Aruhi cukup di kejutkan oleh suara berat tepat di sampingnya. Suara itu tenang, tidak terdengar keras ataupun membentak, tapi entah mengapa cukup dingin dan bisa membuat bulu kuduk merinding. Dan yang yang lebih mengejutkannya lagi, suara itu tidak terdengar asing di pendengarannya. Hingga tanpa berpikir panjang, Aruhi langsung membalikkan badan ke arah sang pemilik suara.
"Merengek? Apa maksud .... " Kalimat Aruhi tertahan di tenggorokan, dengan kedua mata yang sedikit melebar karena terkejut saat menatap wajah sang pria datar yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Wajah yang terlihat tidak begitu asing tentu saja. Tapi kali ini wajah itu terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya, di mana pertama kali mereka bertemu. "Pria itu lagi?" batin Aruhi dengan kening mengernyit. Bahkan tidak melepaskan pandangannya. Kali ini pria yang tengah berdiri di hadapannya benar-benar menunjukkan visualnya. Ia mengenakan kemeja putih bersih dengan lengan di gulung hingga siku, celana panjang hitam pekat dan sepatu kulit mengkilat. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya dengan santai. Mata hazel yang tajam tapi terlihat sangat indah, tapi cidera karena tak ada senyum di wajah sempurnanya. "Apa Nona mengenalku?" Satu pertanyaan yang lagi-lagi mengejutkan Aruhi, entah sudah berapa kali ia mendapat kejutan tidak menyenangkan hari ini. Namun, kali ini ia benar-benar mendapatkan satu pertanyaan yang sebenarnya tidak ia harapkan dari pria itu. Bagaimana mungkin ada pertanyaan seperti itu, sedang mereka sudah menghabiskan malam bersama. "Bagaimana bisa dia bertanya seperti itu setelah apa yang sudah aku lakukan untuknya." Aruhi lagi-lagi hanya bisa membatin dengan satu tarikan napas panjang dan mengeluarkannya perlahan sambil terus menatap pria di hadapannya yang tidak lain adalah Muren Elves. Mungkin akan sangat memalukan jika ia harus mengatakan "Kau tak mengingatku? Aku yang sudah membantumu" entah apa yang akan dipikirkan pria itu tentangnya. Jika memang pria itu tidak mengingatnya, tak ada yang salah dengan itu. Mereka hanya bertemu sekali, adalah hal yang wajar jika pria itu sampai melupakannya. Mungkin ia juga harus berpura-pura amnesia. "Tidak." Aruhi menjawab singkat. Memang apa yang harus ia katakan? "Maka berhentilah menatapku seperti itu." "Seperti apa?" tanya Aruhi dengan dahi mengerut, saat lagi-lagi ia di kejutkan oleh sikap dingin Muren terhadapnya. "Terlihat aneh. Atau memang kita pernah bertemu sebelumnya?" Muren mengajukan pertanyaan sekali lagi. Masih dengan posisinya sambil mempertahankan wajah datarnya yang terlihat angkuh, dan cukup menyebalkan tentu saja. "Entah bagaimana kau bisa merasa ada yang aneh dengan caraku menatapmu, Tuan. Dan ini pertemuan pertama kita. Aku rasa kau salah paham, maaf." Aruhi menjawab dengan nada setenang mungkin. Ia cukup lelah hari ini dan tak memiliki tenaga untuk berdebat. "Yah, salah paham," angguk Muren singkat, "semua orang lebih suka mengatakan hal itu sebagai pembelaan." Kali ini Aruhi benar-benar hilang kesabaran. Ia tidak pernah menyangka jika sudah membuat pria itu begitu kesal sedang ia masih belum melakukan apa pun selain menatapnya. "Maaf jika sudah membuatmu tidak nyaman. Aku hanya ingin memastikan sesuatu, apa yang salah dengan .... " "Apa yang ingin kau pastikan?" Muren menyela, seolah tidak ingin memberikan Aruhi kesempatan untuk membela diri. "Ternyata kau seorang yang sangat menyebalkan, seharusnya malam itu aku meninggalkanmu saja di pinggir jalan." Aruhi lagi-lagi hanya bisa membatin sambil memijat tengkuk lehernya, saat merasa semua uratnya mulai menegang. Sungguh di luar ekspetasinya. Tidak pernah mengira jika pria itu hanyalah seorang pria brengsek, menyebalkan, dan tidak punya perasaan. "Lupakan! Aku hanya berpikir jika kau orang yang sama." Kening Muren berkedut, sambil terus menatap Aruhi dengan wajah serius. "Aku sempat mengira jika kau orang yang cukup baik. Ternyata aku benar-benar salah. Karena yang aku lihat sekarang, kau hanyalah seorang yang sangat menyebalkan." Aruhi berucap dengan nada serendah mungkin. Meski merasa sangat kesal sekarang. Terlebih ketika ia kembali mengingat kejadian tempo hari yang membuatnya terpaksa harus pulang di pagi buta karena membawa pria itu ke hotel. Dan tidak hanya itu, ia juga harus merasakan sakit di area punggung, kedua pergelangan tangan juga kakinya karena harus menggendong seorang pria bertubuh besar di hadapannya saat ini, dan sekarang ia malah mendapatkan perlakuan dingin dari pria itu. Hingga di detik berikutnya ketika ia menyadari jika sudah mengatakan hal yang sebenarnya tidak perlu ia ucapkan. Sebab hal itu akan membuatnya lebih terlihat mengada-ngada. "Apa itu artinya kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Muren masih menatap tajam. "Tidak sekalipun." "Lalu apa maksud dari perkataanmu yang seolah-olah menuduhku telah menipumu?" Aruhi terdiam tanpa kata. Seharusnya ia tidak mengatakan apa pun dan bisa mengontrol emosinya. Bahkan perdebatan kecil mereka sudah menjadi tontonan beberapa pasang mata dari pengunjung di toko itu. Dan mungkin suasana akan semakin memanas jika saja Gunn tak datang untuk menengahi perdebatan keduanya. "Apa yang terjadi? Kau bahkan sudah menjadi bahan tontonan di sini." Gunn berbisik pesan, mencoba menenangkan Muren. "Maafkan kesalahpahaman ini, Nona," sambungnya sedikit membungkuk untuk permintaan maaf dengan senyum ramah seperti biasa. "Tidak apa-apa, seharusnya bukan Anda yang meminta maaf, tapi pria kasar di sana." Aruhi balas tersenyum. Namun, seketika tatapannya berubah sinis saat pandangannya teralihkan ke arah Muren yang masih berdiri di belakang Gunn. Seolah ingin menelan pria itu hidup-hidup. "Apa kau tak akan meminta maaf?" tanya Gunn mengalihkan pandangan ke arah Muren dengan sedikit berbisik. Meski ia belum mengetahui penyebab perdebatan keduanya, yang jelas ia juga cukup di kejutkan oleh sikap yang di tujukan oleh pria itu saat ini. "Kenapa aku harus melakukannya?" Gunn menarik napas panjang dan melepaskannya dengan perlahan. Kenapa ia jadi lupa jika Muren adalah pria keras kepala yang tidak mudah untuk di bujuk. Mungkin ia salah jika berpikir Muren akan meminta maaf dengan begitu mudah kepada orang asing, pria itu bahkan tidak pernah meminta maaf kepada siapa pun. Tapi meskipun demikian, bukankah Muren harus melakukan itu. "Sebaiknya tenangkan dirimu, kita masih di tempat keramaian." "Aku tahu!" "Lalu minta maaflah, aku mohon." Gunn terus memohon. "Dan kenapa kau terus berpikir jika aku akan menurutimu?" Gunn menarik napas lelah. Masih tidak menduga dengan reaksi Muren sekarang yang dinilainya cukup sensitif hari ini. Sebab yang ia tahu selama ini pria itu tidak akan pernah meladeni seseorang yang tidak di kenalnya sama sekali. Siapa pun itu, sebab pada dasarnya Muren Elves adalah seorang yang tidak banyak bicara, tapi kali ini Gunn benar-benar melihat ada yang sedikit berbeda. "Ah sialan, benar-benar pria buruk yang menyebalkan." Aruhi bergumam pelan untuk meluapkan kekesalan hatinya. Berharap jika segala umpatan itu cukup ia sendiri saja yang mendengarnya, tapi entah bagaimana umpatan kecil itu sangat terdengar jelas di pendengaran Muren yang memang selalu memiliki pendengaran yang tajam. "Pria buruk? Sepertinya aku sudah sangat mengecewakanmu Nona, apa aku pernah dengan tidak sengaja membuatmu patah hati dan terluka?" tanya Muren. "Muren, aku rasa cukup," bisik Gunn yang hanya di abaikan Muren. "Katakan, apa yang sudah aku lakukan padamu? Kesalahan apa yang sudah aku perbuat?" tanya Muren, menatap Aruhi tajam. Gunn yang sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa lekas mencengkram lengan Muren yang sudah selangkah mendekati Aruhi yang sejak tadi menatapnya. Hingga beberapa detik kemudian saat tidak mendapatkan jawaban apa pun dari Aruhi. "Sebaiknya kita pergi sekarang, gadis ini sepertinya tidak waras," sambungnya yang akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan Gunn dan Aruhi yang masih berusaha menenangkan perasaannya sendiri. "Apa dia baru saja mengataiku gila?" "Ah, dia hanya sedang kesal." "Dan apa yang membuatnya begitu kesal?" Gunn kehilangan kata, pria itu bahkan tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Ia tidak tahu masalah apa pun, sebab datang sedikit terlambat. Dan satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya diam dengan senyum di hadapan Aruhi yang sepertinya masih kesulitan menengkan hatinya. " Ada apa dengannya? Kenapa dia sangat menyebalkan?" ---"Maafkan pimpinan saya, Nona." Gunn kembali membungkuk untuk meminta maaf."A-apa? P-pimpinan? Jadi pria badas itu pimpinan Anda?""Ya. Nona.""Wuah, luar biasa. Ternyata ada juga pimpinan yang memiliki tabiat buruk seperti dia. Dan kenapa Anda begitu betah berada di samping orang sepertinya?"Gunn lengkungkan sudut bibir ke atas, membentuk sebuah senyum. Cukup memahami kekesalan Aruhi. "Maaf Nona, jika kejadian ini membuat Nona merasa tidak nyaman.""Tidak apa-apa," balas Aruhi masih bisa tersenyum hingga membuat Gunn semakin merasa tidak enak. Bahkan ia tidak memiliki kata lagi untuk di ucapkan, sebab sadar jika sikap Muren memang sudah membuat gadis di hadapannya merasa tidak nyaman. Tepatnya kesal, dan mungkin marah."Baiklah. Selamat siang," pamit Gunn sebelum melangkah pergi. Bersamaan dengan seorang karyawan toko yang terlihat berjalan menghampiri Aruhi."Maaf, Nona.""Ya?!""Sepertinya kami tidak menemukan anting yang sama persis seperti milik Anda," ucap karyawan toko kembali
"Aku tak mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu namanya," balas Aruhi yang memang tidak mengetahui apa pun tentang Muren."Tapi dia sudah membuatmu kesal?" tanya Night yang hanya di balas anggukan oleh Aruhi. "Sungguh?""Ya.""Apa yang terjadi?""Maksudnya?""Mengapa ia menjadi sangat menyebalkan? Apa kalian pernah terlibat masalah sebelumnya? Atau ada hal lain?" "Aku sendiri bahkan tidak mengerti kenapa aku jadi sangat sensitif, apa karena aku kesal sebab ia tak mengingatku? Lalu kenapa? Aku juga bukan orang penting yang harus ia ingat. Apa diam-diam aku mengharapkan kata terima kasih darinya? Ah, ini gila. Kenapa aku jadi sangat konyol," batin Aruhi."Aruhi, apa benar kalian berdebat?"Aruhi terbangun dari lamunan, balas menatap Night yang sejak tadi menatapnya seolah sangat menantikan jawaban darinya dengan segera. Ia juga tidak menyangka jika reaksi Night akan lebih serius dari apa yang ia pikirkan."Hanya kesalahan pahaman aku rasa, tapi tetap saja dia sangat menyebalkan.""Apa dia
Ellena membuka kancing kemeja Muren satu persatu sebelum menatap pria itu yang juga tengah menatapnya sambil mengusap bibirnya lembut."No. Ellen," tolak Muren memegangi kedua tangan Ellena yang bahkan sudah berhasil membuka seluruh kancing bajunya hingga menampakkan tubuh sempurna penuh otot yang membuat jantung Ellena semakin bergemuruh menahan hasrat."Tapi aku sangat menginginkanmu malam ini, Muren." Ellena sedikit memohon sebelum mengecup dada Muren dan menyesap niplle miliknya, bersamaan dengan suara desahan rendah yang terdengar keluar dari mulut sang pria yang langsung meraih tengkuk leher Ellena dan melumati bibir itu dengan penuh gairah selama beberapa detik."Kita akan melakukannya nanti," bisik Muren merapikan rambut Ellena."But, I really want to make love to you.""Bisakah kau bersabar? Aku berjanji, kita akan melakukannya nanti. Setelah aku sudah melamarmu, Ellena.""Melamarku?" Alis Ellena mengernyit, cukup terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya."Yah, aku akan
"Ya." Muren mengangguk pelan sambil memijat tengkuk lehernya yang sudah menegang sejak tadi."Lalu? Ada apa lagi kali ini? Bukankah seharusnya malam ini kau melamar Ellena? Aku bahkan sudah menyiapkan semuanya, dan cukup terkejut ketika kau membatalkannya begitu saja.""Ellen berangkat ke Swiss." Muren menjawab dengan nada pelan."A-apa?""Ellen berangkat ke Swiss." Muren mengulang kalimatnya sekali lagi meski dengan nada yang masih sama."Lagi?"Tidak menjawab, Muren hanya menganggukkan kepala pelan sebelum kembali meneguk minumannya yang tersisa."Berapa lama?" tanya Gunn."Tiga bulan.""Bukan waktu yang singkat. Dan kau membiarkannya?" tanya Gunn dengan ekspresi yang cukup serius kali ini."Memang apa yang harus aku lakukan? Mencegahnya? Aku bukan suaminya.""Tapi kau ....""Aku masih kekasihnya, Gunn. Aku rasa aku masih tak memiliki hak untuk itu," potong Muren.Gunn mengangguk paham atas jawaban yang keluar dari mulut Muren, meski ia masih tidak mengerti dengan apa yang ada di da
Dengan langkah yang sedikit di percepat, Aruhi berjalan mengintari pelataran kampus yang sudah mulai terlihat sepi. Menyelesaikan tugas di perpustakaan yang menumpuk cukup menyita waktu hingga membuatnya harus menghabiskan waktu selama berjam-jam di dalam perpustakaan dan berakhir pulang larut malam."Good job, Ruhi. Kau bisa ketinggalan Bus lagi malam ini, dan seharusnya kau berlari sekarang, bukannya bersantai. Oh Tuhan, ini melelahkan."Kembali mengeluh meski tak memiliki pilihan lain dan memang ia harus berlari sekarang agar lekas sampai ke halte bus tepat waktu. Meski sepertinya kali ini gadis berkuncir itu kurang beruntung, sebab bus terakhir baru saja berlalu sebelum ia sampai ke Halte, dan itu cukup menjengkelkan."Heeii! Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Tuaan ... TUAN ...!"Aruhi berteriak keras, masih berlari mengejar bus yang semakin melaju hingga perlahan menghilang dari pandangannya yang mulai kabur oleh peluh. Hingga akhirnya menyerah dan memutuskan untuk berhenti b
"Ini terlalu dingin ...." Suara keluhan dari pria di sampingnya terdengar serak sambil meringkuk dengan posisi yang sudah berubah, yang tadinya duduk bersandar di sandaran kursi penumpang kini berpindah posisi jadi berbaring tepat di atas pangkuan Aruhi, seolah kedua paha gadis itu sudah menjadi bantal ternyamannya saat ini. "Ah, jangan buat aku membangunkanmu dengan satu pukukan, Tuan. Bangunlah," pinta Aruhi di antara takut dan kesal. Sedang sang pria tak mendengar bahkan semakin pulas di atas pangkuannya, "Tuan, bangun sekarang juga, jika tidak aku akan benar-benar memukulmu, percayalah. Kepalan tanganku bisa membuatmu kesakitan." "Ada apa, Nona?" tanya sang pemilik taksi sambil melirik ke arah Aruhi yang kembali memejam. "Jauhkan pemabuk ini dariku!" "Hah?!" "Singkirkan dia dariku sekarang juga." Sang pemilik taksi mengalihkan pandangan ke arah sang pria yang masih pulas di pangkuan Aruhi. "M-maaf, Nona. Bisakah Anda bersabar?" "Apa?" "Bertahanlah sebentar lagi
Rolls Royce melaju dengan kecepatan tinggi melintasi jalan besar kota Manhattan di pukul sebelas malam, suasana masih tak begitu sepi, sebab pengendara masih terlihat berlalulalang kecuali para pejalan kaki yang hanya terlihat beberapa dengan langkah mereka yang tergesa seolah sedang memburu waktu. Namun, di antara beberapa di sana. Perhatian sang pengendara hanya tertujuh pada satu sosok yang sedang berdiri di pinggiran trotoar sambil melamun. Entah apa yang sedang di pikirkan gadis itu.Sang pengendara memelankan laju mobilnya, saat akan melintas di depan gadis itu. Meski tak berniat untuk berhenti, ia hanya menurunkan kaca mobil miliknya, agar leluasa melihat sang gadis yang di rasa pernah ia lihat di satu tempat, wajah itu benar-benar tak asing, dan hal yang membuat sang pengendara tak habis pikir dengan dirinya sendiri adalah mengapa ia sampai melakukan hal demikian. Menatap sang gadis dari dalam mobilnya yang juga ikut menatapnya sebelum ia menginjak pedal gas dalam. Membiarkan
Nine beranjak dari duduknya, sedikit menjauh saat mendapatkan telpon darinya.📞 "Kak."📞 "Aruhi?! Bukankah kau sedang berada di restaurant saat ini? Di mana kau sekarang? Aku bahkan tidak melihatmu sejak tadi." 📞 "Aku sedang berada di luar sekarang."📞 "Di luar? Haruskah aku menjemputmu?"📞 "Aku rasa tidak perlu. Lagi pula aku akan ke restaurant sebentar lagi."📞 "Kau yakin?"📞 "Hmm."📞 "Dan, apa kau membutuhkan sesuatu? Aku sedang bersama seorang klien sekarang, tak bisa menemanimu mengobrol lama."📞 "Aku tahu."📞 "Lalu?"Hening, hingga beberapa saat. 📞 "Aruhi?" panggil Nine saat tak mendengar jawaban dari Aruhi. 📞 "Bisakah Kakak membantuku?" tanya Aruhi dengan nada yang terdengar ragu. 📞 "Tentu, apa yang kau inginkan?"Aruhi kembali terdiam, terlihat menarik napas panjang dan melepaskannya dengan perlahan. Merasa jika permintaannya kali ini mungkin adalah hal yang paling konyol. Namun, ia tak punya pilihan lain. 📞 "Aruhi? Kau masih di sana?"📞 "Bisakah Kakak berp