"Aku mohon, Nine. Sentuh aku.""Sudah aku katakan, aku tak bisa melakukan ini ketika sedang marah. Dan harus kau tahu, kau adalah wanita satu satunya untukku, wanita yang harus aku jaga. Maafkan aku ...." "Maka buktikanlah, jika hanya aku wanita satu satunya yang ada di dalam hatimu," potong Ellena, meraih pergelangan tangan Nine untuk di genggamnya erat. "Maafkan aku, Ellena. Mungkin malam ini aku masih bisa menahannya, tapi tidak dengan nanti, aku juga sangat menginginkanmu, tapi aku belum bisa melakukannya, maafkan aku, aku harus pulang sekarang," balas Nine dengan nada pelan, sambil merapikan rambut Ellena sebelum mengecup bibir yang sedikit berdarah itu akibat ulahnya. "Kau akan pergi begitu saja?" "Maaf ...." "Kau masih marah padaku?" tanya Ellena masih tak percaya jika ia kembali mendapatkan penolakan oleh Nine. "Apa kau ingin mendengar jawabanku?""Katakan saja jika itu benar." "Apa aku terlihat sedang baik-baik saja sekarang setelah melihat semuanya, Ellena?""Ja
"Dia masih sangat sibuk di butik," balas Nine dengan pandangan yang masih tertuju kepada Ellena. Wanita itu terlihat sangat bahagia bersama seorang pria asing, tak hanya duduk bersama, pria itu juga tampak mengelus punggung polos kekasihnya, sebelum mengecup bibir yang beberpa menit lalu di kecupnya.Sungguh satu pemandangan yang membuat hati Nine seketika hancur. Ia sungguh mencintai wanita itu, bahkan berusaha mempertahankan cinta mereka yang sudah berjalan selama dua tahun dengan penuh kesabaran. Namun, malam ini hatinya kembali di hancurkan oleh Ellena untuk yang kesekian kalinya, dengan rasa sakit yang jauh lebih parah dari sebelumnya. Melihat Ellena yang dengan mudahnya menerima pria di hadapannya, melingkarkan kedua lengannya ke leher pria itu sebelum saling melumat satu sama lainnya.Apa hanya itu yang kau inginkan? Batin Nine kembali meneguk sampanye-nya hingga tandas dan terus di ulangnya hingga berulang kali."Ada apa denganmu malam ini? Tak biasanya kau banyak minum. Aku
"Yah, aku baik-baik saja," angguk Nine mengulas senyum. "Baiklah, aku harap kau sedang tak berbohong. Kita sampai," ucap Ellgar saat mobil mereka sudah terparkir tepat di depan kediaman keluarga Morthen. "Terima kasih, Ellgar." "Yah, kau tak perlu sungkan, Nine. Jujur aku mengkhawatirkanmu. Semoga kau lekas membaik," balas Ellgar ikut turun dari mobil. "Kenapa tak kau bawah saja mobilnya?" tanya Nine menyeret langkahnya yang sempoyongan, bahkan nyaris jatuh ketika tak mampu menahan keseimbangan tubuhnya. "Tidak perlu, aku bisa naik taksi, apa kau butuh bantuan untuk masuk ke dalam?" tanya Ellgar saat melihat Nine yang tampak kesulitan untuk berjalan sendiri. "Tidak perlu Ell, sudah cukup aku merepotkanmu. Aku akan baik-baik saja, aku hanya sedikit pusing." "Kau mabuk Nine." "Yah, sebentar lagi akan membaik, terima kasih Ell." "Baiklah, aku pulang sekarang, sampai jumpa lagi," balas Ellgar berjalan meninggalkan Nine yang masih berdiri di tempatnya, hingga beberapa me
KEDIAMAN AIDEN ELVES. "Anda sudah pulang?" tanya Lucas, saatmendapati Muren yang sedang duduk dengan beberapa botol sampanye di sana. "Yah, dan kau sendiri. Kenapa belum tidur juga? Seharusnya kau tak bergadang, bukankah kau sedang sakit?" balas Muren balik bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya. "Aku baik-baik saja, lagi pula tidur di pondok seharian membuatku jadi susah tidur malam hari," balas Lucas, duduk di samping kakaknya. Mengamatinya dengan alis mengernyit saat Muren terlihat gelisah dengan ponselnya, menatapnya sesekali, dan tak jarang ia terlihat berdecak kebingungan. "Pondok? Kau di pondok seharian?" "Yah, di sana cukup nyaman." "Ah ... yah," angguk Muren kembali meneguk sampanye-nya, seolah tak peduli. "Apa semuanya berjalan dengan baik?" tanya Lucas tak melepaskan pandangan. Mulai menyadari jika ada yang tidak beres dengan kakaknya. "Tidak, semuanya hancur berantakan." "Maksudnya?" "Aku mengacaukan segalanya, dan berakhir Ruhi yang mungkin marah
"Aku rasa telah terjadi sesuatu." "Kau benar, aku juga berpikir demikian, meski kak Nine mengatakan jika ia baik-baik saja," balas Aruhi sebelum kembali terdiam hingga beberapa menit. "Kamu tidak ke kampus hari ini?" tanya Night dengan nada pelan, Melirik Aruhi yang masih terdiam tak seperti biasa, dengan pandangan yang ia arahkan keluar jendela mobil yang tengah melaju. Satu pertanyaan yang tidak mendapat respon sedikit pun dari Aruhi yang sepertinya enggan berbicara untuk saat ini. "Kamu sakit?" tanya Night sekali lagi sambil terus melirik Aruhi. "Tidak," jawab Aruhi singkat. "Terlalu tenang di sini. Kamu benar baik-baik saja?" "Hmm." "Tapi yang aku lihat tidak seperti itu, Aruhi. Kau tampak berbeda hari ini, dan tidak seperti biasa," balas Night, menempelkan punggung tangannya ke dahi Aruhi yang hanya diam saja dengan posisi yang masih sama. "Aku baik-baik saja." "Kata Charlo kau tak makan malam, pagi ini juga kau tak sarapan, what's wrong with you, Aruhi?" tanya Night
"Ada apa?" Aruhi mulai membuka pesan dari Muren yang di kirim beberapa menit lalu. Muren Elves : 📩 [Miss you Dear, aku akan menjemputmu untuk makan siang. I Love you.] Satu pesan yang cukup membuatnya merasa jauh lebih baik dan tenang. Pria itu sangat tahu cara untuk membujuknya, sebab hanya dalam selang beberapa saat saja, ia nyaris melupakan kesalahan yang sudah pria itu lakukan padanya semalam. Lucas Elves : 📩 [Kau baik-baik saja?] Isi pesan dari Lucas. Dan tak hanya ada satu pesan di sana. Namun, beberapa pesan beruntun yang di kirim sejak semalam hingga beberapa menit lalu. Sangat jelas terlihat jika pria itu sangat mengkhawatirkannya. Lucas Elves : 📩 [Kau tak ke kampus hari ini, apa kau sakit?] 📩 [HEI ARUHI MORTHEN. BERHENTI MENGABAIKANKU!] 📩 [Ruhi, apa yang terjadi?] 📩 [Apa perlu aku ke rumahmu? Baiklah aku akan ke rumahmu.] Aruhi menarik napas kuat dan dalam usai membaca beberapa pesan teks dari Lucas. Dan pria itu jelas sangat mengkhawatirka
"Sepertinya aku tidak bisa menemanimu lebih lama lagi, semoga hubungan kalian berjalan dengan lancar. sampai kepernikahan," ucap Aruhi sebelum beranjak dari duduknya, melangkah meninggalkan Ellena tanpa menunggu jawaban dari wanita tersebut. "Ah, bukankah seharusnya kau bisa tinggal lebih lama lagi di sini, dan mendengar semuanya. Aku sungguh tak keberatan jika harus terus menangis dihadapanmu," ucap Ellena tersenyum sambil mengusap air mata yang membasahi wajahnya, "sekarang kau tak bisa ke mana–mana lagi Muren, you're mine, and forever, you'll always be mine," sambungnya. "Kau membuatnya menangis?" tanya Emily yang tiba-tiba muncul dari sana, menarik kursi dan duduk di hadapan Ellena. "Kau bisa melihat semuanya, 'kan? Gadis itu benar-benar merasa bersalah sekarang." "Yah, itu jelas terlihat. Lalu?" "Aku tinggal menunggu dan ... duar! Semuanya akan hancur berantakan, dia akan meninggalkan Muren, dan Muren akan kembali padaku," sambung Ellena masih tersenyum. "Lalu baga
"Aku baik-baik saja." "Baiklah aku akan mengantarmu, tapi apa kau yakin akan ke Caffe? Kenapa kau tidak pulang saja ke rumah untuk beristirahat, aku benar-benar mengkhawatirkanmu," bujuk Lucas, berharap Aruhi akan berubah pikiran. "Tidak," geleng Aruhi pelan, "aku akan ke Caffe terlebih dulu," sambungnya. Sebab yang sebenarnya, ia tidak ingin membuat Nine jadi khawatir jika melihat keadaannya yang seperti sekarang. Dan itulah alasan utamanya untuk tidak langsung pulang ke rumah saat ini. Sebab ia tahu akan bereaksi seperti apa Nine jika melihatnya dalam keadaan kacau. "Baiklah," ucap Lucas. Mencoba untuk memahami Aruhi. Ia pun tak ingin berbicara lebih banyak lagi, dan lekas melajukan mobilnya sambil sesekali melirik Aruhi yang masih setia dengan keterdiamannya. "Aruhi, apa wanita itu?" "Wanita?" "Yang terus menemuimu saat di kampus," balas Lucas. Tak ada jawaban dari Aruhi yang kembali terdiam hingga sesaat, sebelum terlihat menarik napas panjang. Entah sudah ber