Share

Sibling

Penulis: Indhira Syah
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-04 11:14:30

"Maaf, Pak! Eh ... Arkan." Aku menutup mulut. Sesaat matanya tak berkedip. Lalu, aku langsung melesat keluar meninggalkannya. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu ditutup agak kencang. Aku menghela napas sambil mengelus dada. Hufft.

Selesai salat, aku merapikan jilbab yang berantakan. Kamar Nindi ini sangat nyaman, dengan nuansa hijau yang menyejukkan mata. Dari mulai dinding, sprei, meja belajar sampai sisir yang tergantung di cermin, semua berwarna hijau.

Setelah penampilan rapi, aku beranjak ke ruang depan, kemudian duduk di sofa. Sudah lewat magrib, belum ada tanda-tanda Nindi pulang. Pak Hamka--bapaknya Arkan--juga belum menampakkan batang hidungnya. Padahal, dulu aku tak pernah berani pulang sekolah lewat dari jam lima sore. Mungkin saja, Nindi sedang ada tugas sekolah yang urgent.

"Lho, Neng Riri kok malah duduk di sini? Ayo, ke dalam, kita makan. Sudah lapar, 'kan?" Bu Rukmini menghampiri, lalu menarik lenganku pelan. 

Di dalam, terlihat Arkan sedang duduk. Tangannya sibuk menuangkan minuman ke dalam gelas yang berjejer. Ruang tengah rumah ini memang menyatu dengan ruang makan. Begitu masuk, pandanganku dapat melihat meja makan yang letaknya di sudut ruangan tidak jauh dari lemari televisi.

Bu Rukmini menarik kursi di sebelah Arkan. Lalu, menyuruhku untuk duduk. Tanpa menjawab, aku langsung mendaratkan pantat di kursi yang hanya berjarak satu lantai dengan Arkan. Ia sama sekali tidak menoleh atau pun bersuara. Sikap dinginnya ini mulai membuatku bosan. 

"Cukup, Bu." Arkan mengambil piring berisi nasi dari tangan Ibunya.

"Makan yang banyak, Bang. Biar kamu ada tenaga."

Pria di sampingku ini masih saja kaku. Apa dia masih malu dengan kejadian tadi? Mana ada seorang guru yang irit bicara seperti ini?

"Neng Riri makan yang banyak, ya. Ayo, jangan malu-malu. Anggap saja rumah sendiri." Bu Rukmini memberikan piring yang sudah berisi nasi.

"Makasih, Bu."

Sayur lodeh, bakwan udang, tahu, dan sambal. Sungguh menggugah selera makan, membuatku menelan air liur. Oh, ya, tidak ketinggalan kerupuk kaleng seribuan yang tersimpan manis dalam toples bening di sudut meja. Bagaimana aku mengambilnya? Jujur saja, aku masih malu.

"Kerupuknya, Neng." Seperti tahu pikiranku, Bu Rukmini mengambilkan toples kerupuk yang sudah dibuka. Dengan senang hati aku mengambil satu kerupuknya. Lagi, tak lupa kuucapkan terimakasih. 

Kami makan dalam suasana yang hening. Hanya terdengar suara denting alat makan. Bu Rukmini sesekali melirik ke arah anaknya yang tampak malas-malasan menyuapkan nasi ke dalam mulutnya.

Nasi dalam piringku masih separuh ketika terdengar suara gaduh dari depan. Tak lama kemudian, muncul seorang gadis berseragam putih biru berbalut jaket hijau.

"Ibu ...." panggil gadis berambut ikal sebahu itu, menghampiri kami.

"Kebiasaan deh, bukannya salam dulu." 

Nindi nyengir, memamerkan deretan giginya yang putih bersih. "Tadi udah, Bu, begitu buka pintu. Ibu aja nggak dengar." Lalu, ia mencium tangan ibunya.

"Abang ganteng, gimana sekarang? Udah kuat adu panco belum?" Nindi mengalungkan tangannya ke leher Arkan dari belakang. Terlihat ... manja. Ia lalu mengacak-acak rambut abangnya itu.

"Nindi ...!" Akhirnya Arkan bersuara. Ia merapikan rambutnya dengan jari.

Nindi tergelak sambil berlalu ke kamar. Bu Rukmini yang memperhatikan hanya menggeleng-gelengkan kepala. Aku sampai tidak menyadari kalau Pak Hamdan sudah berdiri di depan lemari TV, karena asiknya melihat perlakuan Nindi pada Arkan. Ia sedang melepas jam tangan, lalu menyimpannya di samping TV.

"Pak ...." Aku menganggukan kepala seraya tersenyum.

"Silakan dilanjut, makannya. Bapak mau mandi dulu." Pria berbadan tegap itu berlalu.

Pak Hamdan bekerja di sebuah hotel berbintang lima sebagai supervisor security--kepala keamanan. Menurut penuturan Ayahku, tahun depan beliau sudah mulai pensiun. Ayah menceritakan padaku sesaat setelah keluarga Arkan pulang waktu lamaran tempo hari. Ia bilang, Pak Hamdan itu jago bela diri. Apa keahlian pria berusia lima puluh lima tahun itu menurun pada anaknya? Aku jadi membayangkan Arkan sedang berlatih karate. Hihii.

"Neng, kenapa? makanannya nggak enak, ya?"

"Eh, nggak kok, Bu. Enak, sambalnya mantap." Aku mengacungkan jempol.

"Bu, tadi pakai mukenaku, ya?" Nindi ke luar dari kamar, berjalan ke arah kami. 

"Itu, tadi ibu kasih pinjam Neng Riri."

Nindi menatapku dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan. Sejak tadi, ia belum menegurku sama sekali. Ia mengedarkan pandangan ke meja makan. Lalu, tangannya mengambil bakwan udang dan langsung menggigitnya.

Setelah menghabiskan suapan terakhir, aku berkata, "Makasih, ya, Nin, mukenanya." Nindi tidak merespons. Ia masih asik mengunyah makanan di tangannya.

Aku hendak membereskan piring, lalu membawanya ke watafel untuk dicuci. Namun, Bu Rukmini melarangku. Katanya, biar Nindi saja, karena sudah menjadi tugasnya di rumah.

"Nanti aja, Bu, sekalian kalau aku udah makan." Ia berlalu menyusul Arkan ke kamar, masih dengan bakwan di tangannya.

"Bu, tolong siapkan sarung Bapak." Pak Hamdan datang dari arah dapur. Ia baru saja selesai mandi. Sepertinya, lelaki paruh baya itu ingin menunaikan Salat Magrib.

"Ibu tinggal sebentar, ya." Bu Rukmini beranjak ke kamar.

Ok, aku harus tunjukkan kepada Bu Rukmini, kalau aku ini adalah calon menantu idaman. Uhuuk. Aku melangkah ke dapur membawa piring kotor untuk dicuci. Saat hendak melewati kamar Arkan, aku mendengar gelak tawa suara mereka. Entah lelucon apa yang mereka tertawakan. Sepertinya mereka sangat akur.

*

Tiga hari sejak makan malam di rumah Arkan. Baru tadi subuh aku berkomunikasi lagi dengannya. Kesibukan di kantor, membuatku fokus menyelesaikan tugas sebelum masa cuti. Hari pernikahan tinggal dua minggu lagi. 

Persiapan sudah sembilan puluh persen, hampir selesai. Pagi ini sebelum ke sekolah, Arkan akan mampir ke rumah membawa sebagian undangan. Sebagian lagi Arkan yang mengurusnya.

Aku masih duduk menunggunya di teras. Sambil menikmati teh hangat dan pisang goreng buatan Mama. Tak lama kemudian, terdengar deru mesin motor. Arkan datang bersama ... Nindi. Ia membuka pagar, lalu masuk menghampiriku.

Buru-buru kutelan pisang yang masih kukunyah, lalu berdiri menyambutnya. Tanpa membuka sepatu, Arkan meletakkan bawaannya di teras. 

"Ini undangannya ada sekitar tiga ratusan lebih." Arkan menatapku sekilas. "Saya langsung pergi, ya, Nindi udah kesiangan."

"Tunggu ...!" Refleks aku menyentuh lengannya saat ia berbalik pergi.

"Kamu ... udah sehat?"

"Seperti yang kamu lihat," ucapnya datar. Ia berlalu meninggalkanku. 

Masih kulihat dari sini, tempatku berdiri. Nindi tampak erat sekali memeluk Abangnya itu. Ia menyenderkan kepalanya di punggung Arkan. Posisi yang ... sangat nyaman bagi sepasang kekasih yang sedang berboncengan motor. Aku kok gemas, ya?

*

Hari Selasa, empat hari menjelang akad adalah hari terakhir aku bekerja. Karena, besok aku sudah mulai cuti. Setelah berpamitan pada Bos dan teman-teman, aku melangkah pergi. Ada sesuatu yang membuat langkahku berat, entahlah. Ah, mungkin aku saja yang berlebihan.

Aku akan mampir ke rumah Arkan untuk mengambil souvenir. Perjalanan dari kantor menuju rumah Arkan, ramai lancar. Hanya memerlukan waktu kurang lebih setengah jam lamanya. 

Aku sengaja tidak mengabari Arkan. Mau tahu bagaimana responnya ketika aku datang. Aku melangkah pelan-pelan agar suara ketukan sepatu tak terdengar. Sebelum mengucap salam dan mengetuk pintu, aku merapatkan telinga ke daun pintu. Mencoba mendengar apa ada suara orang bercakap-cakap. Sunyi.

"Assalamu'alaikum." Kuketik pintu, sekali. 

Belum ada jawaban. Aku ulangi sampai tiga kali. Terdengar ada jawaban salam dari dalam. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Wajah teduh dengan senyuman tulus menyambutku. 

"Neng Riri, silakan masuk." 

Aku mencium tangannya, kemudian melangkah ke ruang tamu. Aku duduk di sofa, sementara Bu Rukmini ke dalam, memanggil Arkan. Sengaja aku pindah duduk mengarah ke ruang tengah. Ingin melihat apa yang di lakukan Arkan karena terdengar suara cekikikan sejak aku masuk.

Benar saja. Aku kembali melihat kemesraan seorang adik dengan kakaknya. Mereka sedang makan sesuatu ... saling menyuapi satu sama lain. Ish, bikin aku ... cemburu. What? Kuralat, mungkin aku hanya, entahlah.

Mereka sempat melirik sekilas ke arahku setelah Bu Rukmini berbicara sesuatu entah apa tak begitu terdengar. Arkan menghentikan aksi menyuapi adiknya yang manja itu. Ia berdiri, lalu berjalan ke arahku. Menyusul Nindi di belakangnya. 

"Riri, ada apa, ya?" Arkan duduk, Nindi mengikut di sampingnya. Ia merangkul mesra lengan Arkan, seolah-olah tak ingin pisah barang sedetik.

"Aku mau ambil souvenir. Supaya kamu nggak usah repot mengantar ke rumah. Kebetulan, aku pulang lebih cepat karena besok sudah mulai cuti, jadi sekalian mampir ke sini."

"Kamu yakin bisa bawa? banyak lho." Arkan tampak berpikir.

"Bisa aja, sebanyak apa sih? Bisa diikat di jok belakang, 'kan?"

Nindi menunjukkan rasa tidak sukanya atas kedatanganku. Terlihat dari wajahnya yang jutek dan tatapan matanya yang sinis.

"Begini saja, biar saya antar kamu, ya."

"Nggak boleh! Abang kan udah janji mau nganterin aku ke mall, gimana sih!" 

Oh, My Allah! Calon adik iparku ini, benar-benar ....

Bersambung

Bab terkait

  • I Love You My Teacher   Resah dan Gelisah

    "Abang nganterin souvenirnya besok aja, ya?" Nindi memohon, bukan, tepatnya merengek manja pada Arkan dengan mimik wajah yang dibuat-buat. Ish, lebay deh."Lagian ngapain juga sih, datang ke sini segala? Biasanya juga Abang yang nganter dari kemarin-kemarin. Emang dasar ganjen!" lanjutnya."Nindi!" Mata Arkan membulat, tangannya menutup mulut adiknya yang seperti rem blong itu. Lalu, ia menyuruh Nindi untuk meminta maaf padaku. Namun, Nindi hanya mengerucutkan bibir, menggerutu tidak jelas. Gadis bertubuh mungil itu terus saja merangkul lengan Arkan dengan mesranya.Kali ini ucapan Nindi benar-benar membuatku geram, ditambah tatapan sinisnya tadi. Berhasil membenarkan prasangkaku selama ini, kalau Nindi memang sangat menyebalkan.Aku memang menahan diri untuk tidak membalas ucapannya, tetapi dalam hati terus saja memaki. Mungkin Arkan menyadarinya begitu melihat ke arahku. Entah rupa wajahku seperti apa, yang jelas aku juga tidak bisa menyembunyikan kekes

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-04
  • I Love You My Teacher   Malam Pertama ?

    Warning! 21+Bab 5Malam Pertama?Aku harus berbuat apa setelah ini? Rasanya masih malu untuk ... aahhh ....Aku mendengkus, kesal! Memangnya hanya kamu saja yang mau? Lihat saja nanti! aku bakalan habisin kamu, Arkana Putra. Duh! Ngomong apa, sih aku!Aku ambil baju yang akan kukenakan nanti di hadapannya. Aku menyeringai tipis, membayangkan ekspresinya nanti ketika melihat penampilanku. We'll see .....Selesai melipat mukena, aku hendak ke luar kamar menuju dapur. Perutku sudah meminta untuk diisi. Minimal segelas teh hangat sebagai energi untuk memulai aktivitas pagi. Namun, langkah kaki ini terhenti saat Arkan menarik lenganku pelan. Arkan baru saja selesai mengaji."Mau ke mana?" tanyanya menyelidik."Ke dapur, aku laper. Mau sekalian aku bikinin kopi?""Saya nggak biasa ngopi pagi." Arkan mulai merapatkan tubuhnya. Membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Padahal belum pemanasan juga, eh

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • I Love You My Teacher   Dua Kejutan

    Bab 6Dua KejutanSelepas salat Zuhur dan makan, aku menghabiskan waktu di kamar bersama Arkan. Aku sibuk dengan ponsel di tangan. Arkan? Ia lebih dulu bermesraan dengan benda pipih berkamera itu. Entah apa yang ia lihat pada layar ponselnya. Jemarinya tampak sibuk mengetik, sesekali seulas senyum terbit di bibirnya yang seksi. Ya, bagiku bibir itu seksi, apalagi kalau tersenyum sangat manis, membuat hatiku meleleh seketika."Ehem." Sengaja, aku berdeham sambil melirik ke layar ponsel Arkan.Arkan bergeming, matanya fokus menatap layar tanpa berkedip. Apa sih yang ia baca? Sampai tidak mendengarkan aku. Atau memang sengaja mengabaikan. Aku berdeham sekali lagi, kali ini lebih keras.Arkan menoleh, ia menatapku lumayan lama, lalu berkata, "Kenapa? Minta cium?" Ia menaikkan sebelah alisnya.Ish, dasar mesum! Rutukku, tentu hanya dalam hati. Aku harus bisa bersabar menghadapi sifatnya yang ... masih sulit kutebak. Ini baru permulaan, masi

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • I Love You My Teacher   Jogja, I'm Coming

    Bab 7Jogja, I'm Coming"Nindi, bukannya Kakak nggak mau ngajak, tapi ini cuma untuk dua orang." Duh, bagaimana aku menjelaskannya? Lagi pula, mana ada bulan madu bertiga?Nindi mulai bicara, agak panjang. Ia bercerita, sejak kecil sampai sekarang tidak pernah sedikit pun berpisah dengan Arkan. Dari mulai Nindi belajar jalan, makan, dan bermain semua ditemani abangnya itu. Dengan telaten, Arkan menyuapi Nindi kecil. Memang Nindi tidak begitu mengingatnya, semua itu Arkan yang menceritakan pada Nindi.Kelahiran Nindi disambut riang oleh Arkan. Ia yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun, sangat senang mempunyai seorang adik perempuan. Pasalnya, ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang hanya selisih dua tahun darinya.Nindi Aulia Putri, namanya pun Arkan yang memberikan. Tak heran, jika Arkan sangat menyayanginya. Namun, menurutku justru sikap Arkan yang berlebihan itu membuat Nindi jadi terlalu manja dan ... aneh. Ya, ane

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • I Love You My Teacher   (Masih) Explore Jogja

    Bab 8(Masih) Explore JogjaAku masih terpaku melihat gambar pada layar benda pipih di tangan. Mencoba mengingat, barangkali aku pernah bertemu wanita ini. Namun, tak jua kuingat apa pun tentangnya. Mas Arkan tampak sangat akrab, bahkan di foto ini sepertinya ia tengah asik mengobrol.Mas Arkan menyentuh bahuku, saat menyadari kalau aku tengah melamun. "Sayang, nggak dengerin mas?" tanyanya sambil menatapku dengan kedua alis yang bertaut."Eh, nggak. Ng ... itu, aku ...." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ponsel yang kupegang di tangan kiri, sudah kuletakkan di kasur."Mikirin apa, sih, sampai mas ngomong nggak didengerin?" Mas Arkan membelai lembut rambutku."Nggak ada, kok, Mas. Aku cuma kecapean aja." Biar saja kusimpan dulu pertanyaan tentang foto wanita itu. Aku tidak ingin merusak suasana bulan madu kami.Mas Arkan menyuruhku untuk merebahkan kepala di pangkuannya. Kami mengobrol santai perihal perjalanan tadi. Sambil memai

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • I Love You My Teacher   Bulan Madu yang Harus Berakhir

    Bab 9Bulan Madu yang Harus Berakhir"Demam katanya, meriang.""Terus?""Nanti mas minta tolong Sandra aja." Mas Arkan masih asik menyantap kacang rebus.Dasar manja! Di rumah kan ada Ibu, kenapa masih minta abangnya pulang? Aku menghela napas, lalu menghirup udara dengan rakus. Agar rasa panas yang tiba-tiba saja hinggap segera berganti dengan sejuknya oksigen. Sabar, Ri."Mas, buruan kabari Sandra. Nanti Nindi telepon lagi." Aku berkata selembut mungkin agar terdengar biasa.Tanpa menjawab, Mas Arkan langsung mengirimkan pesan pada Sandra untuk menemani Nindi. Kebetulan sepupu Mas Arkan itu tidak bekerja. Kegiatannya hanya membantu menjaga toko kelontong milik orang tuanya. Jadi, ia punya banyak waktu luang.Setelah puas menikmati keindahan Jurang Tembelan, aku dan Mas Arkan melanjutkan perjalanan ke Panguk Kediwung dengan menggunakan mobil. Jarak dari Jurang Tembelan sekitar lima kilometer ke arah bawah dusun Ked

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • I Love You My Teacher   Nindi Berulah Lagi

    Bab 10Nindi Berulah LagiMas Arkan masih terus menggenggam tangan Nindi, bibirnya tampak bergerak-gerak sepertinya ia sedang merapalkan doa. Satu sisi, aku mengerti posisi Mas Arkan sebagai seorang kakak. Akan tetapi, di sisi lain aku merasa perlakuannya ini berlebihan.Tak lama kemudian, mata Nindi mulai bergerak perlahan sampai akhirnya terbuka. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat matanya tertuju pada Mas Arkan, ia berkata, "Abang, Abang udah pulang?" Nindi memberikan seulas senyum di bibirnya yang pucat. Suaranya terdengar parau."Ssttt, kamu jangan banyak bicara dulu." Telunjuk Mas Arkan ditempelkan pada bibir mungil Nindi. "Abang akan nemenin kamu sampai sembuh," lanjutnya kemudian."Kamu pulang aja, biar ibu yang nginep malam ini. Kamu kan baru aja sampai, harus istirahat. Besok gantian kamu yang nginep." Ibu berdiri, lalu menghampiri Mas Arkan.Nindi menarik tangan Mas Arkan, kepalanya menggeleng-geleng. Pert

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-07
  • I Love You My Teacher   Bab 11

    Bab 11Mama tampak senang sekali melihatku berkunjung. Namun, ia sempat bertanya sebab aku datang sendirian. Aku menceritakan kalau Mas Arkan sedang menemani Nindi yang sedang terbaring di rumah sakit. Sebisa mungkin aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Arkan."Ma, Riri ke kamar dulu, ya." Aku melangkah ke kamar, meninggalkan Mama yang masih bergelut dengan panci dan kawan-kawan di dapur.Kamar ini masih sama sejak terakhir kali aku tinggalkan. Hanya sprei yang sudah berganti. Kubuka jendela yang mengarah ke halaman samping rumah. Udara pengap di kamar berganti dengan oksigen yang masuk melalui celah teralis.Aku rebahkan tubuh di ranjang berbalut sprei marun bermotif polkadot. Kupejamkan mata seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Sejenak melupakan semua yang terjadi di rumah sakit tadi. Mama tidak boleh mengetahui permasalahanku.Aku tak akan menceritakan kepada siapa pun, sebelum membicarakannya dengan Mas Arkan. Aku h

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-13

Bab terbaru

  • I Love You My Teacher   Kembalinya Gadis yang Menyebalkan

    Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t

  • I Love You My Teacher   Kata Hati

    Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,

  • I Love You My Teacher   Melepas Rindu

    Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala

  • I Love You My Teacher   Long Distance Married

    Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti

  • I Love You My Teacher   Kantor Baru

    Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang

  • I Love You My Teacher   Pindah ke Bandung

    Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."

  • I Love You My Teacher   Sakitnya Mas Arkan

    Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun

  • I Love You My Teacher   Sandra Mulai Berulah

    Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be

  • I Love You My Teacher   Bab 13

    Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da

DMCA.com Protection Status