Bab 7
Jogja, I'm Coming
"Nindi, bukannya Kakak nggak mau ngajak, tapi ini cuma untuk dua orang." Duh, bagaimana aku menjelaskannya? Lagi pula, mana ada bulan madu bertiga?
Nindi mulai bicara, agak panjang. Ia bercerita, sejak kecil sampai sekarang tidak pernah sedikit pun berpisah dengan Arkan. Dari mulai Nindi belajar jalan, makan, dan bermain semua ditemani abangnya itu. Dengan telaten, Arkan menyuapi Nindi kecil. Memang Nindi tidak begitu mengingatnya, semua itu Arkan yang menceritakan pada Nindi.
Kelahiran Nindi disambut riang oleh Arkan. Ia yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun, sangat senang mempunyai seorang adik perempuan. Pasalnya, ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang hanya selisih dua tahun darinya.
Nindi Aulia Putri, namanya pun Arkan yang memberikan. Tak heran, jika Arkan sangat menyayanginya. Namun, menurutku justru sikap Arkan yang berlebihan itu membuat Nindi jadi terlalu manja dan ... aneh. Ya, aneh karena ia malah menjadi seperti kekasihnya Arkan. Dan aku? Orang ketiga di antara mereka. Oh, hellooo ....
"Aku pernah hampir kehilangan abang." Mata Nindi berkaca-kaca.
"Maksud kamu?"
"Abang kecelakaan, ia koma beberapa hari. Alhamdulillah, Allah masih memberikan umur panjang." Setetes air mata meluncur di pipi Nindi. Ia langsung menyekanya.
Arkan belum menceritakan hal ini. Memang masih banyak yang belum kuketahui tentangnya. Rencananya nanti pada saat bulan madu, kami akan saling berbagi cerita. Lantas, sekarang aku harus bagaimana?
Aku mendekati Nindi, berharap gadis mungil di dekatku ini sudah bisa menerimaku sebagai kakak iparnya.
"Nindi." Aku meraih tangan kanannya, lalu mengaitkan kelingkingku pada kelingkingnya. "Kamu mau, 'kan, jadi teman Kakak?" Aku menatapnya sambil tersenyum.
"Tapi kakak harus janji, bakalan tinggal di sini, ya?" Nindi mengeratkan tautan jarinya.
Dengan ragu, aku menggangguk, pertanda setuju dengan permintaannya. Lalu, bibir tipis gadis mungil itu melengkung. Senyum yang sangat mirip dengan abangnya.
*
Pukul 09.20 tepat pesawat yang kami tumpangi mendarat di bandara. Setelah diberi pengertian sedemikian rupa oleh Arkan, akhirnya Nindi mengalah. Ia rela melepas abangnya pergi menghabiskan waktu berdua denganku. Memang sepatutnya begitu, 'kan?
Kami sudah dijemput oleh perwakilan dari agen travel untuk mengantar berkeliling. Dari bandara, kami dibawa menuju ke Keraton Yogyakarta. Jarak dari bandara ke sana ditempuh kurang lebih selama setengah jam.
Lokasi Keraton Yogyakarta berada di pusat kota Yogyakarta. Begitu sampai, mata disuguhkan dengan hamparan luasnya halaman depan Keraton berupa Alun-alun Utara Yogyakarta. Sementara halaman belakang Keraton berupa Alun-alun Selatan Yogyakarta.
Keraton Yogyakarta terdiri dari beberapa bagian atau komplek. Komplek depan keraton, komplek inti keraton dan komplek belakang keraton. Pada tiap-tiap komplek Keraton Yogyakarta terdapat beberapa bagian komplek lagi yang di dalamnya ada berbagai bangunan yang memiliki fungsi-fungsi tersendiri. Aku sampai berdecak kagum melihat betapa megahnya bangunan ini.
Bangunan yang megah dan kental dengan nuansa Jawa, aneka benda koleksi raja dan keluarganya, pertunjukan seni, hingga kehidupan para abdi dalem. Jika datang pada saat yang tepat, kita bisa menyaksikan beragam upacara adat atau prosesi yang digelar di keraton seperti Nyebar Udhik-udhik, Caos Dahar, Grebeg, dan masih banyak lagi.
"Mas, apa semua orang di sini berpakaian seperti itu?" Aku menunjuk orang yang sejak tadi lalu-lalang di sekitar bangunan. Oya, sejak tadi malam, aku dan Arkan sepakat mengubah nama panggilan kami. Aku panggil Arkan dengan sebutan Mas. Arkan memanggilku dengan sebutan Sayang.
"Ya, mereka memang mengenakan busana adat dalam menjalankan tugasnya. Mereka itu disebut abdi dalem." Mas Arkan menjelaskan secara detail tentang abdi dalem.
Kata Mas Arkan, abdi dalem memiliki wawasan budaya, keahlian sekaligus dedikasi yang tinggi. Tugas abdi dalem yaitu sebagai pelaksana operasional di setiap organisasi yang dibentuk oleh Sultan. Selain melihat aktivitas para abdi dalem, kita juga bisa melihat koleksi barang-barang keraton. Mas Arkan sudah hapal seluk beluk bangunan ini, sebab ia sudah tiga kali berkunjung ke sini.
"Mas, kita foto di situ, yuk." Aku menghampiri kotak kaca besar yang di dalamnya terdapat keramik, dan berbagai senjata tradisional. Koleksi yang disimpan dalam kotak kaca seperti ini banyak tersebar di berbagai ruangan. Antara lain berisi foto, miniatur dan replika, hingga aneka jenis batik beserta deorama proses pembuatannya.
Setelah puas berkeliling dan mengambil beberapa gambar, kami melanjutkan perjalanan ke Taman Sari. Taman Sari Yogyakarta atau Taman Sari Keraton Yogyakarta adalah situs bekas taman atau kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Letak Taman Sari tidak jauh dari Keraton Yogyakarta. Hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk sampai ke sana. Ya, karena letaknya hanya sekitar 1 km dari keraton.
Mas Arkan tampak lebih bersemangat. Aku yang melihat perubahan di wajahnya, bertanya, "Mas kenapa? Kelihatan lebih senang?"
"Lihat saja nanti. Di sana, banyak spot bagus untuk berfoto. Kamu pasti suka, deh."
Benar saja, ketika memasuki kawasan Taman Sari, aku dibuat takjub oleh pemandangan yang sangat amazing.
Dengan bentuk bangunan arsitektur ala Portugis-Jawa, bangunan di taman ini menjadi daya tarik utama. Aura keindahan terpancar kuat dari bangunan bangunan di taman ini. Seperti yang Mas Arkan katakan, banyak spot-spot artistik dan bangunan-bangunan yang menonjolkan keunikan, yang sayang jika tidak diabadikan.
Setelah melewati gerbang utama, pengunjung akan disapa oleh dua buah kolam. Dua kolam tersebut merupakan salah satu dari tiga kolam di Taman Sari Yogyakarta. Masing-masing dari tiga kolam ini punya nama dan fungsi berbeda. Umbul Panguras kolam untuk raja. Umbul Kawitan untuk putri-putri raja. Umbul Pamucar untuk para selir-selir raja.
Di sekitar kolam dihiasi oleh berbagai ornamen mirip air mancur yang berbentuk seperti kepala naga dengan di sekelilingnya dihiasi pot-pot bunga. Aku beberapa kali mengambil gambar di sini.
"Mas, aku lapar, nih." Aku melirik benda melingkar di pergelangan tangan.
"Sebentar lagi, Sayang. Memangnya kamu nggak mau lihat spot menarik lainnya? Masih banyak lho."
"Mas nggak bosan?"
"Kalau jalannya sama orang lain mungkin iya. Karena jalannya sama kamu, Mas nggak akan bosan, meski sudah berpuluh-puluh kali." Mas Arkan mencubit hidungku pelan.
"Ish, gombal." Aku balas mencubit pinggangnya sekali.
Kami melanjutkan ke spot berikutnya, yaitu Gapura Panggung. Gapura ini dilengkapi tangga yang terbuat dari kayu jati dengan kondisi hingga sekarang masih kokoh dan memberikan kesan artistik. Aku dan Mas Arkan berswafoto di sini.
Bangunan selanjutnya yang tidak kalah megah dan indah adalah Gapura Agung. Gapura Agung didominasi ornamen berbentuk sayap burung dan bunga-bunga. Bangunan ini pun tak luput untuk diabadikan.
Tempat cantik lain di Taman Sari ialah Sumur Gumuling. Sumur ini bukan sumur tempat ambil air, tetapi merupakan sebuah masjid bawah tanah. Mesjid dibangun di bawah tanah, juga sekaligus sebagai bungker perlindungan bagi elit kesultanan, ketika kesultanan mengalami serangan yang membahayakan.
Masjid tersebut berbentuk dua tingkat melingkar hingga 360 derajat, bagian tengah berlubang dan desain menghasilkan tata artistik. Ketika imam memimpin salat, suara imam akan terdengar ke seluruh penjuru ruangan.
Di dalam bangunan masjid bawah tanah ini terdapat sumur yang dikelilingi oleh lima tangga yang melambangkan jumlah Rukun Islam. Saat kami menuruni anak tangga yang berada di masjid bawah tanah, kami menemukan tangga yang saling bertemu di tengah-tengah kolam air yang berasal dari Sumur Gumuling.
Hal unik lainnya yang perlu kalian ketahui adalah ketebalan dari tembok masjid bawah tanah yang kurang lebih sekitar 1,25 meter ini terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan menggunakan bahan alami seperti putih telur.
"Waw, it's so amazing." Berulang kali aku merasa takjub dengan bangunan di sekelilingku ini.
Semua informasi detail tersebut kudapat dari seorang tour guide yang kami sewa. Setelah Taman Sari, sebenarnya ada satu lagi tempat wisata yang akan kami kunjungi. Namun, aku sudah meminta pihak agen untuk membatalkannya. Sebab, aku menginginkan waktu bebas yang lebih lama.
Tidak sulit untukku meminta kemudahan fasilitas, tinggal merayu Pak Heru saja. Lantas, ia akan menghubungi relasinya di Jogja. Ya, untuk trip ke Jogja ini, kantorku memiliki hubungan dengan beberapa relasi sesama agen travel. Aku sudah sering menghandle beberapa pelanggan, termasuk beberapa sekolah yang mengadakan acara perpisahan dengan mengadakan tour ke Jogja. Namun, ini kali pertama aku menginjakkan kaki di kota gudeg ini.
"Mas, setelah ini, kita akan check in hotel."
"Okay, I'll follow you, honey." Mas Arkan merangkul bahuku. Kami berjalan menuju parkiran.
Mobil melaju membelah jalan di tengah hari yang terik. Sebelum ke hotel, kami mampir ke sebuah restoran untuk makan siang. Lalu, melanjutkan perjalanan yang hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di hotel.
Gedung berlantai lima ini, tidak terlalu tinggi jseperti hotel berbintang di Jakarta. Oh, ya, hotel ini merupakan hotel bintang tiga yang sangat direkomendasikan oleh kantorku. Selain fasilitasnya yang ok, pelayanannya juga sangat memuaskan.
Setelah menerima cardlock--kunci kamar, kami langsung menuju lantai tiga. Seorang petugas mengantar kami hingga depan kamar. Tak lupa Mas Arkan memberikan tip setelah lelaki itu selesai menjalankan tugasnya.
Superior double room, dengan nuansa putih dan pastel. Terdapat satu meja dan kursi di sudut kamar. Aku langsung tergoda untuk merebahkan tubuh di atas kasur. Sejenak mengistirahatkan badan yang lelah. Sementara Arkan langsung ke kamar mandi untuk berwudhu. Ya, kami belum menunaikan salat Zuhur.
Usai salat, kami istirahat sebentar. Mengecek ponsel masing-masing, Mas Arkan memperlihatkan ponselnya padaku. Terpampang di layar, ada sekitar lima belas pesan dari Nindi. Aku tersenyum miring melihatnya.
"Coba Mas baca."
"Kamu nggak mau baca duluan?"
"Nggak ah, aku ngerti etika, Mas. Itu ponsel kamu, jadi kamu duluan yang berhak membaca setiap pesan yang masuk."
"Duuh, jadi makin sayang." Lagi, Mas Arkan mencubit hidungku.
Aku tak membalasnya, sebab penasaran dengan isi pesan yang dikirim oleh nomor tak dikenal pada ponselku. Sementara Mas Arkan sibuk berbalas pesan dengan Nindi, aku membuka pesan tersebut.
Mataku membulat melihat dua buah foto Arkan yang sedang berboncengan motor dengan seorang wanita yang tidak kukenal. Dan satu foto lagi, Arkan bersama wanita yang sama sedang berada di sebuah restoran. Tidak ada pesan apa pun, hanya gambar saja. Siapa sebenarnya wanita di foto ini?
Bersambung
Bab 8(Masih) Explore JogjaAku masih terpaku melihat gambar pada layar benda pipih di tangan. Mencoba mengingat, barangkali aku pernah bertemu wanita ini. Namun, tak jua kuingat apa pun tentangnya. Mas Arkan tampak sangat akrab, bahkan di foto ini sepertinya ia tengah asik mengobrol.Mas Arkan menyentuh bahuku, saat menyadari kalau aku tengah melamun. "Sayang, nggak dengerin mas?" tanyanya sambil menatapku dengan kedua alis yang bertaut."Eh, nggak. Ng ... itu, aku ...." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ponsel yang kupegang di tangan kiri, sudah kuletakkan di kasur."Mikirin apa, sih, sampai mas ngomong nggak didengerin?" Mas Arkan membelai lembut rambutku."Nggak ada, kok, Mas. Aku cuma kecapean aja." Biar saja kusimpan dulu pertanyaan tentang foto wanita itu. Aku tidak ingin merusak suasana bulan madu kami.Mas Arkan menyuruhku untuk merebahkan kepala di pangkuannya. Kami mengobrol santai perihal perjalanan tadi. Sambil memai
Bab 9Bulan Madu yang Harus Berakhir"Demam katanya, meriang.""Terus?""Nanti mas minta tolong Sandra aja." Mas Arkan masih asik menyantap kacang rebus.Dasar manja! Di rumah kan ada Ibu, kenapa masih minta abangnya pulang? Aku menghela napas, lalu menghirup udara dengan rakus. Agar rasa panas yang tiba-tiba saja hinggap segera berganti dengan sejuknya oksigen. Sabar, Ri."Mas, buruan kabari Sandra. Nanti Nindi telepon lagi." Aku berkata selembut mungkin agar terdengar biasa.Tanpa menjawab, Mas Arkan langsung mengirimkan pesan pada Sandra untuk menemani Nindi. Kebetulan sepupu Mas Arkan itu tidak bekerja. Kegiatannya hanya membantu menjaga toko kelontong milik orang tuanya. Jadi, ia punya banyak waktu luang.Setelah puas menikmati keindahan Jurang Tembelan, aku dan Mas Arkan melanjutkan perjalanan ke Panguk Kediwung dengan menggunakan mobil. Jarak dari Jurang Tembelan sekitar lima kilometer ke arah bawah dusun Ked
Bab 10Nindi Berulah LagiMas Arkan masih terus menggenggam tangan Nindi, bibirnya tampak bergerak-gerak sepertinya ia sedang merapalkan doa. Satu sisi, aku mengerti posisi Mas Arkan sebagai seorang kakak. Akan tetapi, di sisi lain aku merasa perlakuannya ini berlebihan.Tak lama kemudian, mata Nindi mulai bergerak perlahan sampai akhirnya terbuka. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat matanya tertuju pada Mas Arkan, ia berkata, "Abang, Abang udah pulang?" Nindi memberikan seulas senyum di bibirnya yang pucat. Suaranya terdengar parau."Ssttt, kamu jangan banyak bicara dulu." Telunjuk Mas Arkan ditempelkan pada bibir mungil Nindi. "Abang akan nemenin kamu sampai sembuh," lanjutnya kemudian."Kamu pulang aja, biar ibu yang nginep malam ini. Kamu kan baru aja sampai, harus istirahat. Besok gantian kamu yang nginep." Ibu berdiri, lalu menghampiri Mas Arkan.Nindi menarik tangan Mas Arkan, kepalanya menggeleng-geleng. Pert
Bab 11Mama tampak senang sekali melihatku berkunjung. Namun, ia sempat bertanya sebab aku datang sendirian. Aku menceritakan kalau Mas Arkan sedang menemani Nindi yang sedang terbaring di rumah sakit. Sebisa mungkin aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Arkan."Ma, Riri ke kamar dulu, ya." Aku melangkah ke kamar, meninggalkan Mama yang masih bergelut dengan panci dan kawan-kawan di dapur.Kamar ini masih sama sejak terakhir kali aku tinggalkan. Hanya sprei yang sudah berganti. Kubuka jendela yang mengarah ke halaman samping rumah. Udara pengap di kamar berganti dengan oksigen yang masuk melalui celah teralis.Aku rebahkan tubuh di ranjang berbalut sprei marun bermotif polkadot. Kupejamkan mata seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Sejenak melupakan semua yang terjadi di rumah sakit tadi. Mama tidak boleh mengetahui permasalahanku.Aku tak akan menceritakan kepada siapa pun, sebelum membicarakannya dengan Mas Arkan. Aku h
Bab 12Wanita ItuPercuma saja aku berteriak, tak akan ada yang mendengar. Dengan susah payah, aku bangkit, selangkah demi selangkah berjalan menuju kamar. Aku tak berniat membangunkan Mas Arkan. Namun, isak tangisku membuat Mas Arkan terjaga. Ia memelukku dari belakang, posisiku memunggunginya."Kamu kenapa, Sayang?" Suara seraknya terdengar lirih di telinga.Aku masih saja terisak, menahan lelehan air mata yang tumpah ruah, juga rasa sakit yang kian mendera. Aku berbalik, menenggelamkan wajahku pada dadanya. Nyaman."Masih sakit, ya?"Aku bergeming. Entah harus kujawab apa, aku sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Apa aku keguguran? Ya Allah, semoga saja bukan, itu hanya darah haid."Besok kita ke dokter, ya, kalau masih sakit." Mas Arkan mencium puncak kepalaku. "Dah, sekarang tidur." Ia pun mengeratkan pelukannya.*Baru saja aku tersadar setelah satu jam lebih tertidur akib
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t
Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,
Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da