"Maafkan pimpinan saya, Nona." Gunn kembali membungkuk untuk meminta maaf.
"A-apa? P-pimpinan? Jadi pria badas itu pimpinan Anda?" "Ya. Nona." "Wuah, luar biasa. Ternyata ada juga pimpinan yang memiliki tabiat buruk seperti dia. Dan kenapa Anda begitu betah berada di samping orang sepertinya?" Gunn lengkungkan sudut bibir ke atas, membentuk sebuah senyum. Cukup memahami kekesalan Aruhi. "Maaf Nona, jika kejadian ini membuat Nona merasa tidak nyaman." "Tidak apa-apa," balas Aruhi masih bisa tersenyum hingga membuat Gunn semakin merasa tidak enak. Bahkan ia tidak memiliki kata lagi untuk di ucapkan, sebab sadar jika sikap Muren memang sudah membuat gadis di hadapannya merasa tidak nyaman. Tepatnya kesal, dan mungkin marah. "Baiklah. Selamat siang," pamit Gunn sebelum melangkah pergi. Bersamaan dengan seorang karyawan toko yang terlihat berjalan menghampiri Aruhi. "Maaf, Nona." "Ya?!" "Sepertinya kami tidak menemukan anting yang sama persis seperti milik Anda," ucap karyawan toko kembali meletakkan anting milik Aruhi di atas counter. "Tapi bukankah Anda mengatakan jika memiliki anting yang sama persis dengan ini?" "Maaf Nona, kami pikir anting ini hanya anting biasa. Tapi sepertinya ini hanya bisa di dapat jika melakukan pemesanan khusus untuk membuatnya." Aruhi menarik napas panjang dan melepaskannya dengan perlahan. Gadis itu tersenyum sekilas sebelum kembali memasang wajah muram. "Baiklah, terima kasih," ucapnya. Ternyata tidak mudah untuk mencari yang sama persis seperti antingnya yang hilang. Dan jika memang antingnya hanya bisa di dapatkan kembali dengan cara memesannya terlebih dulu, bukankah ia tidak perlu mengelilingi seluruh toko di kota ini lagi untuk mencarinya? Selain akan membuang waktunya, ia juga akan sangat kelelahan dan berakhir pulang larut malam lagi. "Ah, ini cukup melelahkan," keluh Aruhi hampir menangis. Ia bahkan masih berdiri di tempatnya dengan kepala tertunduk hingga beberapa menit sebelum memutuskan untuk keluar dari sana. Mungkin ia akan sedikit terhibur jika kembali ke restaurant dan bertemu Night, tidak bisa ia pungkiri jika selama ini hanya pria itu yang selalu bisa menghiburnya. Dan seolah saling memiliki ikatan batin, ponselnya kembali berdering dengan nama 'Malam' yang tertera di layar ponselnya. "Night." "Kau baik-baik saja?" Satu pertanyaan dari Night yang membuatnya benar-benar ingin menangis, bahkan ia belum menceritakan apa pun pada Night, tapi sepertinya pria itu sudah bisa menebak jika ia sedang tidak baik-baik saja sekarang. "Aku tidak menemukannya." Aruhi melangkah keluar dari toko, berjalan lambat mengintari trotoar yang sebagian permukaannya di penuhi dedaunan kering, sebelum memutuskan untuk duduk di sebuah kursi di pinggiran taman sambil meluruskan kedua kakinya yang mulai keram. "Lalu di mana kau sekarang?" "Taman." "Tunggu aku di sana. Aku akan menjemputmu." Panggilan telpon terputus. Aruhi kembali menarik napas berat, memangku kedua tangan sambil menengada, mengabaikan dedaunan maple kering berguguran yang di terpa angin dan mengenai wajahnya. Ia hanya memejamkan mata sambil menikmati hembusan angin menyapa wajahnya yang tampak bercahaya saat terkena pantulan sinar lampu taman yang terkadang timbul dari balik dedaunan kala angin meniupnya. Dan di detik berikutnya, terlihat mobil yang melintas dengan perlahan melewatinya, bersamaan dengan tatapan mata tajam dari seseorang yang tengah duduk menyenderkan tubuh di jok depan, dengan pandangan yang sekilas tertuju ke arahnya yang masih dengan posisinya. "Apa kau sudah mendapatkan cincin yang sesuai dengan keinginanmu?" tanya Gunn, sang pengendara mobil yang baru saja melintas. "Tidak, aku akan kembali nanti," balas Muren, menatap kaca spion yang masih memantulkan bayangan Aruhi yang tengah melamun di sana. Hingga banyangan itu menghilang, dan Muren yang kembali memejam. "Apa kau butuh bantuan?" "Tidak, Gunn. Terima kasih." Muren menjawab sebelum mengeluarkan benda mungil dari balik saku jas dan menatapnya. "Apa kau masih memikirkan pemilik anting itu?" Gunn melirik sekilas ke arah Muren yang masih menatap benda di tangannya. "Yah, aku merasa jika pernah melihat pemilik anting ini." Muren kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Haruskah kita ke klub untuk memastikannya?" "Apa kau masih mengira jika pemilik anting ini salah satu wanita di klub, Gunn?" "Yah, aku rasa begitu." "Tapi aku pikir tidak." "Kenapa kau bisa berpikir demikian?" tanya Gunn. "Entahlah. Aku hanya merasa jika pemilik anting ini adalah seorang yang berbeda, sangat menggambarkan sisi feminin, seorang yang sederhana, dan .... " "Cantik," potong Gunn. "Berlian menggambarkan sosok yang cantik dan elegant. Sepertinya kau sudah mendapatkan gambaran tentang sosok sang pemilik anting," sambungnya kembali melirik Muren. Suasana kembali hening hingga beberapa menit. "Kapan kau akan melamar Ellena?" tanya Gunn membuyarkan lamunan Muren. "Akhir pekan ini." "Apa kau sudah mempersiapkan semuanya?" "Aku bahkan belum mendapatkan lokasi yang tepat." Muren kembali memasukkan anting tersebut ke dalam saku jasnya. "Bagaimana jika restaurant di tempat biasa? Aku yang akan mengurus semuanya." "Ide yang bagus, aku serahkan padamu, Gunn." "Baiklah, usai bertemu klien sore ini, aku akan mengurusnya." "Ya," angguk Muren mengambil ponsel dari dalam saku celananya dan mulai memeriksa semua notifikasi di sana. Bahkan sekilas pria itu terlihat tersenyum saat membaca beberapa pesan singkat yang mungkin saja itu pesan dari kekasihnya. Sedang di pinggiran taman, tidak jauh dari sana tampak mobil lain terlihat berhenti tepat di depan Aruhi yang mulai memaksakan diri untuk tetap tersenyum seperti biasa agar tidak membuat seseorang itu khawatir, meski tak berlangsung lama sebelum senyuman itu menghilang dan berganti dengan wajah yang kembali terlihat murung. "Apa yang kau lakukan di sana?" tanya Night berjalan menghampiri dan langsung duduk di samping Aruhi. "Mengurangi sesak." "Sesak? Apa sesuatu telah terjadi?" Night menatap wajah Aruhi yang masih menengada, seolah langit pekat adalah hal yang paling menarik saat ini. "Entahlah, ada banyak hal yang terjadi hari ini, tapi tak satupun yang menyenangkan bagiku." "Bisa kau menceritakan salah satunya? Mungkin saja itu bisa mengurangi beban yang kau rasakan saat ini." "Aku hanya ingin bersandar dan tak ingin bercerita," balas Aruhi yang tanpa aba-aba langsung menyenderkan kepalanya di bahu lebar Night. Dan entah mengapa ia selalu merasa nyaman dengan posisi itu. "Baiklah, jika kau merasa itu lebih baik." Night mengusap kepala gadis itu lembut dan tidak ingin bertanya apa pun lagi. Sebab ia tahu jika Aruhi pasti akan menceritakan semuanya jika ia merasa lebih baik. Hingga beberapa menit berlalu saat mereka duduk dalam hening. "Night." "Ya?" "Apa kau pernah bertemu seseorang yang memiliki sikap sangat menyebalkan?" tanya Aruhi yang masih menyenderkan kepalanya di bahu Night. "Aku rasa sering." "Lalu? Apa kau pernah berpikir untuk menghajar mereka?" Night menyunggingkan senyum, merasa lucu dengan pertanyaan Aruhi. Bagaimana bisa ia memiliki keinginan itu jika yang memiliki sikap menyebalkan adalah kebanyakan perempuan yang menginginkannya tapi terkadang membuatnya kesal. "Aku rasa, iya." "Lalu?" "Sayangnya aku belum pernah melakukannya," balas Night santai. "Ah, seharusnya kau menghajar saja mereka." "Apa orang itu benar-benar menyebalkan?" tanya Night tidak terduga, ia bahkan bisa menebak dengan muda apa yang sudah di lalui Aruhi seharian ini hanya dengan mendengarkannya saja . "Hah?!" Aruhi mendongak, menatap wajah dagu Night. "Orang yang sebenarnya sangat ingin kau hajar. Apa dia benar-benar sangat menyebalkan?" "Ya. Dia sangat menyebalkan." Aruhi mengangkat kepala, dan memilih menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi bersamaan dengan ingatan yang kembali tertuju kepada sosok Muren yang baru saja di temuinya beberapa saat lalu. Pria itu berhasil membuatnya kesal, tapi tidak cukup membuatnya merasa sangat marah. Meski itu terdengar aneh tapi itulah yang ia rasakan saat ini. Ia hanya kesal tapi tidak marah. "Siapa dia?" ---"Aku tak mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu namanya," balas Aruhi yang memang tidak mengetahui apa pun tentang Muren."Tapi dia sudah membuatmu kesal?" tanya Night yang hanya di balas anggukan oleh Aruhi. "Sungguh?""Ya.""Apa yang terjadi?""Maksudnya?""Mengapa ia menjadi sangat menyebalkan? Apa kalian pernah terlibat masalah sebelumnya? Atau ada hal lain?" "Aku sendiri bahkan tidak mengerti kenapa aku jadi sangat sensitif, apa karena aku kesal sebab ia tak mengingatku? Lalu kenapa? Aku juga bukan orang penting yang harus ia ingat. Apa diam-diam aku mengharapkan kata terima kasih darinya? Ah, ini gila. Kenapa aku jadi sangat konyol," batin Aruhi."Aruhi, apa benar kalian berdebat?"Aruhi terbangun dari lamunan, balas menatap Night yang sejak tadi menatapnya seolah sangat menantikan jawaban darinya dengan segera. Ia juga tidak menyangka jika reaksi Night akan lebih serius dari apa yang ia pikirkan."Hanya kesalahan pahaman aku rasa, tapi tetap saja dia sangat menyebalkan.""Apa dia
Ellena membuka kancing kemeja Muren satu persatu sebelum menatap pria itu yang juga tengah menatapnya sambil mengusap bibirnya lembut."No. Ellen," tolak Muren memegangi kedua tangan Ellena yang bahkan sudah berhasil membuka seluruh kancing bajunya hingga menampakkan tubuh sempurna penuh otot yang membuat jantung Ellena semakin bergemuruh menahan hasrat."Tapi aku sangat menginginkanmu malam ini, Muren." Ellena sedikit memohon sebelum mengecup dada Muren dan menyesap niplle miliknya, bersamaan dengan suara desahan rendah yang terdengar keluar dari mulut sang pria yang langsung meraih tengkuk leher Ellena dan melumati bibir itu dengan penuh gairah selama beberapa detik."Kita akan melakukannya nanti," bisik Muren merapikan rambut Ellena."But, I really want to make love to you.""Bisakah kau bersabar? Aku berjanji, kita akan melakukannya nanti. Setelah aku sudah melamarmu, Ellena.""Melamarku?" Alis Ellena mengernyit, cukup terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya."Yah, aku akan
"Ya." Muren mengangguk pelan sambil memijat tengkuk lehernya yang sudah menegang sejak tadi."Lalu? Ada apa lagi kali ini? Bukankah seharusnya malam ini kau melamar Ellena? Aku bahkan sudah menyiapkan semuanya, dan cukup terkejut ketika kau membatalkannya begitu saja.""Ellen berangkat ke Swiss." Muren menjawab dengan nada pelan."A-apa?""Ellen berangkat ke Swiss." Muren mengulang kalimatnya sekali lagi meski dengan nada yang masih sama."Lagi?"Tidak menjawab, Muren hanya menganggukkan kepala pelan sebelum kembali meneguk minumannya yang tersisa."Berapa lama?" tanya Gunn."Tiga bulan.""Bukan waktu yang singkat. Dan kau membiarkannya?" tanya Gunn dengan ekspresi yang cukup serius kali ini."Memang apa yang harus aku lakukan? Mencegahnya? Aku bukan suaminya.""Tapi kau ....""Aku masih kekasihnya, Gunn. Aku rasa aku masih tak memiliki hak untuk itu," potong Muren.Gunn mengangguk paham atas jawaban yang keluar dari mulut Muren, meski ia masih tidak mengerti dengan apa yang ada di da
Dengan langkah yang sedikit di percepat, Aruhi berjalan mengintari pelataran kampus yang sudah mulai terlihat sepi. Menyelesaikan tugas di perpustakaan yang menumpuk cukup menyita waktu hingga membuatnya harus menghabiskan waktu selama berjam-jam di dalam perpustakaan dan berakhir pulang larut malam."Good job, Ruhi. Kau bisa ketinggalan Bus lagi malam ini, dan seharusnya kau berlari sekarang, bukannya bersantai. Oh Tuhan, ini melelahkan."Kembali mengeluh meski tak memiliki pilihan lain dan memang ia harus berlari sekarang agar lekas sampai ke halte bus tepat waktu. Meski sepertinya kali ini gadis berkuncir itu kurang beruntung, sebab bus terakhir baru saja berlalu sebelum ia sampai ke Halte, dan itu cukup menjengkelkan."Heeii! Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Tuaan ... TUAN ...!"Aruhi berteriak keras, masih berlari mengejar bus yang semakin melaju hingga perlahan menghilang dari pandangannya yang mulai kabur oleh peluh. Hingga akhirnya menyerah dan memutuskan untuk berhenti b
"Ini terlalu dingin ...." Suara keluhan dari pria di sampingnya terdengar serak sambil meringkuk dengan posisi yang sudah berubah, yang tadinya duduk bersandar di sandaran kursi penumpang kini berpindah posisi jadi berbaring tepat di atas pangkuan Aruhi, seolah kedua paha gadis itu sudah menjadi bantal ternyamannya saat ini. "Ah, jangan buat aku membangunkanmu dengan satu pukukan, Tuan. Bangunlah," pinta Aruhi di antara takut dan kesal. Sedang sang pria tak mendengar bahkan semakin pulas di atas pangkuannya, "Tuan, bangun sekarang juga, jika tidak aku akan benar-benar memukulmu, percayalah. Kepalan tanganku bisa membuatmu kesakitan." "Ada apa, Nona?" tanya sang pemilik taksi sambil melirik ke arah Aruhi yang kembali memejam. "Jauhkan pemabuk ini dariku!" "Hah?!" "Singkirkan dia dariku sekarang juga." Sang pemilik taksi mengalihkan pandangan ke arah sang pria yang masih pulas di pangkuan Aruhi. "M-maaf, Nona. Bisakah Anda bersabar?" "Apa?" "Bertahanlah sebentar lagi
Rolls Royce melaju dengan kecepatan tinggi melintasi jalan besar kota Manhattan di pukul sebelas malam, suasana masih tak begitu sepi, sebab pengendara masih terlihat berlalulalang kecuali para pejalan kaki yang hanya terlihat beberapa dengan langkah mereka yang tergesa seolah sedang memburu waktu. Namun, di antara beberapa di sana. Perhatian sang pengendara hanya tertujuh pada satu sosok yang sedang berdiri di pinggiran trotoar sambil melamun. Entah apa yang sedang di pikirkan gadis itu.Sang pengendara memelankan laju mobilnya, saat akan melintas di depan gadis itu. Meski tak berniat untuk berhenti, ia hanya menurunkan kaca mobil miliknya, agar leluasa melihat sang gadis yang di rasa pernah ia lihat di satu tempat, wajah itu benar-benar tak asing, dan hal yang membuat sang pengendara tak habis pikir dengan dirinya sendiri adalah mengapa ia sampai melakukan hal demikian. Menatap sang gadis dari dalam mobilnya yang juga ikut menatapnya sebelum ia menginjak pedal gas dalam. Membiarkan
Nine beranjak dari duduknya, sedikit menjauh saat mendapatkan telpon darinya.📞 "Kak."📞 "Aruhi?! Bukankah kau sedang berada di restaurant saat ini? Di mana kau sekarang? Aku bahkan tidak melihatmu sejak tadi." 📞 "Aku sedang berada di luar sekarang."📞 "Di luar? Haruskah aku menjemputmu?"📞 "Aku rasa tidak perlu. Lagi pula aku akan ke restaurant sebentar lagi."📞 "Kau yakin?"📞 "Hmm."📞 "Dan, apa kau membutuhkan sesuatu? Aku sedang bersama seorang klien sekarang, tak bisa menemanimu mengobrol lama."📞 "Aku tahu."📞 "Lalu?"Hening, hingga beberapa saat. 📞 "Aruhi?" panggil Nine saat tak mendengar jawaban dari Aruhi. 📞 "Bisakah Kakak membantuku?" tanya Aruhi dengan nada yang terdengar ragu. 📞 "Tentu, apa yang kau inginkan?"Aruhi kembali terdiam, terlihat menarik napas panjang dan melepaskannya dengan perlahan. Merasa jika permintaannya kali ini mungkin adalah hal yang paling konyol. Namun, ia tak punya pilihan lain. 📞 "Aruhi? Kau masih di sana?"📞 "Bisakah Kakak berp
"Apa yang sudah kau lakukan dengan cangkir-cangkir itu?" tanya Night terlihat heran sekaligus gemas dengan tingkah tidak biasa dari Aruhi saat ini."Kau tidak melihat? Aku sedang merapikan cangkir-cangkir ini." Aruhi membalas dengan tersenyum yang malah membuatnya terlihat sangat bodoh. Bibir yang mengatup sambil memejam, dan langsung menyembunyikan dirinya di balik punggung lebar Night."Apa kau yakin jika sedang merapikannya? Kau bahkan mengacaukannya, Nona. Sadarlah."Aruhi melihat beberapa cangkir di atas meja. Berhamburan dan beruntung tidak sampai pecah."K-kenapa jadi ... berantakan semua ....""Menurutmu, ini ulah siapa?"Aruhi mengusap tengkuk lehernya, masih merasa gugup, merasa jika wajahnya memerah sekarang karena malu."Istirahatlah di ruanganku. Kau tampak aneh sejak tadi, aku curiga. Apa kebetulan kau mengenal CEO itu?""CEO? siapa?""Siapa lagi kalau bukan pria berwajah datar yang tengah bersama Nine di sana.""Tidak," balas Aruhi tanpa melihat Muren di sana, dan hanya