Bab 3.

"Kenapa sih kamu gak minta jemput sama Arkan aja, May?"  tanya Jenny sebal. Wajarlah dia sebal, biasanya jam segini masih molor dan menimbun ileran dibantal, sekarang malah minta tolong menjemput aku diterminal. Bagi seorang Jenny haram jika hari minggu bangun tidur pagi-pagi buta, apalagi menjemput aku yang tidak ada manfaat baginya. Ya lah tidak ada manfaat karena yang dijemput bukan cowok tampan.

 

"Mas Arkan lagi sibuk!" jawabku kesal.

 

"Dan kamu percaya saja?" tanyanya mengintimidasi membuat diri ini semakin ragu terhadap lelaki yang menjadi kekasihku selama lima tahun belakangan ini.

 

"Ya percayalah, masak aku gak percaya sama mas Arkan sih. Kami sudah jalan lima tahun loh. Bukan baru satu dua hari," jawabku.

 

"Justru sudah lima tahun pacaran yang patut dicurigai. Kamu tidak takut dia sudah bosan sama kamu? Coba kamu pikir-pikir dulu, May. Biasanya dia tidak pernah seperti ini, kan? Masak kamu tidak menyadari kalau Arkan sudah bosan sama kamu?" tanya Jenny seraya memelankan laju motornya.

 

"Jangan nakut-nakutin, deh. Bilang aja kamu iri sama aku, kan? Kamu iri karena mas Arkan masih saja setia walaupun kami sudah lima tahun berpacaran," ujarku memberi alasan. Sebenarnya disudut hatiku yang paling dalam sudah mulai meragukan kesetiaan mas Arkan. Bagaimana tidak. Setiap aku menghubungi nomornya tidak pernah aktif. Kalaupun aktif jarang dia mengangkatnya. Alasan sibuk. Klise banget kan?

 

"Iri? Apa yang membuat aku iri sama kamu? Prestasimu? Kecantikan kamu? Semua aku punya!" Pertanyaan sombong dari Jenny membuat aku tidak percaya diri dengan kehidupan ini. Semenjak di PHK aku menjadi gampang tersinggung apalagi sekarang ini mas Arkan sudah mulai berubah. Ikut-ikutan menjauh dari kehidupanku. Apa dia sudah memiliki penggantiku atau memang sedang ada kesibukan saat ini. Sesibuk apa sih sampai menelpon saja tidak sempat?

 

"Pacaran lima tahun dan dia tidak ada keinginan buat melamar kamu? Buat apa dipertahankan!" ucapan Jenny ikut menambah galau suasana hatiku.

 

"Mas Arkan belum siap menikah,"

 

"Kalau kamu percaya berarti kamu itu memang betul-betul bodoh!"

 

"Udah Jenong. Jangan urusin hidup aku!" sentakku kesal.

 

"Memang sepupu gak ada akhlak kamu ya! Tidak tau berterima kasih! Kutinggal disini baru tahu rasa!" ancam Jenny kesal. Dia paling benci jika aku memanggil namanya dengan sebutan jenong. Habis jidatnya lebar banget sih. Tapi dimataku Jenny sosok wanita baik hati dan sangat cantik. Walaupun jidatnya agak sedikit jenong tidak mengurangi kecantikannya sedikitpun.

 

"Sorry, deh!" ucapku meminta maaf. Aku sama Jenny bagaikan kakak adik. Keakraban kami terjalin begitu dekat. Apalagi wanita berkulit putih susu itu semenjak kecil sudah ikut tinggal bersama kedua orang tuaku. Sementara, kedua orang tuanya bercerai disaat Jenny masih duduk dibangku kelas 6 Sekolah Dasar.

 

"Kenapa kau pulang kampung sekarang, Merot?" tanya Jenny disela perjalanan pulang. Sekarang giliran dia yang mengejek aku.

 

"Merot ... Merot. Kau pikir aku ini mak Erot!" Kutepuk kuat pundak Jenny sehingga motor yang aku tumpangi oleng. Masih untung tidak jatuh. Kalau jatuh kasian sekali wajah cantikku lecet akibat mencium aspal.

 

"Hati-hati, Rot. Jatuh nanti kau duluan yang kutendang, ya?" 

 

"Iya sory ... sory." ujarku seraya memeluk erat sepupu cantikku bagaikan anak koala yang sedang nemplok pada induknya.

 

"Geser," teriak Jenny terdengar sampai kepenjuru. Jalanan masih sepi sehingga suara teriakan kami menggema dimana-mana.

 

"Dingin," rajukku manja.

 

"Ish ... apaan sih main peluk-pelukan segala. Kamu jatuh cinta sama aku ya," ujar Jenny. Percaya dirinya tingkat tinggi juga anak itu. Diusia yang sudah menginjak dua puluh lima tahun belum pernah aku melihat dia memiliki pacar. 

 

"Idih ... ogah ah. Jeruk makan jeruk!"

 

"Makanya geser sana!"

 Dia menggoyang tubuhnya sehingga membuat aku melepaskan pelukannya.

 

"Dingin," ujarku manja dan semakin mempererat pelukan membuat Jenny tidak bisa mengenderai motornya.

 

"Apa kamu mau tidur di aspal? Kalau mau tidur diaspal, silahkan. Tapi kamu saja, jangan ngajak-ngajak!" Ancam wanita bermata sipit itu. Dia semakin kesal serta memelankan laju motornya.

 

"Kamu kok marah-marah aja sih, Jen," Heran melihat kelakuan sepupuku satu ini dari tadi merepet saja tidak tahu apa pemyebabnya.

 

"Habisnya kamu keganjenan banget. Sesama wanita aja main peluk-pelukan. Aku masih normal. Bukan seperti kamu, jeruk makan jeruk!" jawab Jenny membuat aku tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya.

 

"Hei, kaleng kerupuk. Semenjak kapan aku menjadi penyuka sesama jenis. Jangan asal nuduh. Gini-gini aku masih normal, tau! Jangan suka memfitnah deh!" Aku menertawakan atas tuduhan Jenni yang mengatakan aku penyuka sesama jenis. Dia aja kali yang suka sesama, buktinya sudah tua belum pernah ada lelaki yang dekat dengannya.

 

"Buktinya kamu peluk-peluk aku. Kalau bukan karena menyukai aku, apalagi?"

 

"Aku gak pernah menyukai kamu. Jangan kegeeran deh!" Kutoyor jidat jenongnya membuat  dia merepet tiada henti. Entah apa yang dia katakan tidak bisa kudengar karena suara angin yang begitu kencang.

 

Matahari sudah mulai keluar dari peraduannya. Kulirik jam dipergelangan tanganku sudah menunjukkan diangka tujuh pagi.

 

"Nong, singgah diwarung itu. Sarapan sebentar ya. Aku sudah lapar banget dari kemaren belum makan," pintaku pada Jenny untuk berhenti diwarung penjual sarapan pagi. Dari kemarin sore perut ini belum terisi dengan makanan apapun. Biasalah, jika berpergian dengan bus perut ini menolak untuk diisi. Daripada aku mual dan muntah-muntah saja, bagus tidak usah makan saja.

 

"Bu, nasi dua?" Pesan Jenny seraya mendudukkan dirinya dibangku yang sudah disediakan oleh pemilik warung makan.

 

"Makan disini apa bungkus, Neng?" tanya wanita bertubuh gempal itu sementara tangannya begitu gesit membungkus nasi untuk pelanggannya.

 

"Makan disini, Bu," jawabku.

 

"Sebentar ya?" Kami berdua hanya mengangguk saja menjawab pertanyaan wanita berjilbab merah maroon itu.

 

Tidak berapa lama kemudian dua piring nasi berserta lauknya sudah disajikan dimeja makan kami dan dua gelas air mineral.

 

"Bu, teh hangatnya dua ya?" Rasanya belum lengkap pagiku jika belum minum segelas teh hangat apalagi baru saja dalam perjalanan jauh. Menurutku teh hangat itu bisa meredakan perut mual-mual dan juga menambah tenagaku selama dalam perjalanan.

 

"Iya, Neng. Pak teh hangat dua!" titah wanita bertubuh gempal itu pada suaminya yang sedang melayani para pembeli. Warung berukuran kecil begini saja sangat ramai pembeli. Mungkin karena rasanya yang enak jadi menarik pembeli untuk kembali menyicipi menu sarapan pagi disini.

 

"Bu, nasi dua ya. Makan disini!" Terdengar suara tidak asing ditelinga ini. Langkah kaki terdengar mendekati tempat dimana aku dan Jenny duduk saat ini.

 

Sret.

Suara kursi terdengar diseret.

 

"Ya Allah, May. Ganteng sekali ciptaan Allah." Jenny tiada henti-hentinya memuji lelaki disebelahku. Aku tidak berani memalingkan wajah ini karena dia lelaki yang bernama Sidik dan sekarang kami bertemu lagi disini. Rasanya kemana-mana pergi selalu berjumpa dengan dia. Kayak jailangkung saja makhluk satu itu. Ganteng sih ganteng tapi aku tidak suka karena sangat cerewet. Ditambah lagi dia itu lelaki ganjen. Iyalah ganjen. Tidak kenal tau-tau sudah tidur dibahuku. Memangnya dia itu siapa? Pacar bukan tunangan apalagi.

 

"Kau ambil aja." ujarku ketus.

 

"Abu Zubaidah!" ujar Jenny dengan mata kriyep-kriyep kayak anak cacingan saja.

 

"Abu Zubaidah moyongmu. Malu-maluin aja! Ubaidah. Woi. Ubaidah!" protesku dan ternyata didengar oleh Sidik.

 

"Markonah? Belum pulang?"

 

Benar-benar membuat aku malu disaat lelaki berhidung mancung itu menyebut namaku Markonah. Sementara Jenny tertawa terpingkal-pingkal disaat mendengar Sidik menyebut namaku.