"Aku tidak akan lama, lagipula aku sudah memastikan jika kau baik-baik saja, jadi sebaiknya aku pulang ...." "Hei, masuklah dulu. Aku tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja." Aruhi terdiam hingga beberapa saat. Mungkin ia terlalu banyak berpikir. "Baiklah, tapi aku tidak lama, aku harus kembali ke kampus." Melangkah masuk mengikuti langkah kaki Lucas menuju ruang tengah dan Lucas yang langsung merebahkan diri di atas sofa sambil memegangi kepalanya yang kembali di rasakan pening. Terus mengamati seluruh ruangan dengan terus bepiikir. "Ini benar rumahmu?" tanya Aruhi sekali lagi. "Hmm, kau pikir ini rumah siapa?" balas Lucas balik bertanya. "Aku hanya merasa tidak asing dengan tempat ini," balaa Aruhi yang masih mengamati seluruh ruangan. "Benarkah? Atau, jangan-jangan kau pernah ke sini sebelumnya?" "Entahlah. Aku kurang yakin," balas Aruhi mengedikkan bahu sebelum mengalihkan pandangannya ke arah Lucas yang masih memijat tengkuk lehernya. "Kau benar sakit?" "
📞 "Tentu saja, Ellena adalah wanita yang sempurna," balas Karine yang masih tak mengetahui jika hubungan antara putranya dan Ellena sudah berakhir dua tahun lalu. 📞 "Ellena?" Lucas mengernyit bingung. Sebab merasa asing dengan nama yang baru saja di sebutkan oleh ibunya, dan itu hal wajar bagi Lucas yang memang tak pernah mengetahui tentang Ellena, kendatipun kakaknya pernah menjalain hubungan dengan wanita tersebut. Apa Aruhi memiliki dua nama? Batin Lucas yang masih terdiam. 📞"Ada apa, Sayang?" 📞"No Mommy," geleng Lucas. 📞"Baiklah, ibu harus kembali bekerja. Sampaikan salam ibu pada kakakmu, ibu menunggu telpon darinya. Ayah dan ibu merindukan kalian, Sayang." 📞"Iya Ibu," balas Lucas memutuskan panggilan telpon. "Ellena ... kenapa aku merasa tak asing dengan nama itu, apa kakak punya kekasih lain selain Aruhi?" gumam Lucas masih memikirkan nama asing yang di sebutkan oleh ibunya beberapa saat lalu, "aku rasa tidak mungkin, kakak bukan pria seperti itu. Tapi
WANG GRUP Pukul 17:30 Sore hari Muren Elves terlihat keluar dari ruang Meeting sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya, di susul oleh Gunn yang ikut melebarkan langkah kakinya agar bisa menjejeri sang CEO yang tampak terburu-buru sore itu. "Apa kau akan pergi sekarang?" tanya Gunn yang masih mengikuti langkah lebar Muren. "Yah, seharusnya aku sudah di sana Gunn, aku tidak ingin Aruhi menungguku lebih lama." "Menunggu di sana? Seorang diri?" "Yah." "Dan kenapa kau tak menjemputnya saja?" "Aku sangat ingin melakukannya, tapi aku masih harus menandatangani beberapa dokumen penting. Terlebih Aruhi tak menginginkanku untuk menjemputnya," balas Muren tanpa memelankan langkah kakinya. "Alasannya?" "Aruhi tak ingin merepotkanku. Ia tahu jika aku memiliki pertemuan penting sore ini. Meski aku sudah mengatakan padanya jika bisa mengatasinya. Tapi kau tahu kekasihku gadis seperti apa." "Tentu, dia selalu memberimu pengertian." "Dan aku sangat menyayanginya."
Bisakah kau menungguku sebentar lagi, aku mohon, jangan pergi kemana pun. Batin Muren yang kembali melirik arloji di tangannya, saat mengingat Aruhi sekarang ini yang pasti sudah sangat gelisah karena menunggunya. Hingga empat puluh lima menit berlalu, saat mobil Muren sudah berhenti tepat di depan kediaman Ellena. "Terima kasih, Muren...." Kalimat Ellena menggantung saat Muren langsung melajukan mobilnya begitu saja, bahkan sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. "Dari mana saja? Aku menunggumu sejak tadi," tanya seorang yang sedari tadi berdiri di samping mobilnya yang terparkir tepat di depan rumah Ellena. Bahkan Ellena tak mampu menyembunyikan keterkejutannya, saat melihat kehadiran kekasihnya yang begitu tiba-tiba. Kenapa mesti sekarang. Batin Ellena berusaha setenang mungkin. "I'am so sorry, Dear. Aku cukup sibuk di Butik, aku benar-benar lupa dengan acara Dinner kita malam ini," balas Ellena, tersenyum sambil meraih telapk tangan pria itu untuk di genggamnya. "Lalu siapa
"Aku mohon, Nine. Sentuh aku.""Sudah aku katakan, aku tak bisa melakukan ini ketika sedang marah. Dan harus kau tahu, kau adalah wanita satu satunya untukku, wanita yang harus aku jaga. Maafkan aku ...." "Maka buktikanlah, jika hanya aku wanita satu satunya yang ada di dalam hatimu," potong Ellena, meraih pergelangan tangan Nine untuk di genggamnya erat. "Maafkan aku, Ellena. Mungkin malam ini aku masih bisa menahannya, tapi tidak dengan nanti, aku juga sangat menginginkanmu, tapi aku belum bisa melakukannya, maafkan aku, aku harus pulang sekarang," balas Nine dengan nada pelan, sambil merapikan rambut Ellena sebelum mengecup bibir yang sedikit berdarah itu akibat ulahnya. "Kau akan pergi begitu saja?" "Maaf ...." "Kau masih marah padaku?" tanya Ellena masih tak percaya jika ia kembali mendapatkan penolakan oleh Nine. "Apa kau ingin mendengar jawabanku?""Katakan saja jika itu benar." "Apa aku terlihat sedang baik-baik saja sekarang setelah melihat semuanya, Ellena?""Ja
"Dia masih sangat sibuk di butik," balas Nine dengan pandangan yang masih tertuju kepada Ellena. Wanita itu terlihat sangat bahagia bersama seorang pria asing, tak hanya duduk bersama, pria itu juga tampak mengelus punggung polos kekasihnya, sebelum mengecup bibir yang beberpa menit lalu di kecupnya.Sungguh satu pemandangan yang membuat hati Nine seketika hancur. Ia sungguh mencintai wanita itu, bahkan berusaha mempertahankan cinta mereka yang sudah berjalan selama dua tahun dengan penuh kesabaran. Namun, malam ini hatinya kembali di hancurkan oleh Ellena untuk yang kesekian kalinya, dengan rasa sakit yang jauh lebih parah dari sebelumnya. Melihat Ellena yang dengan mudahnya menerima pria di hadapannya, melingkarkan kedua lengannya ke leher pria itu sebelum saling melumat satu sama lainnya.Apa hanya itu yang kau inginkan? Batin Nine kembali meneguk sampanye-nya hingga tandas dan terus di ulangnya hingga berulang kali."Ada apa denganmu malam ini? Tak biasanya kau banyak minum. Aku
"Yah, aku baik-baik saja," angguk Nine mengulas senyum. "Baiklah, aku harap kau sedang tak berbohong. Kita sampai," ucap Ellgar saat mobil mereka sudah terparkir tepat di depan kediaman keluarga Morthen. "Terima kasih, Ellgar." "Yah, kau tak perlu sungkan, Nine. Jujur aku mengkhawatirkanmu. Semoga kau lekas membaik," balas Ellgar ikut turun dari mobil. "Kenapa tak kau bawah saja mobilnya?" tanya Nine menyeret langkahnya yang sempoyongan, bahkan nyaris jatuh ketika tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya. "Tidak perlu, aku bisa naik taksi, apa kau butuh bantuan untuk masuk ke dalam?" tanya Ellgar saat melihat Nine yang tampak kesulitan untuk berjalan sendiri. "Tidak perlu Ell, sudah cukup aku merepotkanmu. Aku akan baik-baik saja, aku hanya sedikit pusing." "Kau mabuk Nine." "Yah, sebentar lagi akan membaik, terima kasih Ell." "Baiklah, aku pulang sekarang, sampai jumpa lagi," balas Ellgar berjalan meninggalkan Nine yang masih berdiri di tempatnya, hingga beberapa me
KEDIAMAN AIDEN ELVES. "Anda sudah pulang?" tanya Lucas, saatmendapati Muren yang sedang duduk dengan beberapa botol sampanye di sana. "Yah, dan kau sendiri. Kenapa belum tidur juga? Seharusnya kau tak bergadang, bukankah kau sedang sakit?" balas Muren balik bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku baik-baik saja, lagi pula tidur di pondok seharian membuatku jadi susah tidur malam hari," balas Lucas, duduk di samping kakaknya. Mengamatinya dengan alis mengernyit saat Muren terlihat gelisah dengan ponselnya, menatapnya sesekali, dan tak jarang ia terlihat berdecak kebingungan. "Pondok? Kau di pondok seharian?" "Yah, di sana cukup nyaman." "Ah ... yah," angguk Muren kembali meneguk sampanye-nya, seolah tak peduli. "Apa semuanya berjalan dengan baik?" tanya Lucas tak melepaskan pandangan. Mulai menyadari jika ada yang tidak beres dengan kakaknya. "Tidak, semuanya hancur berantakan." "Maksudnya?" "Aku mengacaukan segalanya, dan berakhir Ruhi yang mungkin marah