Bab 10
Nindi Berulah Lagi
Mas Arkan masih terus menggenggam tangan Nindi, bibirnya tampak bergerak-gerak sepertinya ia sedang merapalkan doa. Satu sisi, aku mengerti posisi Mas Arkan sebagai seorang kakak. Akan tetapi, di sisi lain aku merasa perlakuannya ini berlebihan.
Tak lama kemudian, mata Nindi mulai bergerak perlahan sampai akhirnya terbuka. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat matanya tertuju pada Mas Arkan, ia berkata, "Abang, Abang udah pulang?" Nindi memberikan seulas senyum di bibirnya yang pucat. Suaranya terdengar parau.
"Ssttt, kamu jangan banyak bicara dulu." Telunjuk Mas Arkan ditempelkan pada bibir mungil Nindi. "Abang akan nemenin kamu sampai sembuh," lanjutnya kemudian.
"Kamu pulang aja, biar ibu yang nginep malam ini. Kamu kan baru aja sampai, harus istirahat. Besok gantian kamu yang nginep." Ibu berdiri, lalu menghampiri Mas Arkan.
Nindi menarik tangan Mas Arkan, kepalanya menggeleng-geleng. Pertanda bahwa ia tak ingin abangnya pergi. "Abang di sini aja." Suara itu, tetap saja terdengar manja, saat sakit sekalipun.
Akhirnya Ibu mengizinkan Mas Arkan untuk menemani Nindi. Sementara aku, Sandra dan Ibu akan pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 21.15. Setelah berpamitan, kami segera meninggalkan ruangan berukuran 15 x 10 meter itu.
*
Mataku belum juga terpejam, padahal saat ini sudah hampir jam dua belas malam. Rasanya ada yang kurang, saat ingin menjemput mimpi, tak ada pelukan hangat dari Mas Arkan. Aku meraih ponsel di bawah bantal, lalu mengirim pesan pada Mas Arkan. Siapa tahu, ia juga belum tidur.
Benar dugaanku, tak berselang lama langsung kuterima balasan dari Mas Arkan.
[Kenapa? Kangen?]Ya, aku kangen pelukan Mas. Kangen memainkan bulu-bulu halus di dagu Mas, kangen ... semuanya. Masa iya, aku balas seperti itu?
[Ya, aku kangen, mau dipeluk]
[Sini, Mas peluk dari jauh] lalu berderetlah emoticon peluk.
Setelah puas berbalas pesan, akhirnya aku sudahi karena kantuk mulai menyerang. Mas Arkan berpesan agar aku harus segera tidur. Baiklah, semoga pelukanmu kurasakan dalam mimpi.
*
Pagi menyapa, aku bersiap akan berkunjung ke rumah sakit. Aku sudah menyiapkan sarapan untuk Mas Arkan. Buah apel dan roti isi selai kacang kesukaannya. Setelah pamit pada Ibu dan Bapak, aku segera melajukan motor matic-ku menuju rumah sakit.
Begitu sampai, aku tak mendapatkan Mas Arkan di ruangan. Hanya ada Nindi seorang diri, sedang makan makanan yang disediakan rumah sakit.
"Nindi, gimana kondisimu?" Aku meletakkan bungkusan yang kubawa. Kemudian duduk di sisi ranjang.
"Seperti yang Kakak lihat." Ia menjawab tanpa menoleh sedikitpun. Matanya fokus tertuju pada makanan di hadapan.
"Oh, ya, Mas Arkan mana?" Bersamaan dengan pertanyaanku, terdengar derit pintu kamar mandi terbuka. Lalu, suara yang kurindu terdengar menyapa.
"Riri, pagi-pagi banget ke sini?" Ia meletakkan arlojinya pada nakas.
Apa dia bilang? Riri? Biasanya sayang. Apa karena di depan Nindi? Ah, masih pagi moodku sudah ambyar. Kenapa juga aku jadi sensi banget sih?
"Iya, aku bawain Mas sarapan." Aku berdiri, lalu memberikan bungkusan tadi pada Mas Arkan.
Arkan menikmati sarapannya, sementara aku hanya diam melihat dua orang di hadapanku yang sedang sibuk dengan makanannya. Nindi masih tampak bermalas-malasan untuk menyuap sesendok bubur. Makanan pada plato stainless--nampan ompreng--masih separuh porsi.Selesai makan, Nindi langsung meminum beberapa obat yang sudah disediakan. Wajahnya tampak lebih segar dibanding semalam. Arkan bilang, suhu badannya sudah stabil. Mungkin peran Arkan sangat berpengaruh terhadap kesembuhan Nindi. Biasanya, kehadiran orang tersayang lebih ampuh dibanding obat yang diminum, begitu 'kan?
"Nindi, setelah dokter datang, abang pulang dulu, ya, mau mandi. Nanti ke sini lagi, sementara Kak Riri yang nemenin kamu."
Nindi hanya mengangguk. Sejak tadi, ia tak pernah melihat ke arahku. Seolah-olah ia tak menginginkan keberadaanku di sini. Mau sampai kapan kamu bersikap seperti itu, gadis manja? Oh, Allah, belum ada seminggu usia pernikahan ini, tetapi ujian yang Kau berikan sungguh membuat hatiku gerah. Astaghfirullah.
Pintu kamar terbuka, lalu masuklah beberapa orang perawat dan seorang dokter. Pertama, dokter itu berkunjung ke pasien paling ujung dekat pintu. Kebetulan, di kamar kelas dua ini ada enam brankar yang kesemuanya penuh. Nindi berada di brankar paling ujung sudut ruangan.
"Pagi ... Nindi, gimana pagi ini kondisinya? Masih ada keluhan?" Dokter berkacamata itu memeriksa keadaan Nindi, ia menyuruh Nindi untuk membuka mulut. Lalu, senter yang berada di tangannya ia arahkan ke dalam mulut Nindi.
"Kadang masih suka pusing, makan juga belum terlalu berselera, lidahnya masih pahit." Nindi menjawab setelah dokter selesai memeriksanya.
"Obat diminum semua, kan? Kalau kamu makannya banyak dan minum obat teratur, insyaallah cepat sembuh. Oh, ya, sudah nggak mual, ya?"
Nindi menggeleng. Aku dan Mas Arkan hanya menyimak penuturan dokter yang kutaksir usianya sudah di atas lima puluh tahun itu. Beberapa helai uban terlihat di rambut hitamnya. Katanya, Nindi harus dipaksa makan kalau mau cepat sembuh dan pulang ke rumah.
"Ok, kalau begitu, saya pamit."
"Terimakasih, Pak dokter," ucap Mas Arkan.
Sepuluh menit setelah dokter meninggalkan ruangan, Mas Arkan pamit pulang. Ia meninggalkanku berdua dengan Nindi. Nindi masih diam, tak jua membuka percakapan denganku. Ia sibuk memainkan ponselnya sejak kepergian Mas Arkan.
Baiklah, aku ingin tahu seberapa lama ia bisa mendiamkan aku seperti ini. Aku ikuti permainannya. Sejak menikah, aku belum sempat menengok media sosialku. Apa kabarnya, ya? Aku mulai berselancar di beranda f******k. Ternyata banyak sekali ucapan selamat dari beberapa teman maya.
Setelah menjawab ucapan pada status yang kubuat, aku tutup f******k. Kemudian, beralih ke i*******m. Ya, tak mungkin aku menjawab satu persatu ucapan yang masuk, walau jumlahnya tak sampai ratusan. Satu status cukup mewakili semuanya. Tak jauh beda dengan f******k, pada laman i*******m beberapa teman menandaiku dalam postingan foto mereka. Mulai dari teman SD sampai teman kuliah.
Bosan berselancar, aku putuskan untuk mendengarkan lagu kesukaan lewat earphone. Nindi sudah mengubah posisi, ia merebahkan tubuhnya yang tadi masih bersandar. Lalu berusaha memejamkan matanya perlahan. Mungkin obatnya sudah bereaksi, membuat ia mengantuk.
Bosan. Aku tak bisa diam terus seperti ini. Nindi tampak gelisah, ia belum tertidur juga. Matanya kembali terbuka, lalu tangan kanannya meraih ponsel. Sepertinya aku harus mengalah, lidahku gatal ingin sekali berucap sesuatu.
"Nindi, kenapa nggak jadi tidur?"
Nindi diam, seolah mulutnya terkunci rapat. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis ini. Ia sama sekali tidak menghargai keberadaanku. Aku sudah bersabar, dan masih bisa menahan diri untuk bersikap biasa, bahkan sebisa mungkin berucap lembut.
"Tadi kata dokter, kamu harus banyak istirahat."
Nindi masih diam, bahkan pandangannya tak beralih dari ponsel di tangan. Aku menghela napas kasar, membuang racun benci yang mulai bercokol di hati. Kesal! Upayaku untuk berteman belum berhasil, padahal ia sudah berjanji tempo hari, ingin berteman denganku."Nindi, kenapa kamu diam aja? Kakak punya salah apa sama kamu? Tolong dijawab." Aku sedikit memohon padanya. Biarlah, aku memang harus lebih bersabar menghadapi gadis labil ini.
Nindi menatapku, awalnya mata itu tampak sendu tersebab wajahnya yang masih kuyu khas orang sakit. Namun, tatapan yang intens itu berubah tajam seolah ada banyak rasa benci yang ia pendam.
"Nindi nggak mau ditemenin Kakak. Mending Kakak pulang aja!" Ucapannya sedikit membentak, meski terdengar pelan.
Lagi, aku menghela napas. Sebenarnya apa yang membuatnya begitu membenciku? Apa karena Mas Arkan menikah? Aneh. Ya, terlalu berlebihan jika memang benar itu alasannya.
"Tapi kenapa? Kakak cuma sebentar, kok. Nanti abangmu ke sini lagi." Aku masih bisa menahan diri.
"Udahlah, Kak. Nggak usah pura-pura, Kakak pasti kesel, 'kan, sama aku? Udah, pulang aja gih, sana!"
Astaghfirullah, aku hanya bisa mengelus dada. Nindi benar-benar membuat pertahananku runtuh. Kalau sudah begini, aku tak bisa lagi menahannya.
"Sebenarnya ada masalah apa? Salah kakak apa, sampai kamu segitu bencinya sama kakak?"
"Kakak nggak nyadar juga? Udahlah, aku males ladenin kakak." Nindi berbaring, ia memejamkan matanya.
Aku memang kesal, tetapi kali ini rasa kesal itu bercampur dengan sedih. Entah kenapa, seperti ada yang tertusuk di sini, perih. Ucapan Nindi seperti terlontar dari mulut seorang gadis dewasa. Usianya saja yang masih belia. Meskipun jiwanya labil, tetapi ia sudah mampu berpikir seperti orang dewasa. Aku bisa menilai dari ucapannya selama ini.
"Kalau memang itu mau kamu, kakak akan pergi."
"Baguslah, emang nggak seharusnya kakak di sini."
Baru saja hendak melangkah, mendengar ucapannya barusan, emosiku tersulut. Apalagi nada bicaranya seolah merendahkanku.
"Dari tadi kakak udah sabar, ya. Kakak nggak tau alasan kamu begitu benci sama kakak. Nggak semestinya sikapmu seperti itu, kamu nggak punya etika, songong!" Sengaja kata terakhir aku beri penekanan. Tanpa sadar, ternyata Mas Arkan sudah berada di belakangku. Apa dia mendengarnya?
"Riri!" Mas Arkan menarik lenganku. Ia membawaku ke luar ruangan.
"Apa kamu nggak sadar, Nindi sedang sakit. Kenapa kamu marah-marah? Bikin gaduh saja." Mas Arkan memarahiku untuk pertama kalinya. Meskipun ia tidak meninggikan suaranya, tetapi tetap saja ia marah.
"Mas Arkan dengar? Aku ... aku cuma nggak tahan, Mas. Nindi mengusirku, ia nggak terima kalau aku menemaninya. Ia terang-terangan menunjukkan kebenciannya padaku."
"Sudah, cukup! Nindi lagi sakit, nggak seharusnya kamu bersikap seperti tadi." Mas Arkan berpaling, ia mengusap wajahnya, kasar.
"Kamu sekarang pulang--""Aku memang mau pulang." Aku memotong ucapannya. Tanpa pamit lagi, aku melangkah pergi meninggalkan Mas Arkan. Pergi dengan kondisi hati yang kacau. Entah apa yang akan Nindi katakan pada abangnya. Biarlah, aku ingin menenangkan diri. Pulang ke rumah sepertinya pilihan yang tepat. Aku kangen Mama.
Bersambung
Bab 11Mama tampak senang sekali melihatku berkunjung. Namun, ia sempat bertanya sebab aku datang sendirian. Aku menceritakan kalau Mas Arkan sedang menemani Nindi yang sedang terbaring di rumah sakit. Sebisa mungkin aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Arkan."Ma, Riri ke kamar dulu, ya." Aku melangkah ke kamar, meninggalkan Mama yang masih bergelut dengan panci dan kawan-kawan di dapur.Kamar ini masih sama sejak terakhir kali aku tinggalkan. Hanya sprei yang sudah berganti. Kubuka jendela yang mengarah ke halaman samping rumah. Udara pengap di kamar berganti dengan oksigen yang masuk melalui celah teralis.Aku rebahkan tubuh di ranjang berbalut sprei marun bermotif polkadot. Kupejamkan mata seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Sejenak melupakan semua yang terjadi di rumah sakit tadi. Mama tidak boleh mengetahui permasalahanku.Aku tak akan menceritakan kepada siapa pun, sebelum membicarakannya dengan Mas Arkan. Aku h
Bab 12Wanita ItuPercuma saja aku berteriak, tak akan ada yang mendengar. Dengan susah payah, aku bangkit, selangkah demi selangkah berjalan menuju kamar. Aku tak berniat membangunkan Mas Arkan. Namun, isak tangisku membuat Mas Arkan terjaga. Ia memelukku dari belakang, posisiku memunggunginya."Kamu kenapa, Sayang?" Suara seraknya terdengar lirih di telinga.Aku masih saja terisak, menahan lelehan air mata yang tumpah ruah, juga rasa sakit yang kian mendera. Aku berbalik, menenggelamkan wajahku pada dadanya. Nyaman."Masih sakit, ya?"Aku bergeming. Entah harus kujawab apa, aku sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Apa aku keguguran? Ya Allah, semoga saja bukan, itu hanya darah haid."Besok kita ke dokter, ya, kalau masih sakit." Mas Arkan mencium puncak kepalaku. "Dah, sekarang tidur." Ia pun mengeratkan pelukannya.*Baru saja aku tersadar setelah satu jam lebih tertidur akib
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t
Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,
Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da