Warning! 21+
Bab 5
Malam Pertama?Aku harus berbuat apa setelah ini? Rasanya masih malu untuk ... aahhh ....
Aku mendengkus, kesal! Memangnya hanya kamu saja yang mau? Lihat saja nanti! aku bakalan habisin kamu, Arkana Putra. Duh! Ngomong apa, sih aku!
Aku ambil baju yang akan kukenakan nanti di hadapannya. Aku menyeringai tipis, membayangkan ekspresinya nanti ketika melihat penampilanku. We'll see ....
.
Selesai melipat mukena, aku hendak ke luar kamar menuju dapur. Perutku sudah meminta untuk diisi. Minimal segelas teh hangat sebagai energi untuk memulai aktivitas pagi. Namun, langkah kaki ini terhenti saat Arkan menarik lenganku pelan. Arkan baru saja selesai mengaji.
"Mau ke mana?" tanyanya menyelidik.
"Ke dapur, aku laper. Mau sekalian aku bikinin kopi?"
"Saya nggak biasa ngopi pagi." Arkan mulai merapatkan tubuhnya. Membuat hatiku berdebar lebih cepat dari biasanya. Padahal belum pemanasan juga, eh. Apa sih Riri!
"Te-terus, bi-biasanya minum apa?" Duh, kenapa jadi gemetar begini, sih! Padahal tadi aku berniat ingin menantangnya.
Bukannya menjawab, Arkan malah membungkam mulutku dengan bibirnya seraya membingkai wajahku. Aku yang tidak siap, hanya bisa menelan ludah, pasrah.
Beberapa detik aku dibuat mematung olehnya. Jangan tanya bagaimana kabar jantungku? Hampir saja ia lepas saking cepatnya berdetak. Pasokan oksigen serasa tercekat di kerongkongan. Akhirnya Arkan melepas pagutannya, aku bernapas lega.
"Maaf." Arkan berbalik, wajahnya tampak memerah.
Tanpa membuang waktu, aku beranjak ke luar kamar meninggalkan Arkan dengan debaran di dada yang mulai mereda.
Di dapur, ada Mama yang sedang memasak nasi goreng.
"Duh, harumnya ... bikin perut tambah keroncongan." Aku meraih dua gelas di rak, kemudian membuat teh manis hangat.
"Arkan mana? Ajak sarapan, sebentar lagi matang nih." ucap Mama seraya menuangkan kecap ke wajan yang berisi penuh nasi goreng.
"Kayaknya, kita mau sarapan di kamar aja deh, Ma. Nggak pa-pa, 'kan?" Aku hentikan mengaduk gelas teh, agar suara pelanku terdengar Mama.
Mama menoleh sesaat, lalu tersenyum penuh arti. Ia lalu kembali mengaduk nasi gorengnya sampai benar-benar matang sempurna.
"Makan yang banyak, biar ada tenaga." Mama menyikut lenganku sambil senyum-senyum tidak jelas.
"Apaan sih, Mama ...." Aku berpaling, agar Mama tidak melihat wajahku yang mulai memanas. Lebih baik segera menyiapkan sarapan.
"Aku ke kamar, ya, Ma." Sambil membawa nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas teh manis, aku kembali ke kamar dengan perasaan yang entah. Grogi, gemetar, juga ... malu. Begini, ya, rasanya jadi pengantin baru.
"Jangan lupa kunci kamar." Terdengar suara Mama setengah berteriak. Ish malu-maluin, semoga Haikal nggak dengar. Aku menoleh sesaat, tampak Mama masih cekikikan sendirian. Ish, senang sekali godain anaknya. Hadeeh.Aku buka pintu kamar perlahan, khawatir nampan di tanganku terjatuh. Tampak Arkan sedang duduk di ranjang dengan kepala bersandar, melakukan video call dengan seseorang. Aku letakkan nampan di nakas. Lalu menuju pintu, menutup dan tak lupa menguncinya.
"Udahan dulu, ya, De."
"Tapi beneran ntar sore ke sini, ya. Awas lho!" Suara Nindi terdengar begitu manja.
Setelah video call berakhir, Arkan meletakkan ponselnya di nakas. Sebenarnya aku ingin bertanya, ada perlu apa Nindi sampai video call pagi-pagi begini. Namun, aku urungkan, khawatir merusak suasana hati."Kita sarapan, dulu, yuuk." Aku mengambil sepiring nasi, lalu menyerahkannya pada Arkan.
Arkan menerimanya, tetapi langsung diletakkan kembali. Ia mengambil segelas teh, lalu meneguknya hingga tersisa setengahnya.
"Kok, nggak dimakan?""Nanti saja, kamu, duduk sini!" Arkan menyuruhku untuk duduk di sampingnya.
Aku hendak mengambil piring, tetapi suara Arkan menghentikan tanganku. "Makannya nanti aja, 'kan udah saya bilang." Seperti biasa, nada bicaranya datar.Ish, aku kira kamu yang makannya nanti. Dasar Pak Guru kaku! Apa kamu tidak bisa bersikap sedikit hangat seperti perlakuanmu pada Nindi? Sayangnya, aku hanya bisa mengumpat dalam hati.
Dengan langkah terpaksa, aku menghampiri Arkan, duduk di sampingnya bersandar pada kepala ranjang. Aku mengambil bantal, lalu kuletakkan di pangkuan. Sesaat kami saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sepertinya begitu.
"Kamu harus bayar utang sekarang." Ia menoleh, menatapku dengan tatapan yang ... entah, sulit kutebak.
"Tapi perutku lapar, aku ... ma-makan dulu, ya."
"Aku lebih lapar, sudah menahannya sejak semalam."
Deg! Aku merasa tertampar. Teringat kejadian semalam, saat aku menolaknya. Bukan, bukan menolak, aku hanya menundanya sampai aku merasa siap. Lagi pula, semalam itu aku tidak mandi, kan malu kalau aroma ketiakku tercium. Aku hanya tidak ingin meninggalkan kesan pertama yang buruk. Jaga image.
Aku harus bagaimana? Ya ampun, baru kuingat. Aku mengenakan pakaian double. Duh! Bakalan tambah malu kalau sampai terjadi sekarang.
"A-Arkan, aku haus. Boleh minum dulu, 'kan?"
Tanpa menjawab, ia langsung mengambil segelas teh yang masih utuh, lalu memberikannya padaku. Aku meminumnya hingga tandas. Kemudian, Arkan mengambil gelas di tanganku dan meletakkannya kembali di nakas.
Aku teringat ekspresi wajahnya saat penolakan semalam. Saat itu juga, aku hanya bisa meminta maaf, lalu berbaring memunggunginya. Entah apa yang ia rasakan, apa yang ada dalam pikirannya. Yang jelas, aku menyesal karena tersadar kalau aku telah berdosa, hingga tidurku tidak nyenyak semalaman.
Sekarang, aku tidak boleh menundanya lagi. Kembali aku teringat sesaat setelah selesai menunaikan salat Sunah dua rakaat tadi malam. Arkan mencium puncak kepala, lalu memegang ubun-ubunku seraya merapalkan doa. Aku merasa ada yang bedesir di hati.
"Riri ...." Suara Arkan membuyarkan lamunan. Arkan meraih daguku, kemudian mendekatkan wajahnya. Kalau sudah seperti ini, rencana yang kubayangkan sejak tadi bakalan gagal.
Aku hanya menurut dan pasrah dengan apa yang ia lakukan setelahnya. Arkan berhak atas diriku. Aku juga tidak ingin kembali mendapat laknat malaikat. Begitu isi salah satu hadist yang pernah ku dengar dari tausiah seorang ustadz.
*
Arkan terus saja memandangiku yang tengah menyisir rambut. Aku bisa melihatnya dari pantulan cermin. Ah, aku masih malu mengingat ekspresi Arkan ketika tahu kalau aku mengenakan lingeri di balik baju yang kupakai tadi.
"Cara pakainya bukan seperti ini," ujarnya tadi, seraya menahan tawa.
Ah ... malam pertama yang benar-benar memalukan, untukku. Tunggu, bukan malam pertama, karena ini sudah pagi, 'kan?
"Mau duduk di situ terus? Sini!" Arkan menepuk tepi ranjang.
Kenapa sih, dia senang sekali memerintah? Mentang-mentang seorang guru. Aku menghampiri, lalu duduk di sisinya. Arkan mendekatkan wajahnya, lalu membisikkan sesuatu. "Boleh nambah, nggak?" Sontak aku menarik wajah, menggeser duduk agar menjauh.
"Apaan sih, kamu?!" Aku memalingkan wajah.
"Rambutku aja masih basah," lanjutku."Kalau begitu, nunggu rambutmu kering."
Aku menoleh, melihatnya sedang menahan tawa. Refleks kuambil bantal, lalu melempar ke arahnya. Ia tak sempat menghindar, tawanya pecah. Ish, apanya yang lucu?
"Aku cuma bercanda, Sayang."
Apa yang dia bilang tadi? Sayang? Aku mendekatinya perlahan. Ingin memintanya untuk mengulang ucapan yang tadi.
"Coba ulangi! Aku nggak dengar."
"Nggak ada siaran ulang." Arkan berdiri, lalu berjalan ke arah pintu. Sebelum membukanya, ia menoleh lalu kembali berucap, "Saya tunggu di teras, ya. Temani saya jalan-jalan. Siap-siap gih, pakai jilbab." Tanpa menunggu jawaban dariku, ia langsung melesat ke luar.
*
Suasana komplek lumayan ramai, mengingat ini hari minggu. Banyak anak-anak yang bersepeda, atau sekedar lari berkejaran dengan temannya. Ada beberapa ibu yang sedang menyuapi anaknya di atas sepeda roda tiga. Sesekali aku menyapa mereka. Ada juga yang menyapaku sambil menggoda. "Duh, pengantin baru bukannya diam di kamar," ucap Bude sayur keliling langganan Mama sambil cengengesan. Kami hanya menanggapinya dengan senyuman.
Aku dan Arkan berjalan beriringan mengitari sekeliling komplek perumahanku. Embusan angin terasa dingin menerpa wajah. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Memang, cuaca agak sedikit mendung.
"Ri, nanti sore kita ke rumahku, ya." Arkan berucap, tatapannya lurus ke depan. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
"Mau ngapain?"
"Kita menginap di sana, cuma semalam aja, kok."
Aku mengiyakan permintaannya. Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang Nindi. Awalnya, Arkan hanya menjawab seperlunya. Namun, lama-lama seperti ada sesuatu yang ia tutupi dariku. Terdengar dari nada bicaranya yang agak ragu. Juga ekspresi wajahnya ketika mengatakan hal itu. Aku bisa melihat dari sorot matanya.
Saat sedang asik mengobrol, tiba-tiba saja ada seseorang yang memanggilku dari arah motor yang sedang melaju. Orang itu mengentikan laju motornya, lalu menyapaku lagi.
"Riri, 'kan?" Ia bertanya, terdengar agak ragu.
"Iya. Romi apa kabar?" Aku menghentikan langkah, begitu juga Arkan.
"Baik, kamu nanti ikutan reuni nggak?"
Reuni? Aku tidak mendapatkan info terupdate. Memang, sih pernah ada wacana alumni SD tempatku menimba ilmu akan mengadakan reuni akbar.
"Aku belum tau, memangnya kapan?"
"Minggu depan. Ayolah, ikut. Bareng Karin sama Najwa."
"Aku ... harus minta izin suamiku dulu." Aku melirik Arkan.
Setelah berkenalan dengan Arkan, Romi kembali melajukan kuda besinya itu. Dan kami, melanjutkan perjalanan menuju arah pulang.
*
Aku dan Arkan sedang menonton televisi saat ponsel Arkan berdering. Padahal, baru saja aku menyandarkan kepala di bahunya. Terpaksa kuangkat kepala, lalu bergeser sedikit memberi jarak, karena Arkan harus merogoh sakunya. Setelah mendapatkan benda pipih itu, ia menempelkannya di telinga.
"Iya, Abang ingat."
Pasti Nindi lagi. Mengganggu saja! Aku harus tuntaskan rasa penasaranku tentang Nindi. Setelah ini, akan kutanyakan lagi. Arkan tidak boleh menutupi apa pun dariku.
Bersambung
Bab 6Dua KejutanSelepas salat Zuhur dan makan, aku menghabiskan waktu di kamar bersama Arkan. Aku sibuk dengan ponsel di tangan. Arkan? Ia lebih dulu bermesraan dengan benda pipih berkamera itu. Entah apa yang ia lihat pada layar ponselnya. Jemarinya tampak sibuk mengetik, sesekali seulas senyum terbit di bibirnya yang seksi. Ya, bagiku bibir itu seksi, apalagi kalau tersenyum sangat manis, membuat hatiku meleleh seketika."Ehem." Sengaja, aku berdeham sambil melirik ke layar ponsel Arkan.Arkan bergeming, matanya fokus menatap layar tanpa berkedip. Apa sih yang ia baca? Sampai tidak mendengarkan aku. Atau memang sengaja mengabaikan. Aku berdeham sekali lagi, kali ini lebih keras.Arkan menoleh, ia menatapku lumayan lama, lalu berkata, "Kenapa? Minta cium?" Ia menaikkan sebelah alisnya.Ish, dasar mesum! Rutukku, tentu hanya dalam hati. Aku harus bisa bersabar menghadapi sifatnya yang ... masih sulit kutebak. Ini baru permulaan, masi
Bab 7Jogja, I'm Coming"Nindi, bukannya Kakak nggak mau ngajak, tapi ini cuma untuk dua orang." Duh, bagaimana aku menjelaskannya? Lagi pula, mana ada bulan madu bertiga?Nindi mulai bicara, agak panjang. Ia bercerita, sejak kecil sampai sekarang tidak pernah sedikit pun berpisah dengan Arkan. Dari mulai Nindi belajar jalan, makan, dan bermain semua ditemani abangnya itu. Dengan telaten, Arkan menyuapi Nindi kecil. Memang Nindi tidak begitu mengingatnya, semua itu Arkan yang menceritakan pada Nindi.Kelahiran Nindi disambut riang oleh Arkan. Ia yang pada waktu itu baru berusia tujuh belas tahun, sangat senang mempunyai seorang adik perempuan. Pasalnya, ia hanya memiliki seorang kakak laki-laki yang hanya selisih dua tahun darinya.Nindi Aulia Putri, namanya pun Arkan yang memberikan. Tak heran, jika Arkan sangat menyayanginya. Namun, menurutku justru sikap Arkan yang berlebihan itu membuat Nindi jadi terlalu manja dan ... aneh. Ya, ane
Bab 8(Masih) Explore JogjaAku masih terpaku melihat gambar pada layar benda pipih di tangan. Mencoba mengingat, barangkali aku pernah bertemu wanita ini. Namun, tak jua kuingat apa pun tentangnya. Mas Arkan tampak sangat akrab, bahkan di foto ini sepertinya ia tengah asik mengobrol.Mas Arkan menyentuh bahuku, saat menyadari kalau aku tengah melamun. "Sayang, nggak dengerin mas?" tanyanya sambil menatapku dengan kedua alis yang bertaut."Eh, nggak. Ng ... itu, aku ...." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ponsel yang kupegang di tangan kiri, sudah kuletakkan di kasur."Mikirin apa, sih, sampai mas ngomong nggak didengerin?" Mas Arkan membelai lembut rambutku."Nggak ada, kok, Mas. Aku cuma kecapean aja." Biar saja kusimpan dulu pertanyaan tentang foto wanita itu. Aku tidak ingin merusak suasana bulan madu kami.Mas Arkan menyuruhku untuk merebahkan kepala di pangkuannya. Kami mengobrol santai perihal perjalanan tadi. Sambil memai
Bab 9Bulan Madu yang Harus Berakhir"Demam katanya, meriang.""Terus?""Nanti mas minta tolong Sandra aja." Mas Arkan masih asik menyantap kacang rebus.Dasar manja! Di rumah kan ada Ibu, kenapa masih minta abangnya pulang? Aku menghela napas, lalu menghirup udara dengan rakus. Agar rasa panas yang tiba-tiba saja hinggap segera berganti dengan sejuknya oksigen. Sabar, Ri."Mas, buruan kabari Sandra. Nanti Nindi telepon lagi." Aku berkata selembut mungkin agar terdengar biasa.Tanpa menjawab, Mas Arkan langsung mengirimkan pesan pada Sandra untuk menemani Nindi. Kebetulan sepupu Mas Arkan itu tidak bekerja. Kegiatannya hanya membantu menjaga toko kelontong milik orang tuanya. Jadi, ia punya banyak waktu luang.Setelah puas menikmati keindahan Jurang Tembelan, aku dan Mas Arkan melanjutkan perjalanan ke Panguk Kediwung dengan menggunakan mobil. Jarak dari Jurang Tembelan sekitar lima kilometer ke arah bawah dusun Ked
Bab 10Nindi Berulah LagiMas Arkan masih terus menggenggam tangan Nindi, bibirnya tampak bergerak-gerak sepertinya ia sedang merapalkan doa. Satu sisi, aku mengerti posisi Mas Arkan sebagai seorang kakak. Akan tetapi, di sisi lain aku merasa perlakuannya ini berlebihan.Tak lama kemudian, mata Nindi mulai bergerak perlahan sampai akhirnya terbuka. Ia tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat matanya tertuju pada Mas Arkan, ia berkata, "Abang, Abang udah pulang?" Nindi memberikan seulas senyum di bibirnya yang pucat. Suaranya terdengar parau."Ssttt, kamu jangan banyak bicara dulu." Telunjuk Mas Arkan ditempelkan pada bibir mungil Nindi. "Abang akan nemenin kamu sampai sembuh," lanjutnya kemudian."Kamu pulang aja, biar ibu yang nginep malam ini. Kamu kan baru aja sampai, harus istirahat. Besok gantian kamu yang nginep." Ibu berdiri, lalu menghampiri Mas Arkan.Nindi menarik tangan Mas Arkan, kepalanya menggeleng-geleng. Pert
Bab 11Mama tampak senang sekali melihatku berkunjung. Namun, ia sempat bertanya sebab aku datang sendirian. Aku menceritakan kalau Mas Arkan sedang menemani Nindi yang sedang terbaring di rumah sakit. Sebisa mungkin aku bersikap seolah tak terjadi apa-apa antara aku dan Mas Arkan."Ma, Riri ke kamar dulu, ya." Aku melangkah ke kamar, meninggalkan Mama yang masih bergelut dengan panci dan kawan-kawan di dapur.Kamar ini masih sama sejak terakhir kali aku tinggalkan. Hanya sprei yang sudah berganti. Kubuka jendela yang mengarah ke halaman samping rumah. Udara pengap di kamar berganti dengan oksigen yang masuk melalui celah teralis.Aku rebahkan tubuh di ranjang berbalut sprei marun bermotif polkadot. Kupejamkan mata seraya menghirup oksigen dalam-dalam. Sejenak melupakan semua yang terjadi di rumah sakit tadi. Mama tidak boleh mengetahui permasalahanku.Aku tak akan menceritakan kepada siapa pun, sebelum membicarakannya dengan Mas Arkan. Aku h
Bab 12Wanita ItuPercuma saja aku berteriak, tak akan ada yang mendengar. Dengan susah payah, aku bangkit, selangkah demi selangkah berjalan menuju kamar. Aku tak berniat membangunkan Mas Arkan. Namun, isak tangisku membuat Mas Arkan terjaga. Ia memelukku dari belakang, posisiku memunggunginya."Kamu kenapa, Sayang?" Suara seraknya terdengar lirih di telinga.Aku masih saja terisak, menahan lelehan air mata yang tumpah ruah, juga rasa sakit yang kian mendera. Aku berbalik, menenggelamkan wajahku pada dadanya. Nyaman."Masih sakit, ya?"Aku bergeming. Entah harus kujawab apa, aku sendiri tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Apa aku keguguran? Ya Allah, semoga saja bukan, itu hanya darah haid."Besok kita ke dokter, ya, kalau masih sakit." Mas Arkan mencium puncak kepalaku. "Dah, sekarang tidur." Ia pun mengeratkan pelukannya.*Baru saja aku tersadar setelah satu jam lebih tertidur akib
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da
Bab 21“Maasss ....”Mas Arkan tersenyum menggoda. Pipiku menghangat mendengar ucapannya barusan. Sempat-sempatnya mesum tidak mengenal tempat. Tatapan matanya masih terus menguliti tiap inci wajahku. Sontak kulayangkan telapak tangan pada wajahnya.“Ets.” Ia berhasil menghindar.“Nih, rasain!” Aku cubit kencang lengannya.“Ampun, ampuuun, Sayaang. Aww! sakiit tauu.”“Biarin. Biar tau rasa!” Aku pura-pura marah, lalu berpaling darinya.Terdengar derit brankar. Sepertinya Mas Arkan tengah bergerak. Mungkin ia ingin duduk. Aku ingin membantunya, tapi ... aku kan masih marah. Biar saja ia berusaha sendiri. Siapa suruh pikirannya mesum begitu.“Sayang, kamu nggak mau bantu Mas? Tolong, dong.” Suaranya memelas.Tidak tega, akhirnya aku memutar kursi. Lantas bangkit, membantunya duduk. Mas Arkan masih tampak meringis saat pantatnya bergeser.“Lukanya masih sakit?”“Sedikit.”“Mas mau minum?”Ia menggeleng, raut wajahnya kini t
Bab 20Kata HatiTanpa membuang waktu, aku segera bersiap-siap. Booking mobil travel ke Jakarta. Alhamdulillah masih ada seat untuk perjalanan jam sepuluh. Aku harus meminta izin pada Pak Rendi.Pukul 07.45 aku sudah sampai di kantor. Seperti biasa, aku akan menjadi karyawan teladan karena datang paling awal. Dalam keadaan panik, aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Mas Arkan.Sebenarnya ada kecelakaan apa? Pantas saja nomor ponsel Mas Arkan tidak aktif. Ya Allah, tolong sembuhkan ia. Semoga mobil travelku nanti tidak ada hambatan, lindungi hamba ya Allah.Pukul 08.10 Pak Rendi datang, aku segera ke ruangannya. Pak Rendi mengizinkanku untuk kembali ke Jakarta dengan syarat harus izin juga pada Pak Heru. Aku sudah izin sejak tadi pagi."Baiklah, kamu hati-hati. Jangan terlalu panik, kamu banyak berdoa saja, ya.""Baik, Pak. Saya pamit, ya. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam."Aku meninggalkan ruangan Pak Rendi,
Bab 19Melepas RinduAku tengah menunggu kedatangan Mas Arkan. Ia mengatakan sekitar setengah jam lagi sampai. Aku nggak sabar ingin bertemu dengannya. Ingin memberikan kejutan yang pasti akan membuatnya bahagia.Aku merebahkan badan, sambil memainkan ponsel. Bosan membaca artikel seputar kehamilan, mataku mulai mengantuk. Lama-lama aku terpejam.Bunyi ponsel membuatku terjaga. Nama Mas Arkan terpampang di layar, segera kujawab."Iya, Mas. Aku ketiduran.""Mas udah di depan pintu.""Ok, aku buka." Aku bangkit, lalu segera beranjak membuka pintu."Sayang, Mas kangen." Mas Arkan memelukku."Aku juga, Mas." Aku eratkan pelukan, Mas Arkan mencium puncak kepalaku berkali-kali.Mas Arkan mengurai pelukannya, lalu kuajak duduk di lantai. Mas Arkan membawa banyak makanan. Ia memang tahu kebutuhan istrinya. Ibu hamil kan memang butuh asupan lebih."Gimana perjalanannya? Mobil travelnya nyaman, nggak?""Alhamdulillah nyaman, Mas mala
Bab 18Long Distance MarriedLangsung kubalas pesan Mas Arkan.[Iya, Mas. Aku juga ada yang mau diomongin. Mas udah makan?][Belum, Sayang. Sebentar lagi selesai rapatnya.][Ya udah, aku lanjut kerja, ya.]Ponsel kuletakkan kembali di meja. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang mau dibicarakan Mas Arkan. Ah, aku harus fokus, kerjaanku menumpuk.*Biasanya jam segini, aku sedang rebahan atau duduk bersandar berdua Mas Arkan sambil mengobrol seru. Sudah jam sembilan lebih, kenapa Mas Arkan belum menelepon juga? Apa ia ketiduran, ya? Aku pun sudah mengantuk, tetapi masih ingin mendengar suara lelaki itu. Lelaki yang sampai saat ini, belum tahu kalau aku ini siswinya enam tahun silam.Begini, ya, rasanya kalau menjalani hubungan jarak jauh. Baru sehari tak bertemu, tetapi rindu sudah menggebu. Ish, lebay juga aku. Mas, kamu sudah tidur, ya? Aku coba telepon saja. Panggilan tersambung, tetapi tidak diangkat. Ya, Mas Arkan pasti
Bab 17Kantor BaruWanita yang dipanggil itu menoleh, kedua alisnya bertaut. Ia tampak sedang berpikir. Tak berselang lama, bibirnya menyunggingkan seulas senyum."Arkan? Kamu, kok, ada di sini?" tanyanya, lantas ia berjalan mendekat."Iya, lagi ada urusan di sini." Mas Arkan melirikku.Wanita itu manggut-manggut. "Oh, ya, kenalin ini suamiku, Rio." Lelaki berkacamata itu mengulurkan tangan.Mas Arkan meraihnya. "Arkan." Mereka berjabat tangan. "Ini istri saya, Riri." Aku mengulurkan tangan, lalu langsung disambut oleh Calista."Calista.""Oh, ya kalau gitu saya ke dalam dulu, ya. Mari."Calista dan suaminya mengangguk. Mereka pun berlalu meninggalkan rumah makan ini. Rumah makan sederhana ini lumayan luas untuk ukuran warteg. Aku dan Mas Arkan mengambil tempat duduk di pojok. Seorang wanita menghampiri kami.Setelah pesanan datang, aku langsung melahapnya. Pun dengan Mas Arkan, tanpa bicara lagi langsung menikmati hidang
Bab 16.Pindah ke BandungMas Arkan mengerjap, perlahan membuka kedua matanya. Kuletakkan novel yang sedang dibaca pada nakas, lalu mendekati Mas Arkan."Mas, masih pusing?" Aku bantu Mas Arkan untuk duduk."Sedikit. Tolong, Mas mau minum."Aku ambilkan segelas air yang tersedia di nakas. Mas Arkan meminumnya sampai tersisa setengah gelas. Aku pegang kening Mas Arkan, panasnya sudah turun. Syukurlah. Aku coba mengecek suhu badan Mas Arkan menggunakan termometer."Suhu badan Mas udah normal. Mas mau makan sesuatu?"Mas Arkan menggeleng. "Oh, ya, kamu udah ngabarin guru piket?""Udah, Mas. Aku infoin di grup."Mas Arkan bersandar pada kepala ranjang, matanya ia pejamkan. Mungkin kepalanya masih terasa pusing."Mas, apa yang dirasakan? Apa perlu ke dokter?""Nggak perlu, Sayang. Besok juga sembuh, asal ada kamu di sini nemenin Mas." Mas Arkan mencubit hidungku."Ish Mas, nih. Lagi sakit, tangannya tetap aja iseng."
Bab 15.Sakitnya Mas ArkanAku masih setengah sadar, saat Mas Arkan memintaku untuk melayaninya. Sebenarnya ingin bertanya ada apa, tetapi kuurungkan karena mata ini terlalu lelah. Aku bersyukur, tidak terjadi sesuatu dengan Mas Arkan.Pagi hari saat aku menyiapkan sarapan, ada yang berbeda dengan Mas Arkan. Ia tampak sangat pucat. Bibirnya membiru, dan matanya sayu. Mas Arkan sedang tidak baik-baik saja."Mas, kamu sakit?" Aku menempelkan telapak tangan pada keningnya. Agak panas. Mas Arkan demam."Mas, nggak usah masuk, ya. Izin aja, nanti aku yang kabari guru piket." Aku menyendokkan nasi dan lauk pauk untuk Mas Arkan. "Dimakan, ya, Mas. Habis ini minum paracetamol."Mas Arkan hanya mengangguk. Ia tampak lemas dan tidak bersemangat. Entah apa yang terjadi semalam, hingga kondisinya jadi seperti ini. Aku akan tanyakan nanti. Semoga tidak ada yang mengkhawatirkan.*POV ArkanArloji di pergelangan tangan masih menun
Bab 14Sandra mulai berulahApa aku harus berbohong lagi? Pasti lambat laun akan terbongkar juga, apalagi kalau sampai terjadi apa-apa dengan Nindi. Ah ... kenapa aku sampai mikir seperti itu? Duh!"Gimana, ya, ceritainnya? Besok aja, ya, Mas aku ceritain. Aku udah ngantuk banget." Kali ini aku tak berbohong, mataku sudah lelah dan ingin segera terlelap."Ya udah, tidur yang nyenyak, ya." Mas Arkan mengecup keningku.*Mas Arkan sepertinya lupa dengan pesan Nindy malam itu. Ia tidak menanyakannya lagi padaku. Gadis yang sebentar lagi duduk di bangku SMA itu juga tidak menunjukkan sikap yang aneh selama ini. Sejak bercerita kalau Nindi menyukai teman lelakinya dua bulan yang lalu, ia jadi jarang mengobrol denganku.Nindi memang sudah tidak aktif belajar di sekolah. Ia hanya tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Namun, tiap hari ia masih berangkat ke sekolah. Katanya, tetap ada kegiatan di sana. Aku be
Bab 13Aku dan Mas Arkan saling menatap. Pasti dalam pikiran kami mempertanyakan hal yang sama. Untuk apa Sandra mengirimkan foto itu padaku? "Sandra tau dari mana nomormu? Lagipula untuk apa dia kirim foto itu? Tujuannya apa?" Mas Arkan menggelengkan kepalanya, mungkin ia nggak habis pikir akan kelakuan sepupunya itu. "Entahlah, Mas." Aku menggedikan bahu. "Nanti akan mas tanyakan." "Nggak perlu, Mas. Lupain aja. Udah dengar penjelasan kamu aja, hatiku tenang." Kuberikan Mas Arkan seulas senyum. "Makasih, Sayang." Ia mengecup keningku. "Dah, kita tidur." * Hari pertama kembali masuk kerja, disambut dengan setumpuk map yang siap diinput. Belum juga memulai, tetapi kepala sudah berdenyut nyeri. Ah, apa ini bisa disebut stress dini? Aku mendaratkan bokong di kursi, lalu kedua jari tanganku sibuk memijat pelipis. Sesekali kutarik napas dalam, berharap banyak pasokan oksigen dalam da