Bab 9
Bulan Madu yang Harus Berakhir
"Demam katanya, meriang."
"Terus?"
"Nanti mas minta tolong Sandra aja." Mas Arkan masih asik menyantap kacang rebus.
Dasar manja! Di rumah kan ada Ibu, kenapa masih minta abangnya pulang? Aku menghela napas, lalu menghirup udara dengan rakus. Agar rasa panas yang tiba-tiba saja hinggap segera berganti dengan sejuknya oksigen. Sabar, Ri.
"Mas, buruan kabari Sandra. Nanti Nindi telepon lagi." Aku berkata selembut mungkin agar terdengar biasa.
Tanpa menjawab, Mas Arkan langsung mengirimkan pesan pada Sandra untuk menemani Nindi. Kebetulan sepupu Mas Arkan itu tidak bekerja. Kegiatannya hanya membantu menjaga toko kelontong milik orang tuanya. Jadi, ia punya banyak waktu luang.
Setelah puas menikmati keindahan Jurang Tembelan, aku dan Mas Arkan melanjutkan perjalanan ke Panguk Kediwung dengan menggunakan mobil. Jarak dari Jurang Tembelan sekitar lima kilometer ke arah bawah dusun Kediwung melalui Jl.Imogiri dekat gerbang Kebun Mangunan.
Aku melihat perubahan raut wajah Mas Arkan. Selama perjalanan, ia beberapa kali mengecek ponselnya. Lelaki berjenggot tipis itu tampaknya khawatir dengan kondisi Nindi. Ya, dari air mukanya sangat kentara, meski ia tidak berucap.
"Mas khawatir, ya?" Aku memberanikan diri bertanya.
Mas Arkan bergeming, tatapannya fokus memandang ke arah luar kaca mobil. Percuma jika harus tetap melanjutkan bulan madu, kalau pikiran Mas Arkan ada di Jakarta. Jalan-jalan akan terasa hambar.
"Mas, kalau memang mau pulang, kita pulang aja."
Mas Arkan menoleh, menatapku lekat. Tampak keraguan pada guratan wajahnya. Ia seperti sedang dihadapkan pada pilihan yang sulit.
"Nindi demam, suhu badannya mencapai hampir 39°C." Kini tampak jelas kalau Mas Arkan mengkhawatirkan kondisi adiknya itu.
"Dibawa ke dokter aja, Mas."
Mas Arkan menggeleng. "Nindi nggak mau ke dokter kalau nggak sama Mas." Ia kembali mengecek ponselnya ketika berbunyi, tanda ada pesan masuk.
Mas Arkan bilang, Nindi tetap bersikeras menunggu abangnya pulang. Entah aku harus berbuat apa, moodku sudah terlanjur ambyar. Jika memang harus pulang hari ini, aku harus ikhlas. Mungkin memang sudah takdirnya seperti ini.
Mobil masih melaju dengan kecepatan sedang. Alunan lagu dengan volume kecil dari tape recorder masih setia menemani perjalanan kami. Tampak sang supir sesekali mengetuk-ngetuk jarinya pada kemudi, mengikuti irama lagu.
"Kita pulang aja, Mas," kataku, memecah keheningan yang sejenak tercipta.
"Kamu yakin? Sepertinya ini sudah dekat ke Bukit Kediwung."
Aku menghela napas. "Aku nggak mau senang-senang sendirian, nggak bakalan nikmatin juga."
"Sayang, aku nggak mau merusak bulan madu kita." Mas Arkan menggenggam kedua tanganku, lalu mengecupnya.
"Mas ...." Aku melepas genggaman, merasa tidak nyaman karena sang supir mengintip dari spion depan. Tak lama kemudian mobil berhenti.
"Kita sudah sampai, Bu, Pak," ucap sang supir.
Tanpa menjawab, aku dan Arkan bergegas turun. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju spot-spot cantik, menikmati pemandangan dari atas bukit kediwung.Mas Arkan menggandeng tanganku, kemudian membisikkan kata-kata guna meyakinkan diri ini kalau ia tetap ingin di sini, bersamaku. Aku menatap matanya, masih terlihat kalau pikirannya tak sepenuhnya di sini. Namun, aku berusaha menghargai kesungguhannya dalam meyakinkanku.
Kami terus berjalan menyusuri jalan setapak menuju spot-spot cantik untuk mengambil beberapa gambar.Spot foto yang ada di Bukit Panguk Kediwung seluruhnya menghadap ke tebing yang berhadapan langsung dengan hutan lebat serta di bawahnya terdapat Sungai Oya yang membentang panjang.
Aku menunjuk ke arah timur. Tampak di ujung ada sebuah spot dermaga kecil yang hanya dapat menampung tidak lebih dari dua orang. Kebetulan sedang ada yang berswafoto di sana. Aku dan Mas Arkan mengantre untuk berfoto.
"Mas, kalau hari libur atau weekend mungkin bakalan lebih antri dari ini, ya."
Mas Arkan hanya mengangguk. Ia menyapu pandangan ke sekeliling, tampak menikmati sejuknya udara di sini. Syukurlah, setidaknya ia bisa melupakan sejenak kekhawatirannya pada Nindi.
"Ayo, Mas." Aku menarik lengan Mar Arkan, mengajaknya melangkah ke tepi dermaga yang terbuat dari kayu ini. Kami berdiri di ujung, tampak di bawah sana hutan lebat menghijau. Aku membentangkan kedua tangan, memejamkan mata sejenak, lalu merasakan belaian angin yang menyapu wajah. Dingin.
Tiba-tiba dari belakang, Mas Arkan mendekap erat tubuhku. Ia meletakkan dagunya tepat di bahuku, lalu dalam sekejap mengecup pipiku, mesra.
"Mas, malu kalau di lihat orang."
"Tenang aja, nggak ada yang lihat. Makanya mas berani meluk kamu."
Aku menoleh ke belakang sesaat, benar saja, sepi. Mungkin di sini ramai pengunjung kala mentari terbit. Sekarang sudah hampir jam sepuluh. Sepanjang perjalanan tadi memang kami banyak berpapasan dengan pengunjung yang turun ke bawah, mungkin hendak pulang.
Mas Arkan mengurai pelukannya. Kemudian kami mengambil beberapa gambar. Setelah puas, kami melanjutkan ke spot berikutnya. Saat menuju spot kolam, ponsel Arkan berdering.
Sandra. Ia mengabarkan kalau Nindi akhirnya mau dibawa ke dokter setelah meriang hebat, hampir tak sadarkan diri. Gurat kekhawatiran tampak jelas menghiasi wajahnya. Sepertinya kali ini ia akan memutuskan untuk secepatnya pulang.
"Sayang, maafin mas, tapi sepertinya kita harus pulang." Mas Arkan memohon padaku.
Aku hanya bisa mengangguk, meski dalam hati menginginkan sebaliknya. Tanpa pikir lagi, aku dan Mas Arkan bergegas menuju parkiran. Begitu sampai, aku katakan pada supir agar segera melajukan mobil menuju hotel.
*
Aku sedang berkemas menyiapkan semuanya ketika lagi-lagi ponsel Mas Arkan berdering. Dengan sigap, Mas Arkan segera menjawabnya.
"Gimana kondisi Nindi?"
" .... "
"Jadi harus diopname?"
" .... "
"Ya, saya dapat flight nanti sore jam enam. Bilang ke Nindi, tenang aja, jangan terlalu mikir keras."
Arkan mengakhiri percakapannya dengan seseorang di seberang sana. Kemudian ia melanjutkan berkemas. Masih ada waktu beberapa jam untuk istirahat sebentar. Selesai berkemas, aku rebahkan tubuh yang terasa sangat lelah. Mandi air hangat sepertinya enak.
Jam di dinding menunjukkan pukul satu lewat. Cacing di perut sudah pada demo minta jatah. Seharusnya siang ini, aku dan Mas Arkan menikmati lunch di sebuah restoran. Lalu, melanjutkan perjalanan ke hutan pinus dan berakhir di tebing breksi menikmati sunset.
Aku sudah membayangkan indahnya fenomena matahari terbenam yang bakalan aku dokumentasikan. Namun, semua itu hanya sebuah angan. Ah, sudahlah ... aku harus bisa menerima. Ini semua di luar kehendak Mas Arkan.
*
Setelah satu jam lebih mengudara, akhirnya tiba juga di Jakarta. Kami sudah meniatkan salat Magrib dijamak takhir. Jadi, sebelum memesan taxi online, kami mencari mushola untuk menunaikan salat terlebih dahulu. Lima menit lagi akan tiba waktu salat Isya.
Usai menunaikan salat, kami bergegas menuju rumah setelah sebelumnya memesan taksi online. Perjalanan dari bandara menuju rumah memakan waktu satu jam lebih. Ditambah macet di beberapa ruas jalan.
Mas Arkan tak banyak bicara, sesekali ia mengecek ponsel apakah ada kabar terbaru dari Sandra. Mas Arkan bilang, dari gejala, sepertinya Nindi terkena tipes. Kabar terakhir dari Sandra, Nindi baru saja dipindahkan ke ruang opname.
Begitu sampai rumah, aku dan Mas Arkan segera membersihkan diri dan bersiap untuk ke rumah sakit. Bapak tetap berjaga di rumah karena lelah pulang bekerja langsung ke rumah sakit.
Rumah sakit yang dituju tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari sepuluh menit dengan berkendara motor. Mas Arkan melajukan motornya dengan cepat. Seperrinya sudah tak sabar ingin melihat kondisi adik kesayangannya itu.
Dengan sedikit berlari, Mas Arkan menggandeng tanganku menyusuri lorong rumah sakit. Kami mencari kamar rawat inap kelas dua setelah tadi bertanya dengan seorang perawat. Kamar no.3a, tertulis di pintu berwarna hijau toska.
Begitu masuk, pandangan kami langsung tertuju pada bangsal paling ujung. Dari pintu masuk, tampak Ibu sedang duduk di kursi. Melihat kami, Ibu segera berdiri. Ia menyunggingkan senyum, aku dan Mas Arkan segera menyalaminya.
"Gimana kondisi Nindi?"
"Setelah diinfus, demamnya berangsur turun. Nindi baru aja tidur setelah minum obat." Sandra menjelaskan dengan detail kondisi Nindi. Ia menceritakan perjuangannya membujuk Nindi sampai akhirnya mau dibawa ke dokter.
"Maaf, ya, Neng. Bulan madu kalian jadi terganggu." Ibu menggenggam tanganku, wajahnya tampak menyesal dengan keadaan ini.
"Ibu nggak perlu minta maaf, ini bukan salah Ibu. Riri nggak pa-pa kok, Bu. Kesehatan Nindi lebih penting. Dengan kehadiran Mas Arkan, pasti Nindi lebih bersemangat untuk sembuh." Entah dari mana asalnya, kalimat itu meluncur saja dari bibirku.
Mas Arkan langsung menggantikan posisi Sandra yang duduk di samping Nindi. Ia menggenggam tangan kiri Nindi yang terkulai lemas, kemudian mengecupnya. Makin terlihat jelas betapa sayangnya ia pada Nindi. Perlakuannya terhadap Nindi tidak beda jauh seperti perlakuannya kepadaku. Entahlah ... ada yang bergemuruh di dada. Apa aku cemburu?
Bersambung
Bab 10Nindi Berulah LagiMas Arkan masih terus menggenggam tangan Nindi, bibirnya tampak bergerak-gerak sepertinya ia sedang merapalkan doa. Satu sisi, aku mengerti posisi Mas Arkan sebagai seorang kakak. Akan tetapi, di sisi lain aku merasa perlakuannya ini berlebihan.Tak lama kemudian, mata Nindi mulai bergerak perlahan sampai akhirnya terbuka. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat matanya tertuju pada Mas Arkan, ia berkata, "Abang, Abang udah pulang?" Nindi memberikan seulas senyum di bibirnya yang pucat. Suaranya terdengar parau."Ssttt, kamu jangan banyak bicara dulu." Telunjuk Mas Arkan ditempelkan pada bibir mungil Nindi. "Abang akan nemenin kamu sampai sembuh," lanjutnya kemudian."Kamu pulang aja, biar ibu yang nginep malam ini. Kamu kan baru aja sampai, harus istirahat. Besok gantian kamu yang nginep." Ibu berdiri, lalu menghampiri Mas Arkan.Nindi menarik tangan Mas Arkan, kepalanya menggeleng-geleng. Pert
Bab 11Mama tampak senang sekali melihatku berkunjung. Namun, ia sempat bertanya sebab aku datang sendirian. Aku menceritakan kalau Mas Arkan sedang menemani Nindi yang sedang terbaring di rumah sakit. Sebisa mungkin aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Arkan."Ma, Riri ke kamar dulu, ya." Aku melangkah ke kamar, meninggalkan Mama yang masih bergelut dengan panci dan kawan-kawan di dapur.Kamar ini masih sama sejak terakhir kali aku tinggalkan. Hanya sprei yang sudah berganti. Kubuka jendela yang mengarah ke halaman samping rumah. Udara pengap di kamar berganti dengan oksigen yang masuk melalui celah teralis.Aku rebahkan tubuh di ranjang berbalut sprei marun bermotif polkadot. Kupejamkan mata seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Sejenak melupakan semua yang terjadi di rumah sakit tadi. Mama tidak boleh mengetahui permasalahanku.Aku tak akan menceritakan kepada siapa pun, sebelum membicarakannya dengan Mas Arkan. Aku h
Bab 12Wanita ItuPercuma saja aku berteriak, tak akan ada yang mendengar. Dengan susah payah, aku bangkit, selangkah demi selangkah berjalan menuju kamar. Aku tak berniat membangunkan Mas Arkan. Namun, isak tangisku membuat Mas Arkan terjaga. Ia memelukku dari belakang, posisiku memunggunginya."Kamu kenapa, Sayang?" Suara seraknya terdengar lirih di telinga.Aku masih saja terisak, menahan lelehan air mata yang tumpah ruah, juga rasa sakit yang kian mendera. Aku berbalik, menenggelamkan wajahku pada dadanya. Nyaman."Masih sakit, ya?"Aku bergeming. Entah harus kujawab apa, aku sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Apa aku keguguran? Ya Allah, semoga saja bukan, itu hanya darah haid."Besok kita ke dokter, ya, kalau masih sakit." Mas Arkan mencium puncak kepalaku. "Dah, sekarang tidur." Ia pun mengeratkan pelukannya.*Baru saja aku tersadar setelah satu jam lebih tertidur akib
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t
Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,
Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da