Share

I Love You My Teacher
I Love You My Teacher
Penulis: Indhira Syah

Perkenalan

Penulis: Indhira Syah
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Cieee ... yang mau ketemu calon suami, wajahnya berbunga-bunga nih!" Suara Sherly membuyarkan lamunanku. Aku hanya tersenyum menanggapinya. 

Sudah hampir sepuluh menit aku dan Sherly berada di sebuah kafe di bilangan Jakarta. Kami menunggu dua orang yang akan menemani makan siang. Bagiku, ini bukan makan siang biasa. Ya, karena tujuan dari pertemuan ini adalah perkenalan dengan calon suamiku. Calon? Entahlah.

Kemarin, tiba-tiba saja Sherly menelepon semenjak kurang lebih seminggu tidak ada kabar. Ia memintaku untuk berkenalan dengan seseorang. Awalnya aku menolak, tetapi Sherly bilang kalau temannya ini ingin sekali bertemu denganku. Pasalnya, Sherly sudah beberapa kali mempromosikan--menceritakan tentang--aku pada lelaki itu. 

Tak lama setelah pelayan membawa pesanan kami, dua orang yang ditunggu akhirnya datang. Setelah mengucap salam dan menyapa, kemudian mereka duduk.

"Maaf ya, kalau sudah menunggu lama," kata lelaki berbaju marun sembari menarik kursi, lalu duduk setelahnya. Diikuti pria berparas tampan di sebelahnya.

"Nggak lama kok. Iya, kan, Ri?" 

"Iya," jawabku dengan kepala mengangguk. 

Kami pun saling berkenalan. Teman Sherly namanya Bayu, dia teman satu kampus sewaktu kuliah. Bayu dan Sherly ingin menjodohkan aku dengan teman Bayu, Arkan namanya. 

Arkan? wajahnya itu, mengingatkanku dengan seseorang yang pernah kukenal. Dugaanku pun ternyata benar, aku memang mengenalnya. Pantas saja dari awal datang, wajahnya seperti tak asing bagiku. 

Bayu memperkenalkan Arkan denganku. Arkan adalah seorang guru di salah satu SMA Negeri di Jakarta Timur. Sekolah itu adalah tempatku menimba ilmu delapan tahun yang lalu. Tepat sekali, aku semakin yakin kalau ia adalah Arkan yang kukenal. Arkana Putra, seorang guru Bahasa Inggris. 

Wajahnya tak banyak berubah, alis tebal dan hidung mancungnya belum lagi sorot tajam matanya. Masih sama seperti enam tahun lalu saat ia menjadi guru baru di sekolahku. Kalian tahu kan? kalau ada guru baru, masih muda, dan wajahnya tampan, pasti bakalan jadi idola para siswi. 

Ingatanku kembali ke zaman di mana aku masih mengenakan seragam putih abu-abu. Waktu itu hari senin, Bahasa Inggris adalah pelajaran pertama setelah upacara selesai. Minggu lalu, Pak Arkan tidak mengajar karena sedang sakit. Hari ini, sejak di lapangan tadi aku tahu kalau Pak Arkan sudah masuk kembali. 

Seperti biasa,  Pak Arkan selalu menanyakan kabar kami sebelum mulai pelajaran. Khusus hari ini ia pun meminta maaf sebab minggu lalu tidak bisa masuk karena sakit. 

"Students, have you finished your home work?" tanya Pak Arkan sambil mengambil spidol dan menuliskan sesuatu di white board. Tanpa menunggu jawaban, ia perintahkan kami untuk mengumpulkan PR. 

Aku mencari buku Bahasa Inggris di dalam tas, tetapi apa yang dicari tak kudapat. Sampai semua isi tas kukeluarkan. Tiba-tiba Pak Arkan datang menghampiri.

"Kenapa? Buku kamu ketinggalan lagi?"

"I-iya, Pak." Duh, gimana ini? sudah dua kali aku ketinggalan buku Bahasa Inggris. Aku baru ingat, setelah mengerjakan PR semalam ketiduran. Bukunya pasti masih ada di meja belajar. Kenapa sih, bisa sampai lupa lagi? 

"PR-nya sudah kamu kerjakan belum?"

"Sudah, Pak," jawabku dengan kepala menunduk. 

"Ok, sama seperti yang lalu, hukumannya kamu jadi asisten saya selama jam pelajaran berlangsung!"

"Iya, Pak!" 

Itulah perjanjian kami sekelas dengan Pak Arkan, waktu pertama kali ia menginjakkan kakinya di kelas ini. Jika ada yang tidak mengerjakan PR atau tidak membawa buku, maka harus dapat hukuman. Bagiku, hukuman ini adalah sesuatu yang menyenangkan. Aku bisa menikmati wajah tampannya dari jarak lebih dekat. Ya, ada satu kursi yang disiapkan di depan meja guru untuk siswa yang dapat hukuman. Tentu saja dengan senang hati aku menempatinya. 

Selama pelajaran berlangsung, aku harus menggantikan Pak Arkan menulis di white board. Aku hendak melangkah ingin mengambil penghapus ketika tiba-tiba terjatuh akibat tali sepatu yang tak sengaja kuinjak. Refleks Pak Arkan menangkapku sebelum tubuh ini jatuh ke lantai. 

Oh my God! Ini seperti adegan di FTV yang sering kutonton. Sesaat mata kami saling bertatap. Sebelum akhirnya Pak Arkan melepaskan pegangannya pada tubuhku. Sontak teman sekelas bersorak riuh.

"Huuu ...."

"Mmm makasih, Pak!

"Benarkan tali sepatumu!"

"Iya, Pak!"

Kejadian itu masih sangat kuingat dengan jelas walau sudah enam tahun berlalu. Kini, ia ada di hadapanku, bukan sebagai guru. Namun sebagai calon pendamping hidupku. 

Ia tak banyak bicara, hanya sekali bertanya tentang pekerjaanku. Gaya bicaranya pun masih sama seperti dulu, kaku. Mungkin karena inilah ia belum menikah sampai sekarang di usianya yang sudah kepala tiga. Sulit sekali melihat senyuman di wajahnya. Guyonan Bayu pun hanya ia tanggapi dengan senyuman simpul. Ah, Pak Arkan semakin membuatku penasaran. 

"Riri, aku ke toilet sebentar ya," ucap Sherly.

Tak lama kemudian ponsel Bayu berbunyi tanda panggilan masuk. Bayu pun menjauh dari meja kami untuk menjawab teleponnya. Tinggallah aku dan Arkan berdua. Setelah beberapa menit saling diam, tiba-tiba ia bersuara. 

"Sepertinya mereka sengaja membiarkan kita berdua."

"Ya, mungkin mereka ingin memberikan waktu untuk kita ngobrol."

Hening. Kami kembali saling terdiam. Baiklah, sepertinya aku yang harus memulai. 

"Mmm ... rencana kamu apa selanjutnya setelah perkenalan ini?"

Mendengar pertanyaanku, ia menatapku lama. Ya, lama sekali seperti sedang mencari jawaban atas pertanyaanku tadi. Hingga akhirnya kalimat itu meluncur dari bibirnya. 

"Dua minggu lagi, aku akan datang ke rumah untuk melamarmu," ucapnya dengan mantap.

"Hah?" Aku terkejut. "Pak Arkan, yakin?"

"Ya. Kamu nggak mau? Oh, ya, jangan panggil bapak, Arkan saja." 

Aku hanya menjawab dengan anggukan. Ekspresinya kaku, membuatku gemas. Sekarang gantian aku yang menatapnya lama. Ia sepertinya sama sekali tak mengenaliku. Selain penampilanku yang berbeda, wajar saja bagi seorang guru yang tak ingat siswa dari sekian banyak jumlahnya. 

Aku mengenakan jilbab sejak semester akhir kuliah. Sementara di sekolah dulu aku masih mengenakan rok pendek. Tentu saja ia tak mengenaliku. Sedangkan penampilan Pak Arkan tidak ada yang berbeda, jelas aku mengenalnya.

Ada desiran aneh dalam dada ketika kami beradu pandang. Duh, kenapa wajahmu datar sekali, Pak. Mana senyummu? Tak apalah, nanti pasti aku bisa membuatmu tersenyum, lihat saja!

"Ehem ... jangan lama-lama liatnya woy, belum halal!" ucap Bayu sambil menepuk bahu Arkan, mengagetkannya. Membuatku terkekeh melihat ekspresi wajahnya tadi, lucu. 

"Gimana kelanjutannya, kawan?" tanya Bayu pada Arkan. 

"Gimana, Riri?" Arkan malah melempar pertanyaan Bayu padaku. 

"Tunggu Sherly datang ya," jawabku menetralisir rasa grogi yang tiba-tiba datang. 

Tak lama kemudian Sherly datang. 

"Sorry, ya, nunggu lama. Gimana, Ri pendekatannya?" 

Aku menatap Sherly, lalu pandangan beralih ke meja. Tiba-tiba lidah terasa kelu, seiring debaran di dada yang makin tak menentu. Kuaduk orange float di hadapan, memainkan sedotannya, berusaha menutupi rasa grogi yang masih menghinggapi. 

"InsyaAllah dua minggu lagi Arkan akan melamarku."

"Wah ... selamat yaa, Riri!" ucap Sherly sambil memelukku.

"Selamat, Bro! Akhirnya kawanku yang satu ini bakalan nikah juga," ucap Bayu sambil memeluk Arkan.

Suasana kafe mendadak terasa syahdu. Ditambah alunan lagu yang terdengar, menambah aura kebahagiaan di sekeliling kami semakin terasa. 

'Dengarkanlah wanita pujaanku

Malam ini akan kusampaikan

Janji suci kepadamu dewiku

.... '

*

Aku bekerja di kantor biro perjalanan. Semenjak maraknya penjualan tiket secara online, kantorku terkena imbasnya. Omset menurun, tetapi big boss masih bisa menanganinya. Bagian marketing yang tidak lain sang empunya beserta manajer dapat mengatasinya dengan ilmu pemasaran yang mumpuni. Aku hanya membantu sebisaku, mempromosikan paket wisata perjalanan di media sosial dan kepada teman-teman, terutama Sherly. Dia memiliki banyak l**k pertemanan yang menyukai traveling.

Kerjaan di kantor hari ini menumpuk. Menjelang akhir bulan, laporan dari berbagai cabang datang beruntun. Belum lagi, planning pembukaan cabang baru di Surabaya. Kepalaku terasa berat, seperti ditimpa beban. Pening. Aku memijat pelipis, sejenak memejamkan mata. Lalu mengatur napas, menghirup udara perlahan, kemudian membuangnya pelan-pelan. Rileks.

Daripada aku pusing memikirkan pekerjaan, lebih baik menepi sejenak. Cappucino adalah pilihan yang tepat. Aku bangkit, berjalan menuju pantry. Kantor ini memang sepi, hanya ada lima pegawai. Dua orang di bagian ticketing, aku bagian administrasi dan penjualan, satu orang kurir dan satu lagi manajer pelaksana harian.

Aroma cappucino membius indra penciuman, membuatku addicted. Entah sejak kapan aku ketagihan kopi ini. Bunyi ponsel mengusik ketenanganku. Ada pesan masuk dari seseorang.

[Riri, nanti sore bisa ketemuan?]

Pak Arkan. Mau apa, ya, dia? Mau ngajak dinner? 

[Ketemuan di mana?]

Tak lama kemudian ia membalasnya. Arkan ingin bertemu di salah satu mall dekat kantorku. Ia mengajakku memilih cincin untuk lamaran nanti. Katanya, kalau beli sendiri, khawatir ukurannya tidak pas di jari. Aku masih malu kalau jalan berdua.

[Aku boleh ajak Sherly, kan?]

[Tentu saja]

Baiklah, sore ini aku akan puas menatap wajah kaku Pak Guru lagi. Ahaaay.

Bersambung

Bab terkait

  • I Love You My Teacher   Lamaran

    Benda di pergelangan tangan menunjukkan pukul 16.40. Aku dan Sherly berkeliling di lantai dasar mall ini, sambil sesekali melihat ke arah depan toko perhiasan dekat pintu masuk. Namun, Arkan belum juga menampakkan batang hidungnya. Mulai bosan, akhirnya aku putuskan untuk menunggu di depan toko perhiasan."Kita tunggu di sini aja, ya," pintaku pada Sherly."Ok, aku ikut aja. Eh, Ri, mending kita lihat-lihat aja dulu, cincinnya."Benar juga apa kata Sherly, sambil menunggu Arkan yang katanya sekitar lima menit lagi sampai. Aku mulai menyusuri etalase emas toko ini. Sebenarnya aku tidak begitu menyukai perhiasan, apa pun itu. Melihat emas berjejer di depan mata, tak ada ketertarikan sama sekali. Kalau disuruh memilih, pasti aku tak bisa menentukan pilihan. Semua tampak cantik mengkilap."Ri, lihat deh yang paling atas, ke-dua dari ujung kanan, itu cocok untuk kamu," ujar Sherly, jarinya menunjuk ke arah pojok etalase."Iya, ya. Aku mah nggak bisa mil

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • I Love You My Teacher   Sibling

    "Maaf, Pak! Eh ... Arkan." Aku menutup mulut. Sesaat matanya tak berkedip. Lalu, aku langsung melesat keluar meninggalkannya. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu ditutup agak kencang. Aku menghela napas sambil mengelus dada. Hufft.Selesai salat, aku merapikan jilbab yang berantakan. Kamar Nindi ini sangat nyaman, dengan nuansa hijau yang menyejukkan mata. Dari mulai dinding, sprei, meja belajar sampai sisir yang tergantung di cermin, semua berwarna hijau.Setelah penampilan rapi, aku beranjak ke ruang depan, kemudian duduk di sofa. Sudah lewat magrib, belum ada tanda-tanda Nindi pulang. Pak Hamka--bapaknya Arkan--juga belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, dulu aku tak pernah berani pulang sekolah lewat dari jam lima sore. Mungkin saja, Nindi sedang ada tugas sekolah yang urgent."Lho, Neng Riri kok malah duduk di sini? Ayo, ke dalam, kita makan. Sudah lapar, 'kan?" Bu Rukmini menghampiri, lalu menarik lenganku pelan.Di dalam, terlihat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • I Love You My Teacher   Resah dan Gelisah

    "Abang nganterin souvenirnya besok aja, ya?" Nindi memohon, bukan, tepatnya merengek manja pada Arkan dengan mimik wajah yang dibuat-buat. Ish, lebay deh."Lagian ngapain juga sih, datang ke sini segala? Biasanya juga Abang yang nganter dari kemarin-kemarin. Emang dasar ganjen!" lanjutnya."Nindi!" Mata Arkan membulat, tangannya menutup mulut adiknya yang seperti rem blong itu. Lalu, ia menyuruh Nindi untuk meminta maaf padaku. Namun, Nindi hanya mengerucutkan bibir, menggerutu tidak jelas. Gadis bertubuh mungil itu terus saja merangkul lengan Arkan dengan mesranya.Kali ini ucapan Nindi benar-benar membuatku geram, ditambah tatapan sinisnya tadi. Berhasil membenarkan prasangkaku selama ini, kalau Nindi memang sangat menyebalkan.Aku memang menahan diri untuk tidak membalas ucapannya, tetapi dalam hati terus saja memaki. Mungkin Arkan menyadarinya begitu melihat ke arahku. Entah rupa wajahku seperti apa, yang jelas aku juga tidak bisa menyembunyikan kekes

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • I Love You My Teacher   Malam Pertama ?

    Warning! 21+Bab 5Malam Pertama?Aku harus berbuat apa setelah ini? Rasanya masih malu untuk ... aahhh ....Aku mendengkus, kesal! Memangnya hanya kamu saja yang mau? Lihat saja nanti! aku bakalan habisin kamu, Arkana Putra. Duh! Ngomong apa, sih aku!Aku ambil baju yang akan kukenakan nanti di hadapannya. Aku menyeringai tipis, membayangkan ekspresinya nanti ketika melihat penampilanku. We'll see .....Selesai melipat mukena, aku hendak ke luar kamar menuju dapur. Perutku sudah meminta untuk diisi. Minimal segelas teh hangat sebagai energi untuk memulai aktivitas pagi. Namun, langkah kaki ini terhenti saat Arkan menarik lenganku pelan. Arkan baru saja selesai mengaji."Mau ke mana?" tanyanya menyelidik."Ke dapur, aku laper. Mau sekalian aku bikinin kopi?""Saya nggak biasa ngopi pagi." Arkan mulai merapatkan tubuhnya. Membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Padahal belum pemanasan juga, eh

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • I Love You My Teacher   Dua Kejutan

    Bab 6Dua KejutanSelepas salat Zuhur dan makan, aku menghabiskan waktu di kamar bersama Arkan. Aku sibuk dengan ponsel di tangan. Arkan? Ia lebih dulu bermesraan dengan benda pipih berkamera itu. Entah apa yang ia lihat pada layar ponselnya. Jemarinya tampak sibuk mengetik, sesekali seulas senyum terbit di bibirnya yang seksi. Ya, bagiku bibir itu seksi, apalagi kalau tersenyum sangat manis, membuat hatiku meleleh seketika."Ehem." Sengaja, aku berdeham sambil melirik ke layar ponsel Arkan.Arkan bergeming, matanya fokus menatap layar tanpa berkedip. Apa sih yang ia baca? Sampai tidak mendengarkan aku. Atau memang sengaja mengabaikan. Aku berdeham sekali lagi, kali ini lebih keras.Arkan menoleh, ia menatapku lumayan lama, lalu berkata, "Kenapa? Minta cium?" Ia menaikkan sebelah alisnya.Ish, dasar mesum! Rutukku, tentu hanya dalam hati. Aku harus bisa bersabar menghadapi sifatnya yang ... masih sulit kutebak. Ini baru permulaan, masi

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • I Love You My Teacher   Jogja, I'm Coming

    Bab 7Jogja, I'm Coming"Nindi, bukannya Kakak nggak mau ngajak, tapi ini cuma untuk dua orang." Duh, bagaimana aku menjelaskannya? Lagi pula, mana ada bulan madu bertiga?Nindi mulai bicara, agak panjang. Ia bercerita, sejak kecil sampai sekarang tidak pernah sedikit pun berpisah dengan Arkan. Dari mulai Nindi belajar jalan, makan, dan bermain semua ditemani abangnya itu. Dengan telaten, Arkan menyuapi Nindi kecil. Memang Nindi tidak begitu mengingatnya, semua itu Arkan yang menceritakan pada Nindi.Kelahiran Nindi disambut riang oleh Arkan. Ia yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun, sangat senang mempunyai seorang adik perempuan. Pasalnya, ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang hanya selisih dua tahun darinya.Nindi Aulia Putri, namanya pun Arkan yang memberikan. Tak heran, jika Arkan sangat menyayanginya. Namun, menurutku justru sikap Arkan yang berlebihan itu membuat Nindi jadi terlalu manja dan ... aneh. Ya, ane

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • I Love You My Teacher   (Masih) Explore Jogja

    Bab 8(Masih) Explore JogjaAku masih terpaku melihat gambar pada layar benda pipih di tangan. Mencoba mengingat, barangkali aku pernah bertemu wanita ini. Namun, tak jua kuingat apa pun tentangnya. Mas Arkan tampak sangat akrab, bahkan di foto ini sepertinya ia tengah asik mengobrol.Mas Arkan menyentuh bahuku, saat menyadari kalau aku tengah melamun. "Sayang, nggak dengerin mas?" tanyanya sambil menatapku dengan kedua alis yang bertaut."Eh, nggak. Ng ... itu, aku ...." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ponsel yang kupegang di tangan kiri, sudah kuletakkan di kasur."Mikirin apa, sih, sampai mas ngomong nggak didengerin?" Mas Arkan membelai lembut rambutku."Nggak ada, kok, Mas. Aku cuma kecapean aja." Biar saja kusimpan dulu pertanyaan tentang foto wanita itu. Aku tidak ingin merusak suasana bulan madu kami.Mas Arkan menyuruhku untuk merebahkan kepala di pangkuannya. Kami mengobrol santai perihal perjalanan tadi. Sambil memai

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • I Love You My Teacher   Bulan Madu yang Harus Berakhir

    Bab 9Bulan Madu yang Harus Berakhir"Demam katanya, meriang.""Terus?""Nanti mas minta tolong Sandra aja." Mas Arkan masih asik menyantap kacang rebus.Dasar manja! Di rumah kan ada Ibu, kenapa masih minta abangnya pulang? Aku menghela napas, lalu menghirup udara dengan rakus. Agar rasa panas yang tiba-tiba saja hinggap segera berganti dengan sejuknya oksigen. Sabar, Ri."Mas, buruan kabari Sandra. Nanti Nindi telepon lagi." Aku berkata selembut mungkin agar terdengar biasa.Tanpa menjawab, Mas Arkan langsung mengirimkan pesan pada Sandra untuk menemani Nindi. Kebetulan sepupu Mas Arkan itu tidak bekerja. Kegiatannya hanya membantu menjaga toko kelontong milik orang tuanya. Jadi, ia punya banyak waktu luang.Setelah puas menikmati keindahan Jurang Tembelan, aku dan Mas Arkan melanjutkan perjalanan ke Panguk Kediwung dengan menggunakan mobil. Jarak dari Jurang Tembelan sekitar lima kilometer ke arah bawah dusun Ked

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • I Love You My Teacher   Kembalinya Gadis yang Menyebalkan

    Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t

  • I Love You My Teacher   Kata Hati

    Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,

  • I Love You My Teacher   Melepas Rindu

    Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala

  • I Love You My Teacher   Long Distance Married

    Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti

  • I Love You My Teacher   Kantor Baru

    Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang

  • I Love You My Teacher   Pindah ke Bandung

    Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."

  • I Love You My Teacher   Sakitnya Mas Arkan

    Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun

  • I Love You My Teacher   Sandra Mulai Berulah

    Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be

  • I Love You My Teacher   Bab 13

    Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da

DMCA.com Protection Status