"Apa, Bu? Lamaran? Siapa yang mau dilamar? Kak Jenny?" tanyaku seraya bangkit dari tidur.
Nyawaku belum terkumpul sempurna, sudah dikagetkan dengan berita yang membuat jantungku melompat bagaikan mendengarkan dangdut koplo. "Kamulah, mau siapa lagi? Mana mungkin Jenny! Kamu tau sendiri kan, calon dia sedang melanjutkan sekolahnya." jawab ibu sewot. Eh tunggu tunggu. Kenapa kak Jenny tidak pernah bercerita tentang calon suaminya yang sedang melaksanakan pendidikan? Kenapa ibu malah yang lebih tahu dibandingkan aku? Kesannya kak Jenny menutupi siapa calonnya dari aku. Apa jangan-jangan kak Jenny telah berselingkuh dengan mas Arkan? Tidak bisa dibiarin kalau begini. "Siapa calon kak Jenny, Bu? Mayra kok gak pernah tau? Seakan-akan dia menutupi dari Mayra?" tanyaku penuh selidik. Siapa yang tidak curiga melihat gelagat mereka seakan ada yang disembunyikan. "Adalah. Mau tau aja," jawaban ibu membuat aku semakin curiga. "Atau jangan-jangan mas Arkan?" tanyaku blak-blakan. Untuk apa ditutupi-tutupi lagi, nanti aku juga akan tahu juga. "Arkan? Kok Arkan sih May? Lelaki pengecut itu gak bisa dipake. Sekarang saja tidak tau entah dimana rimbanya!" Ibu tertawa sinis saat aku menyebut nama lelaki yang telah merajai hati ini lima tahun belakangan. "Jadi siapa? Kenapa ada yang dirahasiakan seolah-olah Mayra bukan anggota keluarga ini!" protesku tidak terima. "Gak ada yang kami rahasiakan, May! Yang jelas bukan Arkan calon suami Jenny. "Jadi yang melamar Mayra, siapa juga? Mas Arkan?" Aku berharap mas Arkanlah yang melamarku. Tiba-tiba hatiku berdesir hebat membayangkan bersanding dengan lelaki pilihan hatiku. "Arkan kamu itu bukan lelaki yang bisa diandalkan. Buang saja ke laut!" timpal ayah. Entah sejak kapan ayahku sudah pulang dari luar kota. Tau-tau sudah berada di rumah. "Ayah, kapan pulang?" tanyaku seraya melompat kepelukan lelaki sang cinta pertamaku itu. "Tadi malam, Nak. Kamu sehat, Sayang?" tanyanya seraya mendudukkan diri dipinggir ranjang kamarku. "Sehat, Yah. Ayah sehat juga 'kan?" tanya dan jawabku seraya merebahkan kepala dipundak lelaki paruh baya itu. Walaupun umurku sudah menjelang seperempat abad tetapi masih juga suka bermanja-manja dengan ayah. "Ayah sehat! Hmmm ... kamu sudah bisa merubah kebiasaan burukmu, Sayang. Jangan lagi bangun kesiangan. Nanti rejekimu dipatok ayam. Lihat Jenny, jam segini dia sudah berangkat ke sekolah. Mengajar," ujar ayah panjang lebar. "Ayah tau kan kalau pagi-pagi begini enaknya tidur-tiduran. Emang mau ngapain lagi." ujarku memutar bola mata malas. "Banyak yang bisa kemu kerjakan dipagi hari. Kamu aja yang malas." cerocos ibu. "Kalau sekali-kali tidak masalah. Ibu lihat selama kamu gak bekerja, setiap hari bangun siang. Macam bukan anak gadis saja!" lanjut ibu lagi. Kalau sudah mengomel jangan harap akan diam. Tahan berjam-jam deh. Duh kasihan sekali nasib diri ini. Sampai tua begini masih juga diomelin. "Mulai besok Ayah tidak mau lagi melihat kamu malas-malasan. Sebentar lagi kamu mau jadi istri orang, Nak!" pesan ayah seraya mengusap lembut pucuk kepalaku. Dih ... tidak bisa aku bayangkan menjadi ibu rumah tangga. Memakai baju daster dengan rambut awut-awutan. Wajah kusam bagaikan pantat wajan. Ih ... bukan aku banget deh. "Mayra belum siap menikah, Yah!" Aku tuh masih mau main-main. Idih ... tidak dapat aku bayangkan. Pagi-pagi sudah bergumul dengan cucian dan seabrek pekerjaan rumah tangga lainnya. "Tidak usah nunggu siap. Jalani aja dulu," nasehat ayah. "Kalau bukan sama mas Arkan, Mayra tidak akan menerima pinangan dari siapapun!" Alasanku masuk akal juga kan? Aku tidak mau menghabiskan masa mudaku dengan lelaki yang tidak jelas asal usulnya. "Apa yang bisa kamu banggakan pada lelaki pengecut itu, May? Carilah lelaki yang bertanggung jawab. Arkan hanya berani pacari kamu saja. Selebihnya mana berani dia. Pengecut!" "Tapi Mayra cinta Yah!" rajukku dalam pelukan lelaki lima puluh tahun itu. "Cinta? Makan tuh cinta! Kamu yakin dia juga cinta sama kamu? Jangan kebanyakan menghayal deh!" Ibu seperti ada dendam kesumat sama aku. Entah mengapa beliau sangat membenci mas Arkan. Bisa saja mas Arkan belum menghubungi aku karena mau buat kejutan. Tau-tau dia datang bersama orang tuanya melamar. So sweet banget kan? "Yakin lah, Bu. Selama lima tahun menjalin hubungan masak tidak yakin! Katanya nanti kalau dia pulang langsung melamar," ujarku seraya membayangkan bersanding dipelaminan bersama orang yang aku cintai. Tidak sabaran rasanya menunggu momen itu. "Dan kamu percaya saja bualan lelaki buaya itu hah? Enam bulan tidak ada kabar berita. Kemana dia coba? Tau-tau sudah punya anak dia sama wanita lain. Kamu dijadikan selingan saja disini!" Ucapan ibu sangat menyakitkan hati. Aku yakin mas Arkan tidak seperti itu. Dia pernah berjanji akan kembali. Dia berjanji hanya aku wanita yang dicintai. Mana mungkin secepat itu dia berubah. "Ibu, mas Arkan tidak sejahat itu!" protesku. Entah kenapa ibu selalu saja membawa hawa panas dalam diri ini. Jika dekat dengan beliau selalu saja memancing emosi. Apa karena kami berdua mirip? Kata orang-orang, aku sangat mirip dengan ibu. Katanya sih plek ketiplek. Tidak ada yang beda. Dari cara bicara, berjalan sampai kemiripan wajah. "Pacaran sampai lima tahun dan tidak tau mau dibawa kemana hubungan kalian? Dan sekarang dia malah tidak bisa dihubungi. Bangun May. Bangun. Jangan bucin sama lelaki gak jelas." Jiwa bar-bar ibu keluar. "Ayah, tolong jangan diterima dulu lamaran itu. Aku masih nunggu mas Arkan. Katanya dia mencari modal buat nikah!" pintaku menghiba pada lelaki yang sangat aku sayangi itu. "May, dengar Ayah ya, Nak. Lelaki itu kalau sudah serius sama piliihan hatinya, pasti dia akan berjuang. Dia pasti akan mengikat kamu, tidak seperti sekarang ini. Malah menghilang bagai ditelan bumi. Menurut Ayah, dia tidak serius menjalani hubungan dengan kamu! Percaya sama Ayah, Nak." "Ayah ...." "Ayah tidak mau putri kesayangan Ayah, dipegang-pegang. Dibawa kesana kemari habis itu ditinggalkan. Kamu bukan barang habis pakai lalu dibuang," "Ayah ...." Aku makin tersedu mendengar penuturan dari lelaki cinta pertamaku itu. "Ayah tidak akan menjerumuskan anaknya. Percayalah, Sayang!" Ayah semakin erat memeluk tubuh ini. "Tapi, Yah. Mayra tidak kenal dengan lelaki itu, Yah. Mayra tidak tahu dia baik atau enggaknya sama Mayra!" ujarku lagi. Berbagai alasan sudah aku utarakan tetapi kedua orang tuaku tetap pada pilihanya. "Ayah kenal baik sama calon suami kamu, Nak. Jangan khawatir!" jawab Ayah seraya mengusap lembut pucuk kepalaku. "Yah, yang menikah Mayra, bukan Ayah!" rajukku tersedu. "Ayah pun gak akan memberikan putri Ayah kesembarang lelaki. Kamu itu buah hati Ayah, Nak!" ucap ayah sendu. "Kalau Ayah sayang sama Mayra, kenapa Ayah tega menjodohkan Mayra dengan lelaki asing itu, Yah? Ayah tidak sanggup lagi memberi makan Mayra?" tanyaku tersedu. Kutatap mata berkabut itu. Ayah begitu sedih saat aku mengatakan itu. "Siapa bilang Ayah tidak sanggup menafkahi kamu, Sayang?" "Atau Ayah sama Ibu sudah bosan melihat Mayra, ya? Mungkin Mayra menjadi beban Ayah dan Ibu?" tanyaku tertunduk. Begitu sedih hati ini. Aku merasa terusir di rumahku sendiri. "Tidak ada orang tua yang membenci anaknya, May. Semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Percaya sama Ayah!" Wajah ayah menitikkan air mata saat mengungkapkan perasaannya. Ya Tuhan. Aku belum sanggup berpisah dengan kedua orang tuaku. Aku juga belum sanggup meninggalkan kamar ini. Terlalu banyak kenangan dikamar ini. Saat aku sakit, ibu rela begadang demi menunggui putri semata wayangnya. Yang aku tangkap, mereka berdua sangat khawatir jika melihat anaknya jatuh sakit. "Nanti kalau Mayra mengalami KDRT bagaimana, Yah?" tanyaku tersedu. "Tidak akan pernah. Dia lelaki baik pilihan Ayah dan Ayah tidak sembarangan memilih pasangan untuk anak kesayangannya!" "Seandainya Ayah salah menilai lelaki itu bagaimana? Bisa jadi kan, didepan ayah dia baik. Dibelakang bejat,""Gak mungkin. Ayah sangat kenal dengan calon suami kamu, Nak." Ayah masih juga membela calon menantu yang menurutnya lelaki baik."Kenal bukan berarti Ayah tau segalanya tentang dia, 'kan? Banyak lelaki baik, tau-tau berselingkuh dibelakang istrinya? Kalau sempat dia ninggalin Mayra bagaimana?" tanyaku penuh penekanan. Menikah itu bukan seperti memakai baju. Bisa gonta ganti sesuka hati. Dan diri ini berjanji dalam hati, menikah cukup sekali saja. Makanya tidak sembarangan dalam mengambil keputusan."Tenang saja! Kalau dia selingkuh, bilang sama ibu. Nanti ibu potong punya dia, kita iris-iris terus kita tauco, baru suapin ke mulutnya," Sadis sekali ibuku. Aku melihat mulut beliau mengeras seakan sedang mengiris anunya calon suamiku."Ibu ngomong apa sih? Kalau mengajarin anak itu yang benar. Jangan asal bicara," nasehat ayah. "Habisnya Ibu geram, Yah." jawab ibu seraya memilin bajunya dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang cacingan. "Parcaya sama Ayah. Calon suami kamu menantu p
"Ayah yakin dia itu yang akan menjadi calon suami Mayra?" tanyaku memastikan."Iya, ganteng kan?" timpal ibu tanpa memikirkan perasaan ayah. Memang apa kurangnya ayahku, beliau ganteng juga sih, walau sekarang perut beliau sedikit buncit. Namun, tidak mengurangi kegantengan lelaki lima puluh tiga tahun itu."Allahu Akbar!" teriakku histeris. Duniaku rasanya berhenti berputar saat mengetahui jika Sidik yang akan menjadi imamku seumur hidup."Kamu kenapa, Mey?" Ayah tiba-tiba memegang tubuh ini. Dikiranya aku akan jatuh pingsan padahal aku kaget saja karena lelaki yang sangat aku benci itu malah akan menjadi suamiku."Ayah batalin saja lamaran itu. Mayra gak mau menikah dengan dia!" Teriakku histeris lagi."Kenapa dengan nak Sidiq sayang? Dia lelaki baik dan juga taat beribadah!" tanya ayah penasaran."Lelaki baik ayah bilang? Dia itu lelaki berotak kotor yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan. Ayah tidak tau kan, kalau Mayra hampir saja dilecehkan dalam bus sama dia!" "Kamu sal
Hari ini aku diperintahkan oleh ibu dan ayah untuk mengurus SKCK ke kantor polisi berdua dengan Sidik. Pergi berdua saja dengan lelaki dua puluh tujuh tahun itu membuatku bergidik ngeri. Masih terbayang dalam ingatan saat dia pura-pura tidur dibahuku. Walaupun dia bilang itu semua karena tidak sengaja, tapi aku tetap tidak akan mempercayainya."Ayo!" Ajaknya setelah kami berpamitan pada ibu dan ayah. Dia berusaha menggandeng tangan ini tapi segera aku menepisnya. "Kamu duluan aja biar aku belakangan. Ada yang mau aku ambil didalam!" ucapku berbohong. Lelaki itu sangat patuh, apa yang aku perintah dia lakukan. Apakah dia tipe pria penyayang istri? Entahlah. Tapi lama-lama aku kasihan juga melihatnya.Tanpa menunggu lama, Sidik bergegas menuju motor yang diparkir diluar pagar rumah. Aku pura-pura masuk kedalam dan bergegas keluar lagi.'Kan tadi aku bilang sama Sidik ada yang mau kuambil didalam padahal malas aja bergandengan dengannya."Ayo naik. Nanti terlambat!" Pria berambut cepak
"May, tunggu dulu," teriak mas Arkan sembari menarik pelan tangan ini saat kami berpapasan dimini market dekat taman kota."Maaf, jangan ganggu saya!" Aku menghentakkan tangannya sehingga terlepas dari genggamannya."May, ada yang mau aku bicarakan," ujar lelaki berkemeja navy itu dengan tatapan sendu.Tatapan itu yang aku rindukan selama ini, tapi sayang sudah menjadi milik orang. Mas Arkan telah mengkhianati tulus cintaku.Betul juga apa yang dikatakan ibu, sampai kiamat pun mas Arkan tidak akan melamarku. Dan ternyata ini jawabannya. Mas Arkan telah menikah dengan gadis pilihan orang tuanya."Mau bicarakan apa lagi? Saya gak ada waktu!""Minta waktumu sebentar, May. Mas jelaskan semua!" "Apa yang mau Mas jelaskan? Bagi Mayra semua itu sudah jelas. Mas sudah menikah kan? Jangan ganggu Mayra lagi. Mayra tidak mau disebut sebagai pengganggu suami orang! Jelek-jelek begini, Mayra tidak menerima bekas orang!"Mendengar ucapanku seketika saja wajah mas Arkan berubah merah padam, mungkin
"Sejak kapan kamu menjadi gend*k tentara itu, May?" Pertanyaan Arkan berhasil membuatku emosi. Enak saja dia mengatakan aku simpanan. Diri ini tidak serendah itu, gini-gini aku masih punya harga diri. "Jangan kurang ajar kamu sama calon istriku," bentak Siddiq. Terlihat dia mengepal kuat tangannya sehingga buku-buku jari nampak memutih. Belum pernah aku melihat abu ubaidahku marah seperti ini."Diam kau, aku tidak ngomong sama kamu ya!" Mas Arkan menunjuk mata abu ubaidahku dengan telunjuk kirinya. Spontan lelaki bermata coklat itu emosi tetapi dia berusaha menahannya."Kasian kamu, Dek. Baru beberapa bulan Mas tinggal pergi, malah jadi wanita panggilan. Jadi perempuan kok gak ada harga diri!" Mulut mas Arkan seakan tidak berhenti berkicau, tak kusangka lelaki yang pernah merajai hati ini mulutnya pedes bagaikan cabe set*n level 100. Hinaan demi hinaan terus saja dia luncurkan untukku. "Kamu siapa. Berani-beraninya menghina calon istriku, hah?" Lelaki berkaos putih itu mencengkera
"Lebay! Tentara cengeng!" ejekku seraya memoyongkan bibir kearahnya. Segera aku mengambil helm yang diberikan mas Sidik. Tidak mau berlama-lama, nanti dikira aku minta dia yang pakein. Tau sendiri kan, bagaimana gede rasanya lelaki yang bakal jadi imamku itu."Tapi ganteng kan?" tanya Siddik penuh rasa percaya diri.Nah kan. Betul aku bilang, nih laki kepedean tingkat dewa."Kalau aku bilang kamu ganteng itu namanya fitnah, sersan Sidik! Dan kamu tau kan, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Termasuk dosa besar! Dan aku tidak mau masuk neraka hanya karena mengatakan kamu ganteng! Ibuku selalu bilang, jaga lidah dan ucapan!" selorohku dengan menatap mas Sidik tanpa dosa. Bukan tanpa dosa tepatnya. Tetapi wajah yang penuh gelimangan keringat eh."Baru kamu aja loh cewek yang mengatakan aku tidak ganteng! Makanya aku suka sama kamu! Kamu tidak silau pangkat dan jabatan apalagi silau dengan wajah tampan seperti aku!" Lagi-lagi mas Sidik memuji dirinya sendiri.Aku akui sih dia itu lela
"Mas, lamaran ini dibatalin aja," ujarku pada mas Siddiq sehari setelah keluarganya datang ke rumah untuk melamar."Kenapa dibatalin?" Mas Siddik menoleh menatapku. Rasanya jantung ini seakan berhenti berdetak melihat tatapannya menusuk kedalam relung hati."Batalin ajalah. Saya gak mau menikah dengan Mas." Aku tidak tahu alasan apalagi yang akan aku utarakan pada lelaki bermata coklat itu."Kenapa tiba-tiba berubah pikiran sih? Apa kamu sudah balikan sama Arkan?" Lagi-lagi dia membawa nama mantan pacarku. Arkan? Lelaki macam apa yang mau merusak masa depan pacarnya dan beruntung aku tidak sempat dihancuri olehnya."Mas jangan bawa-bawa nama dia. Lelaki itu sudah menikah. Saya gak akan mungkin mau menjalin hubungan dengan suami orang! Jelek-jelek begini saya masih punya harga diri," jelasku panjang lebar. "Jadi?" "Saya wanita tidak pantas untuk Mas. Cari saja wanita lain yang lebih pantas." jawabku berbohong. Jelas aku sakit hati saat dia mengatakan aku janjian menginap dihotel den
"Cuma sentuh hidung aja udah dibilang genit," keluh mas Siddik seraya menarik kembali tangannya."Gak boleh juga. Belum halal!" ujarku dengan mata mendelik."Iya ya. Jangan judes begitu kenapa sih! Baru dipegang aja galak amat!" ujar mas Siddik seraya menyeruput es kelapanya dengan pandangan tetap menatapku, membuat aku salah tingkah."Bukan judes! Emang seharusnya begitu kan? Biasanya anak muda sekarang masih pacaran mesranya melebihi pasangan suami istri. Panggilan ayang ... bebeb. Tapi kalau sudah menikah apalagi sudah punya anak, istri salah sedikit saja sudah dimaki-maki, segala isi kebun binatang disebutnya!" protesku.Aku tidak mau mempunyai pasangan model begitu. Pasti menderita seumur hidup. Membina rumah tangga seharusnya tenang dan bahagia walaupun hanya makan nasi dengan garam."Mas berharap rumah tangga kita kelak jangan sampai seperti itu. Mas gak janji tapi akan Mas buktikan," janji mas Siddik.Kadang aku berfikir, lelaki seganteng mas Siddik kenap mau menikahi wanita s
Kami sampai dirumah bercat hijau yang terlihat sederhana. Halaman tidak terlalu luas tetapi sangat asri dipandang mata. Tidak ada sedikitpun tanah yang kosong, semua diisi dengan tanaman sayuran hijau dan aneka bunga yang berwarna warni.'Rajin juga mas Sidik menanam sayuran dan juga bunga.' batinku."Ayo masuk," ujar mas Siddik sesaat setelah membuka pintu.Rumah sederhana itu nampaknya nyaman. Walau terkesan tidak mewah tetapi nampaknya aku betah tinggal disini. Semoga tetangga juga bisa menerimaku. Diatas pintu tertulis nama Serka Siddik Pamungkas, sepertinya setiap rumah diberikan nama sesuai dengan nama pemiliknya."Ayo masuk, kok bengong sih," "Iya." Aku ikut menggeret koper berisi baju dan tas berisi bekal makanan untuk beberapa hari kedepan yang diberikan ibu. Kata ibu beliau takut aku kerepotan memasak karena baru saja sampai. Lagipula tempat baru, masih bingung mau belanja dimana dan apa yang mau dimasak.Ibu sungguh pengertian sehingga untuk beberapa hari ke depan anaknya
"Cuma sentuh hidung aja udah dibilang genit," keluh mas Siddik seraya menarik kembali tangannya."Gak boleh juga. Belum halal!" ujarku dengan mata mendelik."Iya ya. Jangan judes begitu kenapa sih! Baru dipegang aja galak amat!" ujar mas Siddik seraya menyeruput es kelapanya dengan pandangan tetap menatapku, membuat aku salah tingkah."Bukan judes! Emang seharusnya begitu kan? Biasanya anak muda sekarang masih pacaran mesranya melebihi pasangan suami istri. Panggilan ayang ... bebeb. Tapi kalau sudah menikah apalagi sudah punya anak, istri salah sedikit saja sudah dimaki-maki, segala isi kebun binatang disebutnya!" protesku.Aku tidak mau mempunyai pasangan model begitu. Pasti menderita seumur hidup. Membina rumah tangga seharusnya tenang dan bahagia walaupun hanya makan nasi dengan garam."Mas berharap rumah tangga kita kelak jangan sampai seperti itu. Mas gak janji tapi akan Mas buktikan," janji mas Siddik.Kadang aku berfikir, lelaki seganteng mas Siddik kenap mau menikahi wanita s
"Mas, lamaran ini dibatalin aja," ujarku pada mas Siddiq sehari setelah keluarganya datang ke rumah untuk melamar."Kenapa dibatalin?" Mas Siddik menoleh menatapku. Rasanya jantung ini seakan berhenti berdetak melihat tatapannya menusuk kedalam relung hati."Batalin ajalah. Saya gak mau menikah dengan Mas." Aku tidak tahu alasan apalagi yang akan aku utarakan pada lelaki bermata coklat itu."Kenapa tiba-tiba berubah pikiran sih? Apa kamu sudah balikan sama Arkan?" Lagi-lagi dia membawa nama mantan pacarku. Arkan? Lelaki macam apa yang mau merusak masa depan pacarnya dan beruntung aku tidak sempat dihancuri olehnya."Mas jangan bawa-bawa nama dia. Lelaki itu sudah menikah. Saya gak akan mungkin mau menjalin hubungan dengan suami orang! Jelek-jelek begini saya masih punya harga diri," jelasku panjang lebar. "Jadi?" "Saya wanita tidak pantas untuk Mas. Cari saja wanita lain yang lebih pantas." jawabku berbohong. Jelas aku sakit hati saat dia mengatakan aku janjian menginap dihotel den
"Lebay! Tentara cengeng!" ejekku seraya memoyongkan bibir kearahnya. Segera aku mengambil helm yang diberikan mas Sidik. Tidak mau berlama-lama, nanti dikira aku minta dia yang pakein. Tau sendiri kan, bagaimana gede rasanya lelaki yang bakal jadi imamku itu."Tapi ganteng kan?" tanya Siddik penuh rasa percaya diri.Nah kan. Betul aku bilang, nih laki kepedean tingkat dewa."Kalau aku bilang kamu ganteng itu namanya fitnah, sersan Sidik! Dan kamu tau kan, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Termasuk dosa besar! Dan aku tidak mau masuk neraka hanya karena mengatakan kamu ganteng! Ibuku selalu bilang, jaga lidah dan ucapan!" selorohku dengan menatap mas Sidik tanpa dosa. Bukan tanpa dosa tepatnya. Tetapi wajah yang penuh gelimangan keringat eh."Baru kamu aja loh cewek yang mengatakan aku tidak ganteng! Makanya aku suka sama kamu! Kamu tidak silau pangkat dan jabatan apalagi silau dengan wajah tampan seperti aku!" Lagi-lagi mas Sidik memuji dirinya sendiri.Aku akui sih dia itu lela
"Sejak kapan kamu menjadi gend*k tentara itu, May?" Pertanyaan Arkan berhasil membuatku emosi. Enak saja dia mengatakan aku simpanan. Diri ini tidak serendah itu, gini-gini aku masih punya harga diri. "Jangan kurang ajar kamu sama calon istriku," bentak Siddiq. Terlihat dia mengepal kuat tangannya sehingga buku-buku jari nampak memutih. Belum pernah aku melihat abu ubaidahku marah seperti ini."Diam kau, aku tidak ngomong sama kamu ya!" Mas Arkan menunjuk mata abu ubaidahku dengan telunjuk kirinya. Spontan lelaki bermata coklat itu emosi tetapi dia berusaha menahannya."Kasian kamu, Dek. Baru beberapa bulan Mas tinggal pergi, malah jadi wanita panggilan. Jadi perempuan kok gak ada harga diri!" Mulut mas Arkan seakan tidak berhenti berkicau, tak kusangka lelaki yang pernah merajai hati ini mulutnya pedes bagaikan cabe set*n level 100. Hinaan demi hinaan terus saja dia luncurkan untukku. "Kamu siapa. Berani-beraninya menghina calon istriku, hah?" Lelaki berkaos putih itu mencengkera
"May, tunggu dulu," teriak mas Arkan sembari menarik pelan tangan ini saat kami berpapasan dimini market dekat taman kota."Maaf, jangan ganggu saya!" Aku menghentakkan tangannya sehingga terlepas dari genggamannya."May, ada yang mau aku bicarakan," ujar lelaki berkemeja navy itu dengan tatapan sendu.Tatapan itu yang aku rindukan selama ini, tapi sayang sudah menjadi milik orang. Mas Arkan telah mengkhianati tulus cintaku.Betul juga apa yang dikatakan ibu, sampai kiamat pun mas Arkan tidak akan melamarku. Dan ternyata ini jawabannya. Mas Arkan telah menikah dengan gadis pilihan orang tuanya."Mau bicarakan apa lagi? Saya gak ada waktu!""Minta waktumu sebentar, May. Mas jelaskan semua!" "Apa yang mau Mas jelaskan? Bagi Mayra semua itu sudah jelas. Mas sudah menikah kan? Jangan ganggu Mayra lagi. Mayra tidak mau disebut sebagai pengganggu suami orang! Jelek-jelek begini, Mayra tidak menerima bekas orang!"Mendengar ucapanku seketika saja wajah mas Arkan berubah merah padam, mungkin
Hari ini aku diperintahkan oleh ibu dan ayah untuk mengurus SKCK ke kantor polisi berdua dengan Sidik. Pergi berdua saja dengan lelaki dua puluh tujuh tahun itu membuatku bergidik ngeri. Masih terbayang dalam ingatan saat dia pura-pura tidur dibahuku. Walaupun dia bilang itu semua karena tidak sengaja, tapi aku tetap tidak akan mempercayainya."Ayo!" Ajaknya setelah kami berpamitan pada ibu dan ayah. Dia berusaha menggandeng tangan ini tapi segera aku menepisnya. "Kamu duluan aja biar aku belakangan. Ada yang mau aku ambil didalam!" ucapku berbohong. Lelaki itu sangat patuh, apa yang aku perintah dia lakukan. Apakah dia tipe pria penyayang istri? Entahlah. Tapi lama-lama aku kasihan juga melihatnya.Tanpa menunggu lama, Sidik bergegas menuju motor yang diparkir diluar pagar rumah. Aku pura-pura masuk kedalam dan bergegas keluar lagi.'Kan tadi aku bilang sama Sidik ada yang mau kuambil didalam padahal malas aja bergandengan dengannya."Ayo naik. Nanti terlambat!" Pria berambut cepak
"Ayah yakin dia itu yang akan menjadi calon suami Mayra?" tanyaku memastikan."Iya, ganteng kan?" timpal ibu tanpa memikirkan perasaan ayah. Memang apa kurangnya ayahku, beliau ganteng juga sih, walau sekarang perut beliau sedikit buncit. Namun, tidak mengurangi kegantengan lelaki lima puluh tiga tahun itu."Allahu Akbar!" teriakku histeris. Duniaku rasanya berhenti berputar saat mengetahui jika Sidik yang akan menjadi imamku seumur hidup."Kamu kenapa, Mey?" Ayah tiba-tiba memegang tubuh ini. Dikiranya aku akan jatuh pingsan padahal aku kaget saja karena lelaki yang sangat aku benci itu malah akan menjadi suamiku."Ayah batalin saja lamaran itu. Mayra gak mau menikah dengan dia!" Teriakku histeris lagi."Kenapa dengan nak Sidiq sayang? Dia lelaki baik dan juga taat beribadah!" tanya ayah penasaran."Lelaki baik ayah bilang? Dia itu lelaki berotak kotor yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan. Ayah tidak tau kan, kalau Mayra hampir saja dilecehkan dalam bus sama dia!" "Kamu sal
"Gak mungkin. Ayah sangat kenal dengan calon suami kamu, Nak." Ayah masih juga membela calon menantu yang menurutnya lelaki baik."Kenal bukan berarti Ayah tau segalanya tentang dia, 'kan? Banyak lelaki baik, tau-tau berselingkuh dibelakang istrinya? Kalau sempat dia ninggalin Mayra bagaimana?" tanyaku penuh penekanan. Menikah itu bukan seperti memakai baju. Bisa gonta ganti sesuka hati. Dan diri ini berjanji dalam hati, menikah cukup sekali saja. Makanya tidak sembarangan dalam mengambil keputusan."Tenang saja! Kalau dia selingkuh, bilang sama ibu. Nanti ibu potong punya dia, kita iris-iris terus kita tauco, baru suapin ke mulutnya," Sadis sekali ibuku. Aku melihat mulut beliau mengeras seakan sedang mengiris anunya calon suamiku."Ibu ngomong apa sih? Kalau mengajarin anak itu yang benar. Jangan asal bicara," nasehat ayah. "Habisnya Ibu geram, Yah." jawab ibu seraya memilin bajunya dengan mata dikedip-kedipkan seperti orang cacingan. "Parcaya sama Ayah. Calon suami kamu menantu p