Seseorang berdiri di depan pintu kamar Aruhi dengan senyum hangat seperti biasa.
"Kak Nine?" panggil Aruhi kegirangan, ia yang baru saja mendapatkan kejutan di pagi hari lekas beranjak dari duduknya, berlari kecil menghampiri sang pria yang masih berdiri dengan kedua tangan terbentang untuk menyambutnya, "sejak kapan Kakak di sini? Bahkan tak memberitahuku terlebih dahulu. Lalu bagaimana kabar Ayah dan Ibu, apa mereka baik-baik saja? Kapan mereka akan kembali untuk mengunjungiku?"
"Hei, pertanyaanmu sangat banyak. Haruskah aku menjawab semuanya? Kau bahkan tidak memberiku kesempatan untuk menarik napas," balas sang pria pemilik nama Nine yang tidak mampu manahan tawa, merasa jika adik perempuannya mungkin saja masih mengigau.
"Aku rasa terlalu bersemangat." Aruhi menjawab dengan wajah yang masih terbenam di dada lebar Nine yang memeluk sambil mengusap rambutnya yang sedikit berantakan.
"Aku bisa melihatnya."
"Pagi ini cukup berbeda. Dan kebetulan mataku sedang membutuhkan sesuatu yang baru," ucap Aruhi tersenyum lebar saat Nine melepaskan pelukannya.
"Memang ada apa dengan hari-harimu sebelumnya?" tanya Nine melangkah menuju ke arah jendela dan menyibak tirai yang menghalangi cahaya matahari agar masuk ke dalam ruangan tersebut sebelum membukanya.
"Sesuatu hal yang sama. Karena setiap pagi aku harus melihat wajah Night yang selalu standby untuk mengantarku ke mana pun. Dan itu terjadi sejak Kakak tidak di sini."
Nine kembali tersenyum saat mendengar perkataan sang adik yang lebih terdengar seperti sebuah keluhan "Apa kau merasa bosan?"
Aruhi tidak menjawab, dan hanya mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. Suatu respon sebagai jawaban atas pertanyaan kakaknya.
"Bukankah yang aku tahu kalian berdua sangat sulit untuk di pisahkan satu sama lain? Bahkan sejak kecil kalian berdua selalu bersama." Aruhi masih terdiam tidak menjawab. "Aku rasa Ayah dan Ibu sengaja menyuruh Night untuk menjagamu, karena mereka percaya selain aku, hanya Night yang bisa menjagamu."
"Ya aku tahu."
"Lalu?" tanya Nine dengan kening mengernyit.
"Memang hanya Night yang selalu berkeliaran di sekitarku."
Nine menggelengkan kepala pelan, bersidekap sambil menyenderkan tubuhnya di sana, tidak berhenti tersenyum dan terus menatap sang adik yang terlihat tidak seperti biasa. "Kau baik-baik saja?"
"Tentu."
"Kau terlihat sakit, Aruhi." Nine berkata dengan nada penuh kekhawatiran.
Aruhi menarik napas panjang sebelum melepaskannya dengan perlahan. Ia memang merasakan sakit di seluruh tubuh. Namun, ia juga merasa jika kakaknya tidak perlu tahu itu. Ia hanya tidak ingin membuat kakaknya khawatir dan cukup Night saja, bahkan itu sudah cukup membuatnya kelelahan karena mereka terus berdebat sepanjang hari hanya karena kekhawatiran pria itu yang baginya terlalu berlebihan.
"Aku hanya insomnia."
"Kau yakin?" tanya Nine untuk kembali memastikan seolah tidak percaya dengan ucapannya.
Aruhi adalah adik perempuan satu-satunya yang tentu saja sangat berharga baginya, ia juga begitu menyangi dan mencintainya. Selain itu ia juga memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga adiknya selama kedua orang tua tidak bersama mereka. Jadi sangat wajar jika ia selalu mengkhawatirkan banyak hal jika itu bersangkutan dengan Aruhi.
"Kakak tak perlu mencemaskanku sampai seperti ini, aku sudah dewasa sekarang dan bisa mengurus diri dengan sangat baik. Kakak lupa? Aku sudah berusia dua puluh dua tahun," ucap Aruhi kembali duduk di pinggiran tempat tidurnya. Ia cukup lelah jika tiap saat harus mengingatkan mereka jika ia sudah dewasa sekarang dan bukan gadis kecil lagi.
"Tetap saja, di mataku kau masihlah seorang gadis kecilku yang lucu."
"Oh, ayolah. Sampai kapan Kakak akan menganggapku seperti seorang gadis kecil?"
Nine kembali tersenyum, sebelum melangkah mendekati adiknya. Meski ia sadar jika adik kecilnya sekarang sudah dewasa. Namun, tetap saja, ia masih belum bisa memperlakukannya seperti layaknya seorang gadis dewasa pada umumnya. Sebab di matanya, Aruhi masihlah gadis kecil yang manja, rewel, dan butuh perhatian.
"Sepertinya Ayah dan Ibu belum bisa mengunjungimu tahun ini, Ayah masih sangat sibuk, sebab baru saja membuka perusahaan cabang di sana dan tentunya masih harus dalam pengawasan darinya langsung," sambung Nine yang sepertinya mengerti apa yang sedang di pikirkan Aruhi saat ini, dan wajah yang terlihat bersedih itu sudah pasti karena sangat merindukan ayah dan ibu mereka.
"Aku mengerti," angguk Aruhi yang enggan untuk mengeluhkan banyak hal atau mengatakan sesuatu yang akan membuat kakaknya khawatir. Mungkin ia tidak harus mengeluh jika sudah sangat merindukan kedua orang tua mereka yang sudah cukup lama tak mengunjunginya. Namun, bukan Nine jika tidak memahami apa yang ia rasakan saat ini.
"Kau sungguh baik-baik saja?" tanya Nine terlihat khawatir.
"Tentu, ada Kakak dan Night di sini. Aku rasa itu cukup," angguk Aruhi tersenyum lebar saat Nine mengusap pucuk kepalanya lembut, "sepertinya aku harus bergegas. Night akan menjemputku sebentar lagi, Kakak bisa menunggunya."
"Tentu, bergegaslah." Jawaban terakhir Nine sebelum meninggalkan kamar tersebut.
Aruhi bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Gadis itu melepaskan piyamanya, sebelum membiarkan air shower yang dingin mengguyur seluruh tubuhnya bersamaan dengan bayangan sang pria yang bersamanya semalam hadir di ingatan tanpa permisi. Sungguh aneh, sebelumnya ia tidak pernah merasakan hal seperti apa yang ia rasakan saat ini, dan itu cukup mengganggunya.
Entah apa yang salah dengannya, yang ia harapkan hanya ingin melupakan apa yang sudah terjadi. Itu tidaklah penting, dan hal itu bukanlah sesuatu yang harus ia pikirkan setiap saat, itu yang coba Aruhi tekankan dalam dirinya, meski apa yang terjadi padanya semalam adalah hal yang pertama kali baginya. Sebelumnya ia tidak pernah berhubungan dengan pria mana pun selain Night dan Nine, ia bahkan tidak memiliki teman pria di kampusnya. Hingga beberapa menit saat ia merasa jauh lebih baik.
Suara langkah Aruhi terdengar saat menuruni anak tangga dengan Night yang menyambut. Pria itu tersenyum ke arah seorang gadis yang begitu manis dengan busana berwarna coklat muda, kaos putih sebagai pakaian basic, juga check skirt berwarna coklat dan luaran berupa kardigan polos berwarna coklat muda, lengkap dengan mole shoes warna senada.
"Kau sudah siap?" tanya Night setelah puas mengamati gadis yang kini berdiri di hadapannya. Dan tidak pernah ia pungkiri jika sejak dulu Aruhi selalu terlihat manis di matanya.
"Hmm. Kita bisa pergi sekarang, aku rasa kita sudah cukup terlambat, maafkan aku."
"Tak masalah, ini bukanlah akhir pekan. Restauran tak begitu ramai di pagi hari," balas Night tersenyum lembut ketika melihat ekspresi rasa bersalah Aruhi yang entah mengapa terlihat sangat manis di matanya, "aku akan mengantar Aruhi tepat waktu, kau tak perlu khawatir," sambungnya mengalihkan pandangan ke arah Nine, bahkan sebelum pria itu mengatakan sesuatu padanya.
"Tentu, aku percaya padamu. Jaga Aruhi dengan baik," angguk Nine.
"Apa aku tidak pernah melakukannya?"
"Yah, kau selalu melakukan yang terbaik, Night. Hingga aku merasa hanya kau yang bisa mejaganya dengan sangat baik."
"Kakak terlalu berlebihan," sambung Aruhi dengan suara rendah.
"Oh, apa tidak?" tanya Night dengan wajah serius. Aruhi memutar bola mata malas.
"Yah, baiklah. Kau yang terbaik. Bahkan Kakak tak pernah melakukannya sebaik dirimu. Bagaimana, apa itu membuatmu lebih baik sekarang, Tuan muda?"
Night tersenyum puas, begitupun dengan Nine yang hanya bisa tertawa.
"Sampai jumpa malam nanti," sambung Night, merangkul bahu Aruhi dan berjalan keluar.__
__
Mobil terparkir tepat di samping sebuah restaurant besar milik Night, restaurant yang bisa di bilang cukup sederhana. Namun, memiliki banyak peminat juga pengunjung. Karena selain terletak di tengah kota, restaurant tersebut juga sangat nyaman dengan mengusung konsep minimalis, selain itu, restaurant tersebut juga memiliki interior yang di desain unfinished dengan suasana yang home. lengkap dengan tembok yang bercorak pastel.
"Kita cukup terlambat," ucap Aruhi melepaskan seatbelt yang melingkar di tubuhnya dan bersiap untuk turun.
"Tunggu sebentar," serga Night, menghentikan pergerakan Aruhi.
"Ada apa?"
"Kau tidak melupakan sesuatu, 'kan?" tanya Night menatap Aruhi dengan kening mengernyit.
"S-sesuatu?" Aruhi balik menatap Night.
Ia rasa tidak ada yang terlupakan, tapi kenapa wajah Night terlihat sangat serius. Bahkan tubuhnya seketika kaku saat Night mulai mendekatkan wajah ke arahnya hingga hanya menyisahkan jarak beberapa centi saja. Apa maksud tindakan Night sekarang, apa pria itu akan menciumnya? Tiba-tiba? Sejak kapan, apa yang ada di dalam kepala pria itu? Pikirnya.
"A-apa? K-kau, apa yang akan kau lakukan?"
---
"Kau hanya memakai satu anting?" tanya Night dengan posisi yang masih sangat dekat. Namun, hal itu cukup membuat Aruhi lega, sebab sudah salah paham dan apa yang ia pikirkan sepenuhnya salah meski Night masih belum berniat menjauh darinya. Hingga di detik kemudian ketika ia benar-benar sadar dengan apa yang di tanyakan Night barusan."A-anting?""Ya. Anting. Kau pikir apa?" tanya Night mengetuk dahi Aruhi dengan telunjuknya sebelum kembali dengan posisinya semula."Anting?!" Aruhi reflek pegangi kedua telinganya. Dan benar saja, ia tidak mendapatkan satu antingnya di sana. Bahkan mulai panik saat merasa telah menghilangkan benda miliknya yang sangat berharga. "Oh no. Where are my earrings?""Hoh? Kau bertanya padaku? Di mana kau meletakkan antingmu? Aku sempat berpikir jika memakai satu anting adalah salah satu trend gadis jaman sekarang ....""Kau gila?!" pekik Aruhi keras hingga membuat Night cukup terkejut. Namun, hanya diam saja dengan bibir terkatup dan tidak berani menjawab lagi
Namun, sebelum menjawab, Night yang wajahnya sejak tadi terlihat serius seketika berubah. Sejak tadi ia sudah menahan senyum hingga pipinya sakit. Bahkan pria itu langsung tertawa ketika mendapati ekspresi Aruhi saat ini."Ah sialan!" umpat Aruhi kesal karena lagi-lagi di kerjai oleh Night."Kau bersikap seolah tak mengenaliku.""Aku tahu, kau selalu bercanda denganku tentang hal seperti itu, dan itu tidak lucu!" gerutu Aruhi semakin kesal bahkan memasang wajah cemberut hingga membuat Night kembali khawatir, terlebih saat Aruhi menolak saat ia hendak meraih tangan untuk membujuknya."Aku minta maaf.""Aku membencimu.""Aku tahu kau tak serius," ucap Night dengan nada tenang dan penuh percaya diri."Aku sungguh-sungguh," balas Aruhi dengan wajah datar hingga membuat Night tidak bisa menahan senyum. Gadis itu selalu memasang wajah datar ketika sedang kesal, dan bukannya terlihat menakutkan malah sangat lucu dan manis di mata Night."Maka apa yang harus aku lakukan?""Entahlah. Aku tidak
Aruhi cukup di kejutkan oleh suara berat tepat di sampingnya. Suara itu tenang, tidak terdengar keras ataupun membentak, tapi entah mengapa cukup dingin dan bisa membuat bulu kuduk merinding. Dan yang yang lebih mengejutkannya lagi, suara itu tidak terdengar asing di pendengarannya. Hingga tanpa berpikir panjang, Aruhi langsung membalikkan badan ke arah sang pemilik suara."Merengek? Apa maksud .... " Kalimat Aruhi tertahan di tenggorokan, dengan kedua mata yang sedikit melebar karena terkejut saat menatap wajah sang pria datar yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Wajah yang terlihat tidak begitu asing tentu saja. Tapi kali ini wajah itu terlihat jauh lebih tampan dari sebelumnya, di mana pertama kali mereka bertemu."Pria itu lagi?" batin Aruhi dengan kening mengernyit. Bahkan tidak melepaskan pandangannya. Kali ini pria yang tengah berdiri di hadapannya benar-benar menunjukkan visualnya. Ia mengenakan kemeja putih bersih dengan lengan di gulung hingga siku, celana panjang hitam
"Maafkan pimpinan saya, Nona." Gunn kembali membungkuk untuk meminta maaf."A-apa? P-pimpinan? Jadi pria badas itu pimpinan Anda?""Ya. Nona.""Wuah, luar biasa. Ternyata ada juga pimpinan yang memiliki tabiat buruk seperti dia. Dan kenapa Anda begitu betah berada di samping orang sepertinya?"Gunn lengkungkan sudut bibir ke atas, membentuk sebuah senyum. Cukup memahami kekesalan Aruhi. "Maaf Nona, jika kejadian ini membuat Nona merasa tidak nyaman.""Tidak apa-apa," balas Aruhi masih bisa tersenyum hingga membuat Gunn semakin merasa tidak enak. Bahkan ia tidak memiliki kata lagi untuk di ucapkan, sebab sadar jika sikap Muren memang sudah membuat gadis di hadapannya merasa tidak nyaman. Tepatnya kesal, dan mungkin marah."Baiklah. Selamat siang," pamit Gunn sebelum melangkah pergi. Bersamaan dengan seorang karyawan toko yang terlihat berjalan menghampiri Aruhi."Maaf, Nona.""Ya?!""Sepertinya kami tidak menemukan anting yang sama persis seperti milik Anda," ucap karyawan toko kembali
"Aku tak mengenalnya. Aku bahkan tidak tahu namanya," balas Aruhi yang memang tidak mengetahui apa pun tentang Muren."Tapi dia sudah membuatmu kesal?" tanya Night yang hanya di balas anggukan oleh Aruhi. "Sungguh?""Ya.""Apa yang terjadi?""Maksudnya?""Mengapa ia menjadi sangat menyebalkan? Apa kalian pernah terlibat masalah sebelumnya? Atau ada hal lain?" "Aku sendiri bahkan tidak mengerti kenapa aku jadi sangat sensitif, apa karena aku kesal sebab ia tak mengingatku? Lalu kenapa? Aku juga bukan orang penting yang harus ia ingat. Apa diam-diam aku mengharapkan kata terima kasih darinya? Ah, ini gila. Kenapa aku jadi sangat konyol," batin Aruhi."Aruhi, apa benar kalian berdebat?"Aruhi terbangun dari lamunan, balas menatap Night yang sejak tadi menatapnya seolah sangat menantikan jawaban darinya dengan segera. Ia juga tidak menyangka jika reaksi Night akan lebih serius dari apa yang ia pikirkan."Hanya kesalahan pahaman aku rasa, tapi tetap saja dia sangat menyebalkan.""Apa dia
Ellena membuka kancing kemeja Muren satu persatu sebelum menatap pria itu yang juga tengah menatapnya sambil mengusap bibirnya lembut."No. Ellen," tolak Muren memegangi kedua tangan Ellena yang bahkan sudah berhasil membuka seluruh kancing bajunya hingga menampakkan tubuh sempurna penuh otot yang membuat jantung Ellena semakin bergemuruh menahan hasrat."Tapi aku sangat menginginkanmu malam ini, Muren." Ellena sedikit memohon sebelum mengecup dada Muren dan menyesap niplle miliknya, bersamaan dengan suara desahan rendah yang terdengar keluar dari mulut sang pria yang langsung meraih tengkuk leher Ellena dan melumati bibir itu dengan penuh gairah selama beberapa detik."Kita akan melakukannya nanti," bisik Muren merapikan rambut Ellena."But, I really want to make love to you.""Bisakah kau bersabar? Aku berjanji, kita akan melakukannya nanti. Setelah aku sudah melamarmu, Ellena.""Melamarku?" Alis Ellena mengernyit, cukup terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya."Yah, aku akan
"Ya." Muren mengangguk pelan sambil memijat tengkuk lehernya yang sudah menegang sejak tadi."Lalu? Ada apa lagi kali ini? Bukankah seharusnya malam ini kau melamar Ellena? Aku bahkan sudah menyiapkan semuanya, dan cukup terkejut ketika kau membatalkannya begitu saja.""Ellen berangkat ke Swiss." Muren menjawab dengan nada pelan."A-apa?""Ellen berangkat ke Swiss." Muren mengulang kalimatnya sekali lagi meski dengan nada yang masih sama."Lagi?"Tidak menjawab, Muren hanya menganggukkan kepala pelan sebelum kembali meneguk minumannya yang tersisa."Berapa lama?" tanya Gunn."Tiga bulan.""Bukan waktu yang singkat. Dan kau membiarkannya?" tanya Gunn dengan ekspresi yang cukup serius kali ini."Memang apa yang harus aku lakukan? Mencegahnya? Aku bukan suaminya.""Tapi kau ....""Aku masih kekasihnya, Gunn. Aku rasa aku masih tak memiliki hak untuk itu," potong Muren.Gunn mengangguk paham atas jawaban yang keluar dari mulut Muren, meski ia masih tidak mengerti dengan apa yang ada di da
Dengan langkah yang sedikit di percepat, Aruhi berjalan mengintari pelataran kampus yang sudah mulai terlihat sepi. Menyelesaikan tugas di perpustakaan yang menumpuk cukup menyita waktu hingga membuatnya harus menghabiskan waktu selama berjam-jam di dalam perpustakaan dan berakhir pulang larut malam."Good job, Ruhi. Kau bisa ketinggalan Bus lagi malam ini, dan seharusnya kau berlari sekarang, bukannya bersantai. Oh Tuhan, ini melelahkan."Kembali mengeluh meski tak memiliki pilihan lain dan memang ia harus berlari sekarang agar lekas sampai ke halte bus tepat waktu. Meski sepertinya kali ini gadis berkuncir itu kurang beruntung, sebab bus terakhir baru saja berlalu sebelum ia sampai ke Halte, dan itu cukup menjengkelkan."Heeii! Kau tidak bisa melakukan ini padaku. Tuaan ... TUAN ...!"Aruhi berteriak keras, masih berlari mengejar bus yang semakin melaju hingga perlahan menghilang dari pandangannya yang mulai kabur oleh peluh. Hingga akhirnya menyerah dan memutuskan untuk berhenti b