Baiklah, aku akan menemanimu," balas Aruhi yang akhirnya menyerah, melirik arloji yang melingkar di tangannya. Mereka masih punya waktu 30 menit untuk ke kantin sebelum kelas di mulai.Beranjak dari duduknya, Aruhi melangkah keluar kelas, disusul Lucas, berjalan beriringan menuju menuju cafetaria untuk makan siang bersama. Meski merasa agak canggung, sebab duduk di sebuah cafetaria dengan di temani oleh seseorang adalah hal yang pertama bagi Aruhi. Ia pun tak mungkin menghindari Lucas, meski Muren sudah memeperingati untuk tak dekat dengan pria tersebut, ataupun membiarkan pria tersebut mendekatinya.Untuk saat ini, ia pikir mungkin tak masalah, lagi pula ia tak mungkin menghindari atau melarang pria itu untuk tak mendekatiku. Aruhi mengambil ponsel dari dalam tasnya untuk memeriksa beberapa pesan notifikasi. Cukup terkejut karena mendapatkan banyak pesan yang membuatnya tersipu. Tanpa di sadari jika sejak tadi ada sepasang mata yang tengah menatapnya dengan ekspresi penuh keheranan.
"Lucas ...." "Apa kau akan di jemput lagi?" potong Lucas dengan suara yang sedikit parau sambil mengucek kedua matanya. "Ada apa?" "Tidak apa-apa." "Maka bangunlah." "Sebenarnya aku sangat ingin mengantarmu pulang. Aku juga ingin mengetahui alamat rumahmu, dan sangat ingin main ke rumahmu," balas Lucas, menopang dagu di atas meja, sambil menatap sisi samping wajah Aruhi. "Aku tidak pernah melarangmu untuk melakukan itu. Kau bisa datang kapan saja." "Aku pasti sudah melakukan itu jika saja aku tahu kau tinggal di mana, sebenarnya bukan hal yang sulit untuk mencari tahu semuanya tentang dirimu, tapi aku ingin kau sendiri yang memberikan alamat rumahmu untukku," balas Lucas dengan senyumnya. "Apa kau seorang penguntit?" "Hmm, tepat sekali, apa kau terkejut?" tanya Lucas dengan nada santai dan semakin melebarkan senyumnya. "Tidak sama sekali," balas Aruhi. Di ikuti atau di awasi oleh seseorang bukanlah hal yang pertama bagi Aruhi, meski awalnya hal ini membuatnya t
"Kau terlihat gelisah. Telah terjadi sesuatu?" tanya Ellena saat mendapati Aruhi yang terus menatap layar ponselnya, terlihat tak fokus, dan hanya terus diam. "Tidak, aku hanya tak sempat memberi kabar kepada seseorang agar tak menjemputku siang ini," balas Aruhi tak bisa menutupi kegelisahannya. Bagaimana tidak, mungkin saat ini Muren tengah menuju ke kampus untuk menjemputnya seperti biasa, dan merasa pesan singkat yang ia kirim kepada pria itu mungkin cukup. Namun, sepertinya ia salah, sebab ponselnya tiba-tiba berdering dan jelas tertera nama Muren Elves di sana. 📞 "Ada apa? Kenapa aku tak boleh menjemputmu?" tanya Muren tanpa basa basi, bahkan sebelum Aruhi menyapanya. 📞 "Aku hanya sedang bersama seorang teman sekarang. And looks like we will have lunch together," jawab Aruhi dengan nada lembut. 📞 "Having lunch together?" 📞 "Yes, Dear," angguk Aruhi yang tak luput dari pengamatan Ellena, wanita itu pun bisa menebak dengan siapa Aruhi berbicara saat ini. 📞 "Ap
"Aku masih ingin mengobrol denganmu, tapi sepertinya aku harus ke Butik, maaf." Ellena melirik arloji yang melingkar di lengannya, setelah menghabiskan waktu hampir enam puluh menit dengan mengobrol di caffe. Dan hal yang bagus, sebab selama obrolan mereka berlangsung, mereka menjadi lebih dekat sekarang dengan saling menukar nomor ponsel, sambil menyusun beberapa rencana lainnya yang mungkin akan menyenangkan untuk mereka lakukan nanti. "Tidak masalah, Ellena. Kau cukup sibuk, aku bisa mengerti itu." "Terima kasih, Aruhi. Bagaimana jika aku mengantarmu untuk pulang." "Aku rasa tidak perlu, seseorang akan menjemputku di sini sebentar lagi," tolak Aruhi tersenyum. "Seseorang? Apa dia kekasihmu?" tanya Ellena, meski sudah mengetahui jawabannya. Ia pun tahu, siapa seseorang yang akan menjemput Aruhi. "Yah." "Oh, senang jika bisa mengenalnya." Meski aku sudah sangat mengenal kekasihmu sejak dulu. Batin Ellena menarik napas panjang. "Sepertinya aku harus pergi, sampai
"Kau sangat banyak bicara, Aruhi." "Lalu mau sampai kapan kau akan terus berdiri di sana? Masuklah," balas Aruhi, melangkah menuju balkon kamarnya yang di susul Night. "Seharusnya kau bersyukur, aku tidak langsung menerobos masuk ke dalam kamarmu. Takut saja jika aku mendapatimu sedang telanjang bulat." "Hei Night!" seru Aruhi, berbalik dengan tangan melayang ke udara, hendak melepaskan satu pukulan ke arah Night yang langsung menyilangkan kedua tangan sebagai pertahanan. "Tidak perlu bereaksi seperti itu, selain paman Young dan Nine, akulah pria pertama yang pernah melihat tubuhmu tanpa busana, yah meskipun itu dulu," balas Night yang masih bersembunyi di balik lengannya. "Berhentilah membual, ada apa malam-malam ke sini? Bukankah kita bisa bertemu besok?" tanya Aruhi enggan menanggapi, dan memilih duduk di sebuah kursi. Menatap Night yang kini berdiri tepat di sampingnya, menyandarkan tubuh di tepi mezzanine dengan tangan bersidekap. "Jika menunggu besok, mungkin perasaa
"Haruskah?" "Bagaimana menurutmu?" Aruhi terdiam hingga beberapa saat, sebab sejak awal bertemu pun ia sudah merasakan keanehan. Namun, selama itu ia selalu melihat Ellena dengan sikap baiknya, ia juga merasa nyaman jika sedang berbicara dengan wanita itu, dan selama ini mereka juga tak pernah memiliki masalah apa pun. Apa ia harus mempermasalahkan hal itu, hanya karena mereka tak saling kenal sebelumnya? Aruhi menghela napas panjang. "Aku rasa tak perlu, Night. Aku dan Ellena baik-baik saja selama ini. Ia hanya ingin menjadi temanku." "Tentu," angguk Night, kembali mengusap rambut Aruhi lembut, "baiklah, aku pulang sekarang," sambungnya. Beranjak dari duduknya. "Kau tidak akan menunggu Kak Nine?" tanya Aruhi yang ikut berdiri. "Nine mungkin sedang berkencan sekarang." "Sungguh?" "Kau bisa bertanya langsung padanya. Aku pergi," pamit Night, melangkah pergi, hingga beberapa saat saat langkahnya kembali terhenti tepat di ambang pintu kamar. Membalikkan badan dan menata
Tapi aku masih belum mendapatkan kabarnya sejak tadi. Apa dia baik-baik saja?"Apa kalian benar-benar sepasang kekasih?" "Hah?""Aku bahkan tak pernah melihat kalian makan malam bersama, berkencan, ataupun keluar bersama.""Dia pria yang cukup sibuk, Kak," balas Aruhi berusaha untuk memberikan alasan yang lebih masuk akal. "Dan kau memahaminya?""Yah, tentu saja, dia tak jauh berbeda sepertimu dan ayah, aku rasa itu tidaklah masalah, Kak. Aku juga baik-baik saja jika tak makan malam, nonton, ataupun berkencan seperti pasangan kekasih pada umumnya, sebab tanpa memalukan hal itu pun ia tetap bisa menjadi seorang kekasih yang sempurna bagiku," balas Aruhi yang cukup mencengangkan bagi Nine. Adiknya baru memiliki seorang kekasih, dan menjalani hubungan yang masih seumur jagung. Namun, yang membuatnya terkagum adalah Aruhi yang memiliki sikap dan pemikiran dewasa, dan penuh pengertian. Selama ini, Ia bahkan tak pernah memiliki seorang kekasih yang mempunyai pemikiran sama seperti adikny
"Aku tidak akan lama, lagipula aku sudah memastikan jika kau baik-baik saja, jadi sebaiknya aku pulang ...." "Hei, masuklah dulu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Aruhi terdiam hingga beberapa saat. Mungkin ia terlalu banyak berpikir. "Baiklah, tapi aku tidak lama, aku harus kembali ke kampus." Melangkah masuk mengikuti langkah kaki Lucas menuju ruang tengah dan Lucas yang langsung merebahkan diri di atas sofa sambil memegangi kepalanya yang kembali di rasakan pening. Terus mengamati seluruh ruangan dengan terus bepiikir. "Ini benar rumahmu?" tanya Aruhi sekali lagi. "Hmm, kau pikir ini rumah siapa?" balas Lucas balik bertanya. "Aku hanya merasa tidak asing dengan tempat ini," balaa Aruhi yang masih mengamati seluruh ruangan. "Benarkah? Atau, jangan-jangan kau pernah ke sini sebelumnya?" "Entahlah. Aku kurang yakin," balas Aruhi mengedikkan bahu sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Lucas yang masih memijat tengkuk lehernya. "Kau benar sakit?" "