukan, tepatnya merengek manja pada Arkan dengan mimik wajah yang dibuat-buat. Ish, lebay deh."Lagian ngapain juga sih, datang ke sini segala? Biasanya juga Abang yang nganter dari kemarin-kemarin. Emang dasar ganjen!" lanjutnya."Nindi!" Mata Arkan membulat, tangannya menutup mulut adiknya yang seperti rem blong itu. Lalu, ia menyuruh Nindi untuk meminta maaf padaku. Namun, Nindi hanya mengerucutkan bibir, menggerutu tidak jelas. Gadis bertubuh mungil itu terus saja merangkul lengan Arkan dengan mesranya.Kali ini ucapan Nindi benar-benar membuatku geram, ditambah tatapan sinisnya tadi. Berhasil membenarkan prasangkaku selama ini, kalau Nindi memang sangat menyebalkan.Aku memang menahan diri untuk tidak membalas ucapannya, tetapi dalam hati terus saja memaki. Mungkin Arkan menyadarinya begitu melihat ke arahku. Entah rupa wajahku seperti apa, yang jelas aku juga tidak bisa menyembunyikan kekes
Warning! 21+Bab 5Malam Pertama?Aku harus berbuat apa setelah ini? Rasanya masih malu untuk ... aahhh ....Aku mendengkus, kesal! Memangnya hanya kamu saja yang mau? Lihat saja nanti! aku bakalan habisin kamu, Arkana Putra. Duh! Ngomong apa, sih aku!Aku ambil baju yang akan kukenakan nanti di hadapannya. Aku menyeringai tipis, membayangkan ekspresinya nanti ketika melihat penampilanku. We'll see .....Selesai melipat mukena, aku hendak ke luar kamar menuju dapur. Perutku sudah meminta untuk diisi. Minimal segelas teh hangat sebagai energi untuk memulai aktivitas pagi. Namun, langkah kaki ini terhenti saat Arkan menarik lenganku pelan. Arkan baru saja selesai mengaji."Mau ke mana?" tanyanya menyelidik."Ke dapur, aku laper. Mau sekalian aku bikinin kopi?""Saya nggak biasa ngopi pagi." Arkan mulai merapatkan tubuhnya. Membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Padahal belum pemanasan juga, eh
Bab 6Dua KejutanSelepas salat Zuhur dan makan, aku menghabiskan waktu di kamar bersama Arkan. Aku sibuk dengan ponsel di tangan. Arkan? Ia lebih dulu bermesraan dengan benda pipih berkamera itu. Entah apa yang ia lihat pada layar ponselnya. Jemarinya tampak sibuk mengetik, sesekali seulas senyum terbit di bibirnya yang seksi. Ya, bagiku bibir itu seksi, apalagi kalau tersenyum sangat manis, membuat hatiku meleleh seketika."Ehem." Sengaja, aku berdeham sambil melirik ke layar ponsel Arkan.Arkan bergeming, matanya fokus menatap layar tanpa berkedip. Apa sih yang ia baca? Sampai tidak mendengarkan aku. Atau memang sengaja mengabaikan. Aku berdeham sekali lagi, kali ini lebih keras.Arkan menoleh, ia menatapku lumayan lama, lalu berkata, "Kenapa? Minta cium?" Ia menaikkan sebelah alisnya.Ish, dasar mesum! Rutukku, tentu hanya dalam hati. Aku harus bisa bersabar menghadapi sifatnya yang ... masih sulit kutebak. Ini baru permulaan, masi
Bab 7Jogja, I'm Coming"Nindi, bukannya Kakak nggak mau ngajak, tapi ini cuma untuk dua orang." Duh, bagaimana aku menjelaskannya? Lagi pula, mana ada bulan madu bertiga?Nindi mulai bicara, agak panjang. Ia bercerita, sejak kecil sampai sekarang tidak pernah sedikit pun berpisah dengan Arkan. Dari mulai Nindi belajar jalan, makan, dan bermain semua ditemani abangnya itu. Dengan telaten, Arkan menyuapi Nindi kecil. Memang Nindi tidak begitu mengingatnya, semua itu Arkan yang menceritakan pada Nindi.Kelahiran Nindi disambut riang oleh Arkan. Ia yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun, sangat senang mempunyai seorang adik perempuan. Pasalnya, ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang hanya selisih dua tahun darinya.Nindi Aulia Putri, namanya pun Arkan yang memberikan. Tak heran, jika Arkan sangat menyayanginya. Namun, menurutku justru sikap Arkan yang berlebihan itu membuat Nindi jadi terlalu manja dan ... aneh. Ya, ane
Bab 8(Masih) Explore JogjaAku masih terpaku melihat gambar pada layar benda pipih di tangan. Mencoba mengingat, barangkali aku pernah bertemu wanita ini. Namun, tak jua kuingat apa pun tentangnya. Mas Arkan tampak sangat akrab, bahkan di foto ini sepertinya ia tengah asik mengobrol.Mas Arkan menyentuh bahuku, saat menyadari kalau aku tengah melamun. "Sayang, nggak dengerin mas?" tanyanya sambil menatapku dengan kedua alis yang bertaut."Eh, nggak. Ng ... itu, aku ...." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ponsel yang kupegang di tangan kiri, sudah kuletakkan di kasur."Mikirin apa, sih, sampai mas ngomong nggak didengerin?" Mas Arkan membelai lembut rambutku."Nggak ada, kok, Mas. Aku cuma kecapean aja." Biar saja kusimpan dulu pertanyaan tentang foto wanita itu. Aku tidak ingin merusak suasana bulan madu kami.Mas Arkan menyuruhku untuk merebahkan kepala di pangkuannya. Kami mengobrol santai perihal perjalanan tadi. Sambil memai
Bab 9Bulan Madu yang Harus Berakhir"Demam katanya, meriang.""Terus?""Nanti mas minta tolong Sandra aja." Mas Arkan masih asik menyantap kacang rebus.Dasar manja! Di rumah kan ada Ibu, kenapa masih minta abangnya pulang? Aku menghela napas, lalu menghirup udara dengan rakus. Agar rasa panas yang tiba-tiba saja hinggap segera berganti dengan sejuknya oksigen. Sabar, Ri."Mas, buruan kabari Sandra. Nanti Nindi telepon lagi." Aku berkata selembut mungkin agar terdengar biasa.Tanpa menjawab, Mas Arkan langsung mengirimkan pesan pada Sandra untuk menemani Nindi. Kebetulan sepupu Mas Arkan itu tidak bekerja. Kegiatannya hanya membantu menjaga toko kelontong milik orang tuanya. Jadi, ia punya banyak waktu luang.Setelah puas menikmati keindahan Jurang Tembelan, aku dan Mas Arkan melanjutkan perjalanan ke Panguk Kediwung dengan menggunakan mobil. Jarak dari Jurang Tembelan sekitar lima kilometer ke arah bawah dusun Ked
Bab 10Nindi Berulah LagiMas Arkan masih terus menggenggam tangan Nindi, bibirnya tampak bergerak-gerak sepertinya ia sedang merapalkan doa. Satu sisi, aku mengerti posisi Mas Arkan sebagai seorang kakak. Akan tetapi, di sisi lain aku merasa perlakuannya ini berlebihan.Tak lama kemudian, mata Nindi mulai bergerak perlahan sampai akhirnya terbuka. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat matanya tertuju pada Mas Arkan, ia berkata, "Abang, Abang udah pulang?" Nindi memberikan seulas senyum di bibirnya yang pucat. Suaranya terdengar parau."Ssttt, kamu jangan banyak bicara dulu." Telunjuk Mas Arkan ditempelkan pada bibir mungil Nindi. "Abang akan nemenin kamu sampai sembuh," lanjutnya kemudian."Kamu pulang aja, biar ibu yang nginep malam ini. Kamu kan baru aja sampai, harus istirahat. Besok gantian kamu yang nginep." Ibu berdiri, lalu menghampiri Mas Arkan.Nindi menarik tangan Mas Arkan, kepalanya menggeleng-geleng. Pert
Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t
Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,
Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da