"Lebay! Tentara cengeng!" ejekku seraya memoyongkan bibir kearahnya. Segera aku mengambil helm yang diberikan mas Sidik. Tidak mau berlama-lama, nanti dikira aku minta dia yang pakein. Tau sendiri kan, bagaimana gede rasanya lelaki yang bakal jadi imamku itu."Tapi ganteng kan?" tanya Siddik penuh rasa percaya diri.Nah kan. Betul aku bilang, nih laki kepedean tingkat dewa."Kalau aku bilang kamu ganteng itu namanya fitnah, sersan Sidik! Dan kamu tau kan, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Termasuk dosa besar! Dan aku tidak mau masuk neraka hanya karena mengatakan kamu ganteng! Ibuku selalu bilang, jaga lidah dan ucapan!" selorohku dengan menatap mas Sidik tanpa dosa. Bukan tanpa dosa tepatnya. Tetapi wajah yang penuh gelimangan keringat eh."Baru kamu aja loh cewek yang mengatakan aku tidak ganteng! Makanya aku suka sama kamu! Kamu tidak silau pangkat dan jabatan apalagi silau dengan wajah tampan seperti aku!" Lagi-lagi mas Sidik memuji dirinya sendiri.Aku akui sih dia itu lela
"Mas, lamaran ini dibatalin aja," ujarku pada mas Siddiq sehari setelah keluarganya datang ke rumah untuk melamar."Kenapa dibatalin?" Mas Siddik menoleh menatapku. Rasanya jantung ini seakan berhenti berdetak melihat tatapannya menusuk kedalam relung hati."Batalin ajalah. Saya gak mau menikah dengan Mas." Aku tidak tahu alasan apalagi yang akan aku utarakan pada lelaki bermata coklat itu."Kenapa tiba-tiba berubah pikiran sih? Apa kamu sudah balikan sama Arkan?" Lagi-lagi dia membawa nama mantan pacarku. Arkan? Lelaki macam apa yang mau merusak masa depan pacarnya dan beruntung aku tidak sempat dihancuri olehnya."Mas jangan bawa-bawa nama dia. Lelaki itu sudah menikah. Saya gak akan mungkin mau menjalin hubungan dengan suami orang! Jelek-jelek begini saya masih punya harga diri," jelasku panjang lebar. "Jadi?" "Saya wanita tidak pantas untuk Mas. Cari saja wanita lain yang lebih pantas." jawabku berbohong. Jelas aku sakit hati saat dia mengatakan aku janjian menginap dihotel den
"Cuma sentuh hidung aja udah dibilang genit," keluh mas Siddik seraya menarik kembali tangannya."Gak boleh juga. Belum halal!" ujarku dengan mata mendelik."Iya ya. Jangan judes begitu kenapa sih! Baru dipegang aja galak amat!" ujar mas Siddik seraya menyeruput es kelapanya dengan pandangan tetap menatapku, membuat aku salah tingkah."Bukan judes! Emang seharusnya begitu kan? Biasanya anak muda sekarang masih pacaran mesranya melebihi pasangan suami istri. Panggilan ayang ... bebeb. Tapi kalau sudah menikah apalagi sudah punya anak, istri salah sedikit saja sudah dimaki-maki, segala isi kebun binatang disebutnya!" protesku.Aku tidak mau mempunyai pasangan model begitu. Pasti menderita seumur hidup. Membina rumah tangga seharusnya tenang dan bahagia walaupun hanya makan nasi dengan garam."Mas berharap rumah tangga kita kelak jangan sampai seperti itu. Mas gak janji tapi akan Mas buktikan," janji mas Siddik.Kadang aku berfikir, lelaki seganteng mas Siddik kenap mau menikahi wanita s
Kami sampai dirumah bercat hijau yang terlihat sederhana. Halaman tidak terlalu luas tetapi sangat asri dipandang mata. Tidak ada sedikitpun tanah yang kosong, semua diisi dengan tanaman sayuran hijau dan aneka bunga yang berwarna warni.'Rajin juga mas Sidik menanam sayuran dan juga bunga.' batinku."Ayo masuk," ujar mas Siddik sesaat setelah membuka pintu.Rumah sederhana itu nampaknya nyaman. Walau terkesan tidak mewah tetapi nampaknya aku betah tinggal disini. Semoga tetangga juga bisa menerimaku. Diatas pintu tertulis nama Serka Siddik Pamungkas, sepertinya setiap rumah diberikan nama sesuai dengan nama pemiliknya."Ayo masuk, kok bengong sih," "Iya." Aku ikut menggeret koper berisi baju dan tas berisi bekal makanan untuk beberapa hari kedepan yang diberikan ibu. Kata ibu beliau takut aku kerepotan memasak karena baru saja sampai. Lagipula tempat baru, masih bingung mau belanja dimana dan apa yang mau dimasak.Ibu sungguh pengertian sehingga untuk beberapa hari ke depan anaknya
"May, Bangun, Sayang! Ayo kita solat dulu!" Mas Siddik menepuk pelan tubuh ini."Bentar," pintaku seraya menggeliat kecil. Mengganggu saja mas Siddik. Kayaknya dia tidak bisa melihat aku bahagia."Mayra, bangun sayang. Sudah jam lima, kamu gak solat subuh?" ucap mas Siddik sekali lagi."Bentar lagi, Mas. Adek masih ngantuk!" jawabku seraya mempererat memeluk bantal guling. "Solat dulu. Habis itu tidur lagi gak akan Mas ganggu! Kalau gak bangun, Mas telpon ibu, nih!" Mas Siddik mengancamku kayak anak kecil saja diri ini."Gak dengar ya? Mas telpon ibu ya." Ancamnya lagi. Menyebalkan sekali si abu gosok ini loh. "Mas, kata ustad, kalo terbangun jam delapan masih boleh solat subuh. Jadi biarkan saja Adek bangun jam delapan jangan dibangunkan,""Itu bangun kesiangan, bukan sengaja bangun siang, gak bisa disamakan," ujar mas Siddik dengan menjawil hidungku."Udahlah Mas berangkat dulu. Nanti terlambat pula solat berjamaah!"Sejenak aman sedikit dunia, tidak kudengar lagi suara mas Siddik
"Hukum aja. Adek gak takut!" Tantangku lagi. Aku sudah pasrah dengan nasib badan ini. Punya suami kejam, sedikit saja salah main hukum. Memangnya aku ini istri yang lahir di zaman kolonial, wanita selalu dibawah dan tidak dihargai."Malah milih dihukum daripada makan sayur. Agak lain memang!" Dagunya masih bertengger dibahu ini membuat aku risih. Tubuhku masih duduk diatas pangkuan mas abu Ubaidah, sementara tangannya masih memeluk erat pinggang ini."Adek gak suka makan sayur. Kenapa main paksa sih!" Aku berusaha bangkit dari pangkuannya tetapi tenagaku tidak kuat untuk melawannya."Dikasih enak gak mau!""Enak apa! Adek bukan kambing, Mas," "Aaaak." Mas Siddik terus saja menyodorkan sendok ke mulutku. Namun, kutolak kasar sehingga sendoknya jatuh membuat wajah mas Siddik berubah merah, mungkin menahan marah. Entahlah. Aku semakin takut melihatnya."Kamu memang harus dihukum nampaknya!"Tanpa menunggu protesku mas Siddik langsung melum*t bibir ini. Mendapat serangan mendadak dari l
"Assalamualaikum, Mas pulang." Terdengar suara mas Siddik sangat ceria baru pulang latihan nembak. Masih teringat dakam kngatanku, begitu manisnya dia mencium bibir ini. Kalau tidak karena ada wanita lain dihatinya, pasti aku akan berlari menghambur kedalam pelukannya."Mayra sayang? Where are you?" Lagi-lagi mas Siddik berbicara sendiri. Aku malas menjawabnya, hatiku masih sakit mendengar penuturan bu Saidi yang mengatakan bahwa mas Siddik ingin memperkosa adiknya. Wanita mana tidak sakit hati jika mengetahui suaminya mencintai wanita lain dan dia hanya dijadikan sebagai pelarian semata?"Mayra? Kamu disini? Kenapa tidak menjawab saat Mas panggil tadi?" Mas Siddik menghampiriku yang sedang memasukkan bajuku ke dalam koper. Hari ini aku akan pulang ke rumah orang tuaku."May, kamu menangis? Kenapa? Apa Mas telah menyakitimu, Sayang?" Mas Siddik berjongkok dihadapanku. Kedua tangannya membingkai wajah ini. Aku tidak sanggup menerima perlakuan seperti ini. Aku tidak sanggup melihat Mas
"Istri saya sudah saya jamah atau belum itu bukan urusan Ibu! Jadi saya harap jangan terlalu ikut campur dengan rumah tangga saya! Urus saja rumah tangga Ibu sendiri!""Maaf Om," wajah bu Saidi berubah tegang saat berhadapan dengan suamiku. Entah sejak kapan mas Siddik berdiri dibelakangku. Apa dia ikut senam juga? Kebetulan barisanku paling belakang.Selang beberapa langkah disambung barisan bapak-bapak. Setiap jumat bapak-bapak dan ibu-ibu kompi melaksanakan senam bersama."Saya harap, Ibu jangan menyebar fitnah. Saya tidak berminat terhadap adik Anda. Dikasih gratis saja saya tidak mau!""Mas ...." ujarku berbisik."Saya bukan kurang ajar, gara-gara omongan Anda kami hampir berpisah. Istri saya termakan hasutan Ibu!" Mas Siddik meradang. Mungkin dia juga sudah lelah difitnah oleh bu Saidi."Ibu harusnya sadar. Adik ibu itu yang sudah berselingkuh dibelakang saya! Dan ibu juga harus tau, saya tidak pernah memaafkan perselingkuhan. Jadi saya mohon ibu jangan berharap saya masih mengi
"Maafkan Mayra tidak bisa melayani Mas seperti seorang istri pada umumnya!" ujarku tergugu tatkala melihat mas Sidik mencuci baju sendiri.Biasanya selain ada ibuku dan ibu mertua, dirumah kami juga juga membayar tukang cuci.. Tapi hari ini izin libur karena ada urusan keluarga yang tidak bisa ditinggal. Sementara ibuku dan ibu mertua sudah pulang."Gak apa-apa, Sayang!" Mas Sidik masuk ke kamar dan merebahkan diri disisiku dan meraih tangan ini kemudian diletakkan dipipinya."Kasian Mas. Gara-gara Mayra jadi begini!" Aku berbalik arah tidur menatap kearah suamiku."Menurut Mas, tidak ada yang perlu dikasihani, sudah biasa dalam berumah tangga kita saling membantu, May. Kalau Mas sakit siapa yang bantu? Pasti istri kan?" tanyanya dengan suara lemah lembut seraya mengelus pucuk kepalaku. Mas Satria meraih pundak ini dan meletakkan didadanya."Sayang, Mas tidak pernah merasa Kamu repotkan. Jadi jangan pernah merasa bersalah, ya?" Mas Satria mengecup pucuk kepalaku, lama. Tuhan ... terim
"Mas, Mayra pendarahan!" aduku pada mas Siddik yang sedang berbaring ditempat tidur. Tadi aku juga ikut berbaring disebelahnya, tapi aku bangun hendak ke kamar mandi. Tiba-tiba dikejutkan tatkala melihat darah banyak bercecetan di lantai."Apa?" Mas Siddik tersentak dan langsung bangun dari pembaringannya. "May, jangan banyak gerak dulu!" ujar mas Siddiq panik seraya membawa tubuh ini ke ranjang untuk tidur. Walaupun aku berjalan pelan tapi darah masih menetes juga."Tidur aja ya? Begini saja, nyamankan?" Aku hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Mas Siddik. Lelakiku mengambil bantal dan menyangga kaki ini. Mungkin untuk menghentikan pendarahan.Pandangan mata sudah mulai kabur, aku sudah mulai hoyong. Tatapanku juga berkunang-kunang dan mutar. Tuhan ... selamatkan aku dan bayiku."Mas kerumah dan-ki dulu!" pamitnya seraya berlari keluar rumah. "Bu, tolong lihat istri saya sebentar. Istri Saya pendarahan!" teriak mas Siddik terdengar sampai ke telingaku."Iya, ya, Om. Saya
"Dek, sini!" Mas Siddik menepuk sofa disebelahnya untuk aku duduki.Aku melangkahkan kaki menuju sofa dimana mas Siddik duduk saat ini. Kulihat suamiku tidak seperti biasanya. Entah apa gerangan yang membuat suamiku bersedih hati."Mas kenapa agak lain hari ini? Mas sedang ada masalah?" tanyaku ragu-ragu. Biasanya kalau pulang dinas mas Siddik selalu tersenyum bahkan sering bercanda. Ada saja bahan yang sehingga membuat aku tertawa. Dia juga suka sekali meledek perutku yang semakin membuncit ini. Katanya kayak badut. "Nampaknya Mas sedang bersedih?" Aku kembali bertanya."Hmmm ... Adek ingat Nasir?" Mas Siddik mengusap sudut matanya. Aku tahu dia hendak menangis tetapi mungkin dia malu jika dihadapanku."Nasir yang mana? Yang membantu Mas keluar dari markas kelompok bersenjata itu, ya?" tanyaku dan mas Siddik mengangguk lemah."Kenapa dengan om Nasir, Mas?" Aku membaca ada sesuatu yang tidak mengenakkan telah terjadi pada pria berdarah Aceh tersebut."Tadi malam dia ditembak oleh ora
"Loh siapa ini ndusel-ndusel kayak anak kucing?" kelakarku saat melihat Mayra bangun tidur langsung memeluk tubuh ini. Dia kelihatan sangat manja. Semakin hari tingkah Mayra semakin membingungkan. Tadi malam katanya aku ini bau sehingga membuat dia muntah-muntah. Sekarang malah kayak anak kangguru menempel sama induknya. Tidak bisa dilepas. Entah apa maunya."Mas wangi banget. Adek jadi kepingin ciumin terus!" ujarnya seraya mengendus-endus leher dan ketiakku. Betul-betul membuat aku tidak mengerti tingkah ibu hamil yang satu ini."Wangi dari mana? Mandi aja belum apalagi sikat gigi. Nafas Mas masih bau naga!" ujarku hendak beranjak dari tidur tetapi ditahan oleh Mayra."Jangan pergi. Adek masih kangen, candu mencium aroma tubuh Mas. Peluk!" ujarnya dengan nada manja. Aku yang masih kaget melihatnya terpaksa juga memeluknya."Gak mual dekat-dekat dengan Mas? Katanya Mas bau?" tanyaku keheranan."Gak bau kok. Tadi malam bau banget, sekarang malah wangi!" ujarnya dan Mayra masih ndusel-
"Mas Siddik!" Aku berteriak histeris tatkala melihat pria yang selama ini aku nanti-nantikan sudah berada dihadapanku."Mayra, Mas pulang, Sayang!" ujar mas Siddik dengan suara gemetar.Kenapa mataku melihat sosok mas Siddik sedang mendekati diri ini? Apakah itu betukan suamiku atau hanya ilusiku saja?Nampaknya aku sangat merindukan pria itu sehingga bayangan dia terus saja menghantui pikiranku."Mas?"Aku merasa semua ini hanya mimpi atau hanya halusinasiku saja? Tidak mungkin mas Siddik yang telah gugur hidup kembali. Disini saja, kami sedang mengirim doa untuknya, masak tiba-tiba dia hadir diacara tahlilan dia sendiri? Sangat tidak lucu."Hai, aku suami kamu!" Pria itu mengibaskan tangannya didepan kedua mataku."Kamu suamiku? Mas, Adek tidak sedang bermimpi, kan?" Aku mendekatinya. Pria itu memakai baju compang camping bagaikan seorang pengemis."Kamu sedang tidak bermimpi, Sayang! Nih pegang!" Mas Siddik meraih tanganmu untuk menyentuh pipinya. Aku masih ragu juga, bisa jadi ka
"Banyak-banyak berdoa, May. Siapa tau mas Siddik masih hidup tapi tidak tau jalan pulang. Bisa jadi dia tersesat dalam hutan, kan?" Jenny berusaha menghiburku selama ini tidak ada satupun di rumah ini ataupun semua pihak yang mengerti isi hatiku kecuali Kak Jeni."Aku juga berpikir begitu kak bisa jadi 'kan, mas Siddik di itu masih hidup dan dia tidak tahu jalan pulang!"Perasaanku sebagai istrinya, mengatakan jika imamku itu masih hidup."Kita berdoa saja May. Nanti malam kita baca Yasin bersama, memohon kepada Allah semoga suami kamu ditemukan dalam keadaan hidup atau mati." Kak Jenny tidak bosan-bosannya memberikan aku semangat. Sehingga dengan kehadirannya sedikit membuatku terhibur. Walau kadang disaat sedang sendirian aku kembali menangis mengingat suamiku yang baru beberapa bulan kami hidup bersama dan sudah direnggut kebahagiaan oleh takdir.***Sementara itu, sersan Siddik dan praka Nasir akhirnya sampai juga di tepi jalan. Mereka mengendap-ngendap karena banyaknya lalu lala
Hari ini malam kedua acara kirim doa dirumahku. Para ibu-ibu udah mulai berdatangan untuk membantu memasak segala keperluan nanti malam."Kasian om Siddik ya. Padahal dia prajurit berprestasi. Tidak akan mungkin kalah jika melawan pemberontak." bisik bu Saidi pelan tapi masih bisa aku dengar."Mungkin istri dan anaknya ini bikin hidup dia sial terus ya! Gak bisa dipake!" Anita melirik sinis kearahku. Jika bukan sedang dalam situasi berkabung aku sudah merobek mulutnya hingga hancur lebur. Bila perlu mulut dia kupindahkan sekalian kebawah, disekitar bokong aja. Lebih terhormat anus dibandingkan mulutnya. Wanita berhati iblis memang begitu ya, tidak memiliki hati nurani sedikitpun."Iya. Dia wanita pembawa sial!" ujar bu Saidi seakan mengaskan perkataan adiknya."Hust ... bu Saidi gak boleh ngomong begitu! Mereka sedang dalam keadaan berkabung, jangan ditambah lagi dengan kata-kata yang membuat bu Siddik semakin terpuruk!" tegur bu Danu yang berdiri disebelah bu Saidi. Mereka berdua mem
"May, makan dulu. Dari kemarin kamu belum makan, loh!" Ibu menawari makan siang karena sejak kemarin pagi perut ini belum terisi satu sendok pun makanan.Padahal ibu tadi membeli nasi padang kesukaanku tapi diri ini belum berselera untuk menyentuhnya. Saat ini, yang aku inginkan hanyalah kehadiran mas Siddik. Hanya dia yang bisa membuat aku bahagia. Hanya dia yang bisa membuat aku berselera makan."Mayra tunggu mas Siddik pulang aja, Bu!" Aku yakin suamiku akan pulang dalam waktu dekat ini. Aku yakin pria itu tidak akan meninggalkan aku sendiri di dunia ini. Apalagi sebentar lagi akan hadir buah cinta kami berdua meramaikan rumah mungil kami."Gak boleh gitu, May. Kamu harus makan walaupun sedikit. Kasian bayi dalam kandunganmu!" nasehat ibuku. Beliau datang kemari setelah mendapat berita hilangnya mas Siddik dari ibu mertua. Mereka semua begitu percaya jika mas Siddik sudah tidak ada. Tapi aku tidak semudah itu mempercayainya. Sebelum jenazah mas Siddik ditemukan aku tetap mengangg
Pov authorEmpat hari kemudian situasi keamanan sudah kondusif. Beberapa wilayah sudah tidak masuk dalam status siaga lagi. Atasan mereka memerintahkan untuk mencari keberadaan Siddik.Tim regu yang pernah menjadikan Siddik sebagai komandan regunya menawarkan diri untuk mencari keberadaan pria yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah itu.Mereka harus tetap waspada karena para musuh tidak akan mundur sebelum diberikan kemerdekaan untuk enuh oleh pemerintah."Aku kok gak yakin sersan Siddik masih ada!" tanya salah satu rekan pada kopda Romi."Kenapa kamu bicara seperti itu? Kita harus optimis!" jawab sersan Ridwan dsn menjatuhkan bobot tubuhnya diatas tanah.Mereka sudah mencari keberadaan sersan Siddik kesana kemati tetapi mereke tidak menemukan juga."Hei, bukankan ini punya Danru?" prada Sucipto mendapatkan kalung milik sersan Siddik tergeletak diatas tanah. Kopral Romi kaget dan langsung menghampiri prada Sucipto yang memegang dogtag atas nama serka Siddik."Iya. Ini punya Danr