Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.
Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.
Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali tidak berdering, tak ada pesan sama sekali dari Haden, bahkan pesanku saja masih belum ia baca.
Aku memainkan layar ponselku, mengecek beberapa akun sosial mediaku. Berharap ada yang bisa menarik perhatianku, tapi bunyi tetesan air hujan di sana membuat fokusku hilang.
"Hujan." Aku memeriksa tas punggungku, biasanya payung lipat yang mamaku berikan selalu ada di tasku. Tapi kali ini sepertinya payung itu tidak ada, sampai kepalaku botak pun tak akan kutemukan, seingatku aku letakan di atas lemari pakaikanku.
Mataku terus menatap tetes air hujan yang silih berganti jatuh ke tanah. Jarum jam terus berputar, mengganti waktu siang menjadi sore hari. Pikiranku melayang ke sana ke mari.
"Sendirian, Than?"
Aku menoleh, kemungkinan Haden datang dalam pemikiranku adalah nomor satu. Tapi ini kemungkinan yang entah ke berapa. Dan mungkin tidak terpikirkan olehku. Itu Kin.
"Kin?"
"Gue habis nyari baju, kebetulan gue lihat elo di sini pas gue mau neduh, gue langsung masuk aja."
Aku menatap ke atas, ke arah rambutnya yang terlihat kering. Mungkin tadi ia belum sempat kehujanan, eh? Belum sempat, entahlah. Pokoknya dia masih terlihat kering.
"Mau pulang bareng nggak? Gue bawa payung, nih."
Kalau dia membawa payung kenapa tidak langsung pulang saja, dan kenapa dia memilih untuk masuk ke kafe.
Aku hanya diam, dan menatap ke arah luar. Hujan masih sangat deras kalau aku pulang sekarang meskipun aku memakai payung kemungkinannya tubuhku akan tetap basah.
"Masih deras, percuma kalaupun kita pakai payung."
Kin kini menoleh ke arah jendela besar yang ada di samping kafe, "kita tunggu sampai reda."
Aku kemudian hanya mengangguk, aku kembali menyesap espresso milikku tanpa mempedulikan Kin, aku yakin jika aku bertanya lagi dia akan duduk di hadapanku.
"Masih suka baca novel?" Sepertinya Kin melihat tumpukan novel dan buku yang aku beli tadi.
"Hobi, sampai kapan juga pasti baca, Kin."
Tiba-tiba dia menarik kursi yang ada di hadapanku, padahal aku tidak mempersilahkan dia untuk duduk.
"Elo emang nggak berubah, masih sama kaya dulu, Than."
Aku mengernyitkan alisku. "Maksud kamu?"
"Nggak apa,"
Hening menyergap kami berdua, setelah jawaban Kin tadi aku hanya terdiam. Kembali menikmati cake milikku.
"Than,"
"Apa?"
"Ini," Kin menunjuk sudut bibirnya.
"Kenapa?"
"Ada cream di bibir kamu." Terdengar aneh saat dia memanggilku dengan kata ganti kamu.
Aku mengambil selembar tisu yang ada di hadapanku, aku mencoba mengelapnya.
"Masih ada, sini deh gue lap-in." Kin menarik selembar tisu lagi dari kotak tisu, tiba-tiba tangannya terulur dan hendak menyeka cream yang ada di bibirku tapi aku segera menepis tangannya, apa-apaan ini, apa dia tidak malu.
"Nggak usah, biar gue aja. Gue permisi ke kamar mandi dulu." Aku segera meninggalkan Kin yang masihenggantung tangannya di udara karena kutahan tadi. Aku bisa melirik wajahnya yang terlihat agak kecewa mungkin. Atau dia kaget karena sikapku. Entahlah.
* * *
Kami berdua mulai berjalan pelan, meski hujan sudah cukup reda tapi kami harus tetap menggunakan payung. Menghindari basah kuyup. Tidak lucu jika sampai asrama kami seperti tikus yang tercebur got.
"Awas!"
Tiba-tiba tubuhku berputar, payung yang ada di genggaman Kin terjatuh. Kedua tangan Kin kini memegang bahuku, ia memutar tubuhku sehingga tubuhnya melindungi tubuhku yang hampir terkena cipratan air dari kubangan air di pinggir jalan. Entah bagaimana air hujan yang menggenang seketika menyiprat ke arah kami, tapi tubuhku terlindungi oleh Kin, mobil yang melewati genangan air itu terlampau kencang. Aku hanya diam saat Kin menatap kesal ke arah mobil yang sama sekali tidak berhenti itu. Kalau Kin yang dulu pasti akan langsung memaki. Kin lalu menoleh ke arahku yang masih terdiam dan menatapnya.Sejenak kami saling tatap dengan posisi yang begitu dekat, aku bisa sangat jelas menatap manik mata Kin. Manik mata yang dulu sangat aku sukai.
"Baju elo basah gak, Than?" Kin tampak menelitiku dari ujung kepala sampai ujung kakiku.
"Eh?"
"Baju elo basah semua,"
"Nggak," aku menghindari Kin, aku menjauh dari tubuhnya. "Elo yang basah kuyup."
Dia menunduk dan menatap ke arah kemeja berwarna biru muda yang ia kenakan. Kemejanya sudah hampir bukan berwarna biru lagi, air yang bercampur tanah di kubangan tadi sudah berpindah di bajunya. "Sialan, tu mobil."
Aku mengambil payung milik Kin dan memayungi Kin segera. Setidaknya kepalanya tidak basah kuyup, akan jadi urusan yang panjang kalau sampai Kin sakit. Tentu saja aku yang harus bertanggung jawab, merawat Kin sampai sembuh.
Kami berdua kembali berjalan beriringan. Itu semua karena payung ini, kalau tidak aku sudah jalan di depan.
* * *
Kami berdua berpisah di depan kamar asrama. Aku segera masuk ke kamar tanpa menoleh lagi ke arah Kin.
Begitu kenop pintu kuputar dan pintu terbuka mataku tertuju pada seseorang yang sedang menggosok rambut basahnya menggunakan handuk, ia menghadap ke arah jendela sepertinya sedang menatap sesuatu.
"Den?"
"Gam, elo dari mana? Gue pulang, kamar kosong elo nggak ada."
"Udah balik dari tadi? Habis nyari ini." Aku menunjukkan kantong palstik berwarna putih dengan tulisan merk book store di sana.
"Buku lagi?"
Aku mengangguk lalu meletakkannya di meja belajarku, aku melirik sebentar ke arah meja belajar Haden sepertinya ada sesuatu yang baru di sana.
"Itu hewan apa?" Satu kandang kecil dengan penutup kaca itu menarik perhatianku.
"Si Vona kasih ke gue tadi, hamsternya beranak. Gue disuruh piara ama dia."
Vona, satu nama yang sampai saat ini masih menjadi alasan untuk aku merasa cemburu. Vona adalah sahabat karib Haden sejak kecil. Kami pernah saling bertemu saat kelulusan SMP dulu. Dia cantik, tipikal anak yang bisa diajak bergandengan tangan jika jalan di tempat umum.
"Oh." Aku mengangguk tanpa menghiraukan ucapan Haden. Aku menyaut handukku di gantungan baju. Aku harus segera mandi, sebelum angin masuk ke tubuhku.
"Di luar hujan elo nggak bawa payung tadi? Kenapa sepatu elo basah kuyup,"
Akunmelirik ke arah sepatuku yang ada di rak. "Tadi aku pake payung, cuma jalanan kan banyak genangan air, Den."
"Oh, ya udah. Mandi, gih." Tangan itu mengusap rambutku yang setengah basah karena air hujan, entah sejak kapan Haden ada di dekatku. Haden memang paling bisa membuat hatiku berdebar.
* * *
Ternyata hujan memberiku kesempatan untuk duduk berdua di kamar bersama Haden, bukan duduk saling berdampingan. Tapi dengan adanya jarak. Aku di kursiku, dan Haden di ranjangnya. Ia sedang bermain dengan hamster yang ia bawa tadi. Rasanya aku ingin menjadi hamster itu, diajak bermain oleh Haden. Tapi sayang aku tidak akan pernah ada di sana, tempatku hanya di sini memandangnya dari kejauhan.
"Besok latihan lagi, Den?" Aku membuka percakapan.
Dia menoleh ke arahku, "kenapa?"
"Udah nyiapin keperluan?"
Dia tidak langsung menjawabku, dia meletakkan hamster itu kembali ke kandangnya. Ia kini menghadap ke arahku, "gue boleh tanya?"
"Tanya apa?"
"Tadi elo pulang sama siapa?"
Kenapa Haden bertanya tentang hal itu, apa dia melihatku? Bagaimana aku menjawabnya. Kalau dia melihatku bersama Kin, sejak aku sampai tadi pasti dia sudah menanyaiku.
"Ya udah, nggak perlu elo jawab."
Kulihat Haden mematikan lampu belajarnya. Ia mengambil selimut di dalam lemarinya, ini baru pukul delapan malam dan dia sudah mau tidur saja. Ada yang salah, aku yakin. Tapi aku tidak berani untuk menanyakannya.
Ini yang kadang membuatku merasa tersiksa, atas kepenasaranku.
"Den." Aku terus menatap punggungnya yang tertutup selimut, "tadi gue pulang sama Kin," jawabku lesu, tapu tak ada jawaban dari Haden.
Sepuluh menit berlalu, Haden masih diam memunggungiku.
"Gue udah bilang berapa kali sama elo, jauhin Kin." Suara Haden terdengar datar tanpa emosi. "Elo nggak inget dulu gimana elo, gara-gara dia. Elo mau difitnah lagi sama dia!"
Bagaimana kalau itu bukan fitnah, tapi memang kenyataan tapi aku yang membohongi kamu, Den. Aku terlalu takut dan malu.
"Percuma gue ingetin pun. Elo terlalu bego atau emang terlalu baik?!" Haden kembali duduk, ia memandangku dengan penuh emosi. "Kin, gue yakin elo lebih paham soal Kin ketimbang gue, Gam. Jadi tolong elo hati-hati."
"Kita kebetulan ketemu." Jawabku lagi.
Haden seolah sedang menghakimiku, seorang pacar yang sedang mencecar pasangannya dengan segala macam pertanyaan posesifnya. "Aku minta maaf, Den.""Gue tahu gue nggak berhak bilang gini, tapi kalo sampe dia kaya dulu, yang rugi siapa, Gam? Gue? Bukan! Tapi elo sendiri!" Dia menunjukku. Ini kali pertamanya dia memarahiku.
"Dia cuma nawarin payung, Den. Di luar hujan."
"Nggak bisa kalo elo nunggu ujan reda?!" Haden mondar-mandir di hadapanku. "Atau elo bisa kan telefon gue?"
"Aku kira kamu belom balik, Den. "
Aku tidak merasa takut sama sekali saat melihat kemarahan Haden, tapi malah terselip rasa bahagia di sana. Aku tidak pernah tahu arti dari kemarahan Haden ini apa, yang jelas aku bahagia. Tetaplah seperti ini, dengan segala perhatian terkecil, aku sudah bahagia hanya dengan seperti ini.
"Kenapa elo malah ketawa, Gam?"
Aku segera menoleh, Haden sedari tadi menatapku ternyata. "Eh?"
Haden membungkukan badannya di hadapanku, jarak wajah kami mungkin hanya sejengkal. Bahkan aku bisa merasakan deru nafasnya tepat di wajahku. Aku berkedip berkali, tangannya kini ia letakkan di kedua ujung bahuku. "Dengerin gue, cukup hari ini Gam, gue nggak mau lihat elo besok lagi sama dia."
Aku mengangguk begitu saja, seolah ucapannya itu mantra yang tak bisa kutolak.
"Bagus." Dia kembali berdiri dan berbalik, berjalan kembali ke ranjangnya. Tak ada lagi kata-kata yang Haden ucapkan, jadi ini sudah selesai?
Aku menutup buku pelajaranku yang ada di atas meja belajar, mematikan lampu belajarku. Mungkin kemarahan Hadeb tadi karena khawatir denganku, tapi kenapa dia harus sampai marah padaku.
Tbc ...
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Jangan terlalu memaksa saat kita ingin memiliki.Fathan Agam ByantaraBagaimana rasanya jatuh cinta?Indah bukan?Pasti menyenangkan, membayangkan semua hal yang disukai dilakukan bersama-sama. Hari-hari penuh dengan kebahagiaan.Itu semua berlaku bagi orang-orang yang bertemu dengan pasangannya di waktu yang tepat dan orang yang tepat. Mungkin sepersekian persen dari orang-orang di dunia ini tidak seberuntung itu dan aku salah satunya. Cintaku jatuh di tempat yang salah.Sahabat yang seharusnya menjadi tempatku berbagi cerita, nyatanya aku malah menyembunyikan segala perasaanku padanya. Apakah aku bersikap curang? Di saat dia menceritakan bagaimana kisah hidupnya dengan orang lain, aku menanam sebuah rasa cemburu di balik senyum saat mendengarkan curahan ha
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali ti
Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Aku bisa melihat ekspresi kekecewaan di wajah Kin tadi. Apa aku keterlaluan pada Kin, mungkin saja Kin sekarang sudah berubah. Apakah aku harus bersikap biasa saja pada Kin. Aku bingung sendiri. Kadang sifat plin-planku ini membuat aku kesal sendiri."Den." Aku membalikan tubuhku menghadap ke arah Haden. Ternyata dia belum tidur, sepertinya dia masih mengerjakan sesuatu."Kenapa, elo belom tidur?""Kamu ngerjain apa?"Dia berbalik menghadapku sekarang, ia angkat buku tulisnya dan ia perlihatkan padaku."Kimia yang kemarin,"Aku hanya mengangguk dan kembali menutup wajahku dengan selimut."Nggak bisa tidur?""Iya, nih."Haden sepertinya beranjak dari kursinya, aku bisa mendengar suara kursi yang bergeser."Nonton film aja gimana?"Aku kemb