Aku tidak menyangka jika aku akan terjebak di sini, kupikir saat Kin pergi semua masalahku sudah selesai dengannya. Tapi dia seperti piring terbang yang dilempar lalu kembali lagi pada sang pelempar. Kenapa harus kembali lagi, kalau hanya untuk mengacaukan keadaan saat ini.
"Den, kamu nggak perlu anggap Kin. Aku udah maafin dia. Kamu nggak perlu lakuin apa-apa lagi." Setelah percakapan itu aku pergi meninggalkan Haden yang masih terlihat kesal karena kejadian tadi. Aku tau mungkin Haden masih tidak suka, dia tahu bagaimana dulu aku hampir kehilangan diriku karena ulah Kin. Aku berjalan kembali ke kelas, aku tidak ingin membuat keributan di sekolah. Kudengar derap langkah yang kian mendekat ke arahku.
"Gam, tunggu."
Aku hanya menggeleng, aku tidak mau membahas ini lagi. Percuma, tidak akan pernah selesai semuanya akan terungkit kembali. Dan rekaman kejadian waktu itu akan mengingatkanku pada rasa sakit hatiku.
"Tolong, Den.""Gue paham, sorry Gam."
Aku hanya mengangguk dan berlalu meninggalkan Haden. Aku butuh ketenangan, mungkin aku terlalu berlebihan tapi rasa trauma itu benar-benar membuatku lebih berhati-hati. Ular tetaplah ular, mungkin ia sedang berganti sisik untuk mendapat tempat baru.
* * *
Pukul tiga sore aku kembali ke asrama, pelajaran tadi siang sudah sama sekali tidak bisa aku serap. Aku terlalu risih karena terus diperhatikan oleh Kin. Tadi saat pulang Kin mengajakku untuk pulang bersama tapi aku menolaknya, seharian Haden tidak masuk kelas ia benar-benar membolos hanya untuk latihan sepak bola. Haden belum tahu kalau Kin ada di kelas yang sama dengan kami, bahkan duduk di samping Haden.
Aku berjalan di lorong asrama, kamarku ada di lantai lima. Aku menekan tombol naik pada lift lalu menekan angka lima. Asrama siang itu terlihat sepi, karena sebagian murid banyak yang pergi untuk menonton latihan pertandingan sepakbola. Kalau aku sedang mood aku pasti sudah duduk di tribun penonton, lalu memperhatikan Haden di sana. Tapi sayangnya Kin menghancurkan moodku.
Tiba-tiba pikiranku melayang pada e-mail yang kak Tian kirimkan padaku. Apa aku harus menerima tawaran kak Tian untuk pindah ke sana.Pintu lift terbuka aku segera berjalan ke luar, aku berbelok menuju lorong kamarku di saat itu aku melihat seseorang sedang memasukan beberapa tas ke kamar yang percis ada di depan kamarku. Aku berjalan mendekati petugas asrama yang sedang memasukan ranjang ke kamar.
"Kamarnya udah ada yang isi Pak?"
"Sudah mas,"
Aku mengangguk untuk menanggapi jawaban petugas asrama tadi. Aku mengambil kunci kamarku di saku, tapi suara seseorang menghentikanku.
"Nanti ranjangnya dipepetin ke tembok, ya, Pak."
Tidak aku tidak boleh menoleh, lebih baik aku masuk ke dalam. Aku tahu percis siapa dia. Kenapa bisa kebetulan sekali dia tinggal di depan kamarku.
Aku merebahkan tubuh di ranjang, lelah sekali rasanya. Baru saja aku hendak memejamkan mataku, pintu kamarku terbuka. Pasti itu Haden, aku berharap Haden tidak melihat Kin yang sedang berada di kamar depan.
"Elo tidur Gam?" Haden mendekat ke arahku. Aku segera mengubah posisiku.
"Baru nyampe, Den. Kamu kok udah balik?"
"Kaki gue kekilir." Kulihat jalan Haden sedikit pincang.
"Parah banget?"
Haden hanya meringis, sepertinya tidak perlu ada jawaban aku sudah tahu pasti rasanya sakit. "Biasa aja sih."
"Udah dikasih obat?"
"Udah."
Aku duduk berjongkok menghadap Haden yang duduk di kursi belajarku. "Memar. Padahal kan lusa kamu tanding Den."
"Ini udah mendingan, gue harap sih masih bisa ikut."
Aku mengambilkan balsem yang ada di kotak obat milikku. Untung mama selalu membawakanku obat yang lengkap, karena mama tipe orang yang selalu khawatir dengan keadaanku. "Pake ini gih," aku mengulurkan balsem itu di hadapan Haden. Dia mengambilnya lalu meletakkan kembali di meja belajarku. "Kenapa nggak di pake?"
"Nanti aja, gue laper. Sekarang gue lebih butuh makanan." Haden membuka laci meja belajarku, dia sudah hafal kalau aku selalu menyimpan makanan kecil di kamar. Tapi sayang kali ini tidak apa-apa di sana.
"Elo nggak ada biskuit?""Kan terakhir kemarin aku kasih ke kamu. Aku belum belanja lagi."
"Uang saku elo abis? Tumben." Suara Haden seolah mengejekku.
"Emangnya kamu." Aku melempar bantal yang ada di ranjang ke arahnya. Kulihat Haden tertawa puas. "Nggak usah ketawa."
"Mumpung gratis."
Aku tidak menghiraukannya, aku mengambil baju ganti dan berjalan menuju kamar mandi.
"Mau ke mana?"
"Ganti baju."
"Di sini aja, gue nggak bakal perkosa elu."
Aku sedikit merinding mendengar ucapannya. Apa iya, kalau dia melihat badanku dia akan memperkosaku. "Kaya nafsu aja." Aku meledeknya dan berlalu ke kamar mandi.
* * *
"Mau makan apa?"
Setelah ganti baju aku nengambil dompetku hendak pergi ke minimarket membeli cemilan.
"Mau beli apa?"
"Kan aku tanya kamu, malah balik nanya." Aku menutup lemariku dan kembali menguncinya. "Oh, kamu kan minta beli nasi bebek ya kemarin." Kemarin aku tidak jadi pergi makan dengan Haden, Haden tiba-tiba dihubungi pelatihnya untuk berkumpul di tempat latihan. "Aku beliin deh, sekalian beli cemilan."
Aku segera keluar kamar tanpa menunggu jawaban dari Haden. Jika aku terus bertanya, dia pasti akan merasa tidak enak dan akhirnya akan menyuruhku untuk tidak jadi pergi.Aku hanya perlu berjalan sedikit memutari asrama, di belakang asrama ada satu gerbang kecil. Keluar dari sana aku hanya perlu berjalan sedikit lagi meengitari sebuah bangunan yang sedang direnovasi. NASI BEBEK PAK JARWO, aku sudah bisa melihat tulisan itu dari kejauhan. Sepertinya belum ada pengunjung, aku tidak perlu mengantri lama. Nasi bebek di sini cukup banyak peminatnya, Haden bilang sambal hijaunya enak sekali. Tapi aku tidak pernah mencobanya aku tidak suka makan daging bebek. Setelah memesan aku duduk di salah satu bangku yang disediakan di sana. Ponsel di sakuku bergetar, aku bergegas mengambilnya satu pesan masuk. Itu pesan dari Haden. Sambelnya yang banyak, pake senyum elo buat ngegoda si abangnya š. Aku mengernyitkan alisku, apa maksudnya dia mengirimi pesan ini padaku. Hanya menggodaku atau memang sengaja. Bebeknya juga mau dua nggak? Balasku padanya. Maunya elo cepet pulang. Aku tersenyum membaca pesan balasan Haden. Apa sekangen itu dia padaku sampai tidak sabar ingin cepat bertemu. Aku tidak terburu untuk membalasnya, sampai satu pesan lagi masuk di ponselku. Gue udah laper. Itu pesan yang dikirim oleh Haden lagi. Jadi dia bukan merindukanku tapi dia menginginkan bebek gorengnya, aku terlalu percaya diri.
"Ini mas."
Aku tersadar saat mas penjual bebek goreng itu memberikan pesananku.
"Berapa bang?"
"Dua puluh empat ribu,"
"Kol gorengnya udah kan?"
"Sudah mas."
Aku memeriksanya sebentar dan sudah lengkap semuanya. Makanan favorit Haden, kol goreng. Meski ia tahu itu tidak sehat tapi dia sangat menyukai makanan itu.
* * *
Saat aku kembali ke asrama, Haden baru saja selesai mandi. Handuknya masih tergantung di pundaknya. Rambutnya terlihat masih setengah kering.
"Wangi banget." Aku melihat dia menghampiriku yang baru masuk ke dalam. "Gue lupa ngasih tau elo buat beli kol goreng."
Tidak perlu diberitahu aku sudah hafal betul apa makanan kesukaan Haden. Aku memberikan bungkusan makanan itu pada Haden. Ia segera menerimanya dan duduk di lantai.
"Elo emang paling paham gue, Gam." Satu bungkus kol goreng sudah ia buka dan ia letakan di atas lantai. Melihat kol goreng sudah seperti melihat berlian di antara tumpukkan jerami. Haden langsung melahap makanannya. Aku mengambilkan sebotol air mineral di kantong plastik yang aku beli tadi di minimarket. Aku mengikuti Haden duduk di lantai. Kami berdua duduk saling berhadapan.
"Elo nggak makan?"
Aku menggeleng pelan. "Masih kenyang."
Tok tok tok
Suara pintu kamar kami diketuk, "temen kamu?" Aku bertanya pada Haden. Dia menggeleng cepat tanpa berhenti makan sepertinya dia memang saat lapar.
"Aku bukain dulu kalo gitu."
Aku berjalan untuk membukakan pintu. Suara pintu kembali diketuk.
"Iya, iya." Aku segera membuka kunci pintu, aku kaget saat pintu ku tarik ke dalam, di sana Kin berdiri membawa kardus kecil entahlah apa itu.
"K-Kin."
"Boleh gue masuk?"
"Siapa yang datang Gam?" Haden berteriak di depan pintu.
"Than? Boleh kan gue masuk. Gue bawa Pizza." Kin mengangkat kardus kecil yang ternyata isinya pizza. "Itung-itung buat traktiran karena kita tetanggaan."
"Siapa sih?" Haden sudah berdiri di belakangku. "Elo!"
Entah kenapa Kin seperti tidak peduli, dia menerobos masuk ke dalam. Aku dan Haden hanya bisa saling pandang.
"Gue nggak bisa diemin ini."
Aku menahan lengan Haden yang hendak menghampiri Kin. Aku segera menggeleng, memberikan tanda pada Haden untuk tidak mengganggu Kin. Aku tahu Haden tidak terima, tapi aku tidak ingin mencari ribut.
Aku berjalan lebih dulu masuk lalu Haden mengikutiku dari belakang. Kulihat Kin sudah duduk di lantai, ia menyingkirkan sisa makanan milik Haden dan menggantikannya dengan pizza yang ia bawa.
"Sini Than duduk." Dia memanggilku tanpa segan.
"Elo duduk di situ aja." Haden menunjuk kursi belajarku, dia menyuruhku untuk duduk di kursi. Haden lalu duduk di samping Kin.
"Kalo niat elo mau makan itu di sini, cepet abisin."
"Nih Than, ini kan kesukaan elo. Gue masih inget banget elo suka makanin pinggirannya."
Haden menyaut sepotong Pizza melemparkannyaa yang Kin tawarkan padaku, ia lalu begitu saja kembali ke tempatnya.
"Sialan!" Suara Kin terdengar penuh emosi.
"Keluar lo!"
Kin sudah menarik baju Haden, tapi aku segera melepasnya. Aku tidak ingin mereka berkelahi dan membuat onar di asrama.
"Sorry, Gam."
"Maaf Than."
Mereka berdua meminta maaf secara bersamaan.
Apa mau Kin sebenarnya.Tbc ....
Happy Reading guys....
Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Aku bisa melihat ekspresi kekecewaan di wajah Kin tadi. Apa aku keterlaluan pada Kin, mungkin saja Kin sekarang sudah berubah. Apakah aku harus bersikap biasa saja pada Kin. Aku bingung sendiri. Kadang sifat plin-planku ini membuat aku kesal sendiri."Den." Aku membalikan tubuhku menghadap ke arah Haden. Ternyata dia belum tidur, sepertinya dia masih mengerjakan sesuatu."Kenapa, elo belom tidur?""Kamu ngerjain apa?"Dia berbalik menghadapku sekarang, ia angkat buku tulisnya dan ia perlihatkan padaku."Kimia yang kemarin,"Aku hanya mengangguk dan kembali menutup wajahku dengan selimut."Nggak bisa tidur?""Iya, nih."Haden sepertinya beranjak dari kursinya, aku bisa mendengar suara kursi yang bergeser."Nonton film aja gimana?"Aku kemb
Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali ti
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali ti
Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Aku bisa melihat ekspresi kekecewaan di wajah Kin tadi. Apa aku keterlaluan pada Kin, mungkin saja Kin sekarang sudah berubah. Apakah aku harus bersikap biasa saja pada Kin. Aku bingung sendiri. Kadang sifat plin-planku ini membuat aku kesal sendiri."Den." Aku membalikan tubuhku menghadap ke arah Haden. Ternyata dia belum tidur, sepertinya dia masih mengerjakan sesuatu."Kenapa, elo belom tidur?""Kamu ngerjain apa?"Dia berbalik menghadapku sekarang, ia angkat buku tulisnya dan ia perlihatkan padaku."Kimia yang kemarin,"Aku hanya mengangguk dan kembali menutup wajahku dengan selimut."Nggak bisa tidur?""Iya, nih."Haden sepertinya beranjak dari kursinya, aku bisa mendengar suara kursi yang bergeser."Nonton film aja gimana?"Aku kemb