Bab 8
(Masih) Explore Jogja
Aku masih terpaku melihat gambar pada layar benda pipih di tangan. Mencoba mengingat, barangkali aku pernah bertemu wanita ini. Namun, tak jua kuingat apa pun tentangnya. Mas Arkan tampak sangat akrab, bahkan di foto ini sepertinya ia tengah asik mengobrol.
Mas Arkan menyentuh bahuku, saat menyadari kalau aku tengah melamun. "Sayang, nggak dengerin mas?" tanyanya sambil menatapku dengan kedua alis yang bertaut.
"Eh, nggak. Ng ... itu, aku ...." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ponsel yang kupegang di tangan kiri, sudah kuletakkan di kasur.
"Mikirin apa, sih, sampai mas ngomong nggak didengerin?" Mas Arkan membelai lembut rambutku.
"Nggak ada, kok, Mas. Aku cuma kecapean aja." Biar saja kusimpan dulu pertanyaan tentang foto wanita itu. Aku tidak ingin merusak suasana bulan madu kami.
Mas Arkan menyuruhku untuk merebahkan kepala di pangkuannya. Kami mengobrol santai perihal perjalanan tadi. Sambil memainkan jemarinya di wajahku, Mas Arkan lalu menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Borobudur.
Sejak menjadi seorang guru, Mas Arkan sudah beberapa kali ikut perjalanan wisata ke berbagai tempat, saat acara perpisahan kelas tiga. Salah satunya ke Jogja dengan tujuan wisata Borobudur. Aku ingin sekali ke sana. Sayangnya, paket trip honeymoon ini tidak ada agenda ke sana. Aku cukup mendengarkan cerita dari Mas Arkan saja.
"Mas pernah berkenalan dengan wisatawan dari Kanada. Kamu tau Bryan personil Backstreet boys?" Aku menggeleng. "Wajah wisatawan itu mirip Bryan. Lumayan lama mas ngobrol sama dia, sampai murid-murid banyak yang ikutan nimbrung."
"Enak, ya, kalau bisa bahasa inggris. Kalau suatu saat bertemu bule, bisa ngobrol. Mau ke luar negeri, nggak takut kesasar." Aku terkekeh. Mas Arkan mengacak-acak rambutku.
"Ish, iseng deh." Aku balas mencubit pinggangnya. Posisiku masih berbaring di pangkuannya. Dari sini, aku bisa melihat bagian wajahnya yang benar-benar membuatku terpesona. Janggut tipis yang ada pada dagunya. Aku suka sekali menyentuh, bahkan membelainya.
Aku jadi teringat, apa Mas Arkan belum juga mengenaliku? Setidaknya, saat aku tidak berjilbab, ada sedikit yang ia ingat. Apa memang ingatannya payah? Padahal, aku kan termasuk siswi yang terkenal saat itu. Apalagi saat pelajaran Bahasa Inggris, aku seringkali dapat hukuman.
"Kamu kenapa?" Mas Arkan sepertinya heran melihatku tiba-tiba tertawa sendiri. Ya, jika ingat saat aku dihukum, pasti auto tertawa..
"Nggak pa-pa, wajah mas kalau dilihat dari sini, lucu, gemesin." Aku meremas dagunya, lalu kucubit pipi kirinya.
"Wah, minta dicium ini mah." Mas Arkan hendak mendekatkan wajahnya, tetapi aku lebih sigap telah menghindar lebih dulu.
*
Dini hari, pukul 03.30 kami sudah bersiap untuk berkunjung ke Kebun Buah Mangunan. Letaknya di kabupaten Bantul, jarak tempuh dari hotel sekitar satu jam perjalanan. Di sana, kami akan menyaksikan sunrise yang sangat menakjubkan dari atas bukit.
Begitu sampai di sana, driver memarkirkan mobil dekat kolam besar. Sebenarnya sudah tersedia parkir di dekat gardu pandang, tetapi jalan menuju ke sana cukup kecil dan menikung dengan aspal yang tidak terlalu bagus. Jadi, aku dan Arkan akan berjalan kaki menuju gardu pandang--atas bukit.
Kami berjalan kaki melewati jalan pintas yang sudah dicor sampai menuju ke gardu pandang. Aku hampir saja terpeleset saat melewati anak tangga. Harus berhati-hati saat berjalan, sebab ada bebarapa anak tangga yang licin oleh tanah basah.
Selama perjalanan menuju gardu pandang aku mendengar suara-suara binatang hutan yang terasa begitu menenangkan.
"Mas, tau nggak suara binatang apa itu?"
"Entah, bukan jangkrik, ya?""Bukan deh, oh, ya, Mas. Nanti kita salat Subuh di atas bukit aja, maksudku di alam terbuka. Mumpung lagi di sini."
"Ok, setelah sampai atas, kita cari musola dulu untuk berwudhu."
Masih terdengar alunan orkestra alam yang begitu menentramkan. Yang seperti ini tidak pernah kudapatkan di Jakarta. Setelah sekitar lima belas menit berjalan, akhirnya kami sampai di gardu pandang.
Kami langsung menuju mushola untuk berwudhu karena memang sudah masuk waktu subuh. Pengunjung tidak terlalu ramai, mungkin karena ini bukan akhir pekan dan hari libur. Jadi, sangat tepat untuk pasangan pengantin baru yang ingin berbulan madu.
Usai berwudhu, kami menuju tempat di mana banyak pengunjung yang akan menikmati matahari terbit. Kami mengambil posisi di pinggir hampir ujung, agar tak ada orang yang bisa melewati jika kami sedang solat.
Inilah solat pertamaku di alam terbuka. Di tempat yang begitu sejuk, bahkan cenderung dingin. Dengan beralas tikar lipat, Mas Arkan menjadi imamku menunaikan solat Subuh.
Usai solat, Mas Arkan meraih mushaf kecil yang selalu ia bawa. Ia lalu membuka dan membacanya dengan suara yang pelan, tetapi mampu membius siapa pun yang mendengarnya. Orkestra alam dan lantunan ayat suci berkolaborasi menjadi perpaduan alunan yang sangat merdu dan menenangkan.
Masih sekitar sepuluh menit lagi matahari terbit. Sambil mendengarkan Mas Arkan, aku menikmati pemandangan sekitar. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, seolah paru-paru ini mempunyai daya tampung lebih untuk stok udara bersih saat kembali ke kota. Di mana di sana, Kualitas udara akan sangat jauh dibanding oksigen di sini.Detik-detik yang dinanti telah tiba. Dari ufuk timur, tampak matahari muncul secara perlahan dari balik awan dan mulai menampakkan sinar dengan warna emasnya yang menggemaskan. Semua pengunjung tak luput mengabadikan momen terindah ini, termasuk aku.
Tak hentinya aku melafalkan pujian atas rasa takjub dengan pemandangan di depan mata. Begitu besarnya Allah, betapa indahnya lukisan alam yang tak tertandingi. Menikmati ini semua, bersama orang terkasih, nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Berada di ketinggian kurang lebih 200 mdpl, membuat tempat ini pun dijuluki sebagai negeri di atas awan. Dari tempat kami berdiri, sepanjang mata memandang tampak kabut yang terbentuk seperti sungai awan, keindahannya memang luar biasa.
Setelah puas menyaksikan sunrise, kami beristirahat sejenak. Duduk di atas tikar, menikmati breakfast box dari hotel. Selesai makan, kami menyempatkan waktu untuk berswafoto. Keindahan alam di sini sangat sayang jika tidak diabadikan.
"Sayang, kita ke sana, yuk." Mas Arkan menunjuk ke arah selatan.
Di bagian selatan, terdapat pemandangan Pantai Parangtritis yang masih tertutup sedikit kabut. Ada juga pemandangan Sungai Oya yang melintang dan berkelok, walau sedikit surut. Namun, mampu memberikan sebuah warna yang berbeda yang membuat pesona Kebun Buah Mangunan tampak sekali sempurna. Belum lagi udara yang sejuk dan angin yang berembus lirih. Rasanya enggan untuk beranjak dari tempat ini.
"Mas, udah mulai terang. Dari sini, kita bakalan lanjut ke Jurang Tembelan."
"Ayo, kita mesti jalan kaki lagi sekitar lima belas menit untuk sampai parkiran."
Kami berjalan melewati jalan pintas yang tadi. Setelah sampai parkiran, driver yang sudah menunggu. Namun, ternyata untuk sampai ke Jurang Tembelan hanya bisa ditempuh dengan kendaraan motor.
Akses menuju ke sana tergolong ekstrim, tanjakan dan turunan cukup curam. Jadi, aku dan Mas Arkan menyewa motor yang sudah disediakan dari pihak travel. Perjalanan kurang dari lima menit, karena jarak ke sana sangat dekat yaitu sekitar satu kilometer.
Begitu sampai, kami langsung menuju spot cantik yang instagrammable itu. Gardu pandang yang berbentuk seperti perahu rakit dari kayu. Lokasi Jurang Tembelan ini tidak terlalu luas, cukup sempit tetapi memiliki view yang sangat menarik.
Ada beberapa warung kecil yang menjajakan kopi dan snack untuk penganan pengunjung yang ingin menikmati sunrise atau sunset, atau sekadar berswafoto. Dibanding gardu pandang Mangunan, di sini kurang cocok untuk menikmati sunrise.
"Sayang, kamu mau ngeteh atau ngopi?"
"Boleh, kita ngopi aja. Minum kopi sambil menikmati pemandangan yang ... menakjubkan."
Kebetulan saat ini pengunjung sedang sepi, jadi kami bisa dengan puas menikmati keindahan sambil mengambil beberapa gambar.
"Mas, kita selfie di situ." Aku menunjuk ujung gardu pandang ini yang berbentuk perahu. Tanpa menjawab, Mas Arkan mengikuti langkahku.
Setelah puas berfoto, kami kembali ke warung untuk menikmati kopi dan beberapa snack. Sejak menginjakkan kaki di lokasi Kebun Mangunan ini, bibirku tak lepas dari senyum takjub sekaligus kebahagiaan.
"Kamu senang?" Arkan mulai menyesap kopinya yang masih mengepulkan asap.
"Bahagia, Mas. Aku bahagia, apalagi ada kamu di sini." Aku menyandarkan kepala di bahunya.
Saat menyantap snack, ponsel Arkan berdering. Ia merogoh saku celana, melihat siapa yang menelepon, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinganya.
"Halo, assalamu'alaikum."
" .... "
"Ya nggak bisa dong, De. Abang pulangnya besok. Kan ada mama, ada Sandra juga. Bisa minta temenin Sandra dulu, ya. Nanti Abang yang bilang ke Sandra."
Mas Arkan menyimpan kembali ponselnya di saku celana. Ia kembali menyesap kopinya.
"Nindi, ya, Mas? Kenapa dia?"
"Katanya sakit, terus minta abang segera pulang."
"Sakit apa memangnya, sampai Mas harus pulang?" Belum ada lima menit aku berucap kata bahagia, ada saja yang membuat suasana menjadi ambyar.
Bersambung
Bab 9Bulan Madu yang Harus Berakhir"Demam katanya, meriang.""Terus?""Nanti mas minta tolong Sandra aja." Mas Arkan masih asik menyantap kacang rebus.Dasar manja! Di rumah kan ada Ibu, kenapa masih minta abangnya pulang? Aku menghela napas, lalu menghirup udara dengan rakus. Agar rasa panas yang tiba-tiba saja hinggap segera berganti dengan sejuknya oksigen. Sabar, Ri."Mas, buruan kabari Sandra. Nanti Nindi telepon lagi." Aku berkata selembut mungkin agar terdengar biasa.Tanpa menjawab, Mas Arkan langsung mengirimkan pesan pada Sandra untuk menemani Nindi. Kebetulan sepupu Mas Arkan itu tidak bekerja. Kegiatannya hanya membantu menjaga toko kelontong milik orang tuanya. Jadi, ia punya banyak waktu luang.Setelah puas menikmati keindahan Jurang Tembelan, aku dan Mas Arkan melanjutkan perjalanan ke Panguk Kediwung dengan menggunakan mobil. Jarak dari Jurang Tembelan sekitar lima kilometer ke arah bawah dusun Ked
Bab 10Nindi Berulah LagiMas Arkan masih terus menggenggam tangan Nindi, bibirnya tampak bergerak-gerak sepertinya ia sedang merapalkan doa. Satu sisi, aku mengerti posisi Mas Arkan sebagai seorang kakak. Akan tetapi, di sisi lain aku merasa perlakuannya ini berlebihan.Tak lama kemudian, mata Nindi mulai bergerak perlahan sampai akhirnya terbuka. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat matanya tertuju pada Mas Arkan, ia berkata, "Abang, Abang udah pulang?" Nindi memberikan seulas senyum di bibirnya yang pucat. Suaranya terdengar parau."Ssttt, kamu jangan banyak bicara dulu." Telunjuk Mas Arkan ditempelkan pada bibir mungil Nindi. "Abang akan nemenin kamu sampai sembuh," lanjutnya kemudian."Kamu pulang aja, biar ibu yang nginep malam ini. Kamu kan baru aja sampai, harus istirahat. Besok gantian kamu yang nginep." Ibu berdiri, lalu menghampiri Mas Arkan.Nindi menarik tangan Mas Arkan, kepalanya menggeleng-geleng. Pert
Bab 11Mama tampak senang sekali melihatku berkunjung. Namun, ia sempat bertanya sebab aku datang sendirian. Aku menceritakan kalau Mas Arkan sedang menemani Nindi yang sedang terbaring di rumah sakit. Sebisa mungkin aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Arkan."Ma, Riri ke kamar dulu, ya." Aku melangkah ke kamar, meninggalkan Mama yang masih bergelut dengan panci dan kawan-kawan di dapur.Kamar ini masih sama sejak terakhir kali aku tinggalkan. Hanya sprei yang sudah berganti. Kubuka jendela yang mengarah ke halaman samping rumah. Udara pengap di kamar berganti dengan oksigen yang masuk melalui celah teralis.Aku rebahkan tubuh di ranjang berbalut sprei marun bermotif polkadot. Kupejamkan mata seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Sejenak melupakan semua yang terjadi di rumah sakit tadi. Mama tidak boleh mengetahui permasalahanku.Aku tak akan menceritakan kepada siapa pun, sebelum membicarakannya dengan Mas Arkan. Aku h
Bab 12Wanita ItuPercuma saja aku berteriak, tak akan ada yang mendengar. Dengan susah payah, aku bangkit, selangkah demi selangkah berjalan menuju kamar. Aku tak berniat membangunkan Mas Arkan. Namun, isak tangisku membuat Mas Arkan terjaga. Ia memelukku dari belakang, posisiku memunggunginya."Kamu kenapa, Sayang?" Suara seraknya terdengar lirih di telinga.Aku masih saja terisak, menahan lelehan air mata yang tumpah ruah, juga rasa sakit yang kian mendera. Aku berbalik, menenggelamkan wajahku pada dadanya. Nyaman."Masih sakit, ya?"Aku bergeming. Entah harus kujawab apa, aku sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Apa aku keguguran? Ya Allah, semoga saja bukan, itu hanya darah haid."Besok kita ke dokter, ya, kalau masih sakit." Mas Arkan mencium puncak kepalaku. "Dah, sekarang tidur." Ia pun mengeratkan pelukannya.*Baru saja aku tersadar setelah satu jam lebih tertidur akib
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t
Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,
Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da