Share

CHAPTER 2_KEGELISAHAN MUREN

"Mungkin dia karyawan klub?" balas Gunn cukup serius. 

"Aku rasa tidak mungkin."

"Kenapa tidak? Sebab jika di pikir lagi, wanita mana yang memiliki tenaga extra sampai bisa mengangkat tubuh berukuran besar sepertimu?"

"Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiranmu sekarang?" tanya Muren. 

"Aku hanya berpikir, bisa jadi yang menolongmu semalam adalah seorang pria, dan anting itu kau dapatkan dari seorang wanita di klub malam, masuk akal, 'kan?"

Muren mengernyitkan kening, jika di pikir lagi itu cukup masuk akal tapi, mengapa ia menolak untuk membenarkannya. Sebab ia cukup yakin jika anting yang ia temui adalah milik dari seseorang yang sudah membawanya ke sini. Terlebih ia juga baru menyadari satu hal, jika saat hendak mandi, ia sempat mencium aroma asing di tubuhnya, parfum beraroma vanila yang jelas bukan miliknya, juga bukan milik seseorang yang ia kenali.

"Ah, ini membuatku semakin pening," keluh Muren beranjak dari duduknya, "bukankah investor dari Seoul itu sudah berada di sini? Segera buat janji, dan pekan ini kita bisa langsung bertemu dengannya," sambungnya melangkahkan kakinya keluar dari kamar hotel tersebut.

"Baiklah, aku akan mengatur pertemuan kalian secepatnya. Dan sebenarnya dia bukanlah seseorang yang berwarganegara Korea. Ia hanya memiliki perusahaan dan tinggal di sana untuk sementara," balas Gunn terus mengikuti langkah lebar Muren sambil menjelaskan sesuatu yang sepertinya tidak di ketahui oleh pria itu.

"Begitukah?"

"Ya. Aku sudah menyimpan semua informasi penting tentangnya."

"Aku rasa itu tak terlalu penting, selama kerjasama kita berjalan dengan lancar," balas Muren yang terlihat tidak begitu peduli. 

Mobil melaju dengan kecepatan sedang, melintasi jalan besar kota Manhattan. Tak ada pembahasan yang penting di sana, bahkan suasana di dalam mobil kembali hening, dan hanya deru mesin mobil yang terdengar halus menyapa pendengaran, juga suara mobil lainnya yang melintasi dan berpapasan dengan mobil mereka. Muren menyenderkan tubuhnya yang masih terlihat lelah sambil memejam meski tidak tidur, dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. Sebab sesekali Gunn mendapatinya tengah menarik napas panjang dan menghela napas berat. 

"Berhenti melamun."

"Aku tidak melamun," jawab Muren pelan dengan kedua mata yang masih terpejam.

"Yah, kau hanya sedang memikirkan sesuatu." Gunn masih fokus dengan kemudinya, sedang Muren tidak membalas apa pun dan hanya mengalihkan pandangan keluar jendela. "Apa hubunganmu dengan Ellena baik-baik saja?"

"Ya. Cukup baik. Aku akan segera melamarnya."

"Kau serius?" tanya Gunn dengan ekspresi yang cukup terkejut. 

"Hmm, aku rasa sudah waktunya menjalin hubungan yang serius, kau tahu jika hubungan kami sudah berjalan cukup lama, aku juga sudah membicarakan masalah ini kepada Ayah Ellena," jawab Muren dengan nada serius.

"Baguslah, setidaknya dengan menikah kau bisa menghilangkan kebiasaanmu yang sering mabuk-mabukan. Sebenarnya ada apa denganmu? Sudah beberapa bulan terakhir ini kau selalu menghabiskan waktumu untuk mabuk."

"Aku hanya ingin melakukannya."

"Hanya itu?" tanya Gunn sekali lagi. 

"Ya. Dan itu cukup menyenangkan, kau tahu."

"Aku mengenalmu, Muren. Aku tahu jika ada sesuatu yang mengganjal di pikiranmu saat ini, meskipun aku tidak tahu itu apa, kau mulai menyembunyikan banyak hal dariku," balas Gunn yang lebih terdengar seperti nada keluhan. 

"Aku hanya belum memastikan satu hal, Gunn."

"Satu hal? Apa ini ada hubungannya dengan Ellena?"

"Ya," jawab Muren tanpa ragu, betu juga dengan ekspresinya yang masih terlihat serius, bahkan sejak awal saat mereka mulai membahas Ellena yang tidak lain adalah kekasih Muren sendiri.

"Apa kau menemukan sesuatu?"

"Entahlah, aku hanya merasa jika akhir-akhir ini Ellena nyaris tak punya waktu untukku."

"Apa hanya itu?"

"Ya. Bukan hal yang serius," angguk Muren seolah tidak begitu peduli. Namun wajahnya tidak menunjukkan hal demikian.

"Tapi kau tampak tertekan. Sepertinya kau sangat terganggu," tebak Gunn.

"Kau benar, aku mencintai Ellena, dan wajar jika aku memikirkannya." Muren kembali memejamkan mata, bersamaan dengan wajah cantik sang kekasih yang kembali memenuhi pikirannya. 

"Baiklah, mungkin Ellena benar-benar sibuk, kau juga demikian, kalian hanya butuh saling pengertian satu sama lain," balas Gunn mencoba untuk menenangkan perasaan Muren. 

"Ya. Maka dari itu, aku akan melamarnya karena tak ingin membiarkannya terus bekerja keras  dan menghabiskan waktu di Butik. Aku hanya ingin dia menghabiskan waktunya untukku."

"Dia hanya perlu menghabiskan uangmu dan melayanimu. Apa itu yang kau inginkan, Tuan muda?" balas Gunn dengan nada candaan. 

"Itu bukan ide yang buruk, lagi pula semua harta yang aku kumpulkan selama ini hanya untuk membahagiakan istri dan anak-anakku kelak." Muren terdengar lebih serius dalam merancang masa depan dan kebahagiaannya. 

"Siapapun wanita itu, pasti sangat beruntung mendapatkanmu." 

"Apa menurutmu demikian, Gunn?"

"Yah, kau bahkan sudah memikirkan kebahagiaan mereka terlebih dulu," balas Gunn sebelum kembali fokus dengan kemudinya. 

Cukup lega saat mendapati senyum tipis di wajah Muren meski hanya sekilas. Dan bisa di tebak jika saat ini pria itu sedang membayangkan kebahagiaan dan hal-hal indah lainnya bersama sang kekasih. Seorang gadis yang sudah di kenalnya selama delapan tahun terakhir ini, dan menjadi kekasihnya selama lima tahun.

"Bisakah aku tidur sebentar? Entah mengapa, aku cukup lelah."

"Tentu, aku akan membangunkanmu, tidurlah."

Sedang di tempat yang terpisah. Tepatnya di sebuah hunian terletak di pinggiran kota yang tidak jauh dari hotel tersebut.

Drrtt .... 

Suara ponsel berdering hingga beberapa saat hingga membangunkan sang pemilik yang lekas meraba benda pipih di atas nakas dengan mata yang masih memejam. 

"Kau masih tidur?" tanya seseorang dari ujung panggilan telpon. 

"Night?"

"Hmm, ini aku."

Kedua mata Aruhi yang tadinya memejam lekas terbuka lebar untuk memeriksa jam duduk di atas nakas. Ia rasa sudah sedikit kesiangan hari ini, jadi wajar saja jika Night sampai menelponnya. Meski demikian, ia masih enggan untuk beranjak dan meninggalkan selimut tebalnya yang nyaman.

"Maaf. Semalam aku tidur cukup larut," balas Aruhi dalam suara mengantuk, suaranya teredam hingga nyaris tidak terdengar.

"Apa yang sudah kau lakukan semalam? Mengapa sampai kesiangan?" tanya Night dengan nada penuh kekhawatiran, terlebih saat mendengar ada yang berbeda dari nada suara Aruhi.

"Aku ... hanya insomnia."

"Tiba-tiba?" tanya Night terdengar khawatir. 

"Entahlah, aku sudah mengalaminya selama beberapa hari ini."

"Kau baik-baik saja dengan itu?" Night kembali bertanya untuk meyakinkan.

"Ya, aku rasa."

"Kita bisa ke dokter jika kau mau," balas Night mencoba memberikan ide. 

"Tidak, aku rasa kau terlalu berlebihan."

"Aku mengkhawatirkanmu, Aruhi."

Aruhi memejam dengan satu tarikan napas panjang sebelum melepaskannya perlahan, entah mengapa ia selalu merasa jauh lebih baik jika mendengar kata itu keluar dari mulut Night. Namun, di sisi lain ada kekhawatiran tersendiri yang cukup mengganggunya saat ini. Apa karena ia sudah berbohong kepada pria itu? Pikirnya. 

"Aku baik-baik saja, sungguh," balas Aruhi kembali meyakinkan. 

"Kau yakin? Kau tahu jika aku selalu mengkhawatirkanmu."

"Aku tahu, dan kau tak perlu ...."

"Terus mengkhawatirkanmu karena kau sudah dewasa?" potong Night sebelum Aruhi melanjutkan kalimatnya, ia bahkan sudah sangat hapal dengan kalimat yang akan Aruhi ucapkan jika ia mulai mengungkapkan kekhawatirannya pada gadis itu, "aku tahu, tapi aku tidak bisa melakukannya, sesering apa pun kau memintanya."

Aruhi terdiam untuk beberapa saat.

"Bangun dan bersiaplah. Aku akan menjemputmu."

"Hmm." Aruhi mengangguk pelan. 

"Dan jangan tidur lagi."

Panggilan telpon terputus bahkan sebelum gadis itu menjawabnya. 

"Kenapa aku lupa jika harus menjadi pelayanan di kafe Night. Ahk, ini menyakitkan. Tubuhku terasa remuk. Apa aku akan baik-baik saja? Aku hanya ingin beristirahat sebentar."

Aruhi beranjak dari pembaringannya dengan susah payah. Ia sungguh lupa jika hari ini sudah membuat janji akan membantu seseorang di sebuah restorant untuk mengisi waktu luang saat liburan musim dinginnya, sedang ia sendiri merasa jika kondisinya sedang tidak baik-baik saja sekarang dan membutuhkan waktu seharian untuk tetap di atas tempat tidurnya. Setidaknya sampai ia membaik. 

Ia mengalihkan pandangan keluar jendela dengan kedua mata yang sedikit menyipit saat retinanya masih belum sepenuhnya menerima silaunya matahari pagi, mengusap lengan yang sepertinya sulit untuk di gerakan, bahkan tidak hanya kedua lengannya saja, ia juga merasakan sakit di area punggung dan kedua kaki. Dan itu benar-benar menyiksa dan membuatnya kelelahan. Terlebih dengan aroma asing yang masih menempel di tubuhnya, aroma halus dari sisilia clementine dan marjoram yang segar dan hangat.

"Padahal aku sudah menghilangkannya, kenapa masih saja tercium dengan sangat jelas, apa aku memeluknya terlalu erat semalam? Ahh, menyebalkan. Kenapa kau menjadi sangat bodoh Aruhi, apa kau tak waras? Kau bahkan tak mengenalnya, tapi apa yang kau lakukan?"

Lagi-lagi Aruhi hanya bisa mengeluh sambil menikmati sebagian tubuhnya yang mati rasa. Sebelum suara langkah kaki yang terdengar tidak asing mengalihkan pandangannya menuju ke arah pintu kamarnya. 

"Selamat pagi. Apa tidurmu nyenyak?" 

---

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status