Ellena membuka kancing kemeja Muren satu persatu sebelum menatap pria itu yang juga tengah menatapnya sambil mengusap bibirnya lembut."No. Ellen," tolak Muren memegangi kedua tangan Ellena yang bahkan sudah berhasil membuka seluruh kancing bajunya hingga menampakkan tubuh sempurna penuh otot yang membuat jantung Ellena semakin bergemuruh menahan hasrat."Tapi aku sangat menginginkanmu malam ini, Muren." Ellena sedikit memohon sebelum mengecup dada Muren dan menyesap niplle miliknya, bersamaan dengan suara desahan rendah yang terdengar keluar dari mulut sang pria yang langsung meraih tengkuk leher Ellena dan melumati bibir itu dengan penuh gairah selama beberapa detik."Kita akan melakukannya nanti," bisik Muren merapikan rambut Ellena."But, I really want to make love to you.""Bisakah kau bersabar? Aku berjanji, kita akan melakukannya nanti. Setelah aku sudah melamarmu, Ellena.""Melamarku?" Alis Ellena mengernyit, cukup terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya."Yah, aku akan
"Ya." Muren mengangguk pelan sambil memijat tengkuk lehernya yang sudah menegang sejak tadi."Lalu? Ada apa lagi kali ini? Bukankah seharusnya malam ini kau melamar Ellena? Aku bahkan sudah menyiapkan semuanya, dan cukup terkejut ketika kau membatalkannya begitu saja.""Ellen berangkat ke Swiss." Muren menjawab dengan nada pelan."A-apa?""Ellen berangkat ke Swiss." Muren mengulang kalimatnya sekali lagi meski dengan nada yang masih sama."Lagi?"Tidak menjawab, Muren hanya menganggukkan kepala pelan sebelum kembali meneguk minumannya yang tersisa."Berapa lama?" tanya Gunn."Tiga bulan.""Bukan waktu yang singkat. Dan kau membiarkannya?" tanya Gunn dengan ekspresi yang cukup serius kali ini."Memang apa yang harus aku lakukan? Mencegahnya? Aku bukan suaminya.""Tapi kau ....""Aku masih kekasihnya, Gunn. Aku rasa aku masih tak memiliki hak untuk itu," potong Muren.Gunn mengangguk paham atas jawaban yang keluar dari mulut Muren, meski ia masih tidak mengerti dengan apa yang ada di da
Dengan langkah yang sedikit di percepat, Aruhi berjalan mengintari pelataran kampus yang sudah mulai terlihat sepi. Menyelesaikan tugas di perpustakaan yang menumpuk cukup menyita waktu hingga membuatnya harus menghabiskan waktu selama berjam-jam di dalam perpustakaan dan berakhir pulang larut malam."Good job, Ruhi. Kau bisa ketinggalan Bus lagi malam ini, dan seharusnya kau berlari sekarang, bukannya bersantai. Oh Tuhan, ini melelahkan."Kembali mengeluh meski tak memiliki pilihan lain dan memang ia harus berlari sekarang agar lekas sampai ke halte bus tepat waktu. Meski sepertinya kali ini gadis berkuncir itu kurang beruntung, sebab bus terakhir baru saja berlalu sebelum ia sampai ke Halte, dan itu cukup menjengkelkan."Heeii! Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Tuaan ... TUAN ...!"Aruhi berteriak keras, masih berlari mengejar bus yang semakin melaju hingga perlahan menghilang dari pandangannya yang mulai kabur oleh peluh. Hingga akhirnya menyerah dan memutuskan untuk berhenti b
"Ini terlalu dingin ...." Suara keluhan dari pria di sampingnya terdengar serak sambil meringkuk dengan posisi yang sudah berubah, yang tadinya duduk bersandar di sandaran kursi penumpang kini berpindah posisi jadi berbaring tepat di atas pangkuan Aruhi, seolah kedua paha gadis itu sudah menjadi bantal ternyamannya saat ini. "Ah, jangan buat aku membangunkanmu dengan satu pukukan, Tuan. Bangunlah," pinta Aruhi di antara takut dan kesal. Sedang sang pria tak mendengar bahkan semakin pulas di atas pangkuannya, "Tuan, bangun sekarang juga, jika tidak aku akan benar-benar memukulmu, percayalah. Kepalan tanganku bisa membuatmu kesakitan." "Ada apa, Nona?" tanya sang pemilik taksi sambil melirik ke arah Aruhi yang kembali memejam. "Jauhkan pemabuk ini dariku!" "Hah?!" "Singkirkan dia dariku sekarang juga." Sang pemilik taksi mengalihkan pandangan ke arah sang pria yang masih pulas di pangkuan Aruhi. "M-maaf, Nona. Bisakah Anda bersabar?" "Apa?" "Bertahanlah sebentar lagi
Rolls Royce melaju dengan kecepatan tinggi melintasi jalan besar kota Manhattan di pukul sebelas malam, suasana masih tak begitu sepi, sebab pengendara masih terlihat berlalulalang kecuali para pejalan kaki yang hanya terlihat beberapa dengan langkah mereka yang tergesa seolah sedang memburu waktu. Namun, di antara beberapa di sana. Perhatian sang pengendara hanya tertujuh pada satu sosok yang sedang berdiri di pinggiran trotoar sambil melamun. Entah apa yang sedang di pikirkan gadis itu.Sang pengendara memelankan laju mobilnya, saat akan melintas di depan gadis itu. Meski tak berniat untuk berhenti, ia hanya menurunkan kaca mobil miliknya, agar leluasa melihat sang gadis yang di rasa pernah ia lihat di satu tempat, wajah itu benar-benar tak asing, dan hal yang membuat sang pengendara tak habis pikir dengan dirinya sendiri adalah mengapa ia sampai melakukan hal demikian. Menatap sang gadis dari dalam mobilnya yang juga ikut menatapnya sebelum ia menginjak pedal gas dalam. Membiarkan
Nine beranjak dari duduknya, sedikit menjauh saat mendapatkan telpon darinya.📞 "Kak."📞 "Aruhi?! Bukankah kau sedang berada di restaurant saat ini? Di mana kau sekarang? Aku bahkan tidak melihatmu sejak tadi." 📞 "Aku sedang berada di luar sekarang."📞 "Di luar? Haruskah aku menjemputmu?"📞 "Aku rasa tidak perlu. Lagi pula aku akan ke restaurant sebentar lagi."📞 "Kau yakin?"📞 "Hmm."📞 "Dan, apa kau membutuhkan sesuatu? Aku sedang bersama seorang klien sekarang, tak bisa menemanimu mengobrol lama."📞 "Aku tahu."📞 "Lalu?"Hening, hingga beberapa saat. 📞 "Aruhi?" panggil Nine saat tak mendengar jawaban dari Aruhi. 📞 "Bisakah Kakak membantuku?" tanya Aruhi dengan nada yang terdengar ragu. 📞 "Tentu, apa yang kau inginkan?"Aruhi kembali terdiam, terlihat menarik napas panjang dan melepaskannya dengan perlahan. Merasa jika permintaannya kali ini mungkin adalah hal yang paling konyol. Namun, ia tak punya pilihan lain. 📞 "Aruhi? Kau masih di sana?"📞 "Bisakah Kakak berp
"Apa yang sudah kau lakukan dengan cangkir-cangkir itu?" tanya Night terlihat heran sekaligus gemas dengan tingkah tidak biasa dari Aruhi saat ini."Kau tidak melihat? Aku sedang merapikan cangkir-cangkir ini." Aruhi membalas dengan tersenyum yang malah membuatnya terlihat sangat bodoh. Bibir yang mengatup sambil memejam, dan langsung menyembunyikan dirinya di balik punggung lebar Night."Apa kau yakin jika sedang merapikannya? Kau bahkan mengacaukannya, Nona. Sadarlah."Aruhi melihat beberapa cangkir di atas meja. Berhamburan dan beruntung tidak sampai pecah."K-kenapa jadi ... berantakan semua ....""Menurutmu, ini ulah siapa?"Aruhi mengusap tengkuk lehernya, masih merasa gugup, merasa jika wajahnya memerah sekarang karena malu."Istirahatlah di ruanganku. Kau tampak aneh sejak tadi, aku curiga. Apa kebetulan kau mengenal CEO itu?""CEO? siapa?""Siapa lagi kalau bukan pria berwajah datar yang tengah bersama Nine di sana.""Tidak," balas Aruhi tanpa melihat Muren di sana, dan hanya
"Kedua pria di retaurant sore tadi ...." Aruhi menarik napas panjang sebelum mengeluarkannya dengan perlahan, terlihat meremat jari-jari tangannya sambil menatap sang kakak yang masih fokus dengan ponselnya. "Siapa mereka?""Klien.""Oh," angguk Aruhi semakin resah. Apa yang ia pikirkan tak salah lagi. Night menanamkan saham di peruhasaan Muren. Seharusnya itu bisa menjadi berita yang bagus, sebab yang ia tahu Nine tak akan menanamkan sahamnya pada perusahaan yang biasa saja. Namun, yang jadi pertanyaan Aruhi sekarang adalah, mengapa harus di perusahaan Muren, apa hanya perusahaan pria itu yang terbaik di negara ini?"Lalu bagaimana kelanjutannya? Apa Kakak bersedia menjadi investor mereka?""Sepertinya begitu.""Kenapa?""Kenapa?" Nine balik bertanya. Merasa sedikit aneh atas pertanyaan adiknya."Perusahaan di negara ini cukup banyak, kenapa mesti di perusahaan ... pria itu."Oskan tersenyum, kembali mengamati adiknya yang tak seperti biasa. Selama ini Aruhi tak pernah tertarik d