Kau seperti matahari, aku bisa melihatmu bahkan merasakan pancaran cahayamu tapi kau terlalu jauh untuk aku sentuh
Fathan Agam Byantara
Baru saja aku memegang salah satu map, getaran ponsel di saku membuatku mengembalikan map itu ke meja. Kulihat nama Haden tertera di sana. Kelas kosong, gue balik asrama. Begitulah bunyi pesannya.
Apakah hari ini dia tidak ada latihan, setahuku pertandingannya akan dimulai sabtu besok. Aku mengabaikan pesan dari Haden. Itu bukanlah tipikal pesan hang harus dibalas, seperti pemberitahuan operator yang setiap harinya sudha pasti mengisi kotak pesan di ponsel.Aku harus memulai dari mana, banyak sekali yang harus aku bereskan.
"Elo belom sarapan, kan?"
Suara Haden mengagetkanku, dia berdiri di ambang pintu dengan menenteng kantong plastik hitam di tangan kanannya. Soal sarapan, tadi pagi aku buru-buru karena hari ini tidak ada petugas upacara jadi anggota OSIS yang menjadi pelaksana upacara.
"Iya," jawabku sembari mengangguk dua kali.
"Nih," Haden menghampiriku, ia meletakkan kantong plastik hitam itu di atas meja, di hadapanku.
"Roti sama susu." Haden mengeluarkannya dari kantong plastik. Haden tahu sekali kesukaanku. Aku memang tidak bisa makan banyak saat di pagi hari. Tidak seperti Haden yang harus sarapan nasi ataupun mie instan. Haden membuka bungkus plastik roti itu, lalu mulai menyuapiku.
"Sini, biar aku sendiri." Aku hendak merebut roti itu dari tangannya, namun secepat kilat Haden menepisnya.
"Tangan lo kotor." Ia juga menjauhkan roti di tangannya, sampai aku tidak bisa menggapainya.
Coba bayangkan posisiku saat ini, bagaimana bisa aku tidak terbawa perasaan jika perhatian Haden padaku saja seperti ini. Meskipun menurut Haden ini biasa, tapi menurutku ini tidak biasa. Andai Haden tahu perasaanku.
"Sini deh, Den." Aku kembali mencoba merebut roti itu dari tangan Haden, aku tidak ingin salah tingkah karena sikap Haden.
"Udah elo baca aja, gue suapin." Haden kembali menepis tanganku.
Aku yang tidak ingin berdebat dengan Haden hanya karena roti memilih untuk menurut saja padanya.
"Hari ini nggak ada latihan?" Tanyaku mencoba memcairkan suasana. Haden sedari tadi menatapku tanpa henti. Suapan roti terakhir segera mendarat di mulutku. Kulihat Haden memasukan bungkus roti yang sudah kosong itu je dalam plastik hitm di hadapannya.
"Ada tapi nanti jam dua, elo temenin gue, kan?"
Aku memang selalu menemani Haden untuk latihan. Sekedar menjaga tasnya di pinggir lapangan ataupun memberinya sebotol air mineral jika dia kehausan.
"Jam dua aku ada rapat, mungkin setelah rapat aku bisa nyusul."
Haden menunjukkan ekspresi kecewanya, "kenapa gak sekarang aja rapatnya, daripada jam kosong kayak gini."
Bukan aku tidak mau, hanya saja aku tidak ingin terlalu menuruti semua keinginannya. Semakin aku dekat dengan Haden semakin besar pula rasa cintaku padanya. Seperti bunga yang setiap hari disiram, semakin subur dan merekah.
* * *
Pukul sepuluh sekolah sudah dibubarkan. Aku melirik tempat duduk Haden yang sudah kosong sejak tadi. Tadi setelah menyusulku ke ruang OSIS dia pamit untuk ke kelas tapi ternyata dia tidak ada. Pesanku juga tidak dibalas oleh Haden. Karena rapat OSIS masih lama, aku kembali ke asrama lebih dulu.
Aku berjalan keluar dari kelas, di lorong kelas masih tampak beberapa murid yang sedang duduk ataupun saling mengobrol. Aku tidak begitu menghiraukannya, aku memang tipe pendiam berbeda dengan Haden yang banyak mengenal murid lainnya. Temanku juga hanya beberapa, bisa dihitung dengan jari. Kalau Teman Haden, banyak. Hampir semua teman-teman Haden dikenalkan padaku, setiap kali ada anak yang berkunjung ke kamar kami, Haden selalu mengajakku untuk bergabung. Meski kadang aku merasa minder dan menolak ajakan Haden.
Tiba di kamar asrama, ternyata dugaanku salah, Haden tidak ada di kamar. Tidak biasanya dia pergi tanpa pamit padaku. Atau karena penolakanku tadi dia marah, hal sepele sekali kalau dia sampai marah. Meskipun marah ia tidak pernah pergi tanpa memberi kabar padaku. Kucoba menelponnya kembali, namun tetap tidak ada jawaban. Aku segera meletakkan tasku dan berlari kembali ke sekolah. Aku berlari ke gedung olahraga mungkin saja Haden di sana. Tapi, sayang, gedung olahraga dikunci.
Kulihat Reka yang baru saja keluar dari kelas, Reka adalah teman satu tim sepak bola dengan Haden. Aku segera menghampiri Reka.
"Re, elo lihat Haden nggak?"
"Enggak," jawabnya cepat.
"Oke, makasih kalo gitu."
"Eh, tunggu ... gue tadi sempet lihat dia sama bu Mawar. Tapi, masa belom balik dari tadi?"
"Bu Mawar? Kemana?" Bu Mawar adalah guru BK di sekolah.
"Naik ke atas sih tadi," jawaban yang tidak pasti, pikirku.
Aku mengernyitkan alisheran, tumben sekali dia mau disuruh oleh guru. Aku pamit pada Reka dan langsung menuju ke lantai dua. Di lantai dua hanya ada gedung perpustakaan dan sisanya kelas siswa. Jadi, kemungkinan besar Haden peegi ke perpustakaan. Begitu naik ke lantai dua, aku bergegas pergi ke perpustakaan. Benar saja perpustakaan masih buka dan ada beberapa anak di sana. Aku segera mencari keberadaan Haden. Ku lihat dia sedang berjongkok di antara tumpukkan buku di depan rak kosong. Aku menghembuskan nafas, lega rasanya. Aku segera menghampirinya. Sepertinya dia menyadari keberadaanku. Dia segera menoleh ke arahku belum sempat aku bertanya dia sudah berbicara lebih dulu.
"Gue dihukum gara-gara lempar sepatu si Ray ke genteng." Ujarnya enteng.
Apa yang ada di pikiran Haden, kadang aku tidak bisa menebaknya.
"Kenapa kamu lempar, kaya nggak ada kerjaan."
Haden hanya menunjukkan senyumnya padaku. Aku membalasnya dengan gelengan kepala. Aku berjongkok menyamai Haden, tanganku mulai mengambil satu persatu buku yang ada di dalam dus dan meletakkannya di atas rak buku.
"Gue gak nyuruh lo buat bantu,"
"Dari tampang kamu aja, aku udah paham."
Haden terkekeh mendengar jawabanku, "huaaah ... ngantuk gue,"
Aku hanya tersenyum mendengar keluhan Haden. Kalau tidak suka dihukum seharusnya dia tidak berulah seperti ini.
Satu jam sudah berlalu, aku dan Haden sudah selesai membereskan buku-buku di rak perpustakaan. Bu Mawar mengecek hasil Haden, aku yang takut ketahuan jika membantu Haden tadi, memilih duduk sembari membaca buku. Bu Mawar meng-acc apa yang dikerjakan Haden, meski ada sedikit nasihat juga. Setelah selesai dengan urusannya, Haden berjalan menghampiriku, dia mengajakku untuk pergi ke kantin.
"Sebagai rasaterimakasih gue ke lo karena udah bantuin gue tadi, gue mau traktir lo makan."
"Gak usah," aku melirik jam sebentar, sudah pukul setengah dua siang. "Habis ini aku mesti ikut rapat, kamu sendiri aja."
"Gak, lo mesti ikut gue." Dia memegangi pergelangan tanganku, aku kemudian mengikutinya berjalan menuju kantin. Beberapa anak yang lain memperhatikan kami saat kami berjalan menuju kantin. Aku tidak menghiraukannya, yang aku perhatikan saat ini adalah Haden. Dia tidak berhenti berbicara sejak tadi dan genggaman tangannya sama sekali tidak lepas.
~
"Gue gendutan ya, Gam?" Celetuk Haden begitu saja, aku yang sedang meminum air mineral hampir saja tersedak. "Bener gue gendutan?"
"Kenapa emangnya?"
"Kata si Ray gue gendut makanya gue buang sepatu si Ray ke genteng." Sudah tahu Ray itu hanya meledek kenapa pula dia harus melayani gurauan Ray.
"Kamu timbang aja sendiri, Den." Tubuh Haden tidak terlalu kurus, tapi memang akhir-akhir ini dia tampak lebih berisi, tinggi Haden 179 cm cukup tinggi untuk ukuran pemain sepak bola. Kadang aku harus mendongak hanya untuk menatap wajahnya.
* * *
Kami berdua sudah kembali ke asrama. Aku sedang mengerjakan beberapa tugas Kimia yang harus aku kumpulkan lusa. Haden baru saja selesai mandi, aku bisa mencium wangi sabun milik Haden. Aku selalu suka aroma Haden saat setelah mandi. Kulihat Haden sedang menggosok rambutnya menggunakan handuk dan dia hanya memakai celana olahraganya. Aku benar-benar harus kuat iman.
Sesuatu yang berat tiba-tiba menimpa bahuku, kepala Haden ia tumpukan di bahuku. Jantungku benar-benar serasa mau copot. "Lagi kerjain apa?" Tanyanya, aku bahkan bisa merasakan deru nafasnya di kulitku. Aku segera bangkit dari dudukku.
"Ki-kimia." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
"Elo kenapa?"
Belum sempat aku menjawab pintu kamar sudah diketuk, untunglah aku terselamatkan. Aku segera berlari ke depan untuk membukakan pintu. Kulihat di sana petugas asrama sedang berdiri membawakan sebuah kotak yang dibungkus menggunakan kertas coklat.
"Ini ada kiriman buat mas Agam." Aku menerima kotak itu dan langsung kembali masuk ke dalam kamar. Siapa yang mengerimi paket untukku, seingatku aku tidak memesan barang di online shop.
"Apaan Gam?"
"Nggak tahu,"
"Buat siapa?"
"Atas nama Fathan Agam Byantara, tapi seingetku, aku nggak mesen barang."
Aku meletakkan kotak itu di atas meja belajarku, Haden yang mulai penasaran mengambil kotak itu dan mengangkatnya pelan. Kemudian dia kembali meletakkannya.Aku merobek pembungkus kotak itu, sebuah kardus bergambar kamera terpampang dibalik pembungkus cokelat itu. Siapa yang mengerimiku sebuah kamera. Dan ini terlalu mahal, aku saja tidak berani memintanya pada mamaku.
"Elo beli kamera?" Aku menoleh menatap Haden yang masih berdiri di belakangku.
"Enggak," aku menggeleng pelan.
"Terus itu punya siapa, namanya kan nama elo."
Ku ambil kartu yang ada di dalam kotak itu.
Semoga elo suka, gue tahu ini nggak bisa ngulangin semua kenangan elo dulu. Kin Larrion Ramiro.
Itulah bunyi surat di dalam kotak itu.Kin yang mengerimiku kamera ini. Seketika seperti ada yang menghujam jantungku. Sesuatu yang teramat aku takutkan. Bagaimana dia bisa tahu alamat asramaku.
Tbc ...
Happy Reading guys
Membalikan Hati tak semudah membalikan telapak tangan, menghapus masalalu tak semudah menghapus jawaban di lembar Ujian.Fathan Agam ByantaraSatu kenangan yang menyakitkan pasti akan sulit untuk dilupakan. Semakin mencoba untuk melupakannya maka semakin gencar pula kenangan itu merongrong. Yang hanya bisa kau lakukan adalah berdamai dengan masa lalumu dan rasa sakitmu. Mungkin itu sulit, tapi itulah caranya. Nikmati prosesnya maka kau akan mengerti bagaimana rasa sakit itu memberimu kekuatan dan pelajaran yang orang sebut sebagai pengalaman. Aku masih memandangi kotak itu, aku ingin mengembalikannya, tapi aku tidak tahu di mana alamat Kin. Setauku rumah Kin yang dulu sudah dijual dan ditempati oleh orang lain. Apa perlu
What is past is pastHaden Rafasya AnantaTerbawa perasaan, jaman sekarang semua anak muda pasti sudah pernah merasakannya. Istilah jaman sekarang baper Siapakah yang salah dalam kasus "terbawa perasaan" ini. Si pelaku atau si korban? Kadang mereka bilang si korban, karena terlalu perasa dan terlalu besar rasa. Dipandang sedikit lama dikira suka, diberi perhatian sedikit katanya memberi harapan. Si korban lalu menggunakan media sosial berharap si pelaku peka, peka terhadap perasaan si korban. Entah itu membuat kata-kata motivasi untuk diri sendiri atau lirik lagu yang menurut si korban ini sesuai dengan kisahnya. Jadi kalau ada istilah "pemberi harapan palsu" itu ciptaan si pelaku atau si korban? Mungkin harus koreksi terlebih dahulu. Bisa saja si pelaku memperhatikan si korban karena korban punya sesuatu yang mem
Aku tidak menyangka jika aku akan terjebak di sini, kupikir saat Kin pergi semua masalahku sudah selesai dengannya. Tapi dia seperti piring terbang yang dilempar lalu kembali lagi pada sang pelempar. Kenapa harus kembali lagi, kalau hanya untuk mengacaukan keadaan saat ini."Den, kamu nggak perlu anggap Kin. Aku udah maafin dia. Kamu nggak perlu lakuin apa-apa lagi." Setelah percakapan itu aku pergi meninggalkan Haden yang masih terlihat kesal karena kejadian tadi. Aku tau mungkin Haden masih tidak suka, dia tahu bagaimana dulu aku hampir kehilangan diriku karena ulah Kin. Aku berjalan kembali ke kelas, aku tidak ingin membuat keributan di sekolah. Kudengar derap langkah yang kian mendekat ke arahku."Gam, tunggu."Aku hanya menggeleng, aku tidak mau membahas ini lagi. Percuma, tidak akan pernah selesai semuanya akan terungkit kembali. Dan rekaman kejadian waktu itu akan mengingatkanku pada rasa sakit hatiku."Tolong, Den.
Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Aku bisa melihat ekspresi kekecewaan di wajah Kin tadi. Apa aku keterlaluan pada Kin, mungkin saja Kin sekarang sudah berubah. Apakah aku harus bersikap biasa saja pada Kin. Aku bingung sendiri. Kadang sifat plin-planku ini membuat aku kesal sendiri."Den." Aku membalikan tubuhku menghadap ke arah Haden. Ternyata dia belum tidur, sepertinya dia masih mengerjakan sesuatu."Kenapa, elo belom tidur?""Kamu ngerjain apa?"Dia berbalik menghadapku sekarang, ia angkat buku tulisnya dan ia perlihatkan padaku."Kimia yang kemarin,"Aku hanya mengangguk dan kembali menutup wajahku dengan selimut."Nggak bisa tidur?""Iya, nih."Haden sepertinya beranjak dari kursinya, aku bisa mendengar suara kursi yang bergeser."Nonton film aja gimana?"Aku kemb
Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali ti
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali ti
Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Aku bisa melihat ekspresi kekecewaan di wajah Kin tadi. Apa aku keterlaluan pada Kin, mungkin saja Kin sekarang sudah berubah. Apakah aku harus bersikap biasa saja pada Kin. Aku bingung sendiri. Kadang sifat plin-planku ini membuat aku kesal sendiri."Den." Aku membalikan tubuhku menghadap ke arah Haden. Ternyata dia belum tidur, sepertinya dia masih mengerjakan sesuatu."Kenapa, elo belom tidur?""Kamu ngerjain apa?"Dia berbalik menghadapku sekarang, ia angkat buku tulisnya dan ia perlihatkan padaku."Kimia yang kemarin,"Aku hanya mengangguk dan kembali menutup wajahku dengan selimut."Nggak bisa tidur?""Iya, nih."Haden sepertinya beranjak dari kursinya, aku bisa mendengar suara kursi yang bergeser."Nonton film aja gimana?"Aku kemb