Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Aku bisa melihat ekspresi kekecewaan di wajah Kin tadi. Apa aku keterlaluan pada Kin, mungkin saja Kin sekarang sudah berubah. Apakah aku harus bersikap biasa saja pada Kin. Aku bingung sendiri. Kadang sifat plin-planku ini membuat aku kesal sendiri.
"Den." Aku membalikan tubuhku menghadap ke arah Haden. Ternyata dia belum tidur, sepertinya dia masih mengerjakan sesuatu.
"Kenapa, elo belom tidur?"
"Kamu ngerjain apa?"
Dia berbalik menghadapku sekarang, ia angkat buku tulisnya dan ia perlihatkan padaku.
"Kimia yang kemarin,"
Aku hanya mengangguk dan kembali menutup wajahku dengan selimut.
"Nggak bisa tidur?"
"Iya, nih."
Haden sepertinya beranjak dari kursinya, aku bisa mendengar suara kursi yang bergeser.
"Nonton film aja gimana?"
Aku kembali membuka selimut, kulihat Haden sudah duduk di lantai memangku laptop di antara lipatan kakinya.
"Gue baru dapet film baru. Nggak tahu sih seru ato enggak."
Aku langsung turun dari ranjang lalu duduk di samping Haden. Film sudah dimulai, sepertinya film bergenre romance. Semoga aku tidak mengantuk. Kulirik dari ekor mataku Haden tampak serius dengan film yang sedang kami tonton.
Adegan film itu sang perempuan sedang menangis karena orang yang dia suka ternyata lebih memilih pergi dari hidupnya.
"Gam ..."
"Hmmm..." aku menoleh ke arah Haden ternyata dia sedang menatap wajahku. Reflek tubuhku menghindar dari Haden.
"A-ap-a?"
"Laper."
Astaga, dia mengagetkanku saja. Aku beranjak dari dudukku dan mengambil biskuit yang tadi sore aku beli di minimarket. "Nih." Kuletakkan diatas pahanya, lalu kembali fokus menonton film itu.
"Kenapa semua film romance itu harus endingnya ciuman." Gumamku.
"Lah? Itu tanda mereka udah menyatu, ah elu mah ketinggalan jaman."
"Nggak suka aja kalo Endingnya kissing gitu."
"Apa yang salah sama kissing coba?" Haden meletakkan biskuit yang sedang ia makan.
"Biasa aja tanyanya." Aku memundurkan tubuhku untuk bersender ke tembok. "Aku cuma nggak suka aja kalo Ending kisahnya ciuman. Kayaknya kisahnya itu udah bener-bener berakhir nggak ada kelanjutannya lagi."
"Lah kan emang udah kelar filmnya." Kini Haden mengikutiku menyenderkan tubuhnya di tembok. "Sekarang gue tanya, elo kalo pacaran ngapain aja sama cewek elo? Pegangan tangan, pelukan terus yang terakhir apa, ciuman kan? Nah sama kaya tuh film, udah mereka susah buat bersatu pas mereka udah bareng pasti di akhir kisahnya mereka bakal ciuman."
Aku mengernyitkan alisku, aku tidak setuju dengan pendapatnya secara aku belum pernah mencoba berpacaran. " menurut kamu gitu? Menurutku pelukan malah lebih bagus, kayaknya lebih menyentuh. Dan kayaknya kisah mereka belum berakhir. Mereka masih punya kehidupan yang harus mereka lalui sebagai sepasang kekasih." Aku tidak mendengar jawaban dari Haden jadi aku mencoba menatap ke arahnya. Ternyata ia kembali menatapku.
"Kenapa?"
"Apanya?"
"Itu, kamu lihatin aku kaya gitu banget."
"Nggak boleh?"
Aku segera beranjak dari dudukku, aku tidak mau salah tingkah karena sikap Haden. Aku tidak mau sampai Haden curiga padaku. Aku berjalan menuju meja belajarku, mengambil air mineral di sana.
"Den."
"Iya?" Haden sedang membereskan laptop miliknya. Filmnya baru saja selesai.
"Kalo memurut kamu, aku harus bersikap gimana sama Kin? Maksudku, kalopun aku udah maafin dia, aku belum bisa sepenuhnya bersikap biasa ke dia. Kadang kalo lihat mukanya dia, aku bisa ngerasa kesel sendiri."
"Elo mau jawaban jujur dari gue?"
Aku mengangguk ragu, "menurut gue sih, nggak usah tanggepin. Sifat orang siapa yang tahu, iya, kan? Mungkin dia udah berubah tapi sifat jeleknya bisa balik lagi. Gue nggak tahu dulu dia sebaik apa ke elo. Buktinya dia bisa tega gitu sama elo."
Iya memang benar, dulu aku sangat dekat dengan Kin. Bahkan Kin terlampau baik padaku. Aku sampai jatuh hati padanya. Aku pikir Kin juga sama denganku tapi ternyata tidak. Kin seratus delapan puluh derajat berbeda dari apa yang ada di bayanganku.
"Tapi aku bisa lihat dia udah mulai berubah, Den. Aku kemarin bisa lihat gimana kecewanya dia waktu kamu suruh pergi."
"Itu terserah elo sih, gue cuma bisa ngingetin." Haden meletakkan laptopnya kembali ke dalam tas. "Jangan sampe elo jatuh ke lobang yang sama untuk ke dua kalinya. Inget, elo udah pernah terlalu percaya sama seseorang sampai akhirnya kenyataan nyadarin elo, kalo sesuatu yang terlalu itu berakhir menyakitkan. Bahkan itu semua hampir ngebuat elo nggak ada di sini sekarang ini. Ngebuat elo hampir ngelepasin semuanya, elo mesti inget perjuangan elo buat ngeyakinin semua orang saat itu, sakitnya hati elo waktu semua orang nyudutin elo sama sesuatu yang nggak pernah elo lakuin."
Maaf Den, kalau itu semua benar apa kamu masih mau bela aku kaya gitu. Andai kamu tahu dulu, perasaanku buat Kin itu tulus tapi sayang Kin tidak bisa menerimanya dan jalan yang dia pilih buat nolak aku bukan dengan cara yang bisa bikin aku ngejauh dari dia tapi dengan cara dia ngehancurin aku, karena menurut dia aku nggak layak ada di dunia ini.
Aku jadi galau sendiri memikirkan Kin. Apa yang harus aku lakukan pada Kin. Aku juga tidak mau seperti yang dibilang Haden tadi. Jatuh untuk ke dua kalinya, ke lubang yang sama.
* * *
Pelajaran biologi baru saja selesai dan bel istirahat baru saja berbunyi, aku tidak berlari ke kantin. Mataku mengantuk gara-gara semalam aku kurang tidur, memikirkan hal yang membuatku resah. Aku hanya diam di kelas, aku duduk di kursiku. Aku merebahkan setengah badanku di atas meja. Pipiku kutempelkan pada meja.
"Kenapa nggak ke kantin?" Satu kotak susu dan satu bungkus roti ada di hadapanku. Aku sudah tahu itu siapa, pasti Haden. "Gue tungguin elo, gue udah pesenin batagor kesukaan elo. Nggak muncul-muncul. Gue tekor nih."
"Siapa yang suruh pesenin batagor? Ngapain juga beliin ini." Aku menunjuk roti dan susu yang Haden bawakan untukku.
"Gue kan pengertian."
"Makasih." Aku tidak menghiraukan jawabannya, dia memang seperti itu. Aku membuka bungkus roti itu.
"Than."
Kin yang baru masuk ke dalam kelas menghampiriku dan berdiri di samping Haden.
"I-iya." Aku tidak jadi memakan bungkus roti itu.
"Gue kan belom punya baju olahraga, elo mau nganterin gue ke guru olahraga nggak?"
"Itu urusan elo sama guru olahraga, elo minta lah ke ruang guru." Aku belum sempat menjawab, tapi jawaban ketus Haden sudah sampai di telinga Kin terlebih dulu.
"Gue nanya Fathan bukan elo."
"Dia Agam, siapa Fathan?" Haden menantang Kin.
"Serah, elo bisa anter gue kan Than?"
"Ya udah." Aku meletakkan kembali roti itu dan hendak berdiri, namun lengan Haden menahanku.
"Gue yang anterin, elo makan di sini."
"Gue minta tolong sama Fathan bukan elo." Kin tampak tidak terpancing oleh Haden.
Tiba-tiba Haden merangkul Kin."Gue juga ada urusan sama guru olahraga, jadi sekalian." Haden menarik Kin untuk segera keluar dari kelas.
* * *
Aku tidak tahu apa yang terjadi saat mereka berdua pergi, tapi setelah jam istirahat selesai mereka berdua tampak baik-baik saja. Dan tidak ada kejadian yang cukup membuat sekolah heboh. Sampai pelajaran dimulai lagi pun, mereka tidak terlihat akan berkelahi hanya sesekali kulihat Haden memperhatikan Kin. Haden tidak mau duduk di samping Kin,setelah dia tahu Kin masuk ke kelas yang sama dengan kami, dia menyuruh Gilbert untuk pindah ke bangkunya. Sekarang dia duduk di sampingku.
"Jangan noleh terus, Den."
"Gue cuma lagi awasin si Kin."
Buat apa Haden mengawasi Kin. "Dia juga nggak bakal nerkam kamu kali," candaku.
"Dia mau nerkam elo."
Aku segera menoleh mendengar jawaban Haden.
"Dia mau elo balik ke dia kaya dulu lagi."
Jadi, apa maksud Kin mengatakan itu pada Haden. Apa dia berniat untuk mengulang kejadian dua tahun lalu di sekolah ini, aku tidak mungkin membiarkan Kin melakukan itu lagi padaku. Aku sudah tenang di sini, hidup tanpa rasa takut akan masalaluku yang dulu. Masalaluku yang pernah menyukai Kin, menyukai sesama jenis.
Tbc ...
Happy Reading ...
Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali ti
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Layaknya pohon beringin, dia kokoh dan tegap berdiri. Meski terkadang angin kencang datang mengguncang kau tetap mencoba untuk menahannya.Aku baik-baik saja sekarang, berguncanglah. Tak perlu lagi kau berpura-pura dan menahan guncangan itu.Kau ulurkan tanganmu bak ranting pohon yang rela meski tahu daunnya akan terjatuh saat melindungiku dari terik sinar matahari atau derasnya hujan yang turun. Kau tersenyum seolah mendapat kekuatan dariku, "aku baik-baik saja, aku bersyukur punya teman sepertimu yang selalu ada di sampingku." Itu katamu saat kau mencoba melindungiku.Disaat semuanya hancur kau masih tetap mencoba melindungiku dengan dahan rimbunmu. Maaf, dulu aku hanya jadi pohon kecil peneduh di hidupmu. Bukan beringin yang mampu sejajar denganmu, kokoh, tegap berdiri. Mampu menahan guncangan angin yang begitu kencang."Jangan menghindar,"Dia membuka suara, aku yang sedang menatap lantai k
Kebahagiaanku adalah menatap bayanganku di matanya dan Tuhan mengabulkannya di hari ini. Aku tidak pernah menyangka jika perasaan itu, perasaan di hari saat pertama kali dia mengulurkan tangannya untukku, merangkulku karena rundungan mereka kembali ku rasakan. Detak jantungku yang seolah berlomba, seperti akan loncat dari tempatnya. Mataku, mataku kini bisa menatapnya dengan begitu jelas. Ini bukanlah sebuah ilusi, kan?Aku tidak sedang bermimpi? Kakiku melangkah tanpa ragu ke arahnya, jemariku seolah berlomba untuk menyentuh pipinya. Mataku lekat menatap wajahnya. Rambut hitam legam itu kini tak menutupi dahinya lagi, kesan cowok tengil kini sudah tidak ada lagi di wajahnya. Dia, sudah menjadi seorang pria tampan.
Malam semakin larut dan aku masih tetap terjaga, menatap langit-langit kamarku. Tak ada yang istimewa dari sekedar langit-langit kamar, hanya saja mataku tak mau terlepas untuk terus memandanginya. Pikiranku melayang, memikirkan surat yang dikirim oleh Haden. Sudah tiga bulan berlalu, tapi aku belum juga membalas surat dari Haden. Aku hanya terlalu bingung, dari mana aku harus mengawalinya.Untuk kembali aku belum bisa, aku masih terlalu sibuk dengan segala urusan pendidikanku di sini, atau mungkin itu hanya alasanku saja untuk menunda kepulanganku. Bukan karena aku tidak ingin menenumi Haden, bagaimana bisa aku tidak ingin bertemu dengannya. Sementara rasa bahagiaku adalah melihat bayanganku di bola matanya. Melihat senyum terukir di wajahnya karena diriku.Apa yang aku rasakan saat ini bukanlah kesedihan, atau pun kebahagiaan. Aku hanya, hanya merasa kosong.Aku terlalu takut untuk menemui Haden, bibirku mungkin bisa mengatakan kalau ak
Aku duduk menghadap layar laptopku, satu e-mail baru saja ku terima dari kak Ferdinand, selama ini dia selalu mengirimiku kabar tentang Haden, tanpa ku minta sekalipun. Aku hanya bersyukur, aku masih bisa tahu bagaimana keadaannya sekarang. Empat tahun, empat tahun kami tidak saling bertemu, tidak saling bertukar kabar. Entahlah, apa dia masih mengingatku, aku tidak ingin berharap, berharap pada manusia pada ujungnya hanya akan memberi luka. Hari ini kak Ferdinand mengirimiku sebuah foto, foto Haden yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Melihat foto itu membuat rasa rinduku semakin membuncah.Apa kabar? Apakah kamu masih tetap sama dengan Haden yang dulu? Semoga kamu tidak khawatir, aku baik-baik saja di sini, meskipun sendiri tapi
Auckland, Perlahan cahaya matahari itu masuk ke kamarku, merayap melalui celah korden jendelaku yang tidak begitu rapi menutupi jendela. Aku bisa merasakan pancarannya mengganggu tidur nyenyakku, kelopak mataku perlahan terbuka. Mengedip sejenak, menyesuaikan pandanganku setelah enam jam tertidur. Kepalaku masih sedikit pusing, kemarin malam aku harus mengerjakan tugas essayku untuk mengikuti tes masuk ke salah satu fakultas di universitas, di Auckland.Aku beranjak dari tempat tidurku, telapak kakiku bisa merasakan hawa dingin yang bersarang pada lantai kayu di kamarku. Perlahan inderaku mencium aroma antiseptik pembersih lantai yang khas, begitu menusuk penciumanku. Aku duduk di tepian ranjang, sekejap, perasaan itu kembali menghantuiku. Rasa sakit, marah, kecewa, takut dan cemas. Hingga membuat orang di sekitarku ikut merasakannya pula.Aku sedang berjuang untuk melawannya, melupakannya. Sama sep
"Ayo,"Seperti biasa dia akan merangkulku tanpa rasa ragu. Menaruh kepalaku di bawah ketiaknya. Jujur aku suka bau harum ketiaknya saat pagi hari, dan ketika hal ini absen tidak ia lakukan maka aku akan merasa kekurangan. Sudah seperti candu bagiku."Elo ganti shampoo, Gam?" Haden berhenti berjalan dan melepaskan rangkulannya dari bahuku."Iya, ini kan shampoo kamu hehe ..." Aku tertawa garing di hadapannya, aku tahu ini pasti tidak lucu."Kenapa wanginya beda. Kayaknya kalo gue yang pake wanginya gak gini.""Masa?""Aneh cium bau shampoo sendiri di pake sama orang lain."Aku menepuk pundaknya, "eih, heran, tiap hari dipake sendirinya, juga." Aku kembali berjalan meninggalkannya yang masih berdiri dengan keheranannya.* * *Hari ini kami harus ke laboratorium, guru mata pelajaran biologi akan
Semacam teman, tapi terlalu dekat. Saat perasaan cemburu ini datang aku kembali tersadar. Apa posisiku dalam hidupnya. Kamu terlalu jauh untuk aku genggam, tapi terlalu dekat untuk aku tatap. Kenapa waktu begitu menyiksa perasaanku.Katakan aku ini pengecut, tapi pengalaman yang mengajarkanku untuk bersembunyi di balik perasaanku ini. Jika tak ada kata trauma, mungkin aku sudah mengatakannya. Mengatakan kalau aku cemburu melihatmu dengan orang lain, selain aku. Kalau aku tidak suka, kau lebih mementingkan sepak bola daripada diriku. Kalau aku tidak suka saat harus pergi sendiri tanpamu.Langit di luar terlihat begitu gelap, awan hitam yang menggumpal seolah pertanda hujan akan turun. Aku masih santai menikmati espresso yang tersaji di hadapanku, ditemani sepotong ice cream cake strawberry. Aku harap hujan tidak turun sekarang, karena aku masih ingin menikmati waktu santaiku. Sejak pulang sekolah tadi ponselku sama sekali ti
Aku tidak bisa tidur, aku masih memikirkan kejadian tadi sore. Aku bisa melihat ekspresi kekecewaan di wajah Kin tadi. Apa aku keterlaluan pada Kin, mungkin saja Kin sekarang sudah berubah. Apakah aku harus bersikap biasa saja pada Kin. Aku bingung sendiri. Kadang sifat plin-planku ini membuat aku kesal sendiri."Den." Aku membalikan tubuhku menghadap ke arah Haden. Ternyata dia belum tidur, sepertinya dia masih mengerjakan sesuatu."Kenapa, elo belom tidur?""Kamu ngerjain apa?"Dia berbalik menghadapku sekarang, ia angkat buku tulisnya dan ia perlihatkan padaku."Kimia yang kemarin,"Aku hanya mengangguk dan kembali menutup wajahku dengan selimut."Nggak bisa tidur?""Iya, nih."Haden sepertinya beranjak dari kursinya, aku bisa mendengar suara kursi yang bergeser."Nonton film aja gimana?"Aku kemb